Thursday, May 31, 2012


KPK siap limpahkan berkas suap proyek PON


"Saat ini, ada dua tersangka, yakni Rahmat Syahputra dan Eka Dharma Putra yang berkas perkaranya sudah dinyatakan lengkap atau P-21. Besok jadwalnya akan diserahkan ke jaksa penutut umum," kata Johan saat dihubungi dari Pekanbaru, Kamis.

Rahmat Syahputra adalah Manajer Administrasi Konsorsium proyek pembangunan Stadion Utama (main stadium) untuk pelaksanaan PON di Riau itu, senilai Rp900 miliar.

Konsorsium itu, terdiri dari tiga perusahaan badan usaha milik negara (BUMN), yakni PT Pembangunan Perumahan (PP), Wijaya Karya (Wika), dan PT Adhi Karya.

Rahmat ditetapkan sebagai tersangka setelah lebih 24 jam menjalani pemeriksaan intensif di Pekanbaru, usai tertangkap tangan tengah membawa uang tunai senilai lebih Rp900 juta yang juga disita KPK sebagai alat bukti kasus dugaan suap ini.

Sedangkan Eka Dharma Putra merupakan Kepala Seksi (Kasi) Sarana dan Prasarana pada Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Riau yang juga ditetapkan sebagai tersangka pada waktu bersamaan dengan Rahmat Syahputra.

Bersama keduanya, penyidik KPK juga menetapkan status tersangka untuk tiga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau, yakni Muhammad Faisal Aswan dari Partai Golkar, dan Muhammad Dunir dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), serta Taufan Andoso Yakin dari Partai Amanat Nasional (PAN).

Ditetapkan pula berstatus tersangka kepada mantan Kepala Dispora Riau, Lukman Abbas yang saat ini masih menjabat sebagai Staf Ahli Gubernur Riau, HM Rusli Zainal.

"Untuk saat ini, hanya dua tersangka itu (Rahmat Syahputra dan Eka Dharma Putra, Red) yang dinyatakan berkas perkaranya lengkap," kata Johan pula.

Kemungkinan adanya tersangka lainnya, Johan mengaku sejauh ini pihak penyidik masih memprosesnya, termasuk juga kelengkapan berkas perkara yang kemudian akan diserahkan ke jaksa penuntut umum (antaranews.com, 31 Mei 2012).

(KR-FZR)
Editor: Suryanto

Tuesday, May 29, 2012

Angelina Ditanya Pembahasan Proyek Kemendiknas di DPR


JAKARTA, KOMPAS.com - Tersangka Angelina Sondakh dicecar penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi seputar mekanisme pembahasan program Kementerian Pendidikan Nasional di DPR selama pemeriksaan yang berlangsung Selasa (29/5/2012). Angelina menjawab sekitar 21 pertanyaan yang diajukan penyidik KPK.
"Program yang dibuat pemerintah, Depdiknas (Kemendiknas), kemudian program itu disampaikan ke Komisi X. Komisi X membahas, dibahas lagi ke anggaran, hasil anggaran dikembalikan lagi ke Komisi X, Komisi X kemudian menyerahkan kembali ke pemerintah," kata pengacara Angelina, Nasrullah di gedung KPK, Jakarta, seusai mendampingi kliennya diperiksa.
Menurut Nasrullah, pemeriksaan kali ini tidak membahas khusus soal proyek. Angelina lebih menjelaskan ke penyidik KPK seputar mekanisme rapat-rapat di DPR yang membahas program Kemendiknas tersebut. Selebihnya, Nasrullah enggan menjelaskan.
"Tanya ke penyidik. Anda tanya saja ke penyidik karena saya tidak boleh bicarakan materi BAP (berita acara pemeriksaan)," ungkapnya.

Monday, May 28, 2012

KPK belum periksa saksi baru suap PON

Senin, 28 Mei 2012 16:04 WIB | 814 Views
Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi (ANTARA/Reno Esnir)


"Sejauh ini belum ada jadual pemeriksaan saksi baru untuk kasus dugaan suap PON Riau. Siapa-siapa saksi barunya juga belum ada informasi detailnya," kata juru bicara KPK Johan Budi kepada ANTARA hari ini.

Johan mengatakan, sejauh ini tim penyidik KPK masih terus melakukan pengembangan perkara dengan memeriksa para tersangka yang telah ditetapkan.

