Friday, November 16, 2012

Tiga atau Empat Kementerian yang Dituding Kongkalikong?


JAKARTA, KOMPAS.com — Sekretaris Kabinet Dipo Alam menjawab tantangan anggota DPR yang memintanya melaporkan ke penegak hukum terkait tudingan adanya kongkalikong Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di Kementerian dengan DPR. Pada Rabu (14/11/2012), Dipo melaporkan kementerian yang menurutnya melakukan praktik kongkalikong ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia tak merinci kementerian mana saja yang dilaporkannya. Dipo hanya menyebut ada tiga kementerian.

Meskipun demikian, kata Dipo, potensi penyelewengan di tiga kementerian itu tak selalu menimbulkan kerugian negara. "Pencegahan lebih baik daripada bila sudah terjadi kerugian negara. Momentumnya saya kira cukup bagus sekarang,” ujarnya, seusai memasukkan laporan ke KPK, Rabu lalu. 
Ia menegaskan, laporan yang dibuatnya bukanlah fitnah. Ada bukti-bukti yang telah dikantongi. Bukti-bukti itu didapatkan dari para pegawai negeri sipil (PNS) yang mengetahui praktik tersebut.
Setelah mendapat laporan dari para PNS, menurutnya, Seskab mempelajarinya dan mengecek kembali kepada si pelapor. “Kami himpun semua, kami cross check dengan pejabatnya, dengan menterinya, karena Seskab bukan penegak hukum, dan ada keinginan PNS yang dimaksud juga masyarakat bahwa ini diserahkan kepada KPK,” kata Dipo.

Lalu, kementerian mana saja yang dilaporkannya? Berdasarkan penelusuran Kompas, tiga kementerian yang dilaporkan Dipo adalah Kementerian Pertanian, Kementerian Pertahanan, dan Kementerian Perdagangan. Sementara anggota DPR yang diduga ikut terlibat kongkalikong anggaran adalah anggota komisi yang bermitra dengan ketiga kementerian tersebut.

Sementara itu, Tribun mendapatkan informasi yang berbeda. Menurut informasi dari seorang sumber, ada empat kementerian dan satu proyek yang dilaporkan Dipo ke KPK. Empat kementerian itu adalah Kementerian Pertanian, Kementerian Pertahanan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT).

Kementerian Pertanian dilaporkan terkait dugaan anggaran promosi jabatan di beberapa eselon. "Kalau Kementerian Pertahanan, itu terkait dana optimalisasi kementeriannya," kata sumber resmi, seperti dikutip Tribun, Jumat (16/11/2012).

Sementara itu, di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif terkait dana MICE. Sedangkan di Kementerian PDT terkait dana tambahan program instansinya.

"Selain laporan empat kementerian itu, Dipo juga melaporkan soal dugaan korupsi proyek PLTU di Kaltim (Kalimantan Timur) dan PLTU di Sumsel (Sumatera Selatan)," ujar sumber tersebut.

Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, KPK akan menelaah laporan soal praktik kongkalikong di tiga kementerian yang disampaikan Sekretaris Kabinet Dipo Alam. Laporan itu akan diuji kebenarannya terlebih dahulu.

Saturday, November 10, 2012

Si Tukang Peras Anggaran ...

Oleh: Hifdzil Alim
DPR sekali lagi digoyang isu tak sedap. Ada anggotanya yang diduga sebagai oknum pemeras badan usaha milik negara.
Awalnya, Sekretaris Kabinet Dipo Alam menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-542/Seskab/ IX/2012 perihal Pengawalan APBN 2013-2014 dengan Mencegah Praktik Kongkalikong. Hal yang sangat jelas menginginkan dihentikannya praktik persekongkolan dalam pembahasan dan pengelolaan uang negara.
Tak lama berselang, Menteri BUMN Dahlan Iskan menyerukan agar direksi BUMN tidak ”main mata” dengan anggota DPR. Seperti efek domino, setelah surat edaran Seskab serta seruan Menteri BUMN, inisial nama politisi Senayan yang disangka sering memeras BUMN beredar melalui pesan berantai.
Beberapa anggota DPR yang kebetulan berinisial nama sama dengan isi SMS berantai itu kebakaran jenggot. Mereka meminta Dahlan Iskan menjelaskan dengan terang siapa si pemilik inisial. Badan Kehormatan DPR juga berencana memanggil Menteri BUMN terkait desas-desus si anggota dewan pemeras.
Sebetulnya tak sulit meramal maujudnya tukang peras dari Senayan, khususnya dalam pembahasan anggaran. Mereka eksis. Kasus korupsi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPID) mungkin bisa menjelaskan kehadiran si tukang peras. Juga bisa mengiaskan bagaimana pemerasan berlangsung.
Salah satu hasil pemeriksaan KPK menyebut ada simbol dan warna tertentu dalam pembahasan anggaran untuk pengembangan daerah. Partai politik yang disebut dalam inisial, minus Partai Gerindra, semua masuk dalam simbol dan warna pembahasan anggaran DPID. Wa Ode Nurhayati, terdakwa yang sudah dihukum dalam kasus itu, seperti mengonfirmasi simbol dan warna dimaksud. Dia menyatakan dalam eksepsinya, semua daerah calon penerima dana sudah ditentukan besaran potongannya.
Namun, menyangka oknum si tukang peras hanya ada di DPR sepertinya tak adil. Pemerintah patut dicurigai pula. Pembahasan anggaran dilakukan oleh dua pihak, DPR dan pemerintah.
Pemerasan terjadi kemungkinan karena tiga hal. Pertama, syahwat korup lembaga perwakilan membuncah setiap dimulai bahasan soal duit.
Kedua, pemerintah sendiri yang menyediakan diri, membuka jalur korupsi. Kalau benar-benar dari dulu diperas, kenapa tidak memboikot?
Ketiga, DPR dan pemerintah sama korupnya. Korupsi dihasilkan dari pertukaran mandat antara pemegang politik dan pemegang kekuasaan administratif. Kekuasaan dan pengaruh mereka diturunkan dalam kebijakan yang sewenang-wenang dan merugikan (John Girling, Corruption, Capitalism, and Democracy).
Katakanlah info yang sedang beredar adalah perilaku korup para anggota dewan, tetapi juga tak boleh dilupakan pemerintah juga kerap berkorupsi. Bahkan, menyediakan diri agar disuap. Kasus korupsi suap pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang bisa jadi tamsilnya.
Langkah pembersihan
Artinya, kalau mau membersihkan kotoran korupsi, mengusir si tukang peras anggaran, DPR dan pemerintah, harus segera dibersihkan.
Langkah pertama, Menteri BUMN Dahlan Iskan dalam waktu dekat harus menjelaskan kepada publik siapa si empunya inisial itu. Kalaupun tidak, memberikan keterangan ke penegak hukum adalah seminimal-minimalnya penjelasan. Namun, agaknya pilihan untuk menjelaskan kepada masyarakat lebih cocok diambil mengingat keterangan itu akan jadi pertimbangan bagi rakyat untuk tidak salah pilih di pemilihan umum. Sekaligus sebagai vonis politik bagi partai nakal pelindung si tukang peras.
Kemudian, DPR dan partai politik tidak boleh tutup mata. Jika nama terang sudah muncul, sanksi tegas harus diambil. Memberhentikan sementara merupakan cara konkret untuk memudahkan pemeriksaan. Pengalaman pemberhentian Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan anggota DPR lain yang lambat merupakan contoh buruk tidak tegasnya sikap pimpinan DPR ataupun petinggi partai politik.
AF Pollard menyinggung sejarah lembaga perwakilan dalam karyanya, The Evolution of Parliament (1926). Bahwa, lembaga perwakilan bisa menjadi the preventive of revolution as well as the promoter of reform. Ini saat yang tepat bagi DPR menunjukkan sejatinya lembaga perwakilan, jadi inisiator perubahan republik ke arah lebih baik. Jika senoktah noda anggota bermasalah tak dibersihkan, tak diberi sanksi, DPR akan cenderung mengarah ke institusi gagal.
Sikap tegas DPR dan partai politik mesti diimbangi dengan sikap pemerintah. Presiden juga perlu terus konsisten mendorong pemberantasan korupsi di internal pemerintah. Dalam hal ini, relevan membicarakan pengubahan surat edaran Sekretaris Kabinet dengan meningkatkannya menjadi peraturan pemerintah. Setidaknya, baju hukum peraturan pemerintah akan memiliki kekuatan hukum lebih dari sekadar surat edaran.
Terakhir, sapu koruptor ada di tangan penegak hukum. Institusi hukum pemberantas korupsi tidak boleh terjebak dalam intervensi kekuasaan politik. Begitu pula sebaliknya, kekuasaan politik tidak boleh mengobok-obok kinerja institusi hukum. Termasuk pada bagian ini, koordinasi antarpenegak hukum dan menghindari cekcok antarpenegak hukum menjadi ”rukun iman” pemberantasan korupsi.
Hifdzil Alim Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM

Saturday, November 3, 2012

Pergeseran Konflik Sosial Keagamaan di Indonesia

Pergeseran Konflik Sosial Keagamaan di Indonesia

Oleh Sudirman Tebba

            Sejak era reformasi yang ditandai dengan tumbangnya rezim Orde Baru perkembangan bangsa ini sering diganggu oleh konflik sosial yang bernuansa keagamaan, seperti konflik antara kelompok Islam dengan kelompok Kristen di Maluku pada tahun 1999 sampai beberapa tahun sesudahnya. Juga konflik yang juga melibatkan kelompok Islam dengan kelompok Kristen di Poso Sulawesi Tengah dan konflik orang-orang Madura dengan orang-orang Dayak di Sampit dan Palangkaraya Kalimantan Tengah pada tahun-tahun yang sama.
            Konflik orang-orang Madura dengan orang-orang Dayak juga bernuasa keagamaan, karena kedua kelompok sosial itu menganut agama yang berbeda. Konflik antara dua kelompok sosial ini diduga merupakan kelanjutan dari konflik sosial serupa yang terjadi sebelumnya di Sambas di Kalimantan Barat.
            Konflik sosial di Maluku juga sempat meluas. Konflik sosial yang terjadi pada tahun-tahun itu di Kupang Nusa Tenggara Timur dan di Mataram Nusa Tenggara Barat diduga merupakan pengaruh konflik sosial yang terjadi di Maluku.
            Sebelum terjadi konflik sosial keagamaan di daerah-daerah itu timbul konflik sosial yang antara lain bersifat rasial anti Cina dan antargolongan, yaitu antara golongan sosial yang mampu dengan  golongan yang tidak mampu pada bulan Mei 1998 di berbagai daerah, terutama Jakarta. Peristiwa ini ikut mengantarkan tumbangnya rezim Orde Baru, yang ditandai dengan pengunduran diri Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998.
            Tetapi konflik sosial yang bernuasa rasial dan antar golongan itu hanya berlangsung   sebentar, sedangkan konflik sosial keagamaan terjadi berlarut-larut sampai beberapa tahun. Bahkan sampai sekarang konflik sosial keagamaan di Maluku kadang-kadang masih terjadi secara sporadis apabila ada pemicunya. Itu berarti bahwa sumber konflik sosial di daerah tersebut belum habis sama sekali.
Itu mungkin karena konflik sosial itu telah menimbulkan rasa dendam yang mendalam antara kedua kelompok, karena mereka kehilangan orang-orang yang dicintai, sehingga tidak mudah dihilangkan. Juga konflik sosial itu bernuansa keagamaan yang sempat menanamkan rasa emosi  yang bercampur dengan semangat keagamaan yang bisa saja melekat seumur hidup. Tetapi agama sendiri  sebenarnya tidak mengajarkan para penganutnya untuk memusuhi orang atau kelompok yang beragama lain.
Karena itu, kalau terjadi konflik sosial yang bernuansa keagamaan harus dicari sebab-sebabnya yang berada  di luar persoalan agama, seperti kepentingan ekonomi dan politik. Pertentangan kepentingan ekonomi dan politik, baik pada tingkat elit maupun massa, dapat dibawa kepada pertentangan agama, terutama kalau orang atau  kelompok yang berbeda kepentingan juga kebetulan agamanya berbeda.
Hal itu dapat dilihat pada beberapa ciri yang menandai  kelompok sosial keagamaan yang terjadi selama ini di seluruh Indonesia. Di antaranya ialah bahwa konflik sosial itu berlangsung dengan cara mengusir para warga pendatang, seperti terusirnya orang-orang suku Buton, Bugis dan Makassar dari  Maluku dan Kupang Nusa Tenggara Timur, dan juga tersusirnya orang-orang Madura dari Kalimantan pada tahun-tahun yang disebut tadi.
            Orang-orang Buton, Bugir dan Makassar telah hidup turun temurun di daerah-daerah itu. Mereka menguasai sektor perdagangan. Keadaan itu menyaingi atau mungkin mengurangi kesempatan usaha penduduk asli di daerah-daerah yang bersangkutan. Untuk mengembangkan usaha dengan cara yang gampang bagi penduduk asli adalah mengusir warga pendatang dari daerah-daerah tadi. Inilah kemudian yang memicu konflik sosial.
Jadi, sumber konflik sosial yang sebenarnya adalah perebutan sumber ekonomi. Tetapi perebutan sumber ekonomi ini tidak hanya antara penduduk asli dengan warga pendatang. Perebutan itu juga terjadi antara sesama penduduk asli yang berbeda agama.
Ciri lain yang menandai konflik sosial adalah bahwa konflik itu kadang-kadang juga dipicu oleh perebutan jabatan dalam lembaga pemerintahan, seperti yang terjadi di Maluku. Konflik ini semula terjadi setelah sejumlah pejabat  yang beragama Kristen digeser dan diganti dengan pejabat yang beragama Islam dalam lingkungan pemerintah daerah setempat. Itu juga yang terjadi sebelum orang-orang Madura diusir dari Kalimantan, yaitu ada dua pejabat orang Dayak di Pemda Sampit digeser dan diganti dengan orang Madura.
Perebutan jabatan pemerintahan di daerah-daerah tampaknya ada kaitannya dengan pelaksanaan Undang-undang Otonomi Daerah (UU No: 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah) yang memberi wewenang bagi tiap daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Akibatnya kelompok-kelompok sosial yang berbeda kepentingan berusaha merebut wewenang yang ditinggalkan oleh pemerintah pusat.
