Friday, August 24, 2012

Soal Korupsi Al-Quran, Menag Tuding Balik Wamenag


JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan, tak selayaknya dirinya dimintai pertanggungjawaban perkara dugaan korupsi Al Quran. Ia menunjuk Wakil Menteri Agama Nazaruddin Umar yang seharusnya dimintai informasi terkait perkara tersebut.
"Tanya (Korupsi Al Quran) sama Wakil Menteri Agama, jangan tanya sama saya. Dia yang tahu, dia yang mengatakan kalau dia yang tahu kasus itu," kata Suryadharma seusai mengikuti rapat koordinasi tentang persiapan penyelenggaraan haji tahun 2012, di Kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra), Jakarta, Selasa (14/8/2012).
Suryadharma menegaskan, ia tidak akan menanggapi sejumlah pihak yang meminta dirinya untuk bertanggungjawab atas kasus dugaan korupsi pengadaan Al Quran tersebut. Dirinya juga tidak mau menanggapi pertanyaan soal kesiapannya dipanggil oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Kalau semua pihak bicara dan saya tanggapi maka saya kan capek. Ngerti enggak dia (Wamenag). Saya tidak akan menanggapi semua tanggapan orang, begitu," tegasnya.
Sebelumnya, usai dimintai keterangan selama delapan jam oleh KPK, Nasaruddin menyatakan kepada wartawan seharusnya Menteri Agama bertanggungjawab dalam soal dugaan korupsi pengadaan Al-Quran di Kementerian Agama. Namun, esoknya, ia menyangkal mengeluarkan pernyataan tersebut.
 

Tuesday, August 7, 2012

Kabareskrim: KPK Tak Mungkin Ambil Alih Kewenangan Kasus Korlantas


JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, Komisaris Jenderal (Pol) Sutarman mengatakan bahwa KPK tak mungkin mengambil alih kewenangan kasus dugaan korupsi Simulator SIM. Hal itu mencermati isi Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"KPK punya kewenangan untuk mengambil alih yang tertuang dalam pasal 8. Tetapi pasal 8 ini syaratnya kan pasal 9, sepanjang kasus tidak ditangani, ditelantarkan dan sebagainya. Tapi, ini kita cepat tangani. Mungkin enggak diambil? Enggak mungkin," ujar Sutarman yang ditemui usai shalat tarawih di Masjid Al-Ikhlas Mabes Polri, Jakarta, Selasa (7/8/2012) malam.
Menurut Sutarman, Pasal 9 menyebutkan, pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:
  • a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
  • b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
  • c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;
  • d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
  • e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
  • f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Sutarman, hal tersebut telah dipenuhi Polri. Sehingga KPK pun tak dapat mengambil alih. Ia pun mengembalikannya pada Undang-undang Dasar nomor 8 tahun 1981 tetang Hukum Acara Pidana. Ia bersikeras tetap melanjutkan penyidikan karena tak ada satu pasal pun dalam KUHP yang menyatakan Polri harus menghentikan penyidikan.
Dikatakan Sutarman, yang diperdebatkan saat itu hanyalah Undang-undang KPK dalam pasal 50 ayat 4 yang berbunyi: "Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan."
Sutarman pun menegaskan tak dapat menghentikan penyidikan karena telah menahan para tersangkanya pada Jumat (3/8/2012). "Itu yang diperdebatkan pasal 50 ayat 4, tapi di mana saya harus menghentikan? Kalau saya sudah menahan orang, bagaimana menghentikannya? Tidak ada satu pasal pun. Pasal 109, kalau tidak cukup bukti dan sebagainya, KUHAP. Tapi ini buktinya cukup, dari mana saya bisa menghentikan? Tidak bisa," tandasnya.
Sutarman mengingatkan bahwa para pimpinan, Kapolri Jenderal Timur Pradopo dan Ketua KPK Abraham Samad telah sepakat pada pertemuan, Selasa (31/7/2012) di Mabes polri. Penyidikan yang dilanjutkan Polri pun atas dasar kesepakatan saat itu.
"Yang ditangani polisi DP (Didik Purnomo), pejabat pembuat komitmen sampai dengan ke bawah. Itu sesuai dengan komitmen pertemuan Pak Kapolri tanggal 31 Juli. Kesepakatan pimpinan itu adalah perjanjian moral, yang itu lebih tinggi dari segalanya," terang Sutarman.
Sutarman menuturkan, jika tidak juga ada kesepakatan atau tak ada titik temu, ia siap menyelesaikan di peradilan. Namun, Sutarman belum memastikan apakah kasus tersebut akan dibawa ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. "Kalau memang itu dianggap tidak sepakat ya, selesaikan di peradilan," kata dia.