Para tersangka yang dimaksud Johan, yakni Muhammad Dunir dan Muhammad Faisal Aswan serta Taufan Andoso Yakin, ketiganya merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Golkar, dan Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN).

Bersama ketiga wakil rakyat itu, KPK juga menetapkan tersangka untuk Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Riau Lukman Abbas dan Kepala Seksi Sarana dan Prasarana pada Dispora Riau Eka Dharma Putra serta seorang Manajer Administrasi Konsorsium Pembangunan Stadion Utama atas nama Rahmat Syahputra.

"Sejau ini, masih enam tersangka itu yang diperiksa penyidik. Belum ada penambahan saksi baru, termasuk Gubernur Riau Rusli Zainal juga belum dijadwalkan kapan diperiksa," kata Johan.
(KR-FZR)
Editor: Ella Syafputri

Saturday, May 26, 2012

Semua Kader PD Wajib Penuhi Panggilan KPK Soal Uang ke Kongres

Jakarta Ketua Departemen Kominfo Partai Demokrat (PD) Andi Nurpati menegaskan semua elite PD wajib memenuhi panggilan KPK terkait dugaan uang negara melalui proyek Hambalang masuk ke Kongres PD. Tak terkecuali Ketua Umum PD, Anas Urbaningrum.

"PD sangat jelas d tegas, wajib hormati proses hukum. Kehadiran Andi Mallarangeng sebagai Menpora memberi keterangan sebagai saksi merupakan salah satu wujud PD menghormati proses hukum di KPK dan kader-kader lain dipanggil KPK juga wajib hadir memberi keterangan," kata Nurpati.

Hal ini disampaikan Nurpati kepada detikcom, Minggu (27/5/2012).

Menurut Nurpati, perintah Ketua Dewan Pembina PD Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sangat tegas dan jelas. Bahwa semua kader PD harus pro terhadap pemberantasan korupsi.

"Bahkan SBY memerintahkan menteri yang dipanggil agar hadiri panggilan KPK," katanya.

Meski masih berada di level penyelidikan, penelusuran kasus Hambalang mulai dikembangkan secara luas. KPK telah memanggil petinggi DPC Partai Demokrat untuk menelusuri kongres partai itu di Bandung pada 2010.

Pemanggilan kader partai terkait kasus pada proyek pemerintah tentu menarik perhatian. Pada Jumat (25/5/2012), KPK memanggil Diana Maringka mantan Ketua DPC Minahasa Tenggara dan Ismiati Saidi Ketua DPC Demokrat Boalemo Gorontalo. Dua nama itu tidak memiliki kaitan langsung dengan pembangunan proyek sport center di Hambalang, Bogor.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, penyelidik memang tengah mengkonfirmasi temuan mereka mengenai adanya dugaan aliran uang fee proyek Hambalang di Kongres Demokrat. Jika bukti tersebut nantinya cukup kuat, maka para penerima uang panas di kongres tersebut bisa dikenakan pasal pencucian uang, ketika kasus itu sudah naik ke level penyidikan.

Dikonfirmasi mengenai hal ini, Ketua KPK Abraham Samad mengatakan Diana dan Ismiati memang diperlukan keterangannya oleh penyelidik. "Jadi siapa saja yang kita butuhkan keterangannya terkait kasus Hambalang, kita akan panggil untuk diperiksa dan didengar keterangannya," ujar Abraham kepada detikcom, Jumat (25/5) malam.

Fadel Muhammad Tersangka


GORONTALO, KOMPAS.com — Kejaksaan Tinggi Gorontalo menetapkan mantan Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad sebagai tersangka kasus dana sisa lebih penggunaan anggaran APBD Provinsi Gorontalo 2001 sebesar Rp 5,4 miliar. Sampai saat ini, kejaksaan belum memutuskan waktu pemeriksaan atas Fadel.
"Penetapan ini menyusul keputusan Pengadilan Tinggi Gorontalo yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Kota Gorontalo yang memerintah melanjutkan penyidikan atas kasus penggunaan dana silpa (sisa lebih penggunaan anggaran) Provinsi Gorontalo 2001," ujar Kepala Kejaksaan Tinggi Gorontalo Siswoyo, Rabu (23/5/2012), di Gorontalo.
Siswoyo menambahkan bahwa saat ini pihaknya belum dapat menentukan kapan pemanggilan terhadap Fadel untuk diperiksa sebagai tersangka. Sejauh ini, pihaknya sudah memeriksa empat  saksi yang kesemuanya mantan anggota DPRD Provinsi Gorontalo 2001-2006.
Menurut Siswoyo, dana silpa sebanyak Rp 5,4 miliar itu  dibagi-bagikan kepada 45 anggota DPRD Provinsi Gorontalo, bukan dikembalikan ke kas daerah. Dasar pembagian uang tersebut adalah keputusan bersama antara Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad dan Ketua DPRD Provinsi Gorontalo Amir Piola Isa.
"Setidaknya, dasar pembagian dana silpa dituangkan dalam peraturan daerah. Tidak cukup hanya kesepakatan bersama antara gubernur dan ketua DPRD," ujar Siswoyo.