Dalam perebutan jabatan itu ada kelompok yang kalah dan ada kelompok yang menang. Pihak yang kalah, terutama kalau agamanya berbeda dengan kelompok yang menang, dapat membawa masalahnya ke tengah masyarakat luas dan menunjukkannya sebagai pertentangan agama. Akibatnya orang-orang yang tidak mempunyai kepentingan dengan jabatan dalam pemerintahan ikut terseret  dalam konflik sosial, dan konflik ini bertambah luas setelah pihak yang kalah mengerahkan massa, yang lalu dilawan oleh massa yang lain.
Pengerahan massa merupakan ciri berikutnya yang menandai konflik sosial selama ini. Dalam setiap konflik sosial massa dari kelompok tertentu menyerang massa dari kelompok yang lain, sehingga kemudian menimbulkan korban yang cukup besar, baik jiwa maupun harta  benda. Seperti pernyataan seorang rohaniwan Katolik bahwa dua pertiga korban jiwa dan harta benda di Maluku dan Poso adalah umat Islam. Tidak disebut alasannya, tetapi kita tahu bahwa konflik itu dimulai ketika kelompok Kristen menyerang kelompok Islam, dan umat Islam dalam keadaan tidak siap, karena mereka tidak mengira serangan itu akan terjadi menimpa mereka.
Dengan pengarahan massa  itu berarti ada orang-orang yang menghasut, yang kemudian disebut provokator. Provokator ada yang berada di daerah dan ada pula yang berada di tempat lain, terutama Jakarta. Mereka bekerja sama untuk mencapai tujuan yang mungkin saja tidak sama. Provokator d daerah bertujuan untuk merebut sumber ekonomi atau jabatan pemerintahan dari tangan kelompok yang sedang berkuasa. Sedang provokator di Jakarta boleh jadi hanya sekedar ingin menimbulkan kekacauan untuk mengganggu pemerintah yang sah.
Adanya provokator di Jakarta diindikasikan oleh meluasnya konflik atau munculnya konflik baru kalau ada pernyataan pemerintah yang hendak meredam konflik sosial. Misalnya konflik sosial di Mataram NTB terjadi setelah Abdurrahman Wahid, saat itu Presiden RI menyatakan niatnya menindak tegas tangan-tangan jahat yang terus menerus mendorong konflik sosial di Maluku.
Adanya provokator  di Jakarta menyebabkan sulit untuk menebak daerah-daerah mana lagi yang akan dilanda konflik. Konflik di Mataram merupakan contoh dalam hal ini, tidak ada orang yang dapat menduga bahwa akan terjadi konflik di daerah itu. Karenanya, kalau konflik Mataram dikatakan sebagai solidaritas umat Islam Mataram terhadap golongan Islam yang bertikai dengan kelompok Kristen di Maluku, boleh jadi itu hanya solidaritas yang diciptakan, bukan solidaritas yang sesungguhnya.
Kalau konflik itu merupakan solidaritas yang ril seharusnya terjadinya tidak di Mataram, tetapi di daerah-daerah yang didiami oleh kelompok-kelompok suku yang diusir dari Maluku, yaitu Buton Sulawesi Tenggara, Bugis dan Makassar Sulawesi Selatan. Tetapi konflik itu justru tidak terjadi di kedua provinsi itu. Malah waktu itu muncul isu bahwa konflik berikutnya akan mengguncang Jakarta. Ini berarti bahwa peran provokator dalam konflik sosial sangat besar, bukan hanya konflik sosial di Maluku waktu itu, tetapi konflik sosial yang terjadi di mana saja di seluruh Indonesia sampai hari ini.
Provokator ada kesamaannya dengan teroris, yakni sama-sama menimbulkan gangguan keamanan  dan ketertiban masyarakat. Tetapi bedanya provokator menghasut orang-orang atau massa untuk melakukan konflik atau kerusuhan, sedang teroris melakukan sendiri tindakan brutalnya. Kelompok teroris ada di banyak negara, termasuk negara maju. Biasanya mereka melakukan tindakan brutal untuk menekan pemerintah dalam mewujudkan keinginannya.
Provokator juga mempunyai tujuan seperti itu. Hanya saja provokator bisa menimbulkan korban yang lebih besar, karena satu kelompok massa diadu dengan kelompok massa yang lain atau rakyat diadu dengan aparat keamanan. Tetapi provokator hanya berhasil mencapai  tujuannya kalau masyarakat yang menjadi kelompok sasarannya masih mengalami ketidak-adilan ekonomi dan politik.
Karena itu, untuk mencegah merajalelanya provokator membuat kerusuhan di mana-mana, selain aparat keamanan meningkatkan  penjagaan keamanan di daerah-daerah yang rawan, pemerintah juga seharusnya segera menata kembali kehidupan sosial politik dan ekonomi yang lebih adil dan demokratis sampai tingkat yang paling bawah.
Selama masyarakat atau rakyat umumnya masih merasakan  praktek ekonomi dan politik yang tidak adil, maka provokator akan mendapat tempat yang nyaman untuk melakukan aksinya, sehingga konflik sosial akan terjadi di mana-mana. Karena itu, kita selayaknya tidak terpancing oleh isu sosial keagamaan yang dibawa oleh provokator, tetapi  ulah provokator sebaiknya dijadikan cermin oleh pemerintah bahwa rakyat umumnya masih mengalami ketidak-adilan  ekonomi dan politik  yang harus segera ditangani untuk menciptakan Indonesia baru yang lebih baik di masa depan.

