Friday, October 19, 2012

Menurut JK, Kasus Novel Sama seperti Misbakhun dan Yusril


JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla alias JK menilai, apa yang dialami penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) asal institusi Polri Komisaris Novel Baswedan sama dengan yang dialami politisi M Misbakhun dan pakar hukum tata negara Yusril Izha Mahendra. Ketika memperjuangkan kebenaran, kata JK, dijerat dengan kasus yang tidak jelas.
Awalnya, JK mengatakan, penegakan hukum ketika zaman kepemimpinan Soekarno sangat jelas sesuai dengan kesalahan. Pada zaman Soeharto, kata dia, ketika berbicara di luar kontes yang diatur maka konsekuensinya bisa diculik atau dipenjara.
Sementara, zaman sekarang, tambah politisi Partai Golkar itu, semua pihak memang bebas berbicara. Namun, kata dia, perlu hati-hati lantaran tidak jelas penegakan hukumnya. Dia memberi contoh kasus letter of credit (LC) bodong Bank Century yang dituduhkan kepada Misbakhun.
"Novel tiba-tiba muncul kasus burung walet. Yusril tiba-tiba muncul peristiwa 10 tahun lalu (Sisminbakum). Tidak jelas, hanya untuk memberi pesan hati-hati ngomong," kata JK saat peluncuran buku "Melawan Takluk Perlawanan dari Penjara Century" karangan Misbakhun, di Hotel Atlet Century, Jakarta, Senin (15/10/2012).
JK menambahkan, memperjuangkan kebenaran memang tidak mudah dan selalu ada risiko yang harus dihadapi. Selain itu, membutuhkan waktu yang lama seperti pengusutan kasus bail out Bank Century.

"Saya ucapkan penghargaan kepada Misbakhun dan kawan-kawan di DPR yang gigih memperjuangkan dengan sepenuh hati tetap mengusahakan keadilan tegak," kata JK.
Seperti diberitakan, awalnya Misbakhun diputus bersalah dengan penjara selama satu tahun pada pengadilan tingkat pertama November 2010. Putusan banding Pengadilan Tinggi DKI memperberat hukuman menjadi dua tahun penjara. Di tingkat kasasi, Misbakhun juga dinyatakan bersalah.
Mahkamah Agung lalu mengabulkan seluruhnya permohonan peninjauan kembali yang diajukan Misbakhun. Putusan PK menyebutkan Misbakhun bebas dari segala dakwaan. Selain itu, majelis hakim juga memutuskan agar harkat dan martabat Misbakhun dipulihkan.
Yusril sempat dijerat kasus korupsi biaya akses dan biaya penerimaan negara bukan pajak dalam Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) . Kejaksaan Agung lalu menghentikan penyidikan kasus itu setelah tak cukup bukti untuk membawa ke pengadian.
Adapun Novel dituduh melakukan penganiayaan berat terhadap enam orang pencuri sarang burung walet tahun 2004 . Ketika itu, Novel menjabat sebagai Kepala Satuan Reserse Kriminal Polda Bengkulu. Penyidikan perkara itu dihentikan sementara waktu pascapidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
 

Sunday, October 7, 2012

Kurikulum Harus Memuat Semangat Antikorupsi


JAKARTA, KOMPAS.com Friksi yang terjadi antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri seakan menjadi momentum semakin gencarnya kampanye gerakan antikorupsi. Banyak pihak yang menyatakan "perang" terhadap korupsi dengan cara mendukung KPK untuk mengusut tuntas semua kasus korupsi.

Retno Listyarti, Ketua Ketua Ikatan Guru Civic Indonesia (IGCI), mengatakan, perlu adanya semangat antikorupsi dalam kurikulum pendidikan nasional. Pendidikan antikorupsi, menurutnya, penting dan harus disampaikan kepada siswa dengan cara yang lebih kreatif.

"Ada dua hal yang belum dimuat kurikulum, semangat multikultural dan antikorupsi. Bukan sekadar hafalan, melainkan sajikan dengan cara tematik dan perluas ruang diskusi," kata Retno saat ditemui Kompas.com di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Minggu (7/10/2012).

Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) ini juga mengimbau sekolah mulai membuat gerakan siswa untuk mendukung KPK melawan korupsi. Baginya, tak ada alasan sekolah untuk melarang lahirnya gerakan seperti itu karena akan memberi dampak positif untuk nalar dan pembentukan sikap peserta didik.

"Jangan kaget kalau ada gerakan murid mendukung KPK memberantas korupsi, dan sekolah tak boleh melarang. Anak SMA bisa diberikan materi yang lebih khusus, tapi anak-anak di SD cukup diberikan asupan untuk melatih kejujuran," katanya.

Sebelumnya, Retno bersama puluhan anggota FSGI ikut bergabung dalam barisan yang menyerukan dukungan pada KPK. Alasannya, pendidikan yang berkeadilan dan berkualitas tak akan terwujud jika pemberantasan korupsi belum selesai dilakukan.

Monday, October 1, 2012

Ini 15 Provinsi dengan Potensi Kerugian Negara Terbesar


JAKARTA, KOMPAS.com - Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) semester II Tahun 2011 ditemukan sebanyak 9.703 kasus dalam penggunaan anggaran di 33 provinsi. Koordinator Advokasi dan Investigasi Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Uchok Sky Khadafi, Senin (1/10/2012), mengatakan, potensi kerugian negara dalam seluruh kasus itu mencapai Rp 4,1 triliun.

"Temuan BPK memperlihatkan manajemen pengelolaan keuangaan pemerintah provinsi cenderung korup," kata Uchok.

Merujuk pada laporan BPK tersebut, berikut daftar 15 provinsi dengan potensi kerugian negara terbesar :

1. DKI Jakarta dengan nilai potensi kerugian negara Rp 721 ,5 miliar (715 kasus)
2. Aceh dengan nilai potensi kerugian negara Rp 669 ,8 miliar (629 kasus)
3. Sumatera Utara sebesar Rp 515 ,5 miliar ( 334 kasus)
4. Papua sebesar Rp 476 ,9 miliar (281 kasus)
5. Kalimantan Barat sebesar Rp 289 ,8 miliar (334 kasus)
6. Papua Barat sebesar Rp 169 miliar (514 kasus)
7. Sulawesi Selatan sebesar Rp 157 ,7 miliar (589 kasus)
8. Sulawesi Tenggara sebesar Rp 139 ,9 miliar (513 kasus)
9. Riau sebesar Rp 125 ,2 miliar (348 kasus)
10. Bengkulu sebesar Rp 123 ,9 miliar (257 kasus)
11. Maluku Utara sebesar Rp 114 ,2 miliar (732 buah)
12. Kalimantan Timur sebesar Rp 80,1 miliar (244 kasus)
13. Sumatera Selatan sebesar Rp 56,4 miliar (239 kasus)
14. Nusa Tenggara Barat sebesar Rp 52, 825 miliar (307 kasus)
15. Sulawesi Tengah sebesar Rp 52, 823 miliar (294 kasus)
Khusus di Jakarta, Uchok mengatakan, pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama harus membersihkan birokrat korup di lingkungan Pemprov DKI dalam program kerja 100 harinya. Jika ditemukan ada indikasi korupsi, sebaiknya diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Kalau Jokowi-Basuki tidak melakukan membersihkan atas birokrat, yang terjadi adalah gelombang badai yang akan menyapu kepercayaan masyarakat," kata Uchok.