Friday, May 25, 2012

Kejagung Sudah Rampungkan Berkas Perkara Dhana

Jakarta Kejaksaan Agung (Kejagung) akhirnya merampungkan berkas kasus korupsi dan pencucian uang eks pegawai Ditjen Pajak Dhana Widyatmika. Menurutnya ada waktu 7 hari, bagi jaksa peneliti untuk memeriksa apakah berkas perkara sudah lengkap atau belum.

"Kasus DW mulai kemarin sudah diserahkan ke penuntut umum. Penuntut umum mempunyai waktu 7 hari untuk meneliti apakah berkas itu lengkap atau tidak. Kalau sampai 14 hari ga ada beritanya berarti sudah P21," ujar Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Andi Nirwanto di Gedung Kejagung, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Jumat (Detik.com, 25/5/2012).
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Andi Alifian Mallarangeng, membantah menerima uang Rp20 miliar terkait proyek pembangunan fasilitas olahraga di Hambalang, Bogor, Jawa Barat.

"Itu tidak benar, tidak benar," bantah Andi Mallarangeng usai menjalani pemeriksaan sebagai saksi kasus dugaan korupsi proyek Hambalang di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta, Kamis.

Andi bergegas memasuki mobil dinasnya usai menjawab singkat pertanyaan wartawan terkait dengan aliran dana sebesar Rp20 miliar tersebut.

Tudingan bahwa Menteri dari Partai Demokrat ini telah menerima dana sebesar Rp20 miliar terkait proyek Hambalang tersebut dilontarkan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.

Mantan anggota Komisi III DPR ini usai menjalani pemeriksaan di KPK, Rabu (23/5), mengatakan, aliran dana tersebut diberikan melalui adik Menpora yaitu Choel Mallarangeng.

Andi Mallarangeng tidak berkomentar saat hadir sekitar pukul 9.15 WIB untuk menjalani pemeriksaan di KPK, dan baru keluar dari pintu lobi lembaga antikorupsi sekitar 19.05 WIB.(25 Mei 2012)
JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi menggali informasi seputar aliran uang ke Kongres Partai Demokrat 2010 terkait penyelidikan proyek pembangunan pusat pelatihan olahraga Hambalang, Jawa Barat. Hal itu setidaknya menjadi sebagian materi pemeriksaan terhadap mantan Ketua Dewan Pimpinan Cabang Minahasa Tenggara Partai Demokrat, Diana Maringka.
Diana diperiksa KPK terkait penyelidikan Hambalang, Jumat (25/5/2012). "Nanti dipanggil lagi, mengenai Kongres Demokrat di Bandung," kata Diana di gedung KPK, Jakarta, Jumat, seusai diperiksa selama lebih kurang dua jam.
Diana yang pernah bersaksi dalam persidangan kasus suap wisma atlet SEA Games 2011 itu kembali mengaku dapat uang 7.000 dollar AS, Rp 100 juta, dan Rp 30 juta dalam beberapa tahap saat kongres Partai Demokrat berlangsung. Uang itu, kata Diana, terkait pemenangan Anas Urbaningrum sebagai ketua umum partai.
"Uang itu dari Pak Umar Arsal dari tim sukses Pak Anas," tambahnya.
Saat ditanya asal-usul uang yang dibagikan dalam kongres tersebut, Diana mengaku tidak tahu. Ia juga mengaku tidak tahu-menahu seputar proyek Hambalang yang nilainya mencapai Rp 1,52 triliun itu. "Enggak ditanya Hambalang, cuma soal kongres," ujarnya.
KPK yakin
Sebelumnya diberitakan, KPK yakin Anas terlibat dalam proyek pembangunan kompleks olahraga terpadu di Hambalang, Bogor, Jawa Barat. KPK masih dalam tahap menyelidiki proyek bernilai Rp 1,5 triliun yang diduga dikorupsi tersebut.
Keyakinan KPK atas keterlibatan Anas di proyek Hambalang ini diungkapkan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Menurut Bambang, KPK telah mendapatkan pengakuan dari anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Ignatius Mulyono, bahwa dia diperintah Anas ikut membereskan sertifikat tanah untuk proyek Hambalang.
"Kan, sudah ada keterangan kalau Ignatius Mulyono disuruh Anas menyelesaikan sertifikat tanah untuk Hambalang," kata Bambang, beberapa waktu lalu.
Penyelidikan kasus pembangunan pusat olahraga Hambalang ini berawal dari temuan KPK saat melakukan penggeledahan di kantor Grup Permai milik Muhammad Nazaruddin beberapa waktu lalu terkait penyidikan kasus dugaan suap wisma atlet SEA Games. Nazaruddin yang juga terdakwa kasus dugaan suap proyek wisma atlet menyebutkan adanya keterlibatan Anas dalam kasus Hambalang.
Nazaruddin mengatakan, ada aliran dana Hambalang ke Anas. Dalam Kongres Partai Demokrat di Bandung tahun lalu, kata Nazaruddin, Anas membagi-bagikan hampir 7 juta dollar AS kepada sejumlah dewan pimpinan cabang.
Uang 7 juta dollar AS tersebut berasal dari Adhi Karya selaku pelaksana proyek Hambalang. Selain itu, Nazaruddin mengungkapkan bahwa Anas membantu penyelesaian sertifikat lahan Hambalang yang sejak lama bermasalah. Berkat jasa Anas melobi Badan Pertanahan Nasional, Joyo Winoto, sertifikat lahan itu selesai diurus.
Semua tudingan Nazaruddin tersebut dibantah Anas. Ketua Umum DPP Partai Demokrat itu juga beberapa kali memastikan tidak ada politik uang dalam kongres Partai Demokrat tahun lalu tersebut.(25 Mei 2012)

Thursday, May 24, 2012

KPK: biaya politik tinggi dorong korupsi

Bandarlampung (ANTARA News) - Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi, Handoyo Sudradjat, mengingatkan biaya politik yang tinggi dalam pencalonan kepala daerah, akan mendorong pejabat melakukan korupsi.

"Ini artinya, biaya politik yang tinggi bisa memiliki potensi besar mendorong setiap calon kepala daerah yang terpilih, kemudian dipenjarakan setelah menduduki jabatannya karena melakukan korupsi untuk mengembalikan biaya politik itu," ujar Handoyo, di Bandarlampung, Kamis.

Karena itu, dia menyatakan, seharusnya para politikus dapat berpikir ulang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, jika tidak memiliki integritas yang baik.

"Sepatutnya berpikir ulang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, karena biaya pencalonan yang normal saja akan cukup mahal, dan tidak mungkin modal politik itu dapat kembali dalam hitungan lima tahun ke depan," ujar dia lagi.

Handoyo mengemukakan, bila hanya mengandalkan gaji sebagai kepala daerah yang hanya berkisar antara Rp20 juta sampai Rp60 juta, tidak mungkin bisa mengembalikan modal politik pencalonan sebelumnya.

Dia mencontohkan, pencalonan kepala daerah di Yogyakarta, untuk biaya politik secara normal bisa mencapai Rp6 miliar.

Padahal, pendapatan per bulan sekelas kepala daerah hanya berkisar Rp20 juta sampai Rp60 juta.

Artinya, kata dia, pendapatan yang diperoleh itu belum bisa menutupi biaya modal pencalonan.

"Perlu dipikir ulang sebelum mencalonkan diri, sudah dibebankan dengan biaya besar, bagaimana bisa mendedikasikan diri secara optimal jika begitu menjabat langsung dibebankan pengembalian modal politik yang mahal sebelumnya," kata dia.

Padahal Indonesia ini, menurut dia, membutuhkan pemimpin yang memiliki integritas tinggi.

Pemimpin yang mengedepankan kejujuran dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan yang diperlukan bangsa Indonesia saat ini, ujar dia lagi.

"Sampai ada sebuah wacana yang terlontar saat saya mengikuti Lemhanas beberapa waktu lalu, bangsa ini tidak akan berubah menjadi lebih baik, jika sistem perpolitikan yang demikian itu tidak segera diubah," kata Handoyo.

Di Provinsi Lampung, sudah ada dua kepala daerah yang terjerat kasus tindak pidana korupsi, dengan negara mengalami kerugian mencapai miliaran rupiah.

Kepala daerah yang terlibat kasus tersebut, di antaranya Bupati Lampung Timur nonaktif, Satono, dan mantan Bupati Lampung Tengah, Andy Achmad Sampurnajaya.

Selain Satono dan Andy Achmad, Wakil Bupati Mesuji, Ismail Ishak, juga terlibat dalam kasus menerima suap saat dirinya menjadi anggota DPRD di Kabupaten Tulangbawang.

Pasangan Khamamik dan Ismail Ishak terpaksa dilantik di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Menggala, Tulangbawang, tempat Ismail menjalani hukuman penjaranya itu, mengingat saat pelantikan, wakil bupati Mesuji itu telah menjadi terpidana.

"Ini artinya, biaya politik yang tinggi itu, bisa memiliki potensi besar setiap calon kepala daerah yang terpilih kemudian dipenjarakan karena praktik korupsi setelah menduduki jabatannya," ujar Handoyo pula.

Marak kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah tersebut, ujar dia, KPK menilai perlu sebuah sistem pengendali internal pemerintah (SPIP) untuk mengontrol perilaku atasan maupun sebaliknya, untuk meminimalkan praktik korupsi di tingkat penyelenggara pemerintahan yang berdampak pada kerugian besar bagi negara. (ANT316/B014) (Antara News, 25 Mei 2012)


Editor: B Kunto Wibisono

Wa Ode: Saya Akan Bongkar di Persidangan


JAKARTA, KOMPAS.com — Tersangka kasus dugaan suap pengalokasian Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID), Wa Ode Nurhayati, berjanji akan membongkar permainan anggaran di Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan nanti. Wa Ode segera menjalani proses persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, menyusul pelimpahan berkas pemeriksaannya ke tahap penuntutan hari ini.
"Ya, saya akan bongkar," kata Wa Ode di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Rabu (23/5/2012), seusai menandatangani berkas perkaranya untuk dilimpahkan ke tahap penuntutan.
Wa Ode diduga menerima suap Rp 6 miliar dari pengusaha Fahd A Rafiq terkait pengalokasian DPID untuk tiga kabupaten di Aceh. Fahd juga ditetapkan sebagai tersangka kasus ini. Dalam pengembangannya, KPK juga menetapkan Wa Ode sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait kepemilikan uang Rp 10 miliar dalam rekeningnya.
Menurut Wa Ode, dugaan penerimaan suap yang dituduhkan kepadanya tidaklah benar. Wa Ode mengatakan, Menteri Keuangan Agus Martowardojo dapat membuktikan kalau dirinya tidak bersalah.
"Kalau apa yang dituduhkan kepada saya, yang menjelaskan itu hanya Menkeu. Karena Menkeu tahu kapan proposal tiga daerah itu, hanya Menkeu yang tahu berapa saya minta untuk tiga daerah itu, tidak mungkin saya ujuk-ujuk menerima hadiah tanpa proses, simsalabim tahu-tahu ada daerah itu," ujar Wa Ode.
Sebelumnya, Wa Ode meminta KPK memeriksa Menkeu untuk menjadi saksi meringankan baginya. Namun, Menkeu menolak menjadi saksi untuk Wa Ode. Kuasa hukum Wa Ode, Arbab Prapoerka, mengatakan kalau pihaknya akan berupaya menghadirkan Menkeu sebagai saksi dalam persidangan Wa Ode.
Terkait kasus dugaan suap yang menjeratnya, Wa Ode pernah menuding Wakil Ketua DPR Anis Matta serta pimpinan Banggar DPR, Olly Dondokambey dan Tamsil Linrung, terlibat. Menurut Wa Ode, Anis dan dua pimpinan Banggar DPR itu menyalahi prosedur dalam menentukan daerah-daerah penerima DPID.
Wa Ode pun meminta KPK memeriksa Menteri Keuangan Agus Martowardojo sebagai saksi meringankannya. Namun, Agus menolak bersaksi untuk Wa Ode. Tudingan Wa Ode itu pun dibantah Anis, Tamsil, dan Olly.
Sementara terkait kasus pencucian uangnya, Wa Ode yang juga politikus Partai Amanat Nasional itu mengklaim kalau uang Rp 10 miliar di rekeningnya tersebut diperoleh secara mandiri, bukan hasil korupsi (Kompas, 24 Mei 2012).