                                                                                           Pola Konflik Sosial Bergeser          
     Konflik sosial keagamaan itu sudah berbeda dibanding dengan konflik sosial yang terjadi pada abad yang abad-abad yang lalu. Di antara perbedaannya ialah bahwa konflik sosial yang terjadi pada abad-abad yang lalu selalu mempunyai mempunyai pemimpin. Sedang konflik sosial sekarang tidak mempunyai pemimpin, atau mungkin mempunyai pemimpin, tetapi tidak dikenal atau tidak menonjol. Misalnya dalam konflik Maluku dan Poso kelompok Islam tidak dikenal pemimpinnya.
Pernah ada kelompok yang menamakan diri Laskar Jihad pemimpinnya bernama Jaffar Umar Thalib anggotanya dari berbagai daerah dan bergabung lalu pergi ke Maluku dan Poso, tetapi niatnya tidak memerangi kelompok Kristen di kedua daerah itu. Mereka hanya mendesak kelompok Kristen agar tidak mengganggu kelompok Islam dan setelah tampaknya mereka tidak menganggu lagi para anggota Laskar Jihad keluar dari dua daerah itu, kemudian membubarkan diri.
Sedang kelompok sosial yang terjadi pada abad-abad yang lalu di Jawa, seperti terlihat dalam penelitian Sartono Kartodirdjo, selalu mempunyai pemimpin dan kadang  ada pemimpinnya mengaku mendapat wahyu.   Misalnya kasus Tambakmerang yang terjadi pada tahun 1935 pemimpinnya bernama Wirasenjaya mengaku menerima wahyu setelah melakukan puasa selama 40  hari. Setelah  menerima wahyu dia menyebarkan ajaranya, lalu menjalankan peranan sebagai mesias yang sedikit banyak diberikan oleh para pengikutnya.
Kemudian peristiwa Srandakan yang terjadi pada tahun 1924 pemimpinnya bernama Kramaseja mengaku sebagai penjelmaan ratu adil. Sedangkan dalam peristiwaTegalreja pada tahun 1889 pemimpinnya bernama Dulmajid bertindak selaku pendahulu ratu adil yang peranan akan dilakukan oleh Pangeran Suryangalaga dari Yogyakarta.
Peristiwa yang lain ialah Nanggulan yang terjadi pada tahun 1878, di mana Sukadrana memainkan peranan sebagai ratu adil. Kemudian juga Nyi Aciah dari Malangbong berfungsi sebagai pusat gerakan yang bersifat simbolis. Dia menjalankan peranan yang diberikan kepadanya oleh para pengikutnya. Kepemimpinan Nyi Aciah sebenarnya tidak penting dan pengangkatannya untuk menempati kedudukan semacam itu tampaknya bersifat kebetulan.
Sudah diketahui oleh umum bahwa dalam alam kebudayaan Jawa harapan-harapan millenarian yang tersembunyi sangat mendorong ke arah munculnya tokoh-tokoh profetik. Mereka itu kebanyakan adalah orang-orang yang terkenal sebagai guru ilmu, kiai atau orang suci yang pada umumnya memiliki daya kharisma. Para elit keagamaan ini dapat menjelaskan dengan kata-kata harapan-harapan rakyat biasa, karena mereka kebanyakan merupakan pewaris dari tradisi lisan atau tertulis.
Tetapi jarang terjadi bahwa dalam perkembangan gerakan pemimpin-pemimpin ini menyusun sebuah tubuh ajaran yang positif. Apa yang sebenarnya mereka lakukan adalah mengajukan teknik agama untuk mempercepat datangnya millennium, seperti mengadakan selamatan, upacara agama mistik lainnya, membagi-bagikan jimat, mengerjakan puasa, dan semacamnya.
Kekuatan gaib para pemimpin agama ini terutama didasarkan pada pembawaan kharisma yang mereka miliki, yang idenya pada umumnya ada dalam masyarakat Indonesia, dan secara umum disebut sebagai keramat, wahyu atau sakti. Pembawaan ini membuat orang-orang yang dikaruniai dengan itu diliputi oleh alam kesucian. Sudah menjadi anggapan umum bahwa pimpinan yang berkharisma merupakan bahaya laten bagi para pejabat dalam kekuasaan, karena kekuatan charisma bersifat revolusioner. Tak dapat disangsikan bahwa hal ini berlaku dalam masyarakat tradisional dan orang dapat menyebutkan contoh-contoh di mana para pemimpin keagamaan merupakan tantangan bagi kekuasaan raja.
Dengan meningkatnya dampak kekuasaan asing dalam zaman kolonial ada kecenderungan bahwa gerakan-gerakan keagamaan digunakan sebagai jubah bagi oposisi politik. Kecenderungan-kecenderungan mendasar lainnya dari gerakan-gerakan keagamaan ini adalah mendorong gerakan-gerakan ini untuk mengembangkan orientasi politik yang lebih ekstrem dan muncul sebagai  gerakan politik yang radikal.
Ciri berikutnya yang menandai konflik sosial keagamaan yang membedakan dulu dengan sekarang adalah bahwa konflik dulu mengandung penolakan terhadap kondisi sosial yang ada dan harapan akan datangnya millennium. Sedang konflik sosial keagamaan sekarang mengandung kepentingan ekonomi dan politik bagi kelompok-kelompok yang bertikai.
Selain hidupnya kembali nilai-nilai tradisonal millennium biasanya mengidamkan suatu masyarakat yang ideal dan meromantiskan zaman yang akan datang sebagai zaman keemasan. Dunia yang diidamkan itu digambarkan sebagai berikut: “Jika zamannya nanti tak akan ada lagi pertentangan, ketidak-adilan dan penderitaan, rakyat akan bebas dari pembayaran pajak yang memberatkan dan dari wajib menjalankan kerja baikti. Tak akan ada penyakit dan pencuri, sandang pangan akan melimpah, setiap orang memiliki rumah, orang akan hidup tenteram dan damai”.
Dari alam kebudayaan Jawa ternyata bahwa unsur-unsur millennium sudah ada sebelum adanya dampak dari Barat, mitos-mitos Hindu –Jawa dan kepercayaan Erucakra rasanya dapat menunjukkan bahwa harapan-harapan tentang millennium itu sejak dulu telah ada. Masa kekuasaan Erucakra dihubungkan dengan millennium. Para pemimpin dari gerakan-gerakan millenaristis atau gerakan-gerakan politik yang memiliki nada-nada millennium memakai nama Erucakra.
