Thursday, October 31, 2013

Penyelenggara negara diminta kooperatif dukung pemberantasan korupsi


Kamis, 31 Oktober 2013 19:40 WIB | 1007 Views
Makassar (ANTARA News) - Anti Corruption Committe (ACC) meminta penyelenggaran negara serta badan legislasi untuk kooperatif dalam pemberantasan korupsi yang melibatkan Sekretaris Provinsi Andi Muallim, anggota DPRD Sulsel pada korupsi Bantuan Sosial 2008 dengan kerugian Rp8,8 miliar.

"Setiap penyelenggara negara harus kooperatif dan membantu institusi hukum dalam memberantas kasus korupsi khususnya korupsi Bansos Sulsel yang merugikan negara miliaran rupiah," tegas Direktur Eksekutif ACC Abdul Muthalib di Makassar, Kamis.

Ia mengatakan, penetapan Sekprov Sulsel, Andi Muallim sebagai tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dianggapnya sebagai hal positif untuk penuntasan perkara-perkara pidana khususnya pidana korupsi.

Meskipun penetapan Andi Muallim dinilainya lamban oleh penyidik kejaksaan, namun langkah tersebut dinilainya sebagai bentuk keseriusan dalam memberantas korupsi.

"Penetapan itu lamban, tetapi tetap kita apresiasi. Korupsi Bansos Sulsel ini menjadi perhatian masyarakat karena nilai kerugiannya yang mendekati Rp10 miliar, apalagi penerimanya didominasi oleh anggota DPRD kita," jelasnya.

Mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar itu mengaku, kejaksaan harus membidik para penerima Bansos Sulsel karena sudah sangat jelas alat bukti dan fakta-fakta hukumnya dimana para penerima dana yang peruntukkan untuk masyarakat itu dinikmati oleh anggota DPRD Sulsel.

Dalam kasus itu juga, diduga ada sekitar 26 anggota DPRD yang menerima gelontoran dana segar itu. Para penerima menggunakan nama lembaga fiktif yang berjumlah 202 untuk mendapatkan dana bantuan tersebut.

"Modusnya itu sesuai dengan bukti-bukti sebelumnya menggunakan lembaga fiktif yang tidak terverifikasi di Badan Kesbangpol terus mendapatkan dana belasan, puluhan hingga ratusan juta," katanya.

Selain itu, dia juga menyebutkan jika Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo harus mendukung langkah Kejati Sulsel dalam mengusut tuntas kasus korupsi ini dan tidak melindungi aparatnya yang bermasalah dengan hukum.

Bukan cuma itu, Gubernur juga diminta untuk tidak melindungi para anggota DPRD yang menjadi penerima Bansos tersebut karena masih adanya pemahaman yang berkembang jika legislator ketika akan dimintai keterangannya oleh lembaga hukum harus meminta persetujuan Gubernur.

"Setahu saya, kejaksaan tidak perlu meminta izin Gubernur untuk memeriksa para anggota DPRD itu karena dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 2003 tidak diperlukan izin untuk memanggil anggota DPRD yang terkait dengan kasus korupsi," ujarnya.

Selain itu, dalam pasal 106 ayat (4) Undang Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD dan DPD menyatakan, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2) dan (3) tidak berlaku apabila mereka terlibat dalam kasus korupsi dan terorisme. (MH/A034)
Editor: B Kunto Wibisono

Tersangka korupsi Kemenkop ditahan di Jaksel


Kamis, 31 Oktober 2013 19:46 WIB | 1424 Views
Jakarta (ANTARA News) - Hendra Saputra, buronan kasus dugaan korupsi di Kementerian Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah yang ditangkap Satgas Kejagung di Samarinda, Kalimantan Timur, ditahan di Rumah Tahanan Salemba Cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.

Kasus yang menimpa Direktur PT Image Media Jakarta itu terkait pengadaan tiga unit videotron atau papan reklame elektronik di kementerian tersebut.

"Tersangka Hendra Saputra ditahan untuk 20 hari kedepan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Setia Untung Arimuladi di Jakarta, Kamis.

Sebelumnya, tim Satgas Kejaksaan Agung bersama Tim Intelijen Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur, Rabu (30/10), menangkap Hendra Saputra di Jalan Gunung Arjuna, Samarinda, Kaltim, pada pukul 16.15 WIB.

Tersangka dijerat Pasal 2, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

"Penyidik telah melakukan pemanggilan kepada tersangka Hendra Saputra sebanyak tiga kali. Akan tetapi, yang bersangkutan tidak hadir tanpa alasan," katanya.

Kasus itu terjadi pada tahun 2012 di Sekretariat Kemenkop dan UKM saat pengadaan dua unit videotron yang dimenangkan oleh perusahaan tersangka dengan harga Rp23,4 miliar.

Namun, dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan, yakni pemenang lelang sudah dikondisikan, harga terlalu tinggi nilainya, dan pekerjaan tidak dilakukan sesuai dengan kontrak.

Selain itu, kata dia, jenis barang tidak sesuai dengan kontrak dan bahkan ada sebagian pekerjaan dilakukan secara fiktif. Akibatnya, keuangan negara dirugikan sebesar Rp17,114 miliar.
Editor: Suryanto

KPK persempit upaya koruptor lari ke luar negeri


Kamis, 31 Oktober 2013 23:19 WIB | 297 Views
Kuala Lumpur (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berupaya mempersempit ruang gerak para koruptor yang lari ke luar negeri melalui serangkaian kerja sama dengan pihak pemerintah negara-negara sahabat seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Laos, Vietnam, Filipina dan lainnya.

"Kita ingin pastikan tidak ada lagi surga bagi koruptor yang lari ke luar negeri," kata Ketua KPK, Abraham Samad dalam kunjungannya ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur, Kamis.

Dia menjelaskan bahwa keberadaannya di Malaysia sejak kemarin itu dalam rangka penandatangani nota kesepahaman dengan pihak Sekretariat Pencegahan Korupsi Malaysia (SPRM) untuk meningkatkan kerja sama dalam menangani masalah korupsi.

MoU itu diharapkan dapat meningkatkan kerja sama dalam berbagai aspek pertukaran informasi penyelidikan, pendakwaan dan penetapan saksi terutama melibatkan kasus korupsi, penyalahgunaan wewenang, pencucian uang serta pengambilan aset.

"Kerja sama untuk mendapatkan keterangan dari para saksi sehingga dapat membantu investigasi menyangkut kasus korupsi yang ada hubungannya dengan Indonesia dan begitupula sebaliknya, ada hubungannya dengan Malaysia," kata dia.

Selama pertemuannya dengan pihak SPRM, Abraham mengingin Indonesia juga mempersiapkan infrastruktur yang memadai seperti yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia.

Dijelaskannya, infrastruktur kelembagaan SPRM ini besar sekali bahkan kantornya pun mencapai lima hektar dengan jumlah SDM yang memadai.

Sedangkan KPK, dengan kasus yang banyak hanya memiliki 60 orang penyidik sehingga masing-masing penyidik bisa menangani 10 kasus.

Idealnya, ungkapnya, jumlah penyidik KPK ditambah dan juga di setiap propinsi di Tanah Air ini harus ada cabang KPK.

Menurut Abraham, ekspektasi masyarakat terhadap KPK dalam penanganan kasus kasus korupsi adalah terlalu tinggi sementara kemampuan para penyidik terbatas sehingga KPK dinilai lamban dalam penyelesaian kasus yang ditanganinya.

Sementara itu, Duta Besar Republik Indonesia untuk Malaysia, Herman Prayitno beserta jajarannya melanjutkan pembicaraan terkait dengan kegiatan KPK termasuk saat di Malaysia.(*)

Editor: Ruslan Burhani

Wednesday, October 30, 2013

KPK Perpanjang Masa Penahanan Mantan Sekda Bandung



JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi memperpanjang masa penahanan mantan Sekretaris Daerah Bandung, Edi Siswadi yang ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap penanganan perkara korupsi bantuan sosial Pemerintah Kota Bandung. Masa penahanan Edi diperpanjang selama 30 hari ke depan.

“Diperpanjang selama 30 hari ke depan terkait kepentingan penyidikan,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Rabu (30/10/2013). Terkait perpanjangan penahanan ini, Edi dipanggil KPK.

Seusai menandatangani surat perpanjangan penahanan di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Edi tidak berkomentar kepada wartawan. Edi yang pernah mencalonkan diri sebagai wali kota Bandung itu langsung masuk ke mobil tahanan yang akan mengantarkan dia kembali ke Rumah Tahanan Salemba.

KPK menahan Edi di Rutan Salemba sejak 16 Agustus 2013. Edi ditahan setelah sekitar sebulan ditetapkan sebagai tersangka. KPK menetapkan Edi sebagai tersangka atas dugaan menyuap suap kepada hakim Setyabudi Tejocahyono terkait penanganan perkara korupsi bantuan sosial di Pemkot Bandung.

Dia disangka melakukan penyuapan tersebut bersama-sama dengan Wali Kota Bandung Dada Rosada, orang dekat Dada, Toto Hutagalung, pejabat Pemkot Bandung Herry Nurhayat, serta pria bernama Asep Triana yang diduga sebagai orang suruhan Toto. Kini, perkara Setyabudi, Toto, Asep, dan Herry telah disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung.

Beberapa waktu lalu, Edi mengaku diperintah Dada untuk mengumpulkan uang yang akan diberikan kepada hakim Setyabudi. Dia mengaku diperintah Dada untuk mengoordinasikan pengumpulan uang tersebut dengan para kepala dinas. Menurut Edi, uang yang diberikan kepada hakim Setyabudi tersebut bukan berasal dari kas Pemkot Bandung, melainkan uang pinjaman dari pihak lain yang tidak dia sebutkan namanya.

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengungkapkan, ada tiga sumber dana yang diduga digunakan untuk menyuap hakim Setyabudi. Selain dari patungan kepala dinas dan pinjaman pihak ketiga, uang itu bersumber dari dana bantuan sosial Pemkot Bandung.

Bareskrim Akan Periksa Istri Pejabat Bea Cukai yang Diduga Terima Suap



JAKARTA, KOMPAS.com - Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri akan memeriksa Widyawati, istri dari Heru Sulastyono, Kasubdit Ekspor Impor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Rabu (30/10/2013). Widyawati diperiksa terkait kasus dugaan suap dalam bentuk polis asuransi berjangka yang diduga diterima Heru dari Komisaris PT Tanjung Jati Utama (TJU), Yusran Arif, sebesar Rp 11,4 miliar.

"Hari ini Widyawati diperiksa sebagai saksi, mudah-mudahan datang," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Brigjen Pol Arief Sulistyanto saat menggelar jumpa pers di Gedung Bareskrim Polri.

Arief menjelaskan, Widyawati diduga turut menyamarkan suap yang diberikan Yusran kepada Heru. Yusran diketahui membuat sebelas polis asuransi berjangka atas nama dua orang yakni Herus Sulastyono dan Widyawati senilai sekitar Rp 11,42 miliar. Enam polis asuransi diatasnamakan Heru senilai sekitar Rp 4,93 miliar, sisanya lima polis asuransi senilai Rp 6,49 miliar diatasnamakan Widyawati.

Dalam paparan skema pemberian suap polis asuransi tersebut, Yusran mentransfer sejumlah uang melalui rekening BCA milik kepala bagian keuangan perusahaanya Siti Rosida. Untuk polis atas nama Heru, Rosida kemudian mentransfer uang tunai ke rekening BCA milik Anta Wijaya (office boy). Kemudian, uang yang ditransfer tersebut dibelikan polis asuransi atas nama Heru.

Sementara itu, untuk polis asuransi atas nama Widyawati, Rosida langsung mentransferkan sejumlah uang ke rekening BCA milik Widyawati. Oleh Widyawati, uang tersebut kemudian dibelikan polis asuransi yang diatasnamakan dirinya sendiri. Arief menambahkan, seluruh polis asuransi tersebut kemudian dicairkan sebelum jatuh tempo. Setelah dicairkan, uang tersebut ditransfer melalui rekening Bank Mandiri milik Widyawati.

"Kita akan telusuri apakah dia menerima atau tidak. Jika terbukti ada penerimaan dana ke rekeningnya dia dan dia mengetahui itu dari tindak kejahatan maka akan tingkatkan statusnya dia (Widyawati)" kata Arief.

Akibat perbuatannya, Heru Sulastyono dan Yusran Arif disangka dengan pasal yang sama, yaitu Pasal 3, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 dan Pasal 3, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

Selain itu, keduanya juga disangka dengan Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 Huruf a dan b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP.

Ini 11 Perusahaan Milik Penyuap Pejabat Bea Cukai


JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dir Tipideksus) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, Brigjen Pol Arief Sulistyanto mengatakan, setidaknya ada sebelas perusahaan yang dimiliki oleh Yusran Arif, Komisaris PT Tanjung Jati Utama. Yusran merupakan salah seorang tersangka dalam kasus dugaan pemberian suap dalam bentuk polis asuransi senilai Rp 11,42 miliar kepada Kasubdit Ekspor Impor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Heru Sulastyono.

"Sebagai komisaris, dia juga mendirikan sepuluh perusahaan lainnya," kata Arief di Gedung Bareskrim Polri, Rabu (30/10/2013).

Kesepuluh perusahaan itu, dikatakan Arief, PT Sinar Buana Ekspresindo, PT Cahaya Sinar Berjaya, PT Tanjung Jati Buana dan PT Dwi Tunggal Utama. Kemudian ada pula PT Duta Sakti, PT Nusa Jaya, PT Baraya Travel, PT Sinar Medan Sejahtera, PT Segar Utama dan PT Sinar Mas Mustika.

Arief mengatakan, untuk memimpin perusahaan tersebut, Yusran menunjuk sejumlah pihak yang memiliki hubungan dekat dengannya untuk dijadikan sebagai direktur perusahaan. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, ia juga menunjuk sopir dan office boy-nya sebagai direktur perusahaan.

"(Penunjukkan orang terdekat) rupanya ada tujuannya. Perusahaan-perusahaan ini didirikan dalam waktu yang enggak lama, belum setahun sudah ditutup. Kemudian dia mendirikan perusahaan lain," katanya.

Bareskrim, kata Arief, menduga jika perusahaan tersebut ditutup dalam waktu singkat untuk menghindari audit yang akan dilakukan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Kendati demikian, hal itu sampai saat ini masih didalami oleh penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri.

"Diduga ini dilakukan agar terhindar dari audit pajak," ujarnya.

Sebelumnya, Dittipideksus Bareskrim Polri menangkap Yusran Arief yang diduga memberikan suap dalam bentuk polis asuransi berjangka sebesar Rp 11,42 miliar kepada Heru. Diduga, suap tersebut diberikan untuk memuluskan upaya Yusran agar perusahaan yang berada di bawah kendalinya terhindar dari audit pajak.

Suap itu diberikan dalam kurun waktu 2005-2007 saat Heru menjabat sebagai Kepala Penindakan dan Penyidikan Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Saat ini, Heru menduduki jabatan sebagai Kasubdit Ekspor Impor Ditjen Bea dan Cukai, Kemenkeu. Akibat perbuatannya, Heru Sulastyono dan Yusran Arif disangka dengan pasal yang sama, yaitu Pasal 3, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 dan Pasal 3, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

Selain itu, keduanya juga disangka dengan Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 Huruf a dan b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP.

Modus baru kasus suap melalui polis asuransi


Selasa, 29 Oktober 2013 23:46 WIB | 2877 Views
Jakarta (ANTARA News) - Badan Reserse Kriminal Mabes Polri mengungkap modus baru pemberian suap atau gratifikasi melalui polis asuransi.

Modus pemberian suap dilakukan oleh Kasubdit Penindakan dan Penyidikan Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok, yakni Heru Sulastiyono (HS) dan Komisaris PT Tanjung Utama Jati Yusron Arif (YA).

"Ini merupakan modus operandi baru dalam mengaburkan atau mengalihkan pidana pencucian uang," kata Kasubdit Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Direktorat Tindak Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Kombes Agung Setya saat konferensi di Mabes Polri, Jakarta, Selasa.

Agung menjelaskan Yusron berusaha mengaburkan uang gratifikasi melalui polis asuransi yang bisa diklaim kapan saja oleh Heru.

Dia menyebutkan polis asuransi tersebut berjumlah 11 dengan atas nama 11 perusahaan yang dimiliki Yusron dan diduga satu polis asuransi bernilai Rp400 juta-Rp500 juta.

"Tapi, polis asuransi ini sudah dicarikan sebelum jatuh tempo oleh HS, sehingga terkena potongan penalti," katanya.

Meski terkena penalti senilai Rp1,2 miliar, Agung mengatakan, Heru tidak mengalami kerugian karena ia diduga telah mencairkan Rp5 miliar.

Selain itu, dia mengatakan Heru diduga menerima sejumlah uang dan barang bukan atas namanya, tetapi `office boy`, tukang kebun dan orang-orang kepercayaan Yusron.

Dia menyebutkan ada sejumlah barang bukti yang disita saat penangkapan, yakni polis asuransi, buku tabungan, dokumen transaksi, dokumen perusahaan, satu unit "air soft gun", enam unit telepon genggam dan dua unit mobil, yakni Ford Everest dan Nissan Terano.

Dia menjelaskan pemberian gratifikasi tersebut karena Heru telah berperan dalam memberikan usulan untuk membuat 10 perusahaan yang ditutup operasinya sebelum satu tahun agar tidak terkena audit Ditjen Bea dan Cukai.

Diketahui, Yusron hanya memiliki satu perusahaan yang terdaftar dalam Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yakni PT Tanjung Utama Jati.

Agung mengatakan 10 perusahaan itu bergerak di bidang mainan, aksesoris, spare part mesin, bijih plastik dan lainnya yang seharusnya dilakukan audit.

"Akan tetapi, dia tutup perusahaan lama dan buat perusahaan baru agar tidak ditemukan," katanya.

Dia mengatakan pengungkapan modus tersebut merupakan hasil dari penyelidikan selama satu bulan yang didukung Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) setelah menduga ada informasi tersebut satu tahun lalu.

Agung mengatakan akan menelusuri sejauh mana tindak kejahatan tersebut menghasilkan satu kekayaan, termasuk rumah baru Heru di kawasan Serpong, Tangerang.

Heru ditangkap di rumahnya, di Perum Sutera Renata Alba Utama Nomor 3, Alam Sutera, Serpong, Tangerang Banten pada Selasa (29/10), sekitar pukul 02.00 WIB.

Sedangkan, Yusron ditangkap di rumahnya di Jalan H. Aselih RT 11/RW 01 Nomor 49, Ciganjur, Kelurahan Cipedak, Jagakarsa, Jakarta Selatan pada Selasa (29/10 ) pukul 08.00 WIB.

Kedua tersangka terancam terjerat pasal 3, 5 UU 8/2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) serta pasal 5 ayat 2 dan pasal 12 huruf (a) (b) UU 31/1999 tentang Tipikor sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 junto pasal 55 dan 56 KUHP.
(J010/Z003)
Editor: Tasrief Tarmizi

Tuesday, October 29, 2013

Korupsi Dana ADD, Seorang Kades di Pangkep Ditahan



PANGKEP, KOMPAS.com - Kejaksaan Negeri Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, menjebloskan tersangka korupsi, BJ yang merupakan mantan Kepala Desa Bantimurung, Kecamatan Tondong Tallasa, Pangkep, Selasa (29/10/2013) siang tadi. BJ disangka korupsi dana Dlokasi Dana Desa sebesar Rp 100 juta.

Penahanan BJ dilakukan untuk memudahkan proses hukum dan agar tersangka tidak melarikan diri. BJ ditahan karena disangka korupsi ADD Rp100 juta, yang dilakukan dalam kurung waktu tahun 2010 hingga tahun 2011.

Kepala Pangkep, Yeni Anggreni SH mengatakan, tersangka siang tadi sudah memenuhi panggilan dan oleh pihaknya langsung dititipkan di rumah tahanan Kelas IIB Pangkajene. "Penahanan tersangka akan kita lakukan hingga 20 hari ke depan," jelasnya.

Atas perbuatannya, kata Yeni lagi, tersangka dijerat Pasal 2 dan 3, ayat (10) UU RI No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU RO No 20 Tahun 2001 pasal 3 UU RI No 31 Tahun 1999. "Korupsi dilakukan tersangka saat masih menjabat sebagai kepala desa," tandasnya.

Diduga, Akil Juga Korupsi Saat Jadi Anggota DPR


JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut aset Ketua Mahkamah Konstitusi nonaktif Akil Mochtar yang diperolehnya saat masih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Akil menjadi anggota DPR untuk periode 1999-2004 dan 2004-2009. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengungkapkan, ada bukti permulaan yang mengindikasikan harta Akil saat menjadi anggota DPR berasal dari tindak pidana korupsi.

"Tentu saja ada bukti permulaan, tetapi kan apa itu bukti permulaannya, bukan untuk konsumsi publik," kata Bambang di Jakarta, Selasa (29/10/2013).

Atas dasar itulah, KPK menjerat Akil dengan dua undang-undang tentang pencucian uang. Akil tidak hanya dijerat dengan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, tetapi juga UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan UU Nomor 15 Tahun 2002 ini, KPK bisa lebih jauh menelusuri harta Akil, termasuk yang diperolehnya di bawah tahun 2010.

"UU Nomor 8 Tahun 2010 kan berlakunya tahun 2010. Kalau KPK hanya menggunakan itu, seolah-olah nanti aset-aset kekayaan yang dilacak itu hanya yang di atas 2010. Itu sebabnya dikenakan juga UU yang sebelumnya supaya kita bisa menjangkau lebih jauh lagi," ujar Bambang.

Kendati demikian, Bambang menegaskan bahwa KPK menjerat seorang tersangka dengan pasal-pasal pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Penerapan pasal TPPU ini, katanya, berdasarkan konstruksi fakta-fakta yang ditemukan dalam proses penyidikan kasus dugaan suap Pilkada Gunung Mas dan Lebak selama ini.

Bambang juga mengatakan, KPK bisa saja mempermasalahkan aset Akil yang diperolehnya ketika menjadi anggota DPR meskipun pada tindak pidana asalnya Akil dijerat dalam kapasitas dia sebagai Ketua MK.

Seperti diketahui, KPK mulanya menetapkan Akil sebagai tersangka atas dugaan menerima suap terkait sengketa Pilkada Lebak dan Gunung Mas yang ditanganinya di MK.

"Kalau belajar dari kasusnya DS (Djoko Susilo), dia kenanya apa sih? Dia itu kan penyelenggara negara, terakhir pengadaan barang simulator, yang sebelum-sebelumnya dalam konteks dia Korlantas, kan enggak. Walaupun dia polisi, kan tetap penyelenggara negara meski tidak pada jabatan itu (Korlantas)," tutur Bambang.

Adapun Djoko Susilo juga dijerat KPK dengan dua UU pencucian uang. Selain mempermasalahkan harta Djoko ketika dia menjabat sebagai Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI (Korlantas), lembaga antikorupsi itu pun mengusut harta yang diperoleh Djoko sejak sebelum dia menjabat Kepala Korlantas Polri.

KPK mulanya menetapkan Akil sebagai tersangka atas dugaan menerima suap terkait penanganan sengketa Pilkada Lebak dan Gunung Mas. Lembaga antikorupsi itu kemudian menambah pasal sangkaan kepada Akil, yakni Pasal 12 B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur soal penerimaan gratifikasi.

Akil diduga menerima hadiah atau gratifikasi terkait perkara selain Pilkada Lebak dan Gunung Mas yang pernah ditanganinya selama berkarier di MK. Melalui pengembangan kasus ini, KPK menjerat mantan politikus Partai Golkar itu dengan pasal TPPU.

KPK Mengaku Serius Usut Dugaan Penyelewengan Bansos di Banten


JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto menyatakan serius mengusut setiap dugaan penyelewengan yang dilaporkan ke KPK, termasuk dugaan penyelewengan dana bantuan sosial (bansos) dan hibah di Provinsi Banten. Sejauh ini, laporan terkait bansos dan hibah di Banten itu belum masuk dalam proses penyelidikan di KPK.

“Sejak kapan KPK tidak serius?” kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto di Jakarta, Selasa (29/10/2013), saat ditanya mengenai tindak lanjut KPK atas laporan masyarakat mengenai dana bansos dan hibah di Banten.

KPK telah menerima sejumlah laporan masyarakat mengenai bansos dan hibah di Banten. Sekitar September 2011, Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan kepada KPK mengenai aliran dana hibah dan bansos menjelang pemilihan kepala daerah di Banten. ICW menduga ada indikasi tindak pidana korupsi terkait penyaluran dana tersebut yang mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 34,9 miliar pada 2011.

KOMPAS Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah beserta kerabatnya menguasai 175 proyek di Provinsi Banten dalam rentang waktu 2011-2013 dengan total nilai Rp 1,148 triliun.
Menurut data ICW, ada empat modus penyelewengan anggaran yang dilakukan oknum kepala daerah setempat, yakni lembaga penerima hibah fiktif, pengulangan alamat lembaga penerima hibah, pemotongan dana hibah, serta aliran dana hibah kepada lembaga yang dipimpin kerabat Gubernur Banten. Bukan hanya ICW, laporan mengenai dana bansos dan hibah Banten juga disampaikan Aliansi Independen Peduli Publik (Alipp) yang tergabung dalam Jaringan Warga untuk Reformasi (Jawara) Banten kepada KPK beberapa waktu lalu.

Saat menyambangi Gedung KPK, Direktur Eksekutif Aliansi Alipp Uday Suhada mengatakan, persoalan korupsi di Banten yang menjerat Tubagus Chaery Wardana, adik dari Ratu Atut, bukan hanya yang berkaitan dengan pemberian suap kepada Ketua MK nonaktif, Akil Mochtar.

Menurut Uday, dalam surat pencegahan para tersangka dan Ratu Atut yang dikirimkan KPK kepada Imigrasi tertulis bahwa pencegahan dilakukan bukan terkait penyidikan kasus dugaan suap kepada Akil saja, melainkan berkaitan dengan penyelidikan seputar pemilihan kepala daerah dalam periode 2011-2013.

“Artinya tidak menyangkut persoalan korupsi atau suap di Lebak dan Tangerang, tapi justru yang terjadi korupsi yang lebih besar pada 2011, yakni penggelontoran dana hibah Rp 340 miliar dan bansos Rp 60 miliar oleh Atut pada 221 lembaga pada saat itu. Itu sudah kita laporkan pada Agustus 2011 ke KPK,” kata Uday.

Menurutnya, beberapa proyek di Banten yang diselewengkan, di antaranya, pengalihan dana penguatan jalan Pandeglang-Serang ke lahan parkir Karang Sari di Pandeglang tanpa persetujuan DPRD, pembangunan rumah sakit di Balaraja, serta penyelewengan dana hibah dan bansos yang nilainya meningkat menjadi Rp 400 miliar.

ICW beri "rapor merah" untuk Polda Metro Jaya



Selasa, 29 Oktober 2013 17:38 WIB | 1379 Views
Jakarta (ANTARA News) - Indonesian Corruption Watch (ICW) menyatakan Polda Metro Jaya bersama Polda Bangka Belitung dan Polda DI Yogyakarta layak mendapatkan "rapor merah" dalam hal kinerja pemberantasan korupsi.

"Itu berdasarkan pantauan awal ICW pada periode Januari-Oktober 2013," kata Peneliti ICW Tama S Langkun melalui siaran pers ICW-Jaringan Antikorupsi DI Yogyakarta yang diterima Antara di Jakarta, Selasa.

Ia menjelaskan penilaian rapor merah itu didasarkan pada pertimbangan bahwa jumlah kasus korupsi yang dituntaskan tidak sampai lima kasus atau bukan kasus kakap yang berhasil ditangani.

ICW memberikan tiga rekomendasi untuk Kapolri Komjen Pol Sutarman guna menunjukkan keseriusan dalam pemberantasan korupsi.

"Pertama, melakukan pengawasan dan evaluasi secara berkala atas kinerja jajaran di Kepolisian (Mabes Polri-Polda-Polres) dalam penanganan kasus korupsi," katanya.

Kedua, mencopot Kapolda dan Kapolres yang gagal atau tidak serius dalam pemberantasan korupsi.

Ketiga, memperkuat kerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Editor: Aditia Maruli

KPK geledah kantor walikota Palembang


Selasa, 29 Oktober 2013 16:13 WIB | 3677 Views
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi menggeledah kantor dan rumah Walikota Palembang dan Bupati Empat Lawang terkait dugaan suap kepada Ketua Mahkamah Konstitusi non-aktif Akil Mochtar sebagai hakim konstitusi.

"Benar tadi sekitar pukul 10.00 WIB, penyidik KPK melakukan upaya penggeledahan di beberapa tempat, yaitu di kantor walikota Palembang dan rumah, kemudian kantor dan rumah bupati Empat Lawang," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Selasa.

Johan menjelaskan penggeledahan tersebut karena terkait dengan Akil Mochtar.

"Maksud penggeledahan ini berkaitan dengan penyidikan KPK, dugaan tindak pidana korupsi berkaitan dengan kewenangan AM (Akil Mochtar) selaku hakim konstitusi," tambah Johan.

Kaitan itu dengan pasal 12 huruf B UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP yang mengatur bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

"Tentu ini berkaitan dengan pasal 12B, sprindik (surat perintah penyidikan) yang kedua," tambah Johan.

Panel Hakim yang dipimpin Akil Mochtar menangkan pasangan Romi Herton-H Harno Jayo sebagai Walikota dan Wakil Walikota dalam pilkada Palembang pada 20 Mei 2013.

Padahal dalam Surat Keputusan KPU Daerah pasangan Romi Herton-Harno Jaya mendapat suara sebanyak 316.915, sementara pasangan Sarimuda - Nelly Rasdiana memperoleh 316.923 suara.

Berdasarkan SK KPU tersebut, pasangan Sarimuda-Nