Pergeseran Konflik Sosial
Keagamaan di Indonesia
Oleh
Sudirman Tebba
Sejak era reformasi yang ditandai dengan tumbangnya rezim
Orde Baru perkembangan bangsa ini sering diganggu oleh konflik sosial yang
bernuansa keagamaan, seperti konflik antara kelompok Islam dengan kelompok
Kristen di Maluku pada tahun 1999 sampai beberapa tahun sesudahnya. Juga
konflik yang juga melibatkan kelompok Islam dengan kelompok Kristen di Poso
Sulawesi Tengah dan konflik orang-orang Madura dengan orang-orang Dayak di
Sampit dan Palangkaraya Kalimantan Tengah pada tahun-tahun yang sama.
Konflik orang-orang Madura dengan
orang-orang Dayak juga bernuasa keagamaan, karena kedua kelompok sosial itu
menganut agama yang berbeda. Konflik antara dua kelompok sosial ini diduga
merupakan kelanjutan dari konflik sosial serupa yang terjadi sebelumnya di Sambas
di Kalimantan Barat.
Konflik sosial di Maluku juga sempat meluas. Konflik
sosial yang terjadi pada tahun-tahun itu di Kupang Nusa Tenggara Timur dan di
Mataram Nusa Tenggara Barat diduga merupakan pengaruh konflik sosial yang
terjadi di Maluku.
Sebelum terjadi konflik sosial keagamaan di daerah-daerah
itu timbul konflik sosial yang antara lain bersifat rasial anti Cina dan
antargolongan, yaitu antara golongan sosial yang mampu dengan golongan yang tidak mampu pada bulan Mei 1998
di berbagai daerah, terutama Jakarta. Peristiwa ini ikut mengantarkan
tumbangnya rezim Orde Baru, yang ditandai dengan pengunduran diri Presiden
Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998.
Tetapi konflik sosial yang bernuasa rasial dan antar golongan
itu hanya berlangsung sebentar, sedangkan
konflik sosial keagamaan terjadi berlarut-larut sampai beberapa tahun. Bahkan
sampai sekarang konflik sosial keagamaan di Maluku kadang-kadang masih terjadi
secara sporadis apabila ada pemicunya. Itu berarti bahwa sumber konflik sosial
di daerah tersebut belum habis sama sekali.
Itu
mungkin karena konflik sosial itu telah menimbulkan rasa dendam yang mendalam
antara kedua kelompok, karena mereka kehilangan orang-orang yang dicintai, sehingga
tidak mudah dihilangkan. Juga konflik sosial itu bernuansa keagamaan yang
sempat menanamkan rasa emosi yang
bercampur dengan semangat keagamaan yang bisa saja melekat seumur hidup. Tetapi
agama sendiri sebenarnya tidak
mengajarkan para penganutnya untuk memusuhi orang atau kelompok yang beragama
lain.
Karena itu,
kalau terjadi konflik sosial yang bernuansa keagamaan harus dicari
sebab-sebabnya yang berada di luar persoalan
agama, seperti kepentingan ekonomi dan politik. Pertentangan kepentingan
ekonomi dan politik, baik pada tingkat elit maupun massa, dapat dibawa kepada
pertentangan agama, terutama kalau orang atau
kelompok yang berbeda kepentingan juga kebetulan agamanya berbeda.
Hal itu
dapat dilihat pada beberapa ciri yang menandai
kelompok sosial keagamaan yang terjadi selama ini di seluruh Indonesia.
Di antaranya ialah bahwa konflik sosial itu berlangsung dengan cara mengusir
para warga pendatang, seperti terusirnya orang-orang suku Buton, Bugis dan
Makassar dari Maluku dan Kupang Nusa
Tenggara Timur, dan juga tersusirnya orang-orang Madura dari Kalimantan pada
tahun-tahun yang disebut tadi.
Orang-orang Buton, Bugir dan
Makassar telah hidup turun temurun di daerah-daerah itu. Mereka menguasai sektor
perdagangan. Keadaan itu menyaingi atau mungkin mengurangi kesempatan usaha
penduduk asli di daerah-daerah yang bersangkutan. Untuk mengembangkan usaha
dengan cara yang gampang bagi penduduk asli adalah mengusir warga pendatang
dari daerah-daerah tadi. Inilah kemudian yang memicu konflik sosial.
Jadi,
sumber konflik sosial yang sebenarnya adalah perebutan sumber ekonomi. Tetapi
perebutan sumber ekonomi ini tidak hanya antara penduduk asli dengan warga
pendatang. Perebutan itu juga terjadi antara sesama penduduk asli yang berbeda
agama.
Ciri lain
yang menandai konflik sosial adalah bahwa konflik itu kadang-kadang juga dipicu
oleh perebutan jabatan dalam lembaga pemerintahan, seperti yang terjadi di
Maluku. Konflik ini semula terjadi setelah sejumlah pejabat yang beragama Kristen digeser dan diganti
dengan pejabat yang beragama Islam dalam lingkungan pemerintah daerah setempat.
Itu juga yang terjadi sebelum orang-orang Madura diusir dari Kalimantan, yaitu
ada dua pejabat orang Dayak di Pemda Sampit digeser dan diganti dengan orang
Madura.
Perebutan
jabatan pemerintahan di daerah-daerah tampaknya ada kaitannya dengan
pelaksanaan Undang-undang Otonomi Daerah (UU No: 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah) yang memberi wewenang bagi tiap daerah untuk mengatur rumah
tangganya sendiri. Akibatnya kelompok-kelompok sosial yang berbeda kepentingan
berusaha merebut wewenang yang ditinggalkan oleh pemerintah pusat.
Dalam
perebutan jabatan itu ada kelompok yang kalah dan ada kelompok yang menang.
Pihak yang kalah, terutama kalau agamanya berbeda dengan kelompok yang menang,
dapat membawa masalahnya ke tengah masyarakat luas dan menunjukkannya sebagai
pertentangan agama. Akibatnya orang-orang yang tidak mempunyai kepentingan
dengan jabatan dalam pemerintahan ikut terseret
dalam konflik sosial, dan konflik ini bertambah luas setelah pihak yang kalah
mengerahkan massa, yang lalu dilawan oleh massa yang lain.
Pengerahan
massa merupakan ciri berikutnya yang menandai konflik sosial selama ini. Dalam
setiap konflik sosial massa dari kelompok tertentu menyerang massa dari
kelompok yang lain, sehingga kemudian menimbulkan korban yang cukup besar, baik
jiwa maupun harta benda. Seperti
pernyataan seorang rohaniwan Katolik bahwa dua pertiga korban jiwa dan harta
benda di Maluku dan Poso adalah umat Islam. Tidak disebut alasannya, tetapi
kita tahu bahwa konflik itu dimulai ketika kelompok Kristen menyerang kelompok
Islam, dan umat Islam dalam keadaan tidak siap, karena mereka tidak mengira
serangan itu akan terjadi menimpa mereka.
Dengan
pengarahan massa itu berarti ada
orang-orang yang menghasut, yang kemudian disebut provokator. Provokator ada
yang berada di daerah dan ada pula yang berada di tempat lain, terutama
Jakarta. Mereka bekerja sama untuk mencapai tujuan yang mungkin saja tidak
sama. Provokator d daerah bertujuan untuk merebut sumber ekonomi atau jabatan
pemerintahan dari tangan kelompok yang sedang berkuasa. Sedang provokator di
Jakarta boleh jadi hanya sekedar ingin menimbulkan kekacauan untuk mengganggu
pemerintah yang sah.
Adanya
provokator di Jakarta diindikasikan oleh meluasnya konflik atau munculnya
konflik baru kalau ada pernyataan pemerintah yang hendak meredam konflik
sosial. Misalnya konflik sosial di Mataram NTB terjadi setelah Abdurrahman
Wahid, saat itu Presiden RI menyatakan niatnya menindak tegas tangan-tangan
jahat yang terus menerus mendorong konflik sosial di Maluku.
Adanya
provokator di Jakarta menyebabkan sulit
untuk menebak daerah-daerah mana lagi yang akan dilanda konflik. Konflik di
Mataram merupakan contoh dalam hal ini, tidak ada orang yang dapat menduga
bahwa akan terjadi konflik di daerah itu. Karenanya, kalau konflik Mataram
dikatakan sebagai solidaritas umat Islam Mataram terhadap golongan Islam yang
bertikai dengan kelompok Kristen di Maluku, boleh jadi itu hanya solidaritas yang
diciptakan, bukan solidaritas yang sesungguhnya.
Kalau
konflik itu merupakan solidaritas yang ril seharusnya terjadinya tidak di
Mataram, tetapi di daerah-daerah yang didiami oleh kelompok-kelompok suku yang
diusir dari Maluku, yaitu Buton Sulawesi Tenggara, Bugis dan Makassar Sulawesi
Selatan. Tetapi konflik itu justru tidak terjadi di kedua provinsi itu. Malah
waktu itu muncul isu bahwa konflik berikutnya akan mengguncang Jakarta. Ini
berarti bahwa peran provokator dalam konflik sosial sangat besar, bukan hanya
konflik sosial di Maluku waktu itu, tetapi konflik sosial yang terjadi di mana
saja di seluruh Indonesia sampai hari ini.
Provokator
ada kesamaannya dengan teroris, yakni sama-sama menimbulkan gangguan
keamanan dan ketertiban masyarakat.
Tetapi bedanya provokator menghasut orang-orang atau massa untuk melakukan
konflik atau kerusuhan, sedang teroris melakukan sendiri tindakan brutalnya.
Kelompok teroris ada di banyak negara, termasuk negara maju. Biasanya mereka
melakukan tindakan brutal untuk menekan pemerintah dalam mewujudkan
keinginannya.
Provokator
juga mempunyai tujuan seperti itu. Hanya saja provokator bisa menimbulkan
korban yang lebih besar, karena satu kelompok massa diadu dengan kelompok massa
yang lain atau rakyat diadu dengan aparat keamanan. Tetapi provokator hanya
berhasil mencapai tujuannya kalau
masyarakat yang menjadi kelompok sasarannya masih mengalami ketidak-adilan
ekonomi dan politik.
Karena
itu, untuk mencegah merajalelanya provokator membuat kerusuhan di mana-mana,
selain aparat keamanan meningkatkan
penjagaan keamanan di daerah-daerah yang rawan, pemerintah juga
seharusnya segera menata kembali kehidupan sosial politik dan ekonomi yang
lebih adil dan demokratis sampai tingkat yang paling bawah.
Selama
masyarakat atau rakyat umumnya masih merasakan
praktek ekonomi dan politik yang tidak adil, maka provokator akan
mendapat tempat yang nyaman untuk melakukan aksinya, sehingga konflik sosial
akan terjadi di mana-mana. Karena itu, kita selayaknya tidak terpancing oleh
isu sosial keagamaan yang dibawa oleh provokator, tetapi ulah provokator sebaiknya dijadikan cermin
oleh pemerintah bahwa rakyat umumnya masih mengalami ketidak-adilan ekonomi dan politik yang harus segera ditangani untuk menciptakan
Indonesia baru yang lebih baik di masa depan.