Gerakan-gerakan semacam itu dengan cepat membuat para pejabat yang gelisah untuk memukul mereka. Pandangan millenarian itu menimbulkan rasa dorongan yang mendesak dalam gerakan dan pandangan itu menceburkan gerakan ke dalam kegiatan memberontak, dan selama berlangsungnya kegiatan ini, sebagaimana kadang-kadang terjadi, orang mencari perlindungan fisik dari kejadian-kejadian yang merupakan bencana besar yang dianggap mendahului terjadinya millennium.
Sebagai contoh dalam peristiwa Bekasi pada tahun 1869 Bapa Rama berbicara tentang kegelapan penuh, Amat Ngisa dari Karangkobra pada tahun 1871 mengharapkan datangnya ratu adil dengan pasukannya yang berupa setan-setan yang akan  menyebarkan wabah, dan Wirasenjaya dari Tambakmerang pada tahun 1935 mengharapkan akan datangnya banjir besar.
Bencana-bencana alam  di kemudian hari  dalam ramalan ini dianggap sebagai akan terjadi dalam waktu dekat dan orang hidup tegang mengharapkannya serta bersiap-siap untuk itu. Sesungguhnya bayangan-bayangan semacam itu mempunyai potensi revolusioner yang besar.
Selain  itu ramalan-ramalan tentang millennium sering berisi pula dengan unsur-unsur mengenai perubahan-perubahan yang telah terjadi sebagai akibat masuknya kekuasaan Barat, seperti rasa permusuhan antara sesama bangsa, berubahnya orang-orang Islam menjadi kafir, terpengaruhnya pejabat-pejabat keagamaan oleh orang-orang yang tak beriman, hilangnya rasa hormat kepada raja di mata rakyat biasa. Perubahan-perubahan ini dikatakan sebagai sumber dari gangguan-gangguan sosial. Tak mengherankan apabila orang membayangkan kembalinya masa lampau yang indah yang dipercepat oleh gerakan.
Dengan demikian, ideologi millennium mengandung unsur-unsur keakhiratan yang merupakan faktor yang mempercepat gerakan millenarian. Peralihan dari situasi  yang ada ke millennium dibayangkan berlangsung secara radikal dan revolusioner. Orang-orang yang percaya dan mengharapkan dapat selamat dari bencana alam dianjurkan agar mematuhi petunjuk-petunjuk pemimpin dalam melakukan kegiatan pemberontak. Di sini kita berjumpa dengan unsur pokok dalam gerakan millenarian, yaitu munculnya Mesias atau utusannya.
Peristiwa-peristiwa yang diuraikan di atas menunjukkan unsur messianic millenarianism Jawa. Misalnya dalam pergolakan-pergolakan sosial di Jawa Tengah dan Jawa Timur ide  tentang Mesias menyilangi gerakan keagamaan secara berulang-ulang, mengikuti pola benang yang melintang menyilangi benang yang membujur dalam mesin tenun. Mitos tentang juru selamat di Jawa dihubungkan dengan munculnya ratu adil, yang juga dinamakan Erucakra. Dalam kekuasaan ratu adil keadilan akan ditegakkan di kalangan rakyat. Mereka akan bebas dari kejahatan, musuh, penyakit dan wabah. Mitos juru selamat itu misalnya ialah kebangkitan Raja Tanjung Putih akan terjadi dalam tahun 1800, sedangkan Erucakra akan berkuasa di Katangga pada tahun 1900.
Jika kita melihat kmbali ke masa  dua abad yang lalu kita dapatkan bahwa sejumlah pemimpin gerakan pemberontak menggunakan nama  Erucakra. Ini menunjukkan bahwa mereka menganggap diri mereka sebagai juru selamat. Kasus tertua yang tercatat adalah yang bersangkutan dengan Pangeran Diponegoro, yang mengambil  nama Erucakra ketika dia memberontak melawan kekuasaan Sultan Mataram, Amangkurat IV, kira-kira tahun 1720. Pangeran pemberontak yang termasyhur, Pangeran Diponegoro yang lain kira-kira seabad kemudian mempunyai gelar Erucakra. Menurut otobiografinya dia mengaku telah menerima wahyunya dari ratu adil sendiri, yang menyuruhnya mengusir penguasa asing.
Pada tahun 1888 seseorang bernama Jasmani dari Blitar yang dikatakan akan dinobatkan menjadi sultan akan menggunakan nama Sunan Erucakra. Walaupun bahan-bahan dokumentasi masih terpisah-pisah tidak sulit menemukan contoh-contoh tentang ratu adilisme. Selain kasus-kasus di atas kita dapat menyebut lagi kasus-kasus lain, seperti peristiwa Mangkiwijaya pada tahun 1865, peristiwa Imamsujana pada tahun 1886, gerakan Malangyudam, kasus Pulung, kasus Srikaton, kasus Jalegong pada tahun 1904, gerakan Imam Buntaran pada 1907.
Kemudian tradisi mesianistis dalam Islam telah merembes dalam mellanarisme Jawa dan Mahdiisme dapat dilihat dalam beberepa aliran gerakan keagamaan di Jawa. Abad ke-19 dan ke-20 memberikan beberepa aliran contoh, seperti peristiwa Nurhakim pada tahun 1870 dan peristiwa Cilegon tahun 1888.            
            Sebuah aspek yang lebih penting dari ragi agama di Jawa, yang sering menggelorakan rakyat adalah ide tentang perang sabil. Tak dapat disangsikan bahwa ide ini sangat mendorong militansi di kalangan para penganutnya yang setia. Pada waktu yang bersamaan gerakan-gerakan keagamaan dapat menyerang kekuasaan orang kafir dan keadaan sosial yang buruk yang disebabkan oleh kekuasaan asing.
            Dari tahun-tahun empat puluhan abad ke-19 meledaklah pergolakan-pergolakan sosial, karena rakyat dibangkitkan oleh tulisan-tulisan bersemangat yang menganjurkan permusuhan melawan orang-orang kafir dan para penguasa  asing. Di sini perlu disebutkan gerakan yang dipimpin oleh Baujaya di Semarang pada tahun 1841, dan kasus Haji Jenal Ngarip di Kudus pada tahun 1847, semuanya bertujuan melenyapkan orang-orang  Eropa. Selain itu dicatat bahwa peristiwa udik pada tahun 1845 mempunyai tujuan anti Eropa yang kuat.
            Bersamaan dengan gerakan-gerakan keagamaan yang melanda sebagian terbesar pulau ini juga digalakkan seruan kepada rakyat terutama pad ide perang suci. Sudah cukup di sini jika kita menyinggung beberapa pergolakan yang  muncul pada penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20, yaitu peristiwa Ciomas dalam tahun 1886, pemberontakan Cilegon, peristiwa Campa, insiden Kiai Hasan Mukmin dari Gedangan pada tahun 1904, insiden Pak  Jebrak di Brangkal pada tahun 1919, insiden Haji Hasan di Cimareme pada tahun yang sama.
            Setelah melihat gerakan-gerakan keagamaan itu kita temukan bahwa sikap anti Eropa yang mereka nyatakan itu tak dapat diragukan datang dari ide perang suci, yang menurut ide ini tidak perlu dikatakan bahwa ide ini tidak saja meningkatkan kepekaan rakyat terhadap kekuasaan kaum kafir, tetapi juga mempercepat gerakan-gerakan keagamaan dalam bentuk radikal dan revolusioner mereka.
Arti yang sebenarnya dari gerakan-gerakam keagamaan di Jawa dalam abad-abad ke-19 dan ke-20 tidak dapat dipahami kalau tidak memperhitungkan aspek nativistik mereka. Gerakan-gerakan itu juga tidak dapat kita nilai secara tepat jika tidak dihubungkan dengan perubahan sosial yang ditimbulkan oleh dominasi Barat. Sumber-sumber dokumentasi mengungkapkan ide tentang menghidupkan kembali beberapa unsur kebudayaan murni dari masyarakat untuk menolak serbuan kebudayaan asing.
Harapan-harapan nativistik  menjanjikan  akan datangnya bumi pertiwi yang telah pulih, di mana  orang kulit putih tak ada lagi dan akan diperintah lagi oleh dinasti lama. Pada tahun 1940 terjadi pergolakan  di Yogyakarta yang berpusat pada seorang bernama Amat Sleman. Dia mengaku sebagai penerima  wahyu suci dan juga mengaku mempunyai  hak untuk membentuk suatu kerajaan baru, dan pada tahun 1843 Achmad Daris dari Kedu menyandang gelar raja dan mengumumkan bahwa telah tiba saatnya untuk melempar keluar semua kekuasaan.
Menarik pula untuk dicatat bahwa keresahan-keresahan yang muncul berulang kali di Banten mencerminkan adanya hasrat yang umum untuk mencari pemulihan sosio-politik. Selama satu  setengah abad dan sampai belum lama berselang rakyat tetap mendambakan kembalinya kerajaan besar pada sultan Banten.  Begitu pula daerah Priyangan tradisi populer mengidamkan kembalinya kejayaan Kerajaan Sunda.
Apa yang kita jumpai lagi-lagi ialah idaman untuk mendirikan kerajaan putera asal daerah sendiri. Keinginan ini sifatnya sama di mana-mana dalam daya tariknya di kalangan rakyat yang kehidupan sosialnya telah mengalami disintegrasi di bawah kekuasaan kolonial. Mitos tentang kembalinya kerajaan tradisional (yang menguasai alam pikiran umum di Jawa Tengah dan Jawa Timur) itu dapat dilacak secara mudah dalam ramalan-ramalan mesianis tersebut di atas di Jawa.
Dalam meninjau gerakan-gerakan naitivistik ini orang melihat adanya satu kecenderungan yang jelas, yaitu bahwa kebudayaan asing tak disukai dan orang yang ketularan menerimanya harus dipandang cemar dan rendah. Karena itu, birokrat-birokrat Indonesia yang dipekerjakan oleh Belanda dipandang sebagai orang-orang dekaden dan harus dilawan. Itu sebabnya mengapa rasa permusuhan rakyat ditujukan terhadap para pegawai pemerintah dan mengapa mereka mengalami  serangan-serangan keras ketika terjadi kerusuhan. Kasus Jasmani dan peristiwa Cilegon dapat berbicara banyak sentimen anti pegawai pemerintah ini.
Dua buah ciri yang sangat penting tampak jelas jika kita membuat tinjauan umum tentang gerakan-gerakan keagamaan ini, yaitu aspek pemujaan pada nenek moyang dan aspek magico-mysticism (ngelmu). Para pemimpin keagamaan biasanya mengaku mempunyai semacam hubungan dengan nenek moyang. Orang-orang keramat atau alam roh pada umumnya. Di sini kita ingin mengingatkan kembali tentang pertemuan yang katanya terjadi antara Pengeran Diponegoro dengan ratu adil di puncak Gunung  Rasamuni, dan Amat Sleman yang mengaku menerima panggilan dari Nabi, ziarah-ziarah ke makam suci dalam taraf persiapan suatu gerakan pemberontakan patut dicatat secara khusus.
Dalam segala bentuknya yang beraneka ragam gerakan-gerakan keagamaan bercirikan kepercayaan yang mendalam pada magico-mysticism. Apa yang umumnya diinginkan oleh orang adalah kekebalan. Mereka didorong ikut serta dalam pemberontakan dengan janji akan dibuat tak mempan senjata, atau kebal terhadap peluru tentara Belanda. Kepercayaan pada kekebalan ini menjadi demikian kuat, sehingga orang mengabaikan segala tindakan untuk berhati-hati dalam menghadapi tentara Belanda, maka kemudian biasanya berlangsunglah pertempuran yang menyedihkan dan berakhir dengan pembunuhan missal. Selain itu perlu diketahui adanya kepercayaan umum mengenai pemimpin-pemimpin tertentu yang tak dapat mati yang dipandang sebagai orang suci. Singkatnya kepercayaan tentang kekebalan mempertinggi potensi yang agresif dari penduduk.
Ada satu ciri lagi yang boleh dikata juga menandai konflik sosial keagamaan di masa lalu yang berbeda dengan konflik sosial yang terjadi sekarang, yaitu bahwa konflik sosial di masa lalu bersifat vertikal, karena gerakannya bertujuan menentang pemerintah kolonial Belanda, sedang  konflik sosial sekarang terjadi antara sesama warga masyarakat yang mempunyai kepentingan politik dan ekonomi yang berbeda, yang kebetulan mereka juga berbeda agama. Segolongan beragama Islam dan golongan yang lain beragama non Islam.
Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa konflik sosial keagamaan sekarang sudah bergeser dibanding gerakan sosial di masa lalu. Itu karena dahulu kepentingan kita adalah melawan penjajah Belanda yang dianggap kafir, sedang sekarang kepentingannya adalah perebutan kesempatan ekonomi dan politik, hanya saja dibungkus dengan  isu agama agar memperoleh dukungan yang luas di kalangan kelompoknya.
Perebutan peluang ekonomi itu bisa terjadi karena kita pernah dilanda krisis moneter pada tahun 1997 yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi dan krisis lainnya, yang sampai sekarang  masih terasa akibatnya, karena sebelum tahun itu satu dolar Amerika nilainya Rp 2000, kemudian menjadi Rp 10.000, bahkan pernah lebih dari itu per dolar. Akibatnya sudah bisa diduga yaitu naiknya barang dan jasa berlipat-lipat, sedang penghasilan masyarakat tidak banyak meningkat.
Faktor lain yang bisa ikut menimbulkan konflik sosial adalah berjalannya kebijaksanaan otonomi daerah yang mulai tahun 2001 berdasarkan UU No: 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Di satu sisi otonomi daerah itu baik untuk memberi kesempatan bagi daerah masing-masing untuk mengembangkan diri, tetapi di sisi lain otonomi daerah dapat menimbulkan sentimen, bahkan fanatisme kedaerahan dan kesukuan, dalam arti bahwa yang tampil memimpin dan berkuasa di suatu daerah haruslah putera daerah atau penduduk asli.         
Kalau suatu daerah itu tidak didominasi oleh suku pendatang atau selama ini sudah dipimpin oleh penduduk asli, maka tidak akan menghadapi masalah konflik sosial atau etnis. Tetapi lain halnya kalau suatu daerah didominasi oleh suku pendatang, maka sangat rawan terhadap konflik sosial.
Dalam menghadapi kasus seperti itu harus ada upaya pemberdayaan bagi penduduk asli dengan memberi mereka kesempatan berkuasa dan memimpin di daerahnya sesuai dengan peluang yang ada. Mengurangi, apalagi menghilangkan kesempatan bagi mereka menguasai peluang-peluang ekonomi dan politik di daerahnya sendiri akan bertabrakan dengan semangat kedaerahan dan kesukuan yang didorong oleh kebijaksanaan otonomi daerah.
Karena itu, dalam mengelola daerah diperlukan kearifan bagi masing-masing pihak yang terkait, terutama pelaksana di daerah agar  dapat menangkap dan memahami aspirasi daerah agar kesenjangan yang terjadi selama ini tidak berkembang menjadi konflik sosial. Dengan kearifan itu dimaksudkan bahwa seseorang ditempatkan pada suatu posisi tidak semata-mata dilihat dari segi profesionalismenya, tetapi juga harus ada pertimbangan lain yang bersifat kedaerahan.
Memang pemerintahan itu kalau mau maju harus harus dipimpin oleh orang-orang professional dan profesionalisme tidak mengenal perbedaan suku dan agama. Tetapi mengurangi, apalagi menghilangkan unsur daerah dalam pemerintahan daerah tentulah tidak bijak dan dapat menimbulkan konflik sosial yang kemudian menghancurkan tatanan yang sudah ada. Hal ini sudah terbukti pada kasus Sampit dan Maluku. Pembantaian dan pengusiran orang-orang Madura didahului dengan pemberhentian du pejabat suku Dayak dari Pemda setempat, kemudian diganti dengan pejabat suku Madura. Hal yang sama juga menjadi penyebab konflik sosial di Maluku, yaitu diberhentikannya sejumlah pejabat yang beragama Kristen, lalu diganti dengan pejabat yang beragama Islam di lingkungan Pemda setempat.
Karena itu, kasus Sampit dan Maluku cukuplah menjadi pelajaran bagi kita dalam menghadapi berbagai perkembangan di Tanah Air dewasa ini, seperti krisis ekonomi dan otonami daerah, yang berdampak terhadap timbulnya konflik sosial. Dalam mengambil pelajaran seperti itu dengan mengembangkan kearifan mengelola pemerintahan pimpinan ormas dan partai Islam serta tokoh-tokoh Islam setempat mempunyai peranan yang besar, karena mereka mempunyai jaringan ke daerah, mulai dari tingkat elit sampai lapisan akar rumput.
Tetapi kearifan itu memang tidak mudah, karena program pembangunan yang dilancarkan selama ini telah membawa kemajuan besar bagi umat Islam, terutama d bidang pendidikan. Hal ini mendorong terjadinya mobilitas vertikal yang memungkinkan umat siap menduduki posisi-posisi penting dalam pemerintahan di daerah-daerah yang dulunya dipegang oleh kelompok sosial lain yang berasal dari daerah setempat.
Mobilitas vertikal umat Islam membuat mereka mampu bersaing dengan kelompok agama lain, yang kemudian bisa menyebabkan tergesernya orang-orang dari kelompok sosial lain dari kedudukan penting mereka di daerah mereka sendiri, seperti di Sampit dan Maluku. Penggeseran ini  mendorong munculnya provokator dari kalangan elit setempat untuk menggerakkan pendukungnya melakukan perlawanan yang berakibat terjadinya konflik sosial.
Menyetop mobilitas vertikal umat Islam itu tentu tidak mungkin, karena hal itu terjadi secara alamiah, tetapi dapat diperlambat agar kelompok sosial yang lain tidak merasa tersingkir dan mengalami marjinalisasi di daerah mereka sendiri. Kearifan seperti itu  rasanya penting diperhatikan oleh umat Islam dalam mengembangkan kehidupan mereka di daerah untuk menghindari terulangnya konflik sosial  di Maluku, Sampit dan tempat-tempat lain di seluruh Indonesia.

                                                                                               Kerukunan Hidup Beragama
Sejak maraknya konflik sosial keagamaan di berbagai daerah, seperti Maluku, Poso, dan lain-lain muncul gagasan untuk membuat undang-undang yang mengatur hubungan antar umat beragama. Tetapi gagasan ini menimbulkan sikap pro dan kontra di kalangan Islam dan Kristen. Kalangan Islam setuju, sedang golongan Kristen menolak gagasan itu. Golongan Islam berpendapat bahwa undang-undang  seperti itu diperlukan, terutama dalam hal penyiaran dan penyebaran agama. Hal-hal yang di luar penyiaran agama, seperti bidang ekonomi, politik, dan hubungan sosial umat beragama tidak perlu diatur dalam undang-undang ini.
Sedang golongan Kristen tidak setuju gagasan itu, karena mereka beranggapan bahwa undang-undang semacam itu hanya akan mengkotak-kotakkan umat beragama. Undang-undang itu juga mengandung intervensi pemerintah dalam kehidupan beragama. Padahal seharusnya diciptakan kebebasan beragama, termasuk kebebasan berpindah agama dan kebebasan tidak beragama.
Dengan demikian, terjadi perbedaan sikap golongan-golongan agama terhadap gagasan undang-undang yang hendak mengatur kerukunan hidup beragama itu. Perbedaan sikap ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain cara berpikir mereka berbeda. Golongan Islam berpikir realistis, sedang golongan Kristen berpikir ideal. Idealnya kerukunan hidup beragama hidup beragama tidak perlu diatur, karena seharusnya semua golongan agama hidup rukun dn damai.
Apalagi kalau diingat dulu sejarah lahirnya bangsa Indonesia. Bangsa ini dulu didirikan atas kesepakatan semua kelompok agama. Jika mereka tidak sepakat, maka mungkin bangsa ini tidak akan lahir seperti sekarang. Mungkin nusantara ini terpecah-pecah dalam beberapa negara sesuai dengan agama warganya. Pemikiran ideal itu ada benarnya. Tetapi kenyataanya selama ini  dalam kehidupan antar umat beragama sering terjadi konflik, seperti di Maluku dan Poso. Ini berarti dalam kehidupan antar beragama ada hal-hal yang harus ditangani secara ril untuk menghindari konflik sosial yang bernuansa keagamaan.
Misalnya selama ini ada keresahan di kalangan Islam terhadap cara-cara penyebaran agama Kristen. Umat Kristen dalam menyebarkan agamanya kadang-kadang sasarannya adalah orang-orang Islam. Orang-orang Islam yang miskin diberi uang untuk pendidikan, kesehatan, usaha dan santunan sosial. Orang-orang Islam yang miskin dan lemah imannya akan mudah tergoda untuk meninggalkan Islam dan berpindah ke agama Kristen.
Keluhan lain dari kalangan Islam adalah sering terjadi perubahan peruntukan suatu  bangunan. Suatu bangunan semula diperuntukkan buat rumah tinggal, tetapi kemudian berubah menjadi rumah ibadah, pendidikan agama atau kegiatan agama lainnya. Perubahan peruntukan ini tidak jarang mengundang protes dari masyarakat sekitar, yang kemudian menjadi sumber konflik sosial yang bernuansa keagamaan, seperti kasus pembakaran Yayasan Doulos di Cipayung Jakarta Timur pada 15 Desember 1999.
Itulah sebabnya golongan Islam mengharapkan  adanya undang-undang yang mengatur penyiaran dan penyebaran agama untuk menghindari konflik sosial seperti itu. Jadi, undang-undang semacam itu adalah untuk kepentingan bersama, bukan untuk golongan Islam saja. Namun faktor yang lebih mendasar yang menyebabkan golongan Islam dan Kristen berbeda pendapat mengenai perlu tidaknya undang-undang kerukunan hidup beragama adalah perbedaan ajaran dasar kedua agama itu tentang hubungan agama dengan negara. Menurut Kristen agama dan negara terpisah dan tidak saling mencampuri. Karenanya, undang-undang semacam itu tidak perlu, sebab undang-undang semacam ini merupakan salah satu bentuk campur tangan negara dalam kehidupan beragama.
Sedang Islam tidak memisahkan antara agama dengan negara. Karena ajaran Islam mencakup seluruh segi kehidupan, baik vertikal (hubungan manusia dengan Tuhan yang disebut ibadah) maupun horizontal (hubungan sesama manusia dan lingkungannya yang disebut muamalah). Negara termasuk urusan horizontal. Dalam pandangan Islam negara harus tunduk kepada aturan agama atau setidaknya negara tidak mengeluarkan kebijakan yang merugikan kehidupan agama dan membantu terselenggaranya ajaran agama bagi para pemeluknya. Misalnya dalam Islam ada aturan tentang pernikahan, perceraian dan kewarisan. Untuk menyelenggarakan ketentuan ini tidak bisa diserahkan kepada umat Islam sendiri tanpa bantuan negara atau pemerintah. Karena itu, pemeritah mendirikan Kantor Urusan Agama (KUA) untuk menangani  pernikahan, kemudian pengadilan agama untuk mengurus perceraian dan kewarisan.
Malah urusan ibadah belum tentu dapat terselenggara dengan baik tanpa campur tangan pemerintah, seperti pada penyelenggaraan ibadah haji dan zakat. Jika umat Islam dibiarkan mengurus sendiri pergi ke Tanah Suci tanpa koordinasi pemerintah mungkin sekali akan banyak jamaah haji yang tersesat, hilang atau meninggal tanpa ada yang mengurus. Sekarang saja sudah ada lembaga pemerintah yang khusus menangani ibadah haji, tetapi masih sering terjadi ada jamaah yang tersesat, terpisah dari kelompoknya dan tidak bisa kembali ke tempat penginapan. Apalagi kalau umat Islam dibiarkan pergi sendiri-sendiri tanpa ada yang mengkoordinirnya untuk menunaikan rukun Islam yang kelima itu.
Begitu pula ibadah zakat. Selama ini banyak orang Islam yang mengeluarkan zakat dengan langsung memberikannya kepada mustahiknya (orang yang berhak menerima zakat), tetapi hasilnya hanya sekadar melaksanakan kewajiban agama. Sedang dampak sosialnya tidak begitu terasa bagi kehidupan umat Islam, karena zakat tidak dikelola secara produktif.
Karena itu, peranan pemerintah diharapkan dalam penanganan zakat agar dapat memaksa orang-orang Islam yang sudak berkecukupan untuk mengeluarkan zakat, kemudian mengelolanya secara produktif, sehingga dapat menimbulkan implikasi positif dalam  memberdayakan kehidupan umat Islam. Harapan ini sudah mendapat sambutan positif dengan keluarnya Undang-undang No: 33 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Kalau dalam urusan  ibadah saja Islam memerlukan peranan pemerintah, apalagi dalam urusan penyiaran agama yang melibatkan kelompok-kelompok agama yang berbeda kepentingan. Hal ini  tidak dapat diserahkan kepada umat beragama sendiri tanpa ada peranan pemerintah atau negara di dalamnya. Tetapi mengenai hubungan agama dengan negara kita tidak perlu merujuk kepada agama masing-masing, karena kita akan menemui pertentangan antara satu dengan agama yang lain. Yang perlu dilakukan adalah melihat kembali fungsi negara. Salah satu fungsi negara adalah menciptakan ketertiban bagi para warganya.
Masalahnya sekarang apakah akan tercipta ketertiban kalau masing-masing golongan agama menyiarkan dan menyebarkan agamanya tanpa mengikuti peraturan yang disepakati bersama. Kelihatannya tanpa ada peraturan yang disepakati bersama, maka penyiaran dan penyebaran agama akan membawa umat  beragama dalam suasana konflik.
Itulah sebabnya diperlukan aturan main untuk menghindari konflik sosial keagamaan. Aturan main itu dapat berupa undang-undang kerukunan hidup beragama atau undang-undang penyiaran dan penyebaran agama, atau apapun namanya yang disepakati beragama semua golongan agama di negeri ini.


Daftar Bacaan:
1.      Kartodirdjo, Sartono, Ratu Adil (Jakarta: Sinar Harapan, 1984).
2.      Tebba, Sudirman, Islam Pasca Orde Baru (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001).
3.      Theodorson, George A. dan Achilles G. Theodorson, A Modern Dictionary of Sociology (New York: Barnes and Noble Books, 1969).


Sudirman Tebba adalah dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta