Thursday, December 29, 2011

Flash Quran Recitation by Mishary Rashed al-Efasy

Flash Quran Recitation by Mishary Rashed al-Efasy

Wirid

           Wirid bisa berarti doa dan sebagai tugas suatu tarekat. Definisi dari J. Spencer Trimingham yang disebut belakangan mengingatkan pada tugas ketuhanan atau liturgi monastisisme Kristen dengan sedikit doa, seperti sekedar contoh doa-doa Lauds, Matins, Vespers dan Compline yang terjadwal dalam kegiatan rutin di biara. Namun Trimingham juga memberi tiga definisi lainnya, yaitu doa yang berpola frasa, doa pendek yang dibaca pada hari-hari tertentu, dan perintah agama itu sendiri.
            Menurut Ian Richard Netton, kamus bahasa Arab memberi definisi wirid pada waktu khusus di siang hari atau malam hari untuk melakukan ibadah perorangan di samping shalat lima waktu yang telah ditetapkan, dan suatu bagian dari Al-Qur’an yang dibaca pada kesempatan ibadah.
            Namun wirid (        ), jamaknya aurad (          ) bisa juga diterjemahkan dengan doa imam di mesjid. Praktik pembacaan wirid dan doa itu bisa diruntut sampai kepada ajaran Nabi, yang mengajarkan untuk membaca rangkaian doa tertentu pada berbagai kesempatan dalam kehidupan sehari-hari.
            Umat Islam sekarang banyak yang menggunakan frasa-frasa, seperti alhamdulillah (segala puji bagi Allah) dan insya Allah (jika Allah menghendaki) secara otomatis dan menunjukkan popularitas wirid-wirid di kalangan tokoh penting, seperti Abu Hamid al-Ghazali.

Syukur

           Istilah “syukur” berasal dari kata “syakara” yang berarti terima kasih, memuji, dan semoga Allah memberi pahala.
 Tetapi pada mulanya istilah “syukur” berarti menonjolnya bekas makanan  pada tubuh binatang dengan jelas, maksudnya binatang kelihatan lebih gemuk karena makanannya. Ada sebuah hadits yang menyebut istilah “syukur” dalam pengertian ini:
“Sesungguhnya binatang-binatang itu bersyukur dagingnya” (HR Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Maksudnya binatang itu jadi gemuk dan dagingnya bertambah karena makanannya.
Menurut Nurcholish Madjid, sikap syukur diwujudkan dengan pujian kepada Allah dengan mengucapkan hamdalah, yaitu ucapan alhamdulillah (al-hamd-u li ‘l-Lah, artinya segala puji bagi Allah), dan mengucapkan atau membaca formula itu disebut tahmid. Tahmid sering disertai dengan ucapan tasbih, yaitu subhanallah (subhan-a ‘l-Lah, artinya Maha Suci Allah).

Sabar

           Sabar berarti menahan diri dari keluh kesah dan rasa benci, menahan lisan dari mengadu dan menahan anggota badan dari tindakan yang mengganggu dan mengacaukan. Sedang Ahmad Warson Munawwir menjelaskan bahwa istilah “sabar” berasal dari kata “shabara”  yang berarti bersabar, tabah hati, menahan, menahan dengan tidak memberi makan, memaksa, mewajibkan, mencegah, menanggung.
Tetapi yang dimaksud sabar dalam tasawuf ialah menahan diri dari keluh kesah ketika menjalankan ajaran Tuhan dan sewaktu menghadapi musibah. Jadi, sabar meliputi urusan duniawi dan ukhrawi. Sabar merupakan salah satu cara mendekatkan diri kepada Tuhan.

The Relation Between Mysticism and Transcendent Philosophy

            The term “transcendent philosophy” refers to the concept of al-hikmat al-muta’aliyah that was used by sufis long before Muhammad ibn Ibrahim ibn Yahya Qawami Shirazi, who is latter known as Sadr al-Din or Mulla Sadra (1571/ 1572 – 1628). Then the concept  was developed by Mulla Sadra as a school of Islamic philosophy.
            But according to Seyyed Hossein Nasr the thought of Mulla Sadra is theosophy rather than philosophy because it is not derived from discursive thought alone but is ultimately the fruit of  a vision of the divine order, and this theosophy is transcendent in the true sense of the word because it derives from the knowledge of a world that transcends the ontological status of man in this terrestrial state of existence and stands above his everyday state of consciousness.[1]

Tasawuf untuk Anak


            Ada kesan selama ini dalam masyarakat muslim bahwa tasawuf itu seolah-olah hanya menjadi keperluan orang-orang yang sudah tua, seperti orang yang menjelang dan sudah pensiun, karena mereka perlu mempersiapkan diri menghadapi kematian dan tasawuf mengajarkan hal-hal yang baik untuk dibawa mati kelak.
            Kesan seperti itu sebenarnya  kurang tepat, sebab kalau kita berpikir tentang kematian, maka kematian itu tidak mengenal umur. Banyak orang meninggal ketika masih muda atau malah remaja dan anak-anak. Kita pun kita tidak tahu kapan kita akan meninggal. Kalau kita berpikir untuk menyiapkan diri menghadapi kematian setelah berumur tua, tetapi nyatanya kita meninggal sewaktu masih muda, maka mungkin kita tidak siap menghadapi kematian, yang berarti kita akan celaka dan merugi.

Penyembuhan Spiritual


            Sewaktu saya menyampaikan bahwa Ustadz Muhammad Arifin Ilham sembuh dari tumor ganas yang menyerang otaknya mungkin karena suka berzikir karena seorang kawan yang sudah lama menderita tumor yang hanya pasif pada otaknya belum sembuh seorang guru besar filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta berkomentar: “Bubarkan fakultas kedokteran!”.
            Maksudnya kalau orang bisa sembuh dari sakit hanya dengan zikir untuk apa  lagi berobat secara medis dan fakultas kedokteran?. Tetapi dia sendiri tidak berpendapat demikian. Sebagai guru besar filsafat yang selalu berpikir rasional tidak percaya penyembuhan dengan zikir, yang biasa disebut  penyembuhan spiritual. Dia hanya percaya pada penyembuhan yang rasional, yaitu dengan medis.