Pola
Konflik Sosial Bergeser
Konflik
sosial keagamaan itu sudah berbeda dibanding dengan konflik sosial yang terjadi
pada abad yang abad-abad yang lalu. Di antara perbedaannya ialah bahwa konflik
sosial yang terjadi pada abad-abad yang lalu selalu mempunyai mempunyai
pemimpin. Sedang konflik sosial sekarang tidak mempunyai pemimpin, atau mungkin
mempunyai pemimpin, tetapi tidak dikenal atau tidak menonjol. Misalnya dalam
konflik Maluku dan Poso kelompok Islam tidak dikenal pemimpinnya.
Pernah
ada kelompok yang menamakan diri Laskar Jihad pemimpinnya bernama Jaffar Umar
Thalib anggotanya dari berbagai daerah dan bergabung lalu pergi ke Maluku dan
Poso, tetapi niatnya tidak memerangi kelompok Kristen di kedua daerah itu.
Mereka hanya mendesak kelompok Kristen agar tidak mengganggu kelompok Islam dan
setelah tampaknya mereka tidak menganggu lagi para anggota Laskar Jihad keluar
dari dua daerah itu, kemudian membubarkan diri.
Sedang
kelompok sosial yang terjadi pada abad-abad yang lalu di Jawa, seperti terlihat
dalam penelitian Sartono Kartodirdjo, selalu mempunyai pemimpin dan kadang ada pemimpinnya mengaku mendapat wahyu. Misalnya kasus Tambakmerang yang terjadi
pada tahun 1935 pemimpinnya bernama Wirasenjaya mengaku menerima wahyu setelah
melakukan puasa selama 40 hari. Setelah menerima wahyu dia menyebarkan ajaranya, lalu
menjalankan peranan sebagai mesias yang sedikit banyak diberikan oleh para
pengikutnya.
Kemudian
peristiwa Srandakan yang terjadi pada tahun 1924 pemimpinnya bernama Kramaseja
mengaku sebagai penjelmaan ratu adil. Sedangkan dalam peristiwaTegalreja pada
tahun 1889 pemimpinnya bernama Dulmajid bertindak selaku pendahulu ratu adil
yang peranan akan dilakukan oleh Pangeran Suryangalaga dari Yogyakarta.
Peristiwa
yang lain ialah Nanggulan yang terjadi pada tahun 1878, di mana Sukadrana
memainkan peranan sebagai ratu adil. Kemudian juga Nyi Aciah dari Malangbong
berfungsi sebagai pusat gerakan yang bersifat simbolis. Dia menjalankan peranan
yang diberikan kepadanya oleh para pengikutnya. Kepemimpinan Nyi Aciah
sebenarnya tidak penting dan pengangkatannya untuk menempati kedudukan semacam
itu tampaknya bersifat kebetulan.
Sudah
diketahui oleh umum bahwa dalam alam kebudayaan Jawa harapan-harapan
millenarian yang tersembunyi sangat mendorong ke arah munculnya tokoh-tokoh
profetik. Mereka itu kebanyakan adalah orang-orang yang terkenal sebagai guru
ilmu, kiai atau orang suci yang pada umumnya memiliki daya kharisma. Para elit
keagamaan ini dapat menjelaskan dengan kata-kata harapan-harapan rakyat biasa,
karena mereka kebanyakan merupakan pewaris dari tradisi lisan atau tertulis.
Tetapi
jarang terjadi bahwa dalam perkembangan gerakan pemimpin-pemimpin ini menyusun
sebuah tubuh ajaran yang positif. Apa yang sebenarnya mereka lakukan adalah
mengajukan teknik agama untuk mempercepat datangnya millennium, seperti
mengadakan selamatan, upacara agama mistik lainnya, membagi-bagikan jimat,
mengerjakan puasa, dan semacamnya.
Kekuatan
gaib para pemimpin agama ini terutama didasarkan pada pembawaan kharisma yang
mereka miliki, yang idenya pada umumnya ada dalam masyarakat Indonesia, dan
secara umum disebut sebagai keramat, wahyu atau sakti. Pembawaan ini membuat
orang-orang yang dikaruniai dengan itu diliputi oleh alam kesucian. Sudah
menjadi anggapan umum bahwa pimpinan yang berkharisma merupakan bahaya laten
bagi para pejabat dalam kekuasaan, karena kekuatan charisma bersifat
revolusioner. Tak dapat disangsikan bahwa hal ini berlaku dalam masyarakat
tradisional dan orang dapat menyebutkan contoh-contoh di mana para pemimpin
keagamaan merupakan tantangan bagi kekuasaan raja.
Dengan
meningkatnya dampak kekuasaan asing dalam zaman kolonial ada kecenderungan
bahwa gerakan-gerakan keagamaan digunakan sebagai jubah bagi oposisi politik.
Kecenderungan-kecenderungan mendasar lainnya dari gerakan-gerakan keagamaan ini
adalah mendorong gerakan-gerakan ini untuk mengembangkan orientasi politik yang
lebih ekstrem dan muncul sebagai gerakan
politik yang radikal.
Ciri
berikutnya yang menandai konflik sosial keagamaan yang membedakan dulu dengan
sekarang adalah bahwa konflik dulu mengandung penolakan terhadap kondisi sosial
yang ada dan harapan akan datangnya millennium. Sedang konflik sosial keagamaan
sekarang mengandung kepentingan ekonomi dan politik bagi kelompok-kelompok yang
bertikai.
Selain
hidupnya kembali nilai-nilai tradisonal millennium biasanya mengidamkan suatu
masyarakat yang ideal dan meromantiskan zaman yang akan datang sebagai zaman
keemasan. Dunia yang diidamkan itu digambarkan sebagai berikut: “Jika zamannya
nanti tak akan ada lagi pertentangan, ketidak-adilan dan penderitaan, rakyat
akan bebas dari pembayaran pajak yang memberatkan dan dari wajib menjalankan
kerja baikti. Tak akan ada penyakit dan pencuri, sandang pangan akan melimpah,
setiap orang memiliki rumah, orang akan hidup tenteram dan damai”.
Dari alam
kebudayaan Jawa ternyata bahwa unsur-unsur millennium sudah ada sebelum adanya
dampak dari Barat, mitos-mitos Hindu –Jawa dan kepercayaan Erucakra rasanya
dapat menunjukkan bahwa harapan-harapan tentang millennium itu sejak dulu telah
ada. Masa kekuasaan Erucakra dihubungkan dengan millennium. Para pemimpin dari
gerakan-gerakan millenaristis atau gerakan-gerakan politik yang memiliki
nada-nada millennium memakai nama Erucakra.
Gerakan-gerakan
semacam itu dengan cepat membuat para pejabat yang gelisah untuk memukul
mereka. Pandangan millenarian itu menimbulkan rasa dorongan yang mendesak dalam
gerakan dan pandangan itu menceburkan gerakan ke dalam kegiatan memberontak,
dan selama berlangsungnya kegiatan ini, sebagaimana kadang-kadang terjadi,
orang mencari perlindungan fisik dari kejadian-kejadian yang merupakan bencana
besar yang dianggap mendahului terjadinya millennium.
Sebagai
contoh dalam peristiwa Bekasi pada tahun 1869 Bapa Rama berbicara tentang
kegelapan penuh, Amat Ngisa dari Karangkobra pada tahun 1871 mengharapkan
datangnya ratu adil dengan pasukannya yang berupa setan-setan yang akan menyebarkan wabah, dan Wirasenjaya dari
Tambakmerang pada tahun 1935 mengharapkan akan datangnya banjir besar.
Bencana-bencana
alam di kemudian hari dalam ramalan ini dianggap sebagai akan
terjadi dalam waktu dekat dan orang hidup tegang mengharapkannya serta
bersiap-siap untuk itu. Sesungguhnya bayangan-bayangan semacam itu mempunyai
potensi revolusioner yang besar.
Selain itu ramalan-ramalan tentang millennium sering
berisi pula dengan unsur-unsur mengenai perubahan-perubahan yang telah terjadi
sebagai akibat masuknya kekuasaan Barat, seperti rasa permusuhan antara sesama
bangsa, berubahnya orang-orang Islam menjadi kafir, terpengaruhnya
pejabat-pejabat keagamaan oleh orang-orang yang tak beriman, hilangnya rasa
hormat kepada raja di mata rakyat biasa. Perubahan-perubahan ini dikatakan
sebagai sumber dari gangguan-gangguan sosial. Tak mengherankan apabila orang
membayangkan kembalinya masa lampau yang indah yang dipercepat oleh gerakan.
Dengan
demikian, ideologi millennium mengandung unsur-unsur keakhiratan yang merupakan
faktor yang mempercepat gerakan millenarian. Peralihan dari situasi yang ada ke millennium dibayangkan
berlangsung secara radikal dan revolusioner. Orang-orang yang percaya dan mengharapkan
dapat selamat dari bencana alam dianjurkan agar mematuhi petunjuk-petunjuk
pemimpin dalam melakukan kegiatan pemberontak. Di sini kita berjumpa dengan
unsur pokok dalam gerakan millenarian, yaitu munculnya Mesias atau utusannya.
Peristiwa-peristiwa
yang diuraikan di atas menunjukkan unsur messianic millenarianism Jawa.
Misalnya dalam pergolakan-pergolakan sosial di Jawa Tengah dan Jawa Timur
ide tentang Mesias menyilangi gerakan
keagamaan secara berulang-ulang, mengikuti pola benang yang melintang
menyilangi benang yang membujur dalam mesin tenun. Mitos tentang juru selamat
di Jawa dihubungkan dengan munculnya ratu adil, yang juga dinamakan Erucakra.
Dalam kekuasaan ratu adil keadilan akan ditegakkan di kalangan rakyat. Mereka
akan bebas dari kejahatan, musuh, penyakit dan wabah. Mitos juru selamat itu
misalnya ialah kebangkitan Raja Tanjung Putih akan terjadi dalam tahun 1800,
sedangkan Erucakra akan berkuasa di Katangga pada tahun 1900.
Jika kita
melihat kmbali ke masa dua abad yang
lalu kita dapatkan bahwa sejumlah pemimpin gerakan pemberontak menggunakan
nama Erucakra. Ini menunjukkan bahwa
mereka menganggap diri mereka sebagai juru selamat. Kasus tertua yang tercatat
adalah yang bersangkutan dengan Pangeran Diponegoro, yang mengambil nama Erucakra ketika dia memberontak melawan
kekuasaan Sultan Mataram, Amangkurat IV, kira-kira tahun 1720. Pangeran
pemberontak yang termasyhur, Pangeran Diponegoro yang lain kira-kira seabad
kemudian mempunyai gelar Erucakra. Menurut otobiografinya dia mengaku telah
menerima wahyunya dari ratu adil sendiri, yang menyuruhnya mengusir penguasa
asing.
Pada
tahun 1888 seseorang bernama Jasmani dari Blitar yang dikatakan akan dinobatkan
menjadi sultan akan menggunakan nama Sunan Erucakra. Walaupun bahan-bahan
dokumentasi masih terpisah-pisah tidak sulit menemukan contoh-contoh tentang
ratu adilisme. Selain kasus-kasus di atas kita dapat menyebut lagi kasus-kasus
lain, seperti peristiwa Mangkiwijaya pada tahun 1865, peristiwa Imamsujana pada
tahun 1886, gerakan Malangyudam, kasus Pulung, kasus Srikaton, kasus Jalegong
pada tahun 1904, gerakan Imam Buntaran pada 1907.
Kemudian
tradisi mesianistis dalam Islam telah merembes dalam mellanarisme Jawa dan
Mahdiisme dapat dilihat dalam beberepa aliran gerakan keagamaan di Jawa. Abad
ke-19 dan ke-20 memberikan beberepa aliran contoh, seperti peristiwa Nurhakim
pada tahun 1870 dan peristiwa Cilegon tahun 1888.
Sebuah aspek yang lebih penting dari ragi agama di Jawa,
yang sering menggelorakan rakyat adalah ide tentang perang sabil. Tak dapat
disangsikan bahwa ide ini sangat mendorong militansi di kalangan para
penganutnya yang setia. Pada waktu yang bersamaan gerakan-gerakan keagamaan
dapat menyerang kekuasaan orang kafir dan keadaan sosial yang buruk yang
disebabkan oleh kekuasaan asing.
Dari tahun-tahun empat puluhan abad ke-19 meledaklah
pergolakan-pergolakan sosial, karena rakyat dibangkitkan oleh tulisan-tulisan
bersemangat yang menganjurkan permusuhan melawan orang-orang kafir dan para
penguasa asing. Di sini perlu disebutkan
gerakan yang dipimpin oleh Baujaya di Semarang pada tahun 1841, dan kasus Haji
Jenal Ngarip di Kudus pada tahun 1847, semuanya bertujuan melenyapkan
orang-orang Eropa. Selain itu dicatat
bahwa peristiwa udik pada tahun 1845 mempunyai tujuan anti Eropa yang kuat.
Bersamaan dengan gerakan-gerakan keagamaan yang melanda
sebagian terbesar pulau ini juga digalakkan seruan kepada rakyat terutama pad
ide perang suci. Sudah cukup di sini jika kita menyinggung beberapa pergolakan
yang muncul pada penghujung abad ke-19
dan awal abad ke-20, yaitu peristiwa Ciomas dalam tahun 1886, pemberontakan
Cilegon, peristiwa Campa, insiden Kiai Hasan Mukmin dari Gedangan pada tahun
1904, insiden Pak Jebrak di Brangkal
pada tahun 1919, insiden Haji Hasan di Cimareme pada tahun yang sama.
Setelah melihat gerakan-gerakan keagamaan itu kita
temukan bahwa sikap anti Eropa yang mereka nyatakan itu tak dapat diragukan
datang dari ide perang suci, yang menurut ide ini tidak perlu dikatakan bahwa
ide ini tidak saja meningkatkan kepekaan rakyat terhadap kekuasaan kaum kafir,
tetapi juga mempercepat gerakan-gerakan keagamaan dalam bentuk radikal dan
revolusioner mereka.
Arti yang
sebenarnya dari gerakan-gerakam keagamaan di Jawa dalam abad-abad ke-19 dan
ke-20 tidak dapat dipahami kalau tidak memperhitungkan aspek nativistik mereka.
Gerakan-gerakan itu juga tidak dapat kita nilai secara tepat jika tidak
dihubungkan dengan perubahan sosial yang ditimbulkan oleh dominasi Barat.
Sumber-sumber dokumentasi mengungkapkan ide tentang menghidupkan kembali
beberapa unsur kebudayaan murni dari masyarakat untuk menolak serbuan
kebudayaan asing.
Harapan-harapan
nativistik menjanjikan akan datangnya bumi pertiwi yang telah pulih,
di mana orang kulit putih tak ada lagi
dan akan diperintah lagi oleh dinasti lama. Pada tahun 1940 terjadi
pergolakan di Yogyakarta yang berpusat
pada seorang bernama Amat Sleman. Dia mengaku sebagai penerima wahyu suci dan juga mengaku mempunyai hak untuk membentuk suatu kerajaan baru, dan
pada tahun 1843 Achmad Daris dari Kedu menyandang gelar raja dan mengumumkan
bahwa telah tiba saatnya untuk melempar keluar semua kekuasaan.
Menarik
pula untuk dicatat bahwa keresahan-keresahan yang muncul berulang kali di
Banten mencerminkan adanya hasrat yang umum untuk mencari pemulihan
sosio-politik. Selama satu setengah abad
dan sampai belum lama berselang rakyat tetap mendambakan kembalinya kerajaan
besar pada sultan Banten. Begitu pula
daerah Priyangan tradisi populer mengidamkan kembalinya kejayaan Kerajaan
Sunda.
Apa yang
kita jumpai lagi-lagi ialah idaman untuk mendirikan kerajaan putera asal daerah
sendiri. Keinginan ini sifatnya sama di mana-mana dalam daya tariknya di
kalangan rakyat yang kehidupan sosialnya telah mengalami disintegrasi di bawah
kekuasaan kolonial. Mitos tentang kembalinya kerajaan tradisional (yang
menguasai alam pikiran umum di Jawa Tengah dan Jawa Timur) itu dapat dilacak
secara mudah dalam ramalan-ramalan mesianis tersebut di atas di Jawa.
Dalam
meninjau gerakan-gerakan naitivistik ini orang melihat adanya satu
kecenderungan yang jelas, yaitu bahwa kebudayaan asing tak disukai dan orang
yang ketularan menerimanya harus dipandang cemar dan rendah. Karena itu, birokrat-birokrat
Indonesia yang dipekerjakan oleh Belanda dipandang sebagai orang-orang dekaden
dan harus dilawan. Itu sebabnya mengapa rasa permusuhan rakyat ditujukan
terhadap para pegawai pemerintah dan mengapa mereka mengalami serangan-serangan keras ketika terjadi kerusuhan.
Kasus Jasmani dan peristiwa Cilegon dapat berbicara banyak sentimen anti
pegawai pemerintah ini.
Dua buah
ciri yang sangat penting tampak jelas jika kita membuat tinjauan umum tentang
gerakan-gerakan keagamaan ini, yaitu aspek pemujaan pada nenek moyang dan aspek
magico-mysticism (ngelmu). Para pemimpin keagamaan biasanya mengaku mempunyai
semacam hubungan dengan nenek moyang. Orang-orang keramat atau alam roh pada
umumnya. Di sini kita ingin mengingatkan kembali tentang pertemuan yang katanya
terjadi antara Pengeran Diponegoro dengan ratu adil di puncak Gunung Rasamuni, dan Amat Sleman yang mengaku
menerima panggilan dari Nabi, ziarah-ziarah ke makam suci dalam taraf persiapan
suatu gerakan pemberontakan patut dicatat secara khusus.
Dalam
segala bentuknya yang beraneka ragam gerakan-gerakan keagamaan bercirikan
kepercayaan yang mendalam pada magico-mysticism. Apa yang umumnya diinginkan
oleh orang adalah kekebalan. Mereka didorong ikut serta dalam pemberontakan
dengan janji akan dibuat tak mempan senjata, atau kebal terhadap peluru tentara
Belanda. Kepercayaan pada kekebalan ini menjadi demikian kuat, sehingga orang
mengabaikan segala tindakan untuk berhati-hati dalam menghadapi tentara
Belanda, maka kemudian biasanya berlangsunglah pertempuran yang menyedihkan dan
berakhir dengan pembunuhan missal. Selain itu perlu diketahui adanya
kepercayaan umum mengenai pemimpin-pemimpin tertentu yang tak dapat mati yang
dipandang sebagai orang suci. Singkatnya kepercayaan tentang kekebalan
mempertinggi potensi yang agresif dari penduduk.
Ada satu
ciri lagi yang boleh dikata juga menandai konflik sosial keagamaan di masa lalu
yang berbeda dengan konflik sosial yang terjadi sekarang, yaitu bahwa konflik
sosial di masa lalu bersifat vertikal, karena gerakannya bertujuan menentang
pemerintah kolonial Belanda, sedang
konflik sosial sekarang terjadi antara sesama warga masyarakat yang
mempunyai kepentingan politik dan ekonomi yang berbeda, yang kebetulan mereka
juga berbeda agama. Segolongan beragama Islam dan golongan yang lain beragama
non Islam.
Dengan
demikian, boleh dikatakan bahwa konflik sosial keagamaan sekarang sudah
bergeser dibanding gerakan sosial di masa lalu. Itu karena dahulu kepentingan
kita adalah melawan penjajah Belanda yang dianggap kafir, sedang sekarang
kepentingannya adalah perebutan kesempatan ekonomi dan politik, hanya saja
dibungkus dengan isu agama agar
memperoleh dukungan yang luas di kalangan kelompoknya.
Perebutan
peluang ekonomi itu bisa terjadi karena kita pernah dilanda krisis moneter pada
tahun 1997 yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi dan krisis lainnya,
yang sampai sekarang masih terasa
akibatnya, karena sebelum tahun itu satu dolar Amerika nilainya Rp 2000,
kemudian menjadi Rp 10.000, bahkan pernah lebih dari itu per dolar. Akibatnya
sudah bisa diduga yaitu naiknya barang dan jasa berlipat-lipat, sedang
penghasilan masyarakat tidak banyak meningkat.
Faktor
lain yang bisa ikut menimbulkan konflik sosial adalah berjalannya kebijaksanaan
otonomi daerah yang mulai tahun 2001 berdasarkan UU No: 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah. Di satu sisi otonomi daerah itu baik untuk memberi
kesempatan bagi daerah masing-masing untuk mengembangkan diri, tetapi di sisi
lain otonomi daerah dapat menimbulkan sentimen, bahkan fanatisme kedaerahan dan
kesukuan, dalam arti bahwa yang tampil memimpin dan berkuasa di suatu daerah
haruslah putera daerah atau penduduk asli.
Kalau
suatu daerah itu tidak didominasi oleh suku pendatang atau selama ini sudah
dipimpin oleh penduduk asli, maka tidak akan menghadapi masalah konflik sosial
atau etnis. Tetapi lain halnya kalau suatu daerah didominasi oleh suku
pendatang, maka sangat rawan terhadap konflik sosial.
Dalam
menghadapi kasus seperti itu harus ada upaya pemberdayaan bagi penduduk asli
dengan memberi mereka kesempatan berkuasa dan memimpin di daerahnya sesuai
dengan peluang yang ada. Mengurangi, apalagi menghilangkan kesempatan bagi
mereka menguasai peluang-peluang ekonomi dan politik di daerahnya sendiri akan
bertabrakan dengan semangat kedaerahan dan kesukuan yang didorong oleh
kebijaksanaan otonomi daerah.
Karena
itu, dalam mengelola daerah diperlukan kearifan bagi masing-masing pihak yang
terkait, terutama pelaksana di daerah agar
dapat menangkap dan memahami aspirasi daerah agar kesenjangan yang
terjadi selama ini tidak berkembang menjadi konflik sosial. Dengan kearifan itu
dimaksudkan bahwa seseorang ditempatkan pada suatu posisi tidak semata-mata
dilihat dari segi profesionalismenya, tetapi juga harus ada pertimbangan lain
yang bersifat kedaerahan.
Memang
pemerintahan itu kalau mau maju harus harus dipimpin oleh orang-orang
professional dan profesionalisme tidak mengenal perbedaan suku dan agama.
Tetapi mengurangi, apalagi menghilangkan unsur daerah dalam pemerintahan daerah
tentulah tidak bijak dan dapat menimbulkan konflik sosial yang kemudian
menghancurkan tatanan yang sudah ada. Hal ini sudah terbukti pada kasus Sampit
dan Maluku. Pembantaian dan pengusiran orang-orang Madura didahului dengan
pemberhentian du pejabat suku Dayak dari Pemda setempat, kemudian diganti
dengan pejabat suku Madura. Hal yang sama juga menjadi penyebab konflik sosial
di Maluku, yaitu diberhentikannya sejumlah pejabat yang beragama Kristen, lalu
diganti dengan pejabat yang beragama Islam di lingkungan Pemda setempat.
Karena
itu, kasus Sampit dan Maluku cukuplah menjadi pelajaran bagi kita dalam
menghadapi berbagai perkembangan di Tanah Air dewasa ini, seperti krisis
ekonomi dan otonami daerah, yang berdampak terhadap timbulnya konflik sosial.
Dalam mengambil pelajaran seperti itu dengan mengembangkan kearifan mengelola
pemerintahan pimpinan ormas dan partai Islam serta tokoh-tokoh Islam setempat
mempunyai peranan yang besar, karena mereka mempunyai jaringan ke daerah, mulai
dari tingkat elit sampai lapisan akar rumput.
Tetapi
kearifan itu memang tidak mudah, karena program pembangunan yang dilancarkan
selama ini telah membawa kemajuan besar bagi umat Islam, terutama d bidang
pendidikan. Hal ini mendorong terjadinya mobilitas vertikal yang memungkinkan
umat siap menduduki posisi-posisi penting dalam pemerintahan di daerah-daerah
yang dulunya dipegang oleh kelompok sosial lain yang berasal dari daerah
setempat.
Mobilitas
vertikal umat Islam membuat mereka mampu bersaing dengan kelompok agama lain,
yang kemudian bisa menyebabkan tergesernya orang-orang dari kelompok sosial
lain dari kedudukan penting mereka di daerah mereka sendiri, seperti di Sampit
dan Maluku. Penggeseran ini mendorong
munculnya provokator dari kalangan elit setempat untuk menggerakkan
pendukungnya melakukan perlawanan yang berakibat terjadinya konflik sosial.
Menyetop
mobilitas vertikal umat Islam itu tentu tidak mungkin, karena hal itu terjadi
secara alamiah, tetapi dapat diperlambat agar kelompok sosial yang lain tidak
merasa tersingkir dan mengalami marjinalisasi di daerah mereka sendiri.
Kearifan seperti itu rasanya penting
diperhatikan oleh umat Islam dalam mengembangkan kehidupan mereka di daerah
untuk menghindari terulangnya konflik sosial
di Maluku, Sampit dan tempat-tempat lain di seluruh Indonesia.
Kerukunan Hidup Beragama
Sejak
maraknya konflik sosial keagamaan di berbagai daerah, seperti Maluku, Poso, dan
lain-lain muncul gagasan untuk membuat undang-undang yang mengatur hubungan
antar umat beragama. Tetapi gagasan ini menimbulkan sikap pro dan kontra di
kalangan Islam dan Kristen. Kalangan Islam setuju, sedang golongan Kristen
menolak gagasan itu. Golongan Islam berpendapat bahwa undang-undang seperti itu diperlukan, terutama dalam hal
penyiaran dan penyebaran agama. Hal-hal yang di luar penyiaran agama, seperti
bidang ekonomi, politik, dan hubungan sosial umat beragama tidak perlu diatur
dalam undang-undang ini.
Sedang golongan
Kristen tidak setuju gagasan itu, karena mereka beranggapan bahwa undang-undang
semacam itu hanya akan mengkotak-kotakkan umat beragama. Undang-undang itu juga
mengandung intervensi pemerintah dalam kehidupan beragama. Padahal seharusnya
diciptakan kebebasan beragama, termasuk kebebasan berpindah agama dan kebebasan
tidak beragama.
Dengan
demikian, terjadi perbedaan sikap golongan-golongan agama terhadap gagasan
undang-undang yang hendak mengatur kerukunan hidup beragama itu. Perbedaan
sikap ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain cara berpikir mereka
berbeda. Golongan Islam berpikir realistis, sedang golongan Kristen berpikir
ideal. Idealnya kerukunan hidup beragama hidup beragama tidak perlu diatur,
karena seharusnya semua golongan agama hidup rukun dn damai.
Apalagi
kalau diingat dulu sejarah lahirnya bangsa Indonesia. Bangsa ini dulu didirikan
atas kesepakatan semua kelompok agama. Jika mereka tidak sepakat, maka mungkin
bangsa ini tidak akan lahir seperti sekarang. Mungkin nusantara ini
terpecah-pecah dalam beberapa negara sesuai dengan agama warganya. Pemikiran
ideal itu ada benarnya. Tetapi kenyataanya selama ini dalam kehidupan antar umat beragama sering
terjadi konflik, seperti di Maluku dan Poso. Ini berarti dalam kehidupan antar
beragama ada hal-hal yang harus ditangani secara ril untuk menghindari konflik
sosial yang bernuansa keagamaan.
Misalnya
selama ini ada keresahan di kalangan Islam terhadap cara-cara penyebaran agama
Kristen. Umat Kristen dalam menyebarkan agamanya kadang-kadang sasarannya
adalah orang-orang Islam. Orang-orang Islam yang miskin diberi uang untuk
pendidikan, kesehatan, usaha dan santunan sosial. Orang-orang Islam yang miskin
dan lemah imannya akan mudah tergoda untuk meninggalkan Islam dan berpindah ke
agama Kristen.
Keluhan
lain dari kalangan Islam adalah sering terjadi perubahan peruntukan suatu bangunan. Suatu bangunan semula diperuntukkan
buat rumah tinggal, tetapi kemudian berubah menjadi rumah ibadah, pendidikan
agama atau kegiatan agama lainnya. Perubahan peruntukan ini tidak jarang
mengundang protes dari masyarakat sekitar, yang kemudian menjadi sumber konflik
sosial yang bernuansa keagamaan, seperti kasus pembakaran Yayasan Doulos di
Cipayung Jakarta Timur pada 15 Desember 1999.
Itulah
sebabnya golongan Islam mengharapkan adanya
undang-undang yang mengatur penyiaran dan penyebaran agama untuk menghindari
konflik sosial seperti itu. Jadi, undang-undang semacam itu adalah untuk
kepentingan bersama, bukan untuk golongan Islam saja. Namun faktor yang lebih
mendasar yang menyebabkan golongan Islam dan Kristen berbeda pendapat mengenai
perlu tidaknya undang-undang kerukunan hidup beragama adalah perbedaan ajaran
dasar kedua agama itu tentang hubungan agama dengan negara. Menurut Kristen
agama dan negara terpisah dan tidak saling mencampuri. Karenanya, undang-undang
semacam itu tidak perlu, sebab undang-undang semacam ini merupakan salah satu
bentuk campur tangan negara dalam kehidupan beragama.
Sedang
Islam tidak memisahkan antara agama dengan negara. Karena ajaran Islam mencakup
seluruh segi kehidupan, baik vertikal (hubungan manusia dengan Tuhan yang
disebut ibadah) maupun horizontal (hubungan sesama manusia dan lingkungannya
yang disebut muamalah). Negara termasuk urusan horizontal. Dalam pandangan
Islam negara harus tunduk kepada aturan agama atau setidaknya negara tidak
mengeluarkan kebijakan yang merugikan kehidupan agama dan membantu
terselenggaranya ajaran agama bagi para pemeluknya. Misalnya dalam Islam ada
aturan tentang pernikahan, perceraian dan kewarisan. Untuk menyelenggarakan
ketentuan ini tidak bisa diserahkan kepada umat Islam sendiri tanpa bantuan
negara atau pemerintah. Karena itu, pemeritah mendirikan Kantor Urusan Agama
(KUA) untuk menangani pernikahan,
kemudian pengadilan agama untuk mengurus perceraian dan kewarisan.
Malah
urusan ibadah belum tentu dapat terselenggara dengan baik tanpa campur tangan
pemerintah, seperti pada penyelenggaraan ibadah haji dan zakat. Jika umat Islam
dibiarkan mengurus sendiri pergi ke Tanah Suci tanpa koordinasi pemerintah
mungkin sekali akan banyak jamaah haji yang tersesat, hilang atau meninggal
tanpa ada yang mengurus. Sekarang saja sudah ada lembaga pemerintah yang khusus
menangani ibadah haji, tetapi masih sering terjadi ada jamaah yang tersesat,
terpisah dari kelompoknya dan tidak bisa kembali ke tempat penginapan. Apalagi
kalau umat Islam dibiarkan pergi sendiri-sendiri tanpa ada yang
mengkoordinirnya untuk menunaikan rukun Islam yang kelima itu.
Begitu
pula ibadah zakat. Selama ini banyak orang Islam yang mengeluarkan zakat dengan
langsung memberikannya kepada mustahiknya (orang yang berhak menerima zakat),
tetapi hasilnya hanya sekadar melaksanakan kewajiban agama. Sedang dampak
sosialnya tidak begitu terasa bagi kehidupan umat Islam, karena zakat tidak
dikelola secara produktif.
Karena
itu, peranan pemerintah diharapkan dalam penanganan zakat agar dapat memaksa
orang-orang Islam yang sudak berkecukupan untuk mengeluarkan zakat, kemudian
mengelolanya secara produktif, sehingga dapat menimbulkan implikasi positif
dalam memberdayakan kehidupan umat
Islam. Harapan ini sudah mendapat sambutan positif dengan keluarnya
Undang-undang No: 33 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Kalau
dalam urusan ibadah saja Islam
memerlukan peranan pemerintah, apalagi dalam urusan penyiaran agama yang
melibatkan kelompok-kelompok agama yang berbeda kepentingan. Hal ini tidak dapat diserahkan kepada umat beragama
sendiri tanpa ada peranan pemerintah atau negara di dalamnya. Tetapi mengenai
hubungan agama dengan negara kita tidak perlu merujuk kepada agama
masing-masing, karena kita akan menemui pertentangan antara satu dengan agama
yang lain. Yang perlu dilakukan adalah melihat kembali fungsi negara. Salah
satu fungsi negara adalah menciptakan ketertiban bagi para warganya.
Masalahnya
sekarang apakah akan tercipta ketertiban kalau masing-masing golongan agama
menyiarkan dan menyebarkan agamanya tanpa mengikuti peraturan yang disepakati
bersama. Kelihatannya tanpa ada peraturan yang disepakati bersama, maka
penyiaran dan penyebaran agama akan membawa umat beragama dalam suasana konflik.
Itulah
sebabnya diperlukan aturan main untuk menghindari konflik sosial keagamaan.
Aturan main itu dapat berupa undang-undang kerukunan hidup beragama atau
undang-undang penyiaran dan penyebaran agama, atau apapun namanya yang
disepakati beragama semua golongan agama di negeri ini.
Daftar Bacaan:
1.
Kartodirdjo, Sartono, Ratu Adil (Jakarta: Sinar Harapan, 1984).
2.
Tebba, Sudirman, Islam Pasca Orde Baru (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2001).
3.
Theodorson, George A. dan Achilles G. Theodorson, A Modern
Dictionary of Sociology (New York: Barnes and Noble Books, 1969).
Sudirman
Tebba adalah dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta