Monday, September 30, 2013

Robert Akan Serahkan Bukti Kejanggalan "Bailout" Bank Century


JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Direktur Utama PT Century Mega Investindo, Robert Tantular, mengaku akan menyerahkan bukti terkait penyelewengan Bank Century kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Robert akan mengungkapkan bukti bahwa Bank Century sengaja dikolapskan oleh invisible hand.

"Kita hari ini akan menyerahkan beberapa bukti kepada penyidik KPK, nanti Pak Robert yang akan serahkan," kata pengacara Robert, Andi Simangungsong, di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Senin (30/9/2013), saat mendampingi kliennya diperiksa.

Robert diperiksa KPK sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) dan penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Saat memenuhi panggilan KPK, dia tampak membawa tas. Lebih jauh, Andi mengungkapkan, bukti yang akan diserahkan kliennya kepada penyidik KPK antara lain surat pernyataan dari manajemen Bank Century sekitar Oktober 2008.

Dalam surat tersebut, katanya, pihak manajemen menyatakan bahwa dana yang dibutuhkan untuk menyelamatkan Bank Century hanya Rp 1 triliun.

"Ada yang mengatakan Rp 1 triliun itu hanya untuk surat berharga bodong, dan lain-lain, itu keliru. Di sini terlihat bahwa manajemen Bank Century menyatakan dana Rp 1 triliun dibutuhkan karena ada kesulitan dana likuiditas dari Bank Century pada saat itu yang kena imbas krisis ekonomi global 2008," papar Andi.

Kepada KPK pula, Robert menurut Andi akan menyerahkan nota kesepakatan dari Grup Sinar Mas yang menunjukkan adanya niatan Sinar Mas untuk mengambil alih Bank Century sekitar 16 November 2008. Seandainya pengambilalihan Century oleh Sinar Mas ini berjalan tuntas, kata Andi, maka negara tidak perlu menggelontorkan dana talangan Rp 6,7 triliun untuk Century.

"Biarlah menjadi urusan antara swasta dan swasta, dan penyelamatan dilakukan dengan uang swasta sendiri, dalam hal ini Sinar Mas," ujarnya.

Namun, menurut Andi, di saat Sinar Mas sedang dalam proses pengambilalihan 70 persen saham Bank Century, Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) pada tanggal 21 November 2008 mengumumkan bahwa Bank Century diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Selanjutnya, penggelontoran Rp 6,7 triliun pun berlangsung.

"Padahal, seandainya pemerintah memberikan kesempatan kepada Sinar Mas untuk mengambil alih Bank Century sebanyak 70 persen saham, maka Rp 6,7 triliun tidak perlu digelontorkan oleh pemerintah," ujarnya.

Bukti selanjutnya, kata Andi, surat pernyataan pemegang saham Century yang intinya menyatakan bahwa para pemegang saham, termasuk Robert, telah bersedia ikut rekapitalisasi Bank Century, tetapi tidak diizinkan sehingga tidak ditindaklanjuti.

"Intinya adalah pada saat dinyatakan bahwa Bank Century akhirnya diambil alih oleh LPS, pada saat itu sebenarnya ada hak dari Pak Robert untuk ikut menyetorkan setidaknya 20 persen dari dana yang betul-betul dibutuhkan oleh pemerintah untuk menyelamatkan Century," katanya.

Padahal, lanjut Andi, jika saat itu pemerintah menghormati hak Robert untuk menyetorkan dana ke Bank Century, maka setidaknya pemerintah tidak sendirian menanggung biaya penyelamatan bank tersebut.

"Maka tidak perlu seluruhnya Rp 6,7 triliun itu dikeluarkan negara via LPS. Sebanyak 20 persen setidaknya bisa ditanggung oleh Pak Robert Tantular, baik biaya sendiri dengan dananya, maupun dengan investor lain yang bersedia untuk menanggulangi dana 20 persen itu. Jadi tidak perlu sampai Rp 6,7 triliun," kata Andi.

Dia juga menyerahkan bukti penggunaan dana bailout Rp 6,7 triliun. Dari dana tersebut, menurut Andi, sebagian besar atau sekitar Rp 2,2 triliun digunakan untuk didiamkan di Bank Indonesia dan dalam surat utang negara (SUN).

"Di sini terlihat ada lebih dari Rp 2,2 triliun dana Bank Century ditempatkan di BI. Untuk apa kalau perlu Rp 6,7 triliun, tapi Rp 2,2 triliun ditempatkan kembali ke BI. Itu menjadi tanda tanya besar dalam perkara ini," ucap Andi.

Jika Terpilih Jadi Kapolri, KPK Harap Sutarman Berubah


JAKARTA, KOMPAS.com
— Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berharap calon tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesia (kapolri), Komisaris Jenderal (Komjen) Sutarman, berubah menjadi pemimpin Polri yang bisa bersinergi dengan KPK dalam memberantas korupsi. Hal ini disampaikan Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja seusai rapat tertutup dengan para anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk mengevaluasi kinerja Polri di Gedung Kompolnas, Jakarta, Senin (30/9/2013).

"Jangan lupa bahwa Sutarman sekarang dengan Sutarman Kapolri beda," katanya.

Adnan mengakui bahwa dengan pergantian pucuk pimpinan Polri ke tangan Sutarman, potensi benturan antara KPK dan Polri selalu ada. Kendati demikian, mantan advokat tersebut lebih memilih berpikir positif dalam melihat sosok pria yang masih menjabat sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri itu.
KOMPAS.COM/FIAN Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Adnan Pandu Praja usai menghadiri rapat evaluasi kinerja Polri di Gedung Kompolnas, Jakarta, Senin (30/9/2013). Adnan menyatakan ketidakpuasannya dengan kinerja Polri dalam memberantas korupsi.

"Saya berharap ketika menjadi Kapolri, (dia) menjadi Sutarman yang baru," ucapnya.

Sebagai sesama institusi penegak hukum yang bersinergi dalam menjalankan tugas pemberantasan tindak pidana korupsi, hubungan antara KPK dan Polri sempat menegang saat KPK pertama kali menyidik kasus dugaan korupsi proyek simulator ujian surat izin mengemudi (SIM) di Korps Lalu Lintas Kepolisian RI yang menjerat Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Tidak lama setelah KPK menetapkan Djoko dan tiga orang lainnya sebagai tersangka, Polri meningkatkan penanganan kasus simulator SIM ke tahap penyidikan dengan menetapkan lima tersangka, kecuali Djoko.

Menyusul kemudian, Polri menetapkan penyidik KPK, Komisaris Polisi Novel Baswedan, sebagai tersangka kasus dugaan penembakan terhadap pelaku pencuri sarang burung walet di Bengkulu delapan tahun lalu. Sejumlah petugas kepolisian juga mendatangi Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, untuk menangkap Novel.

Ketua tim kuasa hukum Novel, Haris Azhar, menduga Sutarman berada di balik penetapan Novel sebagai tersangka. Dugaan ini pun dibantah Sutarman. Dia mengatakan bahwa penangkapan Novel merupakan proses penyidikan oleh penyidik kepolisian.

ICW pertanyakan berkurangnya buron koruptor di Kejagung


Senin, 30 September 2013 11:22 WIB | 1450 Views
Jakarta (ANTARA News) - Indonesian Corruption Watch (ICW) mempertanyakan berkurangnya jumlah buron koruptor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di dalam laman Kejaksaan Agung.

"Yang jelas kami mempertanyakan itu, karena sampai sekarang kejaksaan tidak pernah terbuka soal berapa buron koruptor yang masih diburu," kata anggota Badan Pekerja ICW, Emerson F Yuntho, di Jakarta, Senin.

Dari laman kejaksaan.go.id, empat buronan BLBI itu yakni Eko Edi Putranto (Mantan Komisaris PT BHS), Hendro Bambang Sumantri (Pensiunan Departemen Perdagangan RI), Lesmana Basuki (Presiden Direktur PT Sejahtera Bank Umum (PT SBU)), dan Samadikun Hartono (Mantan Komisaris Utama PT Bank Modern Tbk), dan Hary Matalata (Direktur PD Pooja dan PT Devi Pooja Kumari), ditambah dua buron baru kasus Century Hesham Al Warraq dan Rafat Ali Rizvy.

Pada 17 Oktober 2006, Kejagung menyebutkan ada 14 koruptor BLBI yakni, Sudjiono Timan (Dirut PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI)), Eko Edi Putranto (Direksi Bank Harapan Sentosa (BHS)), Samadikun Hartono (Presdir Bank Modern), Lesmana Basuki (Kasus BLBI).

Selanjutnya, Sherny Kojongian (Direksi BHS), Hendro Bambang Sumantri (Kasus BLBI), Eddy Djunaedi (Kasus BLBI), Ede Utoyo (Kasus BLBI), Toni Suherman (Kasus BLBI), Bambang Sutrisno (Wadirut Bank Surya), Andrian Kiki Ariawan (Direksi Bank Surya), Harry Mattalata alias Hariram Ramchmand Melwani (Kasus BLBI), Nader Taher (Dirut PT Siak Zamrud Pusako), dan Dharmono K Lawi (Kasus BLBI).

Kejagung melalui Wakil Jaksa Agung (Waja) saat itu, Dharmono pada 13 Juni 2012 menyebutkan masih ada 23 buron BLBI yang belum ditangkap pasca dipulangkannya satu buron BLBI, Sherny Kojongian ke tanah air setelah ditangkap Interpol di San Francisco, AS.

Emerson menambahkan kejaksaan harus memberikan penjelasan publik mengenai berkurangnya jumlah buron koruptor itu dan harus terbuka secara gamblang atau secara resmi sebenarnya ada berapa buron koruptor BLBI yang masih diburu sampai sekarang.

"Kami meminta Kejagung agar terbuka menjelaskan sebenarnya ada berapa buron koruptor BLBI yang belum ditangkap," katanya.

Ia menduga kejagung sudah menghentikan kasus penyidikan sejumlah buron koruptor itu tanpa memberitahukan ke publik.

Ia menilai Kejagung tidak serius di dalam pengejaran para koruptor tersebut, salah satunya saat kami meminta "up date" jumlah buronan koruptor beberapa waktu lalu, sampai sekarang tidak ditanggapi.

"Sampai sekarang permintaan up date jumlah sesungguhnya buronan koruptor yang belum ditangkap, belum dipenuhi sama sekali," katanya.

Semula, kata dia, jika sudah ada data yang jelas jumlahnya berapa maka akan disamakan dengan jumlah yang dimiliki oleh ICW.

Ia juga menyoroti soal hasil tangkapan buronan korupsi oleh kejaksaan sejak berdirinya "Monitoring Center" atau alat sadap pada Juli 2011, bukannya kelas kakap.

"Kita sayangkan buronan korupsi yang ditangkap itu bukannya kelas kakap," katanya.
Editor: AA Ariwibowo

KPK jadwalkan pemeriksaan Dirut PT Kernel



Senin, 30 September 2013 11:44 WIB | 1183 Views
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadwalkan pemeriksaan direktur utama PT Kernel Oil Private Limited (KOPL) Finsenlia Andika dalam kasus suap terkait kegiatan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) tahun 2012-2013.

"Yang bersangkutan diperiksa untuk RR (Rudi Rubiandini)," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha di Jakarta, Senin.

Finsenlia sebelumnya pernah dipanggil KPK pada 28 Agustus 2013.

Selain Finsenlia Andika, KPK menjadwalkan pemeriksaan Komisaris PT KOPL Ari Kusbiyantoro, bagian keuangan PT KOPL Prima Hasyim Karsidik, pegawai PT KOPL Maulana Yahya Abas serta staf divisi komersil minyak SKK Migas Ayodya Belini Hindriono.

Dalam kasus ini, KPK sudah menetapkan enam orang yang telah dicegah keluar negeri yaitu Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Waryono Karno, Kepala Divisi Penunjang Operasi SKK Migas Iwan Ratman, Kepala Divisi Komersialisasi Gas Bidang Pengendalian Komersil SKK Migas Popi Ahmad Nafis Presiden Direktur PT Parna Raya Group Artha Meris Simbolon dan pihak swasta yaitu Febri Setiadi.

KPK menetapkan mantan SKK Migas Rudi Rubiandini sebagai tersangka dalam kasus ini berdasarkan operasi tangkap tangan (OTT) pada 13 Agustus 2013 malam bersama dengan barang bukti 400 ribu dolar AS yang diberikan oleh Komisaris PT Kernel Oil Private Limited Simon Gunawan Tanjaya melalui pelatih golf Rudi, Deviardi yang juga sudah ditangkap KPK.

Pemberian tersebut diduga merupakan pemberian kedua, sedangkan pemberian pertama dilakukan sebelum Lebaran dengan uang sejumlah 300 ribu dolar AS.

KPK selanjutnya menggeledah sejumlah tempat terkait kasus tersebut yaitu ruang Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian ESDM dan menyita uang 200 ribu dolar AS, selanjutnya di rumah Rudi di Jalan Brawijaya disita uang senilai 127 ribu dollar Singapura, 90 ribu dolar AS dan motor berkapasitas mesin besar merek BMW.

Dalam pengembangannya KPK juga menemukan uang 350 ribu dolar AS di kotak penyimpanan milik Rudi di Bank Mandiri, 60 ribu dolar Singapura, 2 ribu dolar AS dan juga emas kepingan dengan nilai 180 gram dari brankas milik Rudi di kantornya di gedung SKK Migas.

Rudi Rubiandini dan Deviardi sebagai penerima suap disangkakan pasal 12 huruf a dan b atau pasal 5 ayat 2 atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Sedangkan pemberi suap, Simon Tanjaya, dari perusahaan Kernel Oil diduga melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a dan b atau pasal 13 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Editor: AA Ariwibowo

Kejagung periksa saksi kasus korupsi mobil internet


Senin, 30 September 2013 12:01 WIB | 1201 Views
Jakarta (ANTARA News) - Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus), Senin, memeriksa dua saksi kasus dugaan korupsi pengadaan Mobil Pusat Layanan Internet Kecamatan (MPLIK) di Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Kedua saksi yang diperiksa yakni Berinatho Herlambang dan Tri Haryanto, Ketua dan Sekretaris Pengadaan Jasa Ekses Telekomunikasi dan Informatika Pedesaan KPU/USO Kantor Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI), Kementerian Komunikasi dan Informatika.

"Dua saksi dijadwalkan untuk diperiksa," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Setia Untung Arimuladi di Jakarta, Senin.

Sebelumnya, Kejagung sudah menetapkan dua tersangka dalam kasus tersebut yakni Direktur PT Multi Data Rancana Prima berinisial DNA dan Kepala Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika, S.

Kejagung menaikkan kasus tersebut dari penyelidikan ke penyidikan setelah menemukan adanya bukti permulaan dugaan korupsi pada 12 Juli 2013.

Pengadaan proyek tersebut tahun anggaran 2010 sampai 2012 senilai Rp81,4 miliar untuk paket VI di Provinsi Sumatera Selatan dan Rp64,2 miliar untuk paket VII di Provinsi Banten dan Jawa Barat.

Diduga spesifikasi teknis serta operasional penyelenggaraannya tidak sesuai dengan dokumen kontrak.

MPLIK adalah Pusat Layanan Internet Kecamatan yang melayani sejumlah daerah yang belum terjangkau akses informasi dan Internet.
Editor: Heppy Ratna

Fathanah bayari kartu kredit Rama Pratama


Senin, 30 September 2013 14:25 WIB | 1482 Views
Jakarta (ANTARA News) - Terdakwa perkara suap pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian dan tindak pidana pencucian uang Ahmad Fathanah membayari kartu kredit mantan anggota DPR Komisi XI asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Rama Pratama karena diminta oleh mantan presidenn PKS Luthfi Hasan Ishaaq.

"Saya memang biasa menalangi kegiatan Pak Luthfi untuk partai dan kegiatan lain. Pada waktu itu, ada kunjungan beberapa pengusaha yang mau investasi di Indonesia, dan Pak Luthfi minta tolong saya dari bidang ekonomi partai untuk menjamu, saat itu saya pakai kartu kredit," kata Rama saat bersaksi di sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

Rama yang merupakan kader PKS adalah mantan anggota DPR periode 2004-2009 mengaku mengeluarkan uang lebih dari Rp50 juta untuk menjamu tamu-tamu Luthfi tersebut.

"Selama dua minggu rombongan yang terdiri atas 10 orang menginap di hotel Le Meridian, saya yang tanggung makan, akomodasi, transportasi untuk keliling ke beberapa perusahaan, semua saya bayar menggunakan kartu kredit, saya tanya ke Pak Luthfi ini kartu kredit saya bagaimana pembayarannya? Lalu Pak Luthfi mengatakan nanti akan dibayar Fathanah, silakan hubungi Fathanah," ungkap Rama.

Rama kemudian menghubungi Fathanah untuk meminta pelunasan utang Luthfi tersebut.

"Seingat saya saat menghubungi (Fathanah), dia menyanggupi untuk mengganti biaya dari saya," katanya.

Ia mengaku bahwa biaya yang ditanggungnya tersebut bukan untuk kegiatan partai maupun DPR. "Setahu saya itu untuk kegiatan personal," kata Rama.

Hakim Joko Subagyo pun mempertanyakan kelaziman bila yang berutang adalah Luthfi tapi yang membayari utang adalah Fathanah.

"Apakah lazim bila yang meminjam adalah Luthfi Hasan Ishaaq tapi yang melunasi Fathanah?," tanya hakim Joko.

"Menurut saya lazim-lazim saja karena biasa ada hubungan transaksional utang-piutang antara Pak Luthfi dan Fathanah, itu sebenarnya lebih dari Rp50 juta tapi jumlah tersebut hanya kesepakatan sebagai itikad baik Pak Luthfi, selisih uang yang lain saya lupa," jelas Rama.

Ketua majelis hakim Nawawi Pomolongo pun mempertanyakan kelaziman bila anggota DPR punya hubungan langsung dengan para pengusaha.

"Apakah lazim pengusaha datang ke anggota parlemen dan kebetulan presiden partai?" tanya Nawawi.

"Anggota dewan juga manusia jadi punya hubungan personal, bisa untuk memfasilitasi untuk peluang bisnis di Indonesia," jawab Rama.

Fathanah juga mengakui bahwa ia membayari uang Rp50 juta untuk kartu kredit Rama.

"Ustaz Luthfi mengatakan ada pengusaha dari Thailand Selatan dan minta tolong untuk dibayarkan, saya sudah kenal dengan Rama sebelumnya namun hanya urusan bisnis saja," jelas Fathanah.

Fathanah diketahui juga pernah menghubungi Rama untuk mencari orang dari PT Jasa Marga untuk satu proyek.

"Pernah ada komunikasi dengan Fathanah untuk mencari kenalan di PT Jasa Marga terkait proyek pemasangan lampu jalan di Tanjung Benoa, tapi saya tidak punya," kata Rama.

Fathanah dalam perkara ini didakwa berdasarkan pasal 3 UU no 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar tentang orang yang menyamarkan harta kekayaannya.

Fathanah juga didakwa menerima uang yang patut diduga merupakan hasil tindak pidana berdasarkan pasal 5 UU no 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 65 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda Rp1 miliar karena dianggap menerima bersama-sama dengan Luthfi pemberian mencapai Rp35,4 miliar .
Editor: AA Ariwibowo

Sunday, September 29, 2013

Jenderal Sutarman & Aksi Pengepungan Kantor KPK


 
JAKARTA - Komjen Pol Sutarman menjadi calon kapolri tunggal untuk menggantikan Jenderal Timur Pradopo. Selama berkarir di kepolisian, Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri itu bukan tanpa catatan hitam.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti aksi pengepungan kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh reserse Polda Bengkulu dan Polda Metro Jaya. Selain itu, operasi pemberantasan terorisme yang lebih mengendepankan kekerasan.

"Saya pikir dua hal itu, Sutarman cukup menonjol dan mengagetkan orang," kata Koordinator KontraS, Haris Azhar kepada Okezone, Sabtu (28/9/2013).

Untuk insiden pengepungan kantor KPK di Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan, yang jadi pertanyaan menurut Haris, mengapa Sutarman membiarkan hal itu terjadi. "Pertanggungjawaban dia di mana, itu tidak ketahuan," ungkapnya.

Dia menilai, ketika ada operasi dua gabungan Polda, tentu Kapolri, Kepala Bagian Operasional dan Kabareskrim tahu. "Itu aibnya polisi sampai mengepung kantor KPK," tegasnya.

Soal pemberantasan terorisme, Haris menilai Sutarman sebagai sosok tegas namun tidak argumentatif. Haris mencontohkan, ketiak KontraS protes soal kekerasan dalam pemberantasan teroris, Sutarman menjawab bahwa itu penjahat, kalau melawan ditembak.

"Begitu saja jawabnya. Padahal, penegakan hukum tidak seperti itu. Tegas itu memang mengambil tindakan yang sesuai aturan," ujarnya.

Haris juga mengkritisi banyaknya kekerasan yang dilakukan reserse. Menurutnya, sebagai Kabareskrim, Sutarman perlu tahu hal itu. Beberapa bulan terakhir saja, KontraS menerima ratusan aduan kekerasan diduga oleh reserse. Aduan dari warga itu sudah dilaporkan ke Mabes Polri.

"Apakah ini jadi perhatian dia ketika jadi kapolri nanti. Adanya ratusan kekerasan dalam penyelidikan, penyidikan dan pemeriksaan," pungkasnya. (trk)
(ris)

SBY Tak Perlu Kebakaran Jenggot jika Kenal Sengman



 JAKARTA -Anggota Komisi III dari Fraksi Gerindra, Martin Hutabarat, mengatakan Istana seperti kebakaran jenggot saat disebut soal kedekatannya dengan Sengman Tjahja.


"Sebenarnya Sengman ini tidak ada yang perlu ditakuti oleh orang yang merasa kenal dan mengenal Sengman. Sehingga pihak Istana jangan kebakaran jenggot," kata Martin, di DPR, Jakarta, Senin (2/9/2013).

"Jangan khawatir. Pak SBY tidak perlu khawatir jika memang tidak mengenal Sengman," sambungnya.

Martin menambahkan, yang berbahaya adalah ketika SBY sesungguhnya mengenal Sengman namun mengaku tidak kenal. Sebab, bantahan ini hanya bukan sekedar kejahatan. Tapi juga persoalan sikap dan integritas seseorang.

"Kalau kenal mengaku tidak kenal itu yang bahaya. Sikap gentlemant harus ditumbuhkan," jelas Martin.

Bagi Martin, yang terpenting adalah tidak ada kongkalikong atas kedekatan ini. Apalagi adanya korupsi hingga mengakibatkan kerugian keuangan negara.

"Selama itu tidak menyangkut masalah penggerogotan keuangan negara, wajar saja tidak ada yang salah. Kita kenal ya bilang kenal," paparnya.

Sebelumnya, nama SBY terseret kasus suap impor daging sapi. Pengakuan ini disampaikan putra Ketua Dewan Syuro PKS Hilmi Aminuddin, Ridwan Hakim, yang bersaksi untuk terdakwa Ahmad Fathanah di Pengadilan Tipikor Jakarta, 29 Juli 2013 lalu.

Dalam kesaksiannya, Ridwan menyebut adanya seseorang bernama Sengman, utusan Presiden yang menerima uang Rp40 miliar dari PT Indoguna Utama dalam kasus suap ini.
(crl)

10 Kabupaten Kota yang Paling Terbuka soal Anggaran Versi Fitra



JAKARTA, KOMPAS.com - Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyatakan bahwa pemerintah daerah (pemda) yang memublikasikan informasi anggarannya masih di bawah 25 persen. Hal itu diketahui berdasarkan penelusuran 193 website pemda di sembilan provinsi yang dilakukan pada awal September 2013. Meski demikian, Fitra menyusun daftar 10 kota dan 10 kabupaten yang dinilai paling baik dalam memublikasikan informasi anggarannya.

Untuk wilayah kota, Kota Blitar menempati peringkat pertama dalam indeks keterbukaan informasi pemda karena menyediakan informasi anggaran dengan skor 54,39, sedangkan untuk kabupaten, Fitra menempatkan Kabupaten Kebumen di peringkat pertama dengan skor 48,25.

"Atas dasar itu, kami merekomendasikan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan reward kepada pemda yang memublikasikan anggarannya dan punishment kepada pemda yang menutup informasi anggarannta," kata Koordinator Advokasi Seknas Fitra, Maulana, di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (29/9/2013).

Berikut adalah daftar 10 kota yang dinilai Fitra paling terbuka dalam memublikasikan informasi anggarannya:

1. Blitar dengan skor 54,39
2. Probolinggo dengan skor 51,31
3. Surabaya dengan skor 50,07
4. Kediri dengan skor 48,84
5. Semarang dengan skor 45,53
6. Pontianak dengan skor 41,66
7. Salatiga dengan skor 38,52
8. Banda Aceh dengan skor 31,97
9. Mataram dengan skor 29,47
10. Madiun dengan skor 26,83

Daftar 10 kabupaten yang dianggap Fitra paling terbuka dalam memublikasikan informasi anggarannya:

1. Kebumen dengan skor 48,25
2. Banyuwangi dengan skor 43,53
3. Lumajang dengan skor 42,76
4. Jepara dengan skor 41,76
5. Malang dengan skor 41,56
6. Nagan Raya dengan skor 37,23
7. Kudus dengan skor 35,97
8. Labuhan Batu dengan skor 35,36
9. Magetan dengan skor 34,97
10. Pamekasan dengan skor 34,87

IPW Ragukan Komitmen Sutarman Berantas Korupsi


KOMPAS.com - Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane meragukan komitmen Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Pol Sutarman. Pasalnya, selama menjabat sebagai Kabareskrim banyak kasus korupsi yang ditangani Polri sampai saat ini tak kunjung menemui titik terang.

Dari catatan IPW, sejumlah kasus korupsi yang saat ini masih mandek diantaranya penanganan kasus dugaan korupsi alat kesehatan dan pelat nomor kendaraan bermotor yg diduga melibatkan sejumlah perwira tinggi Polri. Di samping itu, selama menjabat sebagai Kabareskrim Polri, Sutarman juga dinilai kurang memaksimalkan kinerja Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri.
DHONI SETIAWAN Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane

"Belum lagi hubungan Sutarman dengan KPK, akibat ia mencoba pasang badan dalam kasus simulator SIM. Tentu saja hal ini akan menjadi kendala dalambhubungan dua lembaga ini ke depan," katanya dalam pesan singkat yang diterima wartawan, Minggu (29/9/2013).

Neta pun mengaku pesimis bahwa Sutarman dapat menyelesaikan semua persoalan korupsi yang ada. Hal itu dilihat dari masa tugas Sutarman yang hanya akan menjabat selama 21 bulan saja jika terpilih menjadi Kapolri menggantikan Jenderal Timur Pradopo.

"Padahal masalah serius Polri saat ini adalah soal KKN. Ini makin meyakinkan tatkala bulan lalu KPK mengungkapkan bahwa Polri sbg lembaga terkorup di negeri ini," ujarnya.

Selain itu, ia juga menyayangkan sikap DPR yang seolah telah satu suara mendukung Sutarman menjadi Kapolri yang baru. Padahal, Sutarman masih harus menjalani uji kelayakan dan uji kepatutan sebelum dinyatakan lulus.

KPK terus dalami Korupsi PON Riau


Minggu, 29 September 2013 14:53 WIB | 2477 Views
Pekanbaru (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami kasus dugaan korupsi dalam penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) yang melibatkan sejumlah legislator dan pejabat daerah, termasuk Gubernur Riau, Rusli Zainal.

"Yang jelas penyidik masih terus mendalami kasus PON Riau. Sampai saat ini," kata Juru Bicara KPK, Johan Budi, saat dihubungi dari Pekanbaru, Minggu.

Kasus korupsi PON Riau berawal dari rencana pemerintah daerah dan para legislator Riau untuk merevisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2010 tentang Penambahan Biaya Arena Menembak PON Riau.

Terkait kasus tersebut, KPK juga telah menetapkan belasan orang dari kalangan oknum eksekutif maupun legislatif di Provinsi Riau sebagai tersangka.

Sejauh sebagian anggota DPRD Riau yang menerima suap sudah disidang dan dijatuhi vonis.

Demikian juga dengan pejabat Dinas Pemuda dan Olahraga Riau serta pihak swasta yang dianggap terbukti sebagai pemberi suap.

KPK juga berencana menjerat Rusli Zainal (RZ) dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 5 Ayat 2 atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 kitab undang-undang hukum pidana (KUHP).

"Namun, sejauh ini untuk RZ pemeriksaan masih terus dilakukan, termasuk juga saksi-saksi," kata Johan.

KPK, menurut dia, juga tengah mengusut motivasi di balik peningkatan anggaran proyek PON Riau 2012.

Pengusutan, dikemukakannya, dilakukan dengan memanggil sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan mememriksa mereka di Gedung KPK di Jakarta.

Berkaitan dengan dikabarkannya bahwa tidak lama lagi berkas perkara Rusli Zainal terkait kasus korupsi PON Riau akan segera dilimpahkan ke penuntutan atau dinyatakan lengkap (P21), ia menyatakan, belum mendapatkan informasi.

"Soal itu saya belum dapat informasinya," demikian Johan Budi.
Editor: Priyambodo RH

Saturday, September 28, 2013

KPK Sidik Kasus Korupsi Lain yang Diduga Libatkan Nazaruddin


JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyidik kasus dugaan korupsi lain yang menjerat mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengungkapkan, kasus ini berbeda dengan kasus suap wisma atlet SEA Games atau kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pembelian saham perdana PT Garuda Indonesia yang menjerat Nazar.

“Dulu Nazaruddin kan hanya dikaitkan dengan tipikor (tindak pidana korupsi), sekarang ini TPPU dan tipikor atas kasus yang lain yang tidak berkaitan dengan kasus yang terdahulu,” kata Bambang di Jakarta, Jumat (27/9/2013).

Menurut Bambang, kasus Nazaruddin yang baru ini berkaitan dengan kekayaan yang diperolehnya dari tindak pidana korupsi.

“Kasus kedua bukan hanya Garuda, Garuda hanya salah satu,” ujar Bambang.

Kasus ini juga berkaitan dengan proyek lain yang pernah diurus mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu. Bambang mengatakan, sejumlah saksi sudah diperiksa terkait penyidikan kasus lain Nazarudin ini. Namun Bambang tetap menolak membeberkan kasus baru ini meskipun didesak wartawan.

“Itu yang tidak bisa saya sebut. Kalau baca sprindik (surat perintah penyidikan) yang dulu, kan sprindiknya ada dua. Sudah ada itu, tidak mungkin diperiksa kalau tidak ada sprindiknya. Ada tipikor yang kelanjutannya. Pokoknya selain wisma atlet, saya tidak mau sebut, pokoknya ada lah,” ujar Bambang.

TRIBUNNEWS/HERUDIN Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, saat menunggu sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Selatan, dengan agenda jawaban penuntut umum atas eksepsi Nazaruddin, Rabu (14/12/2011).
Dia juga menegaskan bahwa KPK tidak berhenti mengusut kasus-kasus yang berkaitan dengan Nazaruddin.

Wakill Ketua KPK Busyro Muqoddas pernah mengungkapkan bahwa KPK membutuhkan waktu paling tidak 10 tahun untuk menyelesaikan seluruh kasus dugaan korupsi yang melibatkan Nazaruddin. Selain sangat banyak, kasus dugaan korupsi yang melibatkan Nazaruddin sangat kompleks dan struktural.

Kasus terkait Nazaruddin juga menyangkut sejumlah pihak, di antaranya sejumlah kementerian, perguruan tinggi, dan rumah sakit. Nazaruddin juga kerap menyebut bekas koleganya di Partai Demokrat seperti Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Mirwan Amir, dan sejumlah nama lain ikut terlibat.

Melalui Grup Permai

KPK menelisik seluruh dugaan kasus korupsi yang melibatkan Nazaruddin melalui Grup Permai dengan sejumlah anak perusahaannya. Wakil Direktur Keuangan Grup Permai Yulianis di persidangan beberapa waktu lalu mengatakan, Grup Permai dan anak perusahaannya berperan menggiring proyek-proyek pemerintah agar tendernya dimenangkan mereka yang membayar perusahaan itu.

Dalam kasus dugaan suap wisma atlet misalnya, PT Anak Negeri, salah satu anak perusahaan Grup Permai, berperan membantu PT Duta Graha Indah (PT DGI) Tbk memenangkan tender proyek. Upaya itu berbuah fee yang harus diberikan kepada petinggi Grup Permai, salah satunya Nazaruddin.

Dalam kasus suap wisma atlet, Nazaruddin diputus menerima fee Rp 4,6 miliar dari PT DGI. Nazaruddin dinyatakan bersalah dan dihukum tujuh tahun penjara. Berdasar dokumen KPK, sejumlah proyek di beberapa kementerian diduga tendernya digiring oleh Grup Permai dan anak usahanya. Kementerian itu antara lain Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Agama, hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Belakangan, Nazaruddin mengungkapkan 12 proyek pemerintah yang menurutnya dikorupsi. Ke-12 proyek itu adalah proyek e-KTP senilai Rp 5,8 triliun; proyek fiktif pengadaan pesawat Merpati jenis MA 60 yang nilainya mencapai 200 juta dollar; proyek gedung pajak senilai Rp 2,7 triliun; proyek PLTU Kalimantan Timur senilai Rp 2,3 triliun pada 2010-2011; proyek PLTU Riau senilai Rp 1,3 triliun; proyek Diklat Mahkamah Konstitusi senilai Rp 200 miliar; proyek pembangunan gedung MK senilai Rp 300 miliar; proyek Refinery unit RU 4 Cilacap senilai 930 juta dollar; proyek Simulator SIM, proyek Hambalang berkaitan Wisma Atlet; proyek di Kementerian Pendidikan Nasional (Diknas); dan proyek pengadaan dean distribusi baju hansip di Kementerian Dalam Negeri.

KPK diminta bersikap adil


Jumat, 27 September 2013 22:22 WIB | 1606 Views
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta bersikap adil khususnya terkait pengakuan-pengakuan Muhammad Nazarudin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat (PD).

Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor Iwan Darmawan dalam keterangan persnya mengemukakan tersebut  di Jakarta, Jumat.

Iwan Darwan menyarankan, agar KPK jangan sampai 'menari-nari' didalam gendang politik Nazarudin, KPK bisa kok menggunakan 'gendang hukum' yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.

"Saya sebagai akademisi sangat menyayangkan jikalau KPK sudah mulai bersikap tidak sama adil menyikapi teriakan tersebut, itu sama saja bahwa KPK sudah terpolitisasi," ujarnya.

Sementara itu, pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Donny Tjahya Rimbawan menyatakan bahwa ocehan Nazarudin selama ini tidak selalu benar. Terbukti, Nazar selalu berubah-rubah dan berbelit-belit.

"Omongan Nazarudin itu tidak tidak benar semua dan tidak salah semua," kata Donny.

Sebelumnya diberitakan, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad mengatakan bahwa keterangan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin kepada penyidik KPK dan media massa kerap terdistorsi.

"Biasa keterangannya (Nazaruddin) terdistorsi ketika keluar, tidak persis dengan apa yang dia sampaikan (ke KPK)," kata Abraham di Jakarta, Jumat.(*)

Editor: B Kunto Wibisono

Friday, September 27, 2013

Ayu Azhari Sering Mendesah di Telinga Fathanah



JAKARTA – Artis Ayu Azhari membantah punya hubungan asmara dengan terdakwa kasus suap pengurusan impor daging sapi di Kementerian Pertanian dan pencucian uang, Ahmad Fathanah.

Namun, Ayu mengakui pernah merayu Fathanah dalam saluran telefon demi mendapatkan sebuah pekerjaan yang dijanjikan.

"Kalau hubungan asmara tidak, tapi saya mem-follow up satu pekerjaan," kata Ayu di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Selatan, Kamis (26/9/2013).

Menurut Ayu, ketika merayu Fathanah, ia sampai mengeluarkan suara mendesah. Ayu tidak menjelaskan tujuannya mendesah di telinga Fathanah.

"Kesannya mendayu-dayu atau mata sayu itu penilaian. Saya tidak ada hubungan khusus," ujar Ayu.

Ayu mengaku sering memanggil sayang atau abang dalam merayu Fathanah. Namun, kata Ayu, dua panggilan akrab itu sudah biasa dalam dunia entertainment.

"Suara saya mendesah kadang panggilan sayang, panggilan abang itu hal yang biasa di dunia artis," kata Ayu.

Diperiksa sebagai Tersangka, Warek UI Tak Langsung Ditahan KPK


JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia, Keuangan, dan Administrasi Umum Universitas Indonesia Tafsir Nurchamid tidak langsung ditahan KPK seusai diperiksa sekitar tujuh jam sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan dan instalasi teknologi informasi (TI) gedung perpustakaan pusat UI tahun anggaran 2010-2011 (27/9/2013).
Seusai diperiksa, pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik itu enggan berkomentar kepada wartawan dan menyerahkan pertanyaan wartawan kepada pengacaranya, Cudri Sitompul. Tafsir langsung masuk ke mobil yang menjemputnya begitu keluar Gedung KPK.
Pengacara Tafsir, Cudri Sitompul menyatakan bahwa materi pemeriksaan kliennya baru seputar prosedur pelaksanaan proyek. Cudri juga mengatakan bahwa Tafsir siap bekerjasama dan terbuka dengan KPK. “Masih ditanya soal prosedur-prosedur saja. Kami siap bekerja sama dan terbuka dengan KPK,” ujarnya.
Saat ditanya apakah materi pemeriksaan penyidik sudah mendalami dugaan keterlibatan pihak lain, termasuk Rektor UI ketika itu, Gumilar R Somantri, Cudri menjawab belum ada pertanyaan seperti tiu. Mengenai dugaan keterlibatan Gumilar, dia mengatakan bahwa hal itu tidak etis diungkapkan karena sudah masuk materi pemeriksaan.
“Kalau soal rektor UI, itu sudah masuk materi, enggak etis lah,” kata Cudri.
KPK memeriksa Tafsir sebagai tersangka untuk pertama kalinya pada Jumat ini. Tafsir ditetapkan KPK sebagai tersangka sekitar Juni 2013. Dia diduga melakukan penyalahgunaan wewenang secara bersama-sama terkait proyek pengadaan TI perpustakaan UI.
Diduga, ada penggelembungan harga dari proyek pengadaan proyek TI senilai Rp 21 miliar tersebut. Saat memasuki Gedung KPK pagi tadi, Cudri membantah adanya penggelembungan harga dalam pengadaan proyek TI perpustakaan UI ini. Menurut Cudri, kliennya telah menjalankan wewenangnya sesuai prosedur.
"Enggak ada itu penggelembungan. Itu kan sudah dihitung tim panitia lelang, Pak Tafsir kan enggak ikut apa-apa dalam pelelangan," ujar Cudri.
Tafsir diketahui pernah menjabat wakil dekan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik pada 2003-2007. Saat itu dekan dijabat Gumilar. Terkait penyidikan kasus ini, KPK telah memeriksa Gumilar sebagai saksi.
Saat memenuhi panggilan pemeriksaan, Gumilar enggan berkomentar seputar proyek TI yang diduga diselewengkan ini. Dia memilih menyerahkan masalah ini kepada KPK.

Pemanggilan Menteri ESDM tunggu pemeriksaan sekjen


Jumat, 27 September 2013 20:05 WIB | 2096 Views
Jakarta (ANTARA News) - Pemanggilan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik oleh KPK menunggu pemeriksaan Sekretaris Jenderal (Sekjen) ESDM Waryono Karno terkait dengan kasus suap terkait kegiatan SKK Migas tahun 2012--2013

"Kami terlebih dahulu akan memeriksa sekjennya, setelah sekjen barulah bisa disimpulkan apakah akan melaanjutkan pemeriksaan pada menterinya karena dari hasil keterangan sekjen nanti masih bisa dikembangkan lagi. Oleh sebab itu yang pertama kami butuhkan adalah memeriksa Sekjen ESDM," kata Abraham Samad di gedung KPK Jakarta, Jumat.

KPK sebelumnya sudah menyatakan akan memeriksa Waryono Karno, tapi hingga kini belum dilakukan.

"Tunggu saja, saya belum tahu persis kapan kesiapan penyidik, tapi yang jelas pasti akan diperiksa, banyak hal yang ingin ditanyakan kepada Sekjen, bukan cuma sekadar temuan uang, banyak hal yang harus diklarifikasi," tambah Abraham.

Ia menegaskan kasus ini tidak akan berhenti kepada orang-orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

"Tapi kami akan mengembangkan terus karena migas, sumber daya energi adalah bagian dari `roadmap` KPK yang harus dilaksanakan sampai tuntas, jadi ini adalah momentum untuk membongkar korupsi yang begitu parah di sumber daya energi kita," jelas Abraham.

Artinya, menurut dia, kasus SKK Migas menjadi pintu masuk untuk membongkar kasus-kasus yang terjadi di sumber daya energi.

"Kami ingin membongkar kasus-kasus korupsi yang ada di sektor-sektor sumber daya energi karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak," tutur Abraham.

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan bahwa KPK belum bisa membuka proses apa yang sedang didalami KPK dalam kasus ini.

"Ini tidak bisa saya sampaikan ke publik. Hanya kualitas penyidikan tidak mungkin saya sampaikan," kata Bambang singkat.

KPK menetapkan mantan SKK Migas Rudi Rubiandini sebagai tersangka dalam kasus ini berdasarkan operasi tangkap tangan (OTT) pada 13 Agustus 2013 malam bersama dengan barang bukti 400 ribu dolar AS yang diberikan oleh Komisaris PT Kernel Oil Private Limited Simon Gunawan Tanjaya melalui pelatih golf Rudi, Deviardi, yang juga sudah ditangkap KPK.

Pemberian tersebut diduga merupakan pemberian kedua, sedangkan pemberian pertama dilakukan sebelum Lebaran dengan uang sejumlah 300 ribu dolar AS.

KPK selanjutnya menggeledah sejumlah tempat terkait kasus tersebut yaitu ruang Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian ESDM dan menyita uang 200 ribu dolar AS, selanjutnya di rumah Rudi di Jalan Brawijaya disita uang senilai 127 ribu dollar Singapura, 90 ribu dolar AS dan motor berkapasitas mesin besar merek BMW.

Dalam pengembangannya KPK juga menemukan uang 350 ribu dolar AS di kotak penyimpanan milik Rudi di Bank Mandiri, 60 ribu dolar Singapura, 2 ribu dolar AS dan juga emas kepingan dengan nilai 180 gram dari brankas milik Rudi di kantornya di gedung SKK Migas.

Rudi Rubiandini dan Deviardi sebagai penerima suap disangkakan pasal 12 huruf a dan b atau pasal 5 ayat 2 atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Sedangkan pemberi suap, Simon Tanjaya, dari perusahaan Kernel Oil diduga melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a dan b atau pasal 13 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
(D017/I007)
Editor: Ruslan Burhani

Ketua KPK nilia keterangan Nazaruddin sering terdistorsi


Jumat, 27 September 2013 19:30 WIB | 1615 Views
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad mengatakan bahwa keterangan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin kepada penyidik KPK dan media massa kerap terdistorsi.

"Biasa keterangannya (Nazaruddin) terdistorsi ketika keluar, tidak persis dengan apa yang dia sampaikan (ke KPK)," kata Abraham di Jakarta, Jumat.

KPK memeriksa Nazaruddin sejak Senin (23/9) hingga Jumat (27/9) untuk kasus penerimaan hadiah terkait proyek Hambalang dengan tersangka Anas Urbaningrum dan diperiksa sebagai tersangka dalam kasus pencucian uang saham PT Garuda.

Nazaruddin seusai diperiksa mengatakan bahwa mantan anggota Badan Anggaran DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Olly Dondokambey sebagai orang yang mengatur proyek Hambalang dan mendapat uang Rp12,5 miliar.

"Namun seluruh keterangan yang disampaikan Nazaruddin menurut hemat kami di KPK perlu didalami karena paling tidak ada sesuatu dari keterangan itu yang bisa membuka tabir beberapa kasus yang sedang diinvestigaasi oleh KPK," tambah Abraham.

Ia menegaskan bahwa ada keterangan Nazaruddin yang berbeda dengan berita acara pemeriksaannya di hadapan penyidik KPK.

"Ketika dia diperiksa dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaa), keterangannya jadi berubah, karena itu kita terus mengintensifkan Nazaruddin agar keterangan Nazaruddin itu bernilai sebagai sebuah fakta yang bisa ditindaklanjuti, intinya itu," ungkap Abraham.

KPK hanya mendalami informasi yang disampaikan secara formal di hadapan penyidik.

"Untuk bukti, kami belum menelisik lebih jauh tentang alat bukti, tapi kami baru mengumpulkan keterangan-keterangan serta informasi," tambah Abraham.

Terkait kasus TPPU saham PT Garuda yang disidik KPK, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan bahwa kasus tersebut hanyalah salah satu dari kasus Nazaruddin.

"Ada banyak kasus, tapi saya tidak mungkin sebut, dulu ada yang tindak pidana korupsi (tipikor), TPPU belum ada dan sekarang tipikor dan TPPU," ungkap Bambang.

Kasus yang dulu menurut Bambang adalah korupsi Wisma Atlet SEA Games yang menjerat Nazaruddin dihukum 7 tahun penjara.

"Kasus yang kedua ini bukan hanya Garuda, Garuda hanya salah satu, ini berkaitan dengan kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi tapi tidak bisa saya sebut," jelas Bambang.

Ia hanya memberikan penjelasan bahwa kasus tersebut sudah dicantumkan dalam surat perintah penyidikan yang lama.

"Kalau baca sprindik yang dulu sudah lama, sprindiknya ada dua, sudah ada itu, tidak mungkin diperiksa kalau tidak ada sprindiknya, ada tipikor yang kelanjutannya, pokoknya selain wisma atlet, saya tidak mau sebut, pokoknya ada lah," ungkap Bambang.(*)
Editor: Ruslan Burhani

Nazaruddin: Olly Banyak Terima Barang dari PT Adhi Karya


JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin mengatakan bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat Olly Dondokambey menerima banyak barang dari PT Adhi Karya terkait proyek Hambalang. PT Adhi Karya merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara yang menjadi pelaksana proyek pengadaan sarana dan prasarana Hambalang.

“Olly itu banyak menerima barang dari Adhi Karya terkait proyek Hambalang,” kata Nazaruddin di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat (27/9/2013) seusai menjalani pemeriksaan.

Nazaruddin dimintai komentar wartawan seputar penggeledahan KPK di rumah Olly di Minahasa Utara, Sulawesi Utara yang berlangsung pada Rabu (25/9/2013). Dari penggeledahan tersebut, tim penyidik KPK menyita satu set furnitur mewah yang nilainya ditaksir mencapai puluhan juta rupiah.
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA Pimpinan Badan Anggaran DPR Olly Dondokambey memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Selasa (11/9/2012). Dia diperiksa sebagai saksi dalam kasus Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) dengan tersangka Fahd El Fouz.

Penyitaan itu karena diduga satu set furnitur mewah tersebut merupakan pemberian mantan Direktur Operasional I PT Adhi Karya Teuku Bagus Mohammad Noor, yang kini menjadi tersangka kasus korupsi proyek Hambalang. Ihwal pemberian itu juga dibenarkan salah satu saksi kasus ini yang merupakan anggota staf keuangan PT Adhi Karya saat diperiksa KPK.

Nazaruddin juga mengungkapkan bahwa Olly selama ini dilindungi kekuasaan yang lebih besar, yakni wakil ketua DPR. Namun, Nazaruddin yang juga pernah menjadi anggota DPR ini tidak menyebutkan nama wakil ketua DPR yang dimaksudnya itu.

“Olly banyak yang back up, banyak kekuasaan di belakangnya untuk mengamankan Olly,” ujarnya.

Selain itu, Nazaruddin menuding Olly menerima uang dari proyek Hambalang yang nilainya Rp 7,5 miliar dan Rp 5 miliar. Namun dia tidak menjelaskan lebih jauh mengenai penerimaan uang tersebut.

Dia hanya menjawab bahwa Olly menerima uang dari Machfud Suroso (Direktur PT Dutasari Citralaras), pengusaha Paul Nelwan, serta Mindo Rosalina Manulang (mantan anak buah Nazaruddin). Menurut Nazaruddin, Olly yang ketika itu menjadi pimpinan Badan Angggaran DPR berperan dalam mengatur agar anggaran proyek Kementerian Pemuda dan Olahraga itu digolkan.

“Perannya Olly di Hambalang yang atur semua anggaran supaya anggaran itu diturunkan,” kata Nazaruddin.

Terkait penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan sarana dan prasarana Hambalang, KPK pernah memeriksa Olly sebagai saksi. Seusai pemeriksaan beberapa waktu lalu, Olly membantah tudingan Nazaruddin yang mengatakan bahwa semua pimpinan Banggar DPR, termasuk dirinya, menerima uang proyek Hambalang.

KPK menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan sarana dan prasarana Hambalang, yakni mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora Deddy Kusdinar, dan Teuku Bagus. KPK juga menetapkan mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum sebagai tersangka atas dugaan menerima pemberian hadiah atau janji terkait proyek Hambalang dan proyek lainnya.

Nazaruddin: Olly Terima Rp 12,5 Miliar dari Hambalang


JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin menuding anggota DPR Olly Dondokambey menerima uang Rp 7,5 miliar dan Rp 5 miliar dari proyek pengadaan sarana dan prasarana olahraga Hambalang. Nazaruddin juga menyebut Olly yang ketika itu menjadi pimpinan Badan Angggaran DPR berperan dalam mengatur anggaran proyek Kementerian Pemuda dan Olahraga itu.

“Olly dapat anggarannya, ada yang Rp 7,5 miliar dan Rp 5 miliar,” kata Nazaruddin di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Jumat (27/9/2013) seusai diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan pencucian uang saham perdana PT Garuda Indonesia.

Namun Nazaruddin tidak merinci ihwal penerimaan uang oleh Olly ini. Dia hanya menjawab bahwa Olly menerima uang dari Machfud Suroso (Direktur PT Dutasari Citralaras), pengusaha Paul Nelwan, serta Mindo Rosalina Manulang (mantan anak buah Nazaruddin).

Menurut Nazaruddin, selama pemeriksaannya sebagai saksi kasus Hambalang beberapa hari lalu, dia sudah menyampaikan kepada penyidik KPK mengenai anggota DPR yang terlibat kongkalikong pada proyek itu.

Selain Anas Urbaningrum, menurut Nazaruddin, sejumlah anggota DPR yang terlibat kasus Hambalang adalah Olly (Partai Golkar), Mirwan Amir (Partai Demokrat), dan Angelina Sondakh (mantan anggota Fraksi Partai Demokrat).

“Waktu itu diperiksa siapa saja anggota DPR yang terlibat Hambalang. Yang terlibat di Hambalang Olly Dondokambey, Mirwan Amir, Angie di mana saja ngasih uangnya, terus diperiksa juga untuk kebutuhan kongres Mas Anas,” ungkapnya.

Terkait penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan sarana dan prasarana Hambalang, KPK pernah memeriksa Olly sebagai saksi. Seusai pemeriksaan beberapa waktu lalu, Olly membantah tudingan Nazaruddin yang mengatakan bahwa semua pimpinan Banggar DPR, termasuk dirinya, menerima uang proyek Hambalang.

Pada Rabu (25/9/2013), tim penyidik KPK menggeledah rumah Olly di Minahasa Utara, Sulawesi Utara terkait penyidikan kasus dugaan korupsi Hambalang. Dari penggeledahan ini, tim penyidik KPK menyita satu set furnitur mewah yang nilainya ditaksir mencapai puluhan juta rupiah.

Penyitaan itu karena diduga satu set furnitur mewah tersebut merupakan pemberian mantan Direktur Operasional I PT Adhi Karya Teuku Bagus Mohammad Noor, yang kini menjadi tersangka kasus korupsi proyek Hambalang. Ihwal pemberian itu juga dibenarkan salah satu saksi kasus ini yang merupakan anggota staf keuangan PT Adhi Karya saat diperiksa KPK.

Nazaruddin: Olly atur anggaran Hambalang


Jumat, 27 September 2013 16:59 WIB | 754 Views
Jakarta (ANTARA News) - Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin menuduh mantan anggota Badan Anggaran DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Olly Dondokambey sebagai orang yang mengatur proyek pembangunan Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga di Hambalang.

"Perannya Olly di Hambalang, dia yang mengatur semuanya anggaran, sampai anggaran itu diturunkan," kata Nazaruddin usai diperiksa di Gedung KPK Jakarta, Jumat.

KPK memeriksa Nazaruddin sejak Senin lalu sebagai saksikasus penerimaan hadiah terkait proyek P3SON Hambalang hingga Kamis. Dia juga diperiksa sebagai tersangka untuk kasus pencucian uang pembelian saham PT Garuda hari ini.

"Olly dapat anggarannya, ada yang Rp7,5 miliar dan Rp5 miliar," tambah Nazar.

Rabu lalu (25/9), KPK menggeledah rumah Olly di Minahasa Utara terkait dengan korupsi Hambalang untuk tersangka mantan Direktur Operasional 1 PT Adhi Karya Teuku Bagus Mukhamad Noor. Di sini KPK menyita dua meja dan empat kursi.

Nazaruddin mengungkapkan banyak pihak yang mendukung Olly. "Olly banyak yang back up, banyak kekuasaan di belakangnya untuk mengamankan Olly, ada Wakil Ketua DPR," tambah Nazaruddin, tanpa menyebutkan nama.

"Olly itu banyak menerima barang dari PT Adhi Karya terkait proyek Hambalang, dia sangat pantas jadi tersangka," jelas Nazaruddin.

Ia pun menyebut nama-nama orang yang memberikan uang ke Olly. "Terima dari Machfud Suroso, Paul Nelwan dan Rosa juga," tambah Olly.

Machfud Suroso adalah direktur PT Dutasari Citralaras, perusahaan subkontraktor proyek Hambalang; Paul Nelwan adalah pengusaha yang menjadi perantara proyek Hambalang sedangkan Rosa adalah Mindo Rosalina Manullang mantan direktur pemasaran PT Anak Negeri milik Nazaruddin yang telah bebas bersyarat pasca menjadi terpidana dalam perkara korupsi proyek SEA Games.

Namun Wakil Ketua KPK Busyro Muqaddas menyatakan KPK tak hanya berdasarkan nama-nama yang disebutkan Nazaruddin.

"KPK tidak terikat dengan penyebutan tapi itu akan dikonfirmasi, kalau nanti konfirmasinya tidak kuat, itu cuma ucapan saja," kata Busyro.

Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan tiga tersangka yaitu mantan Kabiro Perencanaan Kementerian Pemuda dan Olahraga Deddy Kusdinar selaku Pejabat Pembuat Komitmen, mantan Menpora Andi Alifian Mallarangeng selaku Pengguna Anggaran dan mantan Direktur Operasional 1 PT Adhi Karya Teuku Bagus Mukhamad Noor.

Editor: Jafar M Sidik

Thursday, September 26, 2013

Sopir Fathanah Akui Serahkan Uang ke Luthfi Hasan di SPBU



JAKARTA, KOMPAS.com — Nur Hasan selaku sopir Ahmad Fathanah mengaku pernah mengantarkan tas berisi uang kepada mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq. Uang itu diserahkan kepada Luthfi di SPBU kawasan Pancoran, Jakarta.

"Waktu itu dari Depok habis antar Bu Sefti (istri Fathanah) ke Margonda City. Setelah itu saya disuruh antar tas ke Pancoran," kata Hasan yang menjadi saksi terdakwa kasus dugaan suap pengaturan impor daging sapi dan pencucian uang Fathanah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (26/9/2013).

Menurut Hasan, tas berisi uang itu sudah ada di dalam mobil. Setibanya di SPBU, Hasan mengaku bertemu Luthfi yang menggunakan mobil VW Caravelle putih.

"Di sana ketemu Luthfi?" tanya jaksa.

"Iya," jawab Hasan.

Hasan mengaku awalnya tak tahu jika tas tersebut berisi uang. Namun, setelah diserahkan, Luthfi membukanya dan menghitung uang tersebut. "Setelah saya kasih, baru tahu isinya (uang) karena dibuka dan dihitung," ungkap Hasan.

Hasan juga pernah diperintah mengantar tas hitam ke RS Abdi Waluyo untuk Luthfi. Namun, saat itu Hasan mengatakan bertemu seseorang yang diutus Luthfi untuk mengambil tas.

Seperti diketahui, dalam surat dakwaan Fathanah disebutkan bahwa pada 27 Oktober 2012 Fathanah memberikan uang tunai sebesar Rp 200 juta kepada Luthfi. Uang itu diserahkan melalui sopir Fathanah.

Sementara itu, pada 3 Desember 2012, Fathanah menyerahkan Rp 750 juta untuk Luthfi di RS Abdi Waluyo melalui sopirnya. Sementara, seseorang yang mengambil tas hitam berisi uang di RS Abdi Waluyo diketahui adalah sopir Luthfi, yaitu Ali Imran. Saat bersaksi untuk Fathanah, Ali Imran pun membenarkan.

Dalam kasus ini, Fathanah didakwa melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Fathanah didakwa bersama-sama Luthfi menerima uang Rp 1,3 miliar dari PT Indoguna Utama terkait kepengurusan kuota impor daging sapi.

Dia juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang dengan menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membayarkan, dan membelanjakan harta kekayaan yang nilainya mencapai Rp 34 miliar dan 89.321 dollar AS. Diduga, harta tersebut berasal dari tindak pidana korupsi.

KPK tangani 385 kasus korupsi


Kamis, 26 September 2013 21:20 WIB | 2215 Views
Mamuju (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi dalam rentang waktu 10 tahun terakhir berhasil menangani sebanyak 385 kasus tindak pidana korupsi.

"Sejak KPK dibentuk atau tahun 2004-2013 ini telah banyak menangani kasus kejahatan tindak pidana korupsi. Sedangkan jumlah perkara yang telah ditangani di tahun 2013 sebanyak 48 kasus," kata Direktur Penelitian dan Pengembangan KPK, Roni Dwi Susanto dalam acara semiloka Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi di kantor gubernur Sulbar, Kamis.

Menurut dia dari 385 kasus yang ditangani KPK tersebut masing-masing melibatkan anggota DPR dan DPRD sebanyak 72 kasus, kepala lembaga/kementerian sebanyak sembilan kasus, duta besar sebanyak empat kasus dan komisioner terdapat tujuh kasus.

Sementara yang melibatkan gubernur kata dia, terdapat sembilan kasus dan tahun 2013 ini ada satu gubernur harus berurusan dengan KPK.

Bukan hanya itu, kasus kejahatan korupsi yang melibatkan walikota/bupati dan waki bupati terdapat 34 kasus dan tahun ini setidaknya terdapat dua kepala daerah harus menjalani proses hukuman.

"Khusus untuk pejabat eselon I,II dan III juga terlihat dominan dengan jumlah 114 kasus, hakim delapan kasus, swastaa 87 kasus dan lainnya terdapat 41 kasus. Praktis, jumlah kasus yang ditangani menembus angka 385 kasus," urainya.

Ia menuturkan, pemberantasan tidak pidana korupsi merupakan agenda nasional yang harus dicegah sedini mungkin.

Karena itu, kata dia, tindakan pencegahan dan pemberantasan korupsi dilakukan dengan melakukan upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penuntutan dan pemeriksaan pada sidang pengadilan.

Dia menguraikan, kejahatan tindak pidana korupsi bisa terjadi apabila proses perencanaan atau penganggaran tidak tepat waktu.

"Hal seperti ini akan memungkinkan terjadinya kejahatan korupsi sehingga pemerintah daerah diharapkan bisa memperhatikan hal-hal seperti itu," jelasnya.
(KR-ACO/Z003)
Editor: Ruslan Burhani

KPK akan panggil tiga pegawai PN Manado


Kamis, 26 September 2013 23:15 WIB | 1943 Views
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi akan memanggil tiga pegawai Pengadilan Negeri Manado untuk dimintai klarifikasi terkait bocornya rencana penggeledahan rumah Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Olly Dondokambey pada 1 Oktober.

"Setelah penyidik KPK melakukan koordinasi dengan Pengadilan Manado, ada tiga pihak yang akan dipanggil KPK untuk klarifikasi berkaitan dengan beredarnya fotokopi surat permohonan izin penetapan penggeledahan," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Gedung KPK, Jakarta, Kamis.

Johan mengatakan tiga pihak yang dipanggil ini belum dipastikan akan dipidanakan terkait kebocoran dokumen yang sifatnya rahasia itu. Mereka akan dimintai klarifikasi langsung oleh tim penyidik yang menangani kasus Hambalang.

"Belum ada kesimpulan. Bisa saja KPK menemukan bukti bahwa penyebaran itu untuk menghalangi penyidikan tetapi pemanggilan ini untuk klarifikasi dulu cerita itu," jelas Johan.

Rencana penggeledahan terhadap Olly yang berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan beredar pada Senin (23/9) malam. Padahal surat izin permintaan penetapan pengadilan negeri Manado seharusnya hanya diketahui dua pihak, yakni tim bagian penindakan dan pengadilan.

Kebocoran ini dikhawatirkan dapat mengganggu jalannya penggeledahan. Terkait kejadian ini, ada ancaman pidana untuk pihak yang mengedarkan.

"Kami telusuri dulu apakah melanggar Pasal 21 atau tidak," tambah Johan.

Dalam Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur tentang upaya menghalang-halangi penyidikan KPK.

Sementara itu, penggeledahan terhadap rumah Olly tetap dilakukan KPK pada Rabu (25/9) kemarin di rumah yang beralamatkan di Jalan Reko Bawah Desa Kolongan Kecamatan Kalawat, Kabupaten Minahasa Utara, Manado, Sulawesi Utara.

Dari hasil penggeledahan, KPK menyita dua meja makan dan empat kursi yang terbuat dari kayu. Johan belum bisa memastikan keterkaitan set meja makan itu dengan kasus Hambalang. Namun, yang pasti barang sitaan tersebut terkait dengan tersangka proyek sarana dan prasarana Hambalang, Teuku Bagus Mukhamad Noor.
(M047/N002)
Editor: Ruslan Burhani

Djoko Santoso usulkan hukuman mati untuk koruptor


Jumat, 27 September 2013 03:29 WIB | 1498 Views
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Dewan Pembina Gerakan Indonesia Adil, Sejahtera, Aman (ASA) Jenderal TNI (Purn) Djoko Santoso mengusulkan perlunya penerapan hukuman mati untuk para koruptor agar menimbulkan efek jera.

"Kasus korupsi di Indonesia kian mengkhawatirkan, karena itu pelaku korupsi harus dihukum seberat-beratnya, bahkan koruptor `kelas kakap` harus dihukum mati agar menimbulkan efek jera," kata mantan Panglima TNI itu kepada pers di Jakarta, Kamis.

Sehubungan dengan itu, lanjutnya, Gerakan Indonesia ASA mengusulkan perlunya revisi terhadap undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi serta perlunya memasukkan klausul hukuman mati bagi koruptor dalam Rancangan KUHP yang kini sedang dibahas DPR.

Selain itu, ke depan perlu dibentuk perwakilan (cabang) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di masing-masing ibukota propinsi, sehingga penanganan masalah korupsi tidak menumpuk dan terpusat di KPK di ibukota negara.

Djoko Santoso juga menjelaskan, Ormas Gerakan Indonesia ASA mengidentifikasi adanya tujuh faktor yang merupakan penghambat pembangunan nasional lima tahun ke depan. Salah satu di antaranya adalah masalah maraknya tindak pidana korupsi.

Masalah lain adalah penyimpangan konstitusi dalam penyelenggaraan negara, produktivitas angkatan kerja, konflik pertanahan, subsidi energi, perumahan bagi rakyat miskin, dan pembayaran utang Pemerintah.

Terkait masalah korupsi, ia menyatakan prihatin bahwa publik setiap hari disuguhi berita korupsi yang tidak hanya dilakukan oleh pejabat di lingkungan eksekutif, melainkan juga di kalangan legislatif dan yudikatif.

"Menurut catatan KPK, tindak pidana korupsi justru terjadi di lembaga negara yang seharusnya menjadi penegak hukum. Korupsi yang tinggi terjadi di lingkungan kepolisian, parlemen, dan pengadilan. Fakta ini semakin memperlihatkan betapa mereka benar-benar mengalami krisis moral," katanya.

Menurut Ketua Dewan Pembina Gerakan Indonesia ASA yang juga Ketua Dewan Penasehat pada Forum Komunikasi Sekretaris Desa Indonesia (Forsekdesi) dan Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) itu, maraknya tindak pidana korupsi menunjukkan bahwa kini Indonesia mengalami krisis kewibawaan pemimpin dan lembaga negara.

Maka, jika Indonesia ingin maju, tidak ada jalan lain ke depan hukum harus benar-benar ditegakkan, dan pelaku tindak pidana korupsi harus dihukum seberat-beratnya sampai pada hukuman mati, demikian Djoko Santoso.  (A015/E011)
Editor: B Kunto Wibisono

Direktur Persib Jalani Pemeriksaan sebagai Tersangka


BANDUNG, KOMPAS.com — Direktur PT Persib Bandung Bermartabat (PT PBB) Risha A Widjaya kembali menjalani pemeriksaan Ditreskrimum di Mapolda Jabar, Jalan Soekarno-Hatta, Bandung, Kamis (26/9/2013).

Pemeriksaan kali ini merupakan pemeriksaan ketiga dalam kasus penipuan dan penggelapan terkait pemberian dana sebesar Rp 1,6 miliar dengan iming-imingi akan menjadi panpel kompetisi ISL tahun 2012/2013.

Hal itu diterangkan oleh Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Komisaris Besar Martinus Sitompul. Menurut dia, Risha menjalani pemeriksaan di Ruang Sudit II Harda Ditreskrimum Polda Jabar.

Risha didampingi komisaris sekaligus kuasa hukum PT PBB, Kuswara S Haryono. Pemeriksaan dilakukan secara tertutup. "Ini merupakan pemeriksaan tambahan saja. Kita ikuti saja prosedur yang ada. Kita tetap akan mengedepankan asas praduga tak bersalah," kata Koswara.

Koswara menegaskan, kliennya tidak pernah memberikan janji apa pun berkaitan dengan pembayaran utang dari pihak panpel. "Jadi itu adalah murni kaitannya dengan piutang," ucapnya.

Kembali Martinus mengatakan, ada beberapa pertanyaan dari penyidik kepada tersangka Risha. "Pemeriksaan ini untuk melengkapi berkas. Ada sembilan sampai sepuluh pertanyaan," kata Martinus.

Seperti diberitakan, Risha bersama dua orang dari panitia penyelenggara pertandingan (panpel), yaitu Ruri Bachtiar dan Budi Bram, dilaporkan ke Polda Jabar dengan tuduhan penipuan dan penggelapan terkait dana Rp 1,6 miliar. Aksi itu dilakukan dengan iming-iming menjadi perusahaan pemegang hak panitia pelaksana penyelenggara semua pertandingan Persib Bandung Kompetisi ISL tahun 2012/2013.

Fathanah akui beri uang ijon ke Ayu Azhari


Kamis, 26 September 2013 16:38 WIB | 1842 Views
Jakarta (ANTARA News) - Terdakwa suap pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian dan tindak pidana pencucian uang Ahmad Fathanah, mengakui ia memberikan sejumlah uang untuk mengijon artis Khadijah Azhari alias Ayu Azhari untuk acara pemilihan kepada daerah (pilkada).

"Saya lihat ada potensi untuk mengijon ke beliau (Ayu Azhari) untuk hubungan silatuhrahmi, ini `agreement gentleman` saja," kata Fathanah seusai mendengarkan kesaksian Ayu dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Ayu mengaku bahwa ia pernah menerima uang 1000 dolar AS, 800 ribu dolar AS dan Rp20 juta sebagai tanda kerja sama awal supaya Ayu mengisi acara pilkada di sejumlah tempat.

"Pertama saya bertemu di Plaza Indonesia saat saya sedang belanja, saya dipanggil oleh teman dan diajak berkenalan dengan beliau di satu coffee shop, itu November atau Desember tahun lalu," ungkap Ayu.

Menurut Ayu, Fathanah pada saat itu mengaku pengusaha di bidang hiburan masyarakat untuk pilkada dan sosialisasi, sehingga ingin melibatkan Ayu.

"Dia mengenalkan diri sebagai ustaz dari Arab Saudi dan mengurus acara PKS di beberapa kota," tambah Ayu.

Pilkada yang dimaksud Ayu antara lain akan dilaksanakan di Jawa Barat, Medan dan sebagian di Sulawesi.

"Belum menandatangani kontrak dan deal resmi, karena biasanya kalau sudah deal harga akan memberikan down-payment 50 persen, tapi dia (Fathanah) akhirnya baru memberikan 800 dolar AS," jelas Ayu.

Pemberian uang tersebut langsung diberikan oleh Fathanah sebagai ajakan agar Ayu setuju mengisi acara pilkada.

"Selanjutnya setelah 1--2 hari, dia hubungi saya untuk datang ke Plaza Indonesia dan saya juga follow up karena saya pikir ini pekerjaan prospektif bisa untuk satu keluarga saya, saya lebih nyaman kalau bekerja dengan suami dan anak saya," tambah Ayu.

Ayu mengaku menagih pembayaran uang muka 50 persen kepada Fathanah.

"Tapi dalam pertemuan kedua itu beliau (Fathanah) mengatakan `Yu ini pegang saja ya`, uang itu berjumlah 1.000 dolar AS," jelas Ayu.

Kemudian masih ada pertemuan lain di Plaza Senayan dengan Fathanah mengikutsertakan istrinya Sefti Sanustika dan keluarga Wali Kota di Sulawesi Selatan, sedangkan Ayu ikut membawa anak-anaknya.

"Saya juga follow up, tapi disampaikan ini Rp10 juta titip aja, jadi belum pasti," ungkap Ayu.

Artinya belum ada kejelasan tanggal Ayu mengisi acara pilkada yang direncanakan Fathanah, padahal Fathanah mengungkapkan Ayu dijanjikan pekerjaan di sembilan titik.

"Ada sembilan atau 10 titik, kesepakatannya Rp75 juta untuk paket dua orang, saya dan anak saja di setiap titik," tambah Ayu.

Pascapertemuan ketiga, kelanjutan rencana hanya dibicarakan melalui telepon dengan Ayu menerima Rp10 juta yang ditransfer ke rekening anaknya, Axel, sehingga total uang yang diberikan Fathanah sebagai uang pengikat (ijon) adalah sekitar Rp40,7 juta yang terdiri dari 1.000 dan 800 dolar AS serta Rp20 juta.

"Banyak pekerjaan yang hanya `gentlement agreement` saja, tidak pakai kontrak, lewat transfer dan pesan singkat biasanya sudah kuat," tambah Ayu.

Namun. ternyata pekerjaan yang dijanjikan itu akhirnya tidak ada yang terwujud, uang yang diterima Ayu bahkan dikembalikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Akhirnya pekerjaan itu tidak diperoleh, uang juga saya kembalikan ke KPK, katanya terindikasi maka saya tidak mau terima," jelas Ayu.

Ia juga membantah adanya hubungan asmara dengan Fathanah.

"Kalau hubungan asmara tidak, kalau saya sebagai artis biasa mem-follow up pekerjaan dengan bahasa yang merayu-rayu dan mendesah," tambah Ayu saat jaksa penuntut umum KPK meminta agar dapat memutar rekaman percakapan Ayu dan Fathanah.

Tapi majelis hakim tidak meluluskan permintaan jaksa tersebut karena dianggap tidak relevan dengan kasus.

Ketua majelis hakim Nawawi Pomolongo mengingatkan bahwa Ayu memiliki mata sayu, dan orang yang bermata sayu biasanya tidak berbohong.

"Biasanya orang yang bermata sayu tidak berbohong, mudah-mudahan Anda di sini bisa membuktikan Anda tidak terkecualinya," kata Nawawi.

"Itu penilaian, yang mulia, seperti mata saya yang dianggap sayu dan kalau mendesah, itu mungkin karena panggilan sayang atau abang (kepada Fathanah)," tambah Ayu.
Editor: Desy Saputra

Anis Matta akui Fathanah perantara cagub Sulsel


Kamis, 26 September 2013 18:42 WIB | 1047 Views
Jakarta (ANTARA News) - Presiden Partai Keadilan Sejahtera Anis Matta mengakui Ahmad Fathanah adalah perantarapengusungan Ilham Arief Sirajuddin sebagai calon gubernur dalam pemilihan kepada daerah di Sulawesi Selatan akhir 2012.

"Tapi kami tahu bahwa terdakwa perantara Pak Ilham," kata Anis Matta saat bersaksi dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis.

Andi mengaku secara fisik sudah mengenal Fathanah sejak 2012 dan mengatakan PKS menyerahkan mekanisme calon gubernur yang diusung PKS kepada Dewan Pimpinan Wilayah (DPW).

"Sesuai mekanisme kami, seluruh penentuan pemimpin daerah dari kabupaten sampai gubernur diserahkan ke DPW, selanjutnya DPW mengajukan surat kepada DPP (Dewan Pimpinan Pusat) untuk disahkan," jelas Anis.

Tapi Anis tidak mengakui bahwa mekanisme itu termasuk juga pemberian uang hingga Rp8 miliar seperti disampaikan Ilham saat bersaksi Kamis pekan lalu  (19/9).

"Tidak, termasuk pemberian dana karena itu masuk dalam perkara teknis, mekanisme pengambilan keputusan saja yang kami cek, jadi apakah musyarawah di sana sesuai prosedur, SK dikeluarkan oleh DPP rekomendasi DPW, uang itu teknis, kita di PPD tidak tahu hal itu," ungkap Anis.

Namun Anis mengaku mengenal Ilham Arif langsung karena merupakan walikota tempat daerah pemilihan Anis Matta yaitu Makassar, bahkan istri Anis dan Ilham bersepupu.

"Tapi memang ada kesalahan prosedur yaitu pengiriman uang ke Pak Najamuddin sehingga saya perintahkan untuk mengembalikan ke rekening yang bersangkutan," jelas Anis.

Dalam persidangan juga terungkap rekaman pembicaraan Anis dengan Fathanah.

"Waktu itu terdakwa juga perantara pilkada Takalar, masih satu rangkaian dengan Pilkada Sulsel, dia (Fathanah) ingin membawa ke Mahkamah Konstitusi, tapi saya tidak setuju karena perolehan PKS 24 persen sedangkan kompetitior 30 persen, biasanya susah dimenangkan di MK," ungkap Anis.

Untuk maju ke MK, keduanya sepakat untuk menyewa jasa pengacara dengan pembayaran yang dibagi dua dan akhirnya PKS kalah di MK.

Selanjutnya terungkap juga rekaman telepon pada 14 Januari 2013 mengenai keinginan menyewa jasa quick count. "Mengenai 30 ribu dolar dan Rp300 juta itu tentang quick count beliau (Fathanah) tanya bagaimana kalau survei bagus melakukan quick count," ungkap Anis.

Namun yang anehnya, pembicaraan uang tersebut dilakukan setelah dilakukan pilkada Sulsel.

"Pembicaraan tentang quick count itu sebelum Pilkada, sedangkan pembicaraan pada 14 Januari kami hanya silaturahmi saja," kata Anis.

Melihat hal itu ketua majelis hakim Nawawi Pomolongo mengingatkan Anis untuk berkata jujur.

"Ruangan ini adalah untuk berkata jujur," kata Nawawi. "Saya pahamnya seperti itu yang mulia," tambah Anis.

Anis mengaku mengenal Fathanah sebatas orang dekat Luthfi yang kadang berada di ruangan Luthfi di DPP PKS.  "Semua yang dilakukan beliau berhubungan dengan presiden," jelas Anis.
Editor: Jafar M Sidik

KPK terima 7.000 pengaduan korupsi tiap tahun


Rabu, 25 September 2013 19:29 WIB | 2076 Views
mberantasan Korupsi setiap tahun rata-rata menerima sekitar 7.000 pengaduan korupsi dengan jumlah terbanyak berasal dari Sumatera Utara.

"Dari data di KPK secara akumulasi sejak 2004 hingga 2012, Sumut yang terbesar pengaduannya terkait korupsi, yakni sebanyak 5.207 pengaduan, disusul Jawa Barat 4.725, Sumatera Selatan (2.706), dan Riau 1.787 pengaduan," kata Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat, Dedie A.Rachim di Medan, Rabu.

Dia berada di Medan dalam acara Semiloka Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi di Provinsi Sumut yang digelar KPK,

Semiloka itu digelar untuk bisa melakukan pencegahan korupsi di jajaran Pemerintah Provinsi Sumut dan kegiatan serupa juga sudah dan akan digelar di provinsi lainnya.

Dia tidak merinci laporan korupsi apa saja yang diterima dari Sumut dengan alasan bukan kewenangannya.

Namun dia tidak membantah bahwa soal dana bantuan daerah bawahan (BDB) dan dana bagi hasil (DBH) yang hingga kini masih ditunggak pembayarannya oleh Pemerintah Provinsi Sumut kepada sejumlah kabupaten/kota sedang menjadi salah satu perhatian KPK.

"Ya, itu (masalah BDB dan DBH) memang menjadi perhatian kita di KPK. Tapi saya hanya di bagian pencegahan, kalau soal penindakan, tidak bisa dijawab," kata Dedie.

Dia menegaskan, untuk menekan korupsi yang otomatis mengurangi jumlah pengaduan, maka KPK menilai perlu upaya pencegahan.

Dedie menegaskan korupsi dipengaruhi oleh sistim, individu dan budaya.

Maka untuk itu, KPK melakukan dua pendekatan, monitoring terbuka dan tertutup.

"KPK memantau sistim integritas nasional, mensinergikan upaya baru di lembaga kementerian dan lembaga-lembaga pemerintahan daerah," katanya.

Dengan semiloka, KPK berharap ada perbaikan ke depan dalam pengelolaan keuangan di pemerintahan daerah.

"Kegiatan tersebut bukan yang pertama tapi kegiatan yang kedua dari hasil usulan KPK dengan DPR dalam hal ini komisi III dimana salah satu usulan KPK membuka kantor cabang di daerah, termasuk di Sumut," katanya.

(E016/B015)
Editor: Ruslan Burhani

KPK luncurkan Festifal Film Antikorupsi


Selasa, 24 September 2013 17:31 WIB | 6073 Views
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meluncurkan Festival Film Antikorupsi (Anti-Corruption Film Festival-ACFFest) 2013 sebagai strategi kampanye antikorupsi.

"Dari hari ke hari ketika dilakukan penindakan terhadap korupsi, ada proses reproduktif korupsi dan aktornya juga bertambah, maka pencegahan lewat pendekatan budaya menjadi penting dan film dipilih sebagai pendekatan budaya," kata Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas, dalam jumpa pers di gedung KPK Jakarta, Selasa.

Dalam ACFFest 2013, KPK memberikan ruang kepada masyarakat dan sineas di seluruh Indonesia untuk mengikutsertakan karya filmnya yang diproduksi pada 1 Januari 2000 - 22 November 2013 dengan tema kejujuran, integritas, transparansi maupun perlawanan terhadap korupsi.

"Dalam film 'K VS K' jilid 1 yang diputar di 17 kota dan telah ditonton 800.000 penonton dan untuk jilid 2 ini masih akan membicarakan nilai-nilai antikorupsi yang dapat disemaikan di keluarga sebagai pilar antikorupsi," ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa film "K Vs K" bahkan dapat membuat sejumlah pejabat meneteskan air mata.

"Jadi, film ini bukan hanya menyentuh pejabat, tapi juga segmen yang lain, ini menggambarkan masih banyak yang peka dengan nilai-nilai nurani," katanya.

Sutradara film animasi "Sahabat Pemberani", Tino Saroengallo, menjelaskan bahwa film "K Vs K" berangkat dari pengalaman pribadi para pembuat film.

"Pengalaman pribadi itu yang menjadi kunci keberhasilam film `K VS K` film ini adalah himbauan yaitu dalam jangka panjang dapat mengubah pribadi-pribadi penonton dan masuk dalam kategori propoganda positif," kata Tino dalam acara yang sama.

Film yang akan dilombakan terdiri dari enam kategori: film fiksi panjang, film fiksi pendek, film dokumenter panjang, film dokumenter pendek, film animasi dan games animasi.

Film yang diikutsertakan dalam kompetisi akan diseleksi oleh tim juri independen yang terdiri atas sutradara, tokoh dan pakar film dalam bidangnya masing-masing.

Pendaftaran dibuka selama 2 bulan sejak 22 September - 22 November 2013, bagi masyarakat dapat melakukan pendaftaran dengan mengakses www.acffest.org dan mengirimkan surat elektronik ke info@acffest.org untuk informasi lengkap.

Selain kompetisi film, ACFFest 2013 akan menyelenggarakan masterclass dengan sutradara film Indonesia, pemutaran film dan pemutaran keliling (mobile theater) dalam rangkaian kegiatan roadshow di beberapa kota antara lain Jakarta, Bandung, Padang Panjang, Yogyakarta, Malang, Balikpapan dan Palu.

Puncak kegiatan akan digelar pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia, 9 - 12 Desember 2013 di Jakarta dengan melakukan pemutaran film-film terbaik dan ditutup dengan penganugerahan.
Editor: Priyambodo RH

KPK kembangkan kasus korupsi Hambalang


Kamis, 26 September 2013 19:19 WIB | 652 Views
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi mengembangkan kasus korupsi proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Bukit Hambalang ke arah gratifikasi atau penerimaan suap.

"Iya (pengeledahan) merupakan pengembangan kasus Hambalang, nanti akan diklarifikasi apakah gratifikasi atau suap dalam bentuk barang," kata Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas di gedung KPK Jakarta, Kamis.

Pada Rabu (25/9), KPK menggeledah rumah mantan Wakil Ketua Badan Anggaran DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Olly Dondokambey di Jalan Reko Bawah Desa Kolongan, Kecamatan Kalawat, Kabupaten Minahasa Utara.

Penggeledahan tersebut terkait dengan penyidikan kasus korupsi P3SON Hambalang dengan tersangka mantan Direktur Operasional 1 PT Adhi Karya (persero) Teuku Bagus Mukhamad Noor.

Penyidik KPK menyita dua meja dan empat kursi kayu dari rumah Olly yang saat ini menjabat sebagai Ketua Komisi XI DPR dan rencananya meja dan kursi itu akan dibawa ke Jakarta.

"Penggeledahan ini dalam rangka pengembangan, kasus ini supaya memperoleh keutuhan konstruksi kasusnya kemudian didukung dengan alat-alat bukti, termasuk barang-barang yang disita, itulah yang sedang dikembangkan oleh tim penyidik KPK," tambah Busyro.

Ia menegaskan bahwa Olly akan diperiksa KPK.

"Iya dong, nanti akan kami akan periksa lagi, tapi penyidik yang punya jadwal," jelas Busyro.

Namun Busyro belum menjelaskan nilai dari meja kursi tersebut atau apakah meja dan kursi tersebut memiliki kesamaan spesifikasi dengan barang-barang yang seharusnya mengisi P3SON Hambalang.

"Nilainya belum," jawab Busyro singkat.

Terkait dengan beredarnya kopi surat permohonan izin penetapan penggeledahan sebelum penggeledahan berangsung, Busyro menegaskan kebocoran tersebut bukan berasal dari internal KPK.

"Yang jelas itu bukan dari sini, entah dari pengadilan (negeri di Manado) atau tidak, nanti biar tim yang dibentuk oleh KPK melakukan koordinasi," ungkap Busyro.

Ia menjelaskan bahwa KPK ingin meminta keterangan sejumlah pihak terkait dengan kebocoran tersebut karena menyangkut dengan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pro-yustisia.

"Kami belum bisa melakukan tindakan menduga-duga, kalau terbukti membocorkan nanti akan dilihat dulu motifnya apa, modus pembocoran seperti apa, baru setelah itu semua akan kami tentukan tindakan kepada yang bersangkutan," jelas Busyro.

Dalam penyidikan korupsi proyek Hambalang, KPK telah menetapkan tiga tersangka yaitu mantan Kabiro Perencanaan Kementerian Pemuda dan Olahraga Deddy Kusdinar selaku Pejabat Pembuat Komitmen, mantan Menpora Andi Alifian Mallarangeng selaku Pengguna Anggaran dan mantan Direktur Operasional 1 PT Adhi Karya (persero) Teuku Bagus Mukhamad Noor.

Ketiganya disangkakan pasal Pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 Undang-undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah pada UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat ke (1) ke-1 KUHP mengenai perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara; sedangkan pasal 3 mengenai perbuatan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan negara.

Terkait dengan kasus ini, mantan Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum juga ditetapkan sebagai tersangka kasus penerimaan hadiah terkait proyek Hambalang dan proyek-proyek lainnya berdasarkan pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU no 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU no 20 tahun 2001 tentang penyelenggara negara yang menerima suap atau gratifikasi.

Tapi KPK hingga saat ini belum memanggil para tersangka Hambalang tersebut karena masih memprioritaskan saksi-saksi Hambalang.

BPK telah menetapkan kerugian Hambalang senilai Rp463,66 miliar.
(D017)



Editor: Ruslan Burhani

Wednesday, September 25, 2013

Berpakaian Hitam, Ayu Azhari Siap Bersaksi di Sidang Fathanah


JAKARTA, KOMPAS.com
— Khadijah Azhari alias Ayu Azhari hadir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (26/9/2013). Ayu bersaksi untuk terdakwa kasus dugaan suap pengaturan kuota impor daging sapi dan pencucian uang Ahmad Fathanah. Ayu yang pernah aktif di dunia hiburan Tanah Air ini mengaku siap bersaksi untuk Fathanah.

"Ya, sebagai warga negara yang baik, saya siap memberikan kesaksian," kata Ayu di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (26/9/2013).
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA Tersangka, Ahmad Fathanah dihadirkan sebagai saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Jumat (17/5/2013). Ia bersama mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq, Menteri Pertanian, Suswono dan Maharani, bersaksi dalam kasus dugaan suap kuota impor daging sapi dengan terdakwa Juward Effendi dan Arya Abdi Effendi.

Ayu hadir mengenakan pakaian hitam lengan panjang, kain batik, dan kerudung batik. Ayu yang datang terlambat langsung memasuki ruang sidang. Sebelum memberikan kesaksiannya, Ayu disumpah terlebih dahulu seperti saksi lain.

Ayu Azhari diminta bersaksi karena disebut menerima 800 dollar AS dan 1.000 dollar AS pada November 2012. Fathanah juga pernah memberikan uang kepada Ayu sebagai uang muka untuk manggung dalam acara terkait Partai Keadilan Sejahtera.

Dalam kasus ini, Fathanah didakwa melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Fathanah didakwa bersama-sama Luthfi menerima uang Rp 1,3 miliar dari PT Indoguna Utama terkait kepengurusan kuota impor daging sapi.

Dia juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang dengan menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membayarkan, dan membelanjakan harta kekayaan yang nilainya mencapai Rp 34 miliar dan 89.321 dollar AS. Diduga, harta tersebut berasal dari tindak pidana korupsi.

Dalam sidang hari ini, ada delapan saksi lainnya yang dijadwalkan memberi keterangan, yaitu Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Matta, Sefti Sanustika, Yuli Puspita Sari, Evi Anggraini (Komisaris PT Intim Perkasa), Andi Pakurimba Sose (Direktur PT Intim Perkasa), Andi Reiza Akbar Sose (Direktur Operasional PT Intim Perkasa), Nur Hasan (sopir Fathanah), dan Henry Sutiyo.

Surat Bocor, Tiga Pejabat PN Manado Dipanggil KPK


MANADO, KOMPAS.com — Tiga pejabat di lingkup Pengadilan Negeri (PN) Manado dipanggil menghadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal itu diakui oleh Humas PN Manado, Novry Oroh, Kamis (26/9/2013).

"Iya benar, tadi ada petugas dari KPK mengantar surat panggilan untuk tiga pejabat di PN Manado," ujar Oroh kepada sejumlah awak media.

Ketiga pejabat PN Manado yang dimaksud adalah Panitera Muda Pidana Khusus, Marthen Mendila; Kasubag Umum, Mourets A N, Muaja; dan Panitera/Sekretaris PN Manado, Marthen J TH Ruru.

Sebelumnya, wartawan sempat memergoki kedatangan empat anggota Penyidik KPK yang memasuki beberapa ruangan di PN Manado. Penyidik yang tidak menyangka ada wartawan tidak bisa mengelak ketika ditanyai perihal kedatangan mereka.

"Iya mengantar surat panggilan," ujar salah satu penyidik KPK dengan singkat.

Keempat penyidik KPK tersebut mendatangi KPK sekitar pukul 12.00 Wita. Dua puluh menit kemudian mereka terlihat keluar dan pergi dengan menggunakan mobil Toyota Innova dengan nomor polisi DB 16012 AI.

Oroh mengakui surat panggilan tersebut terkait dengan bocornya Surat KPK kepada PN Manado perihal permohonan izin penggeledahan rumah milik Bendahara PDI-P Olly Dondokambey di Manado dan Minahasa Utara.

Bocornya surat tersebut dianggap menghambat proses penyidikan KPK terhadap kasus Hambalang. Olly disebut-sebut menerima aliran dana kasus Hambalang.

Sumber Kompas.com di KPK menyebutkan bahwa ketiga pejabat PN Manado tersebut dipanggil menghadap KPK pada tanggal 1 Oktober 2013 nanti.

Kemarin, satu rumah Olly di Kalawat, Minahasa Utara, digeledah KPK. Beberapa furnitur dibawa KPK sebagai barang bukti. Sementara, dua rumah Olly di Manado yang juga disebut dalam surat yang bocor tersebut hingga siang ini belum digeledah KPK.

Beredar informasi, kedua rumah tersebut tidak jadi digeledah karena ternyata milik mertua Olly.

Hakim Sudrajad penuhi panggilan Komisi Yudisial


Kamis, 26 September 2013 10:51 WIB | 1090 Views
Jakarta (ANTARA News) - Hakim Pengadilan Tinggi Pontianak Sudrajad Dimyati memenuhi panggilan Komisi Yudisial, Kamis, untuk diperiksa terkait dugaan suap yang terjadi di toilet ("lobby toilet") dengan anggota Komisi III DPR Bachrudin Nasori.

Sudrajad tiba di Komisi Yudisial pukul 9.57 WIB atau sedikit lebih awal dari jadwal pemeriksaan yang ditentukan jam 10.00 WIB. Sudrajad yang mengenakan kemeja putih, hadir seorang diri, dan langsung naik lift menuju ruang pemeriksaan.

Meskipun sempat mempersilahkan juru kamera untuk mengabadikan gambar saat dirinya di dalam lift, Sudrajad enggan berkomentar banyak terkait kedatangannya tersebut.

"Nanti, nanti saja ya setelah pemeriksaan. Sudah jam 10," katanya.

Sebelumnya proses uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung di Komisi III DPR, Jakarta, Rabu (18/9) diwarnai dengan dugaan adanya pertemuan khusus di toilet antara calon hakim agung Sudrajad Dimyati dengan anggota Komisi III DPR Bachrudin Nasori.

Diduga pertemuan itu terkait upaya penyuapan untuk kelolosan uji calon hakim agung. Namun keduanya telah membantah atas isu tersebut.

Akhirnya Komisi Yudisial memanggil kedua pihak untuk dimintai keterangannya terkait isu tersebut. Bachrudin Nasori sendiri sebelumnya, Rabu (25/9) telah dipanggil oleh Komisi Yudisial untuk dimintai keterangannya.   
Editor: AA Ariwibowo

PDI-P Yakin Olly Tak Terkait Kasus Hambalang


JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Dewan Pengurus Pusat Bidang Hukum PDI Perjuangan Trimedya Panjaitan meyakini bahwa bendahara umum partainya, Olly Dondokambey, tak terkait kasus Hambalang. Ia mengatakan bahwa Olly siap bekerja sama dengan KPK terkait pengungkapan kasus dugaan korupsi tersebut.

"Apa pun kita hormati. Kita yakini Olly tidak terkait dengan itu," ujar Trimedya di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (25/9/2013).

Ketua Badan Kehormatan DPR tersebut juga menyesali bocornya surat permohonan penggeledahan yang dikirim KPK ke Pengadilan Negeri Manado. Ia meminta KPK harus mengungkapkan pembocor surat itu agar tak terulang kembali.

"Itu kan rahasia. Kenapa bisa bocor?" katanya.

Seperti diberitakan, surat KPK bernomor R-1146/20-23/09/2013 perihal permintaan izin penggeledahan yang bocor menjadi berita di media massa. Surat dari Pengadilan Tipikor pada PN Manado Nomor 06/Pid.Sus/2013/PN.Mdo tertanggal 23 September 2013 tentang pemberian izin kepada penyidik KPK untuk melakukan penggeledahan terhadap rumah Olly Dondokambey juga bocor ke tangan media massa.

Hingga Selasa sore, penggeledahan di rumah Olly di Manado tersebut belum jadi dilakukan. KPK pun berkoordinasi dengan pihak Pengadilan Manado untuk mengetahui lebih jauh mengenai pembocoran rencana geledah ini, termasuk siapa pelaku dan motif pembocoran.

Menanggapi bocornya surat KPK tersebut, Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan akan mencari tahu siapa yang membocorkan dokumen rahasia tersebut. Menurut Budi, pembocor bisa dikenakan pasal pidana.

KPK Sita 2 Meja Makan di Rumah Olly Dondokambey


JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita dua set meja makan di rumah anggota DPR Olly Dondokambey di Jalan Reko Bawah, Desa Kolongan, Kecamatan Kalawat, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Rabu (25/9/2013).

Perabot rumah tangga itu disita terkait penyidikan kasus dugaan korupsi pengadaan sarana dan prasarana olahraga di Hambalang untuk tersangka mantan petinggi PT Adhi Karya Teuku Bagus Muhammad Noor. "Penyidik melakukan penyitaan terhadap dua set meja makan dari kayu beserta kursi," ujar Juru Bicara KPK Johan Budi di Gedung KPK RI, Rabu (25/9/2013).

Penggeledahan berlangsung selama 6 jam. Johan belum menjelaskan lebih lanjut kaitan barang yang disita dengan penyidikan Hambalang. Harga meja dan kursi dari kayu itu saat ini juga belum diketahui. KPK menduga ada jejak-jejak tersangka terkait meja dan kursi dari kayu itu.

Adapun, Olly berstatus sebagai saksi dalam kasus Hambalang. Dia pernah diperiksa KPK beberapa waktu lalu. Seusai diperiksa sebagai saksi, Olly membantah tudingan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin bahwa dia menerima uang dari proyek Hambalang. Saat proyek Hambalang dibahas di DPR, Olly menjadi pimpinan Badan Anggaran DPR.

KPK sebelumnya berencana menggeledah rumah Olly di Manado, salah satunya yang beralamat di Jalan Manibang, Kelurahan Malalayang, Kota Manado. Namun, rencana penggeledahan itu bocor sejak Senin (23/9/2013) malam. Surat permintaan izin untuk menggeledah rumah Olly yang disampaikan KPK kepada Pengadilan Tipikor Manado beredar di media sejak Selasa (24/9/2013). Rencana penggeledahan di Manado pun batal.

Mulailah Pendidikan Antikorupsi di Keluarga dan Sekolah!



JAKARTA, KOMPAS.com - Pemberantasan korupsi harus dimulai dari tingkat yang paling dini. Penanaman nilai-nilai antikorupsi harus mulai diberikan kepada anak di lingkungan keluarga maupun lingkungan sekolahnya. Dengan begitu, saat tumbuh dewasa, seseorang sudah paham dengan buruknya tindakan korupsi.

Demikian disampaikan Koordinator Youth Departement Transparency International Indonesia (TII) Lia Toriana saat memaparkan rekomendasi hasil survei yang dirilisnya dalam acara bertajuk "Youth International Conference On Integrity" di Jakarta, Rabu (25/9/2013).

Sesuai temanya, acara diskusi tersebut dihadiri anak muda yang umumnya adalah mahasiswa-mahasiswi. Dalam survei tersebut, disebutkan bahwa faktor keluarga masih memegang peranan paling penting dalam mempengaruhi pandangan seseorang tentang integritas dan sikap antikorupsi.

Sebanyak 83 persen responden menganggapnya berpengaruh. Di urutan nomor dua, sebanyak 80 persen responden menganggap sistem pendidikan baik di sekolah ataupun di kampus mempengaruhi pandangan seseorang terhadap integritas dan sikap antikorupsi.

Hasil survei juga menyebutkan, sebanyak 74 persen responden berpendapat, tingkat integritas juga dipengaruhi oleh teman sepermainan. Selain itu, 66 persen responden berpendapat tokoh/pemimpin turut memengaruhi, dan sisanya selebriti dunia hiburan sebesar 33 persen.

"Ini menunjukkan kalau pendidikan antikorupsi ini harus dimulai sedini mungkin," kata Lia.

Menurutnya, orangtua harus menjadi contoh yang baik terhadap anaknya. Orangtua tidak boleh mencontohkan perbuatan-perbuatan koruptif, sekecil apapun perbuatan itu. Sekolah dan perguruan tinggi, menurutnya, juga harus mulai mengajarkan nilai-nilai antikorupsi kepada anak didiknya.

Survei dilakukan di DKI Jakarta pada periode bulan Juli 2012-Desember 2012. Sampel adalah anak muda yang berusia 15 sampai 30 tahun. Metode penelitian ini menggabungkan dua metode, yaitu kuantitatif dan kualitatif.

Metode kuantitatif dilakukan di 50 kelurahan di lima wilayah DKI Jakarta, sementara metode kualitatif dilakukan dengan Focus Group Discussion (FGD). Margin of error penelitian ini menggunakan tingkat kepercayaan 95 persen, berada di bawah 2.5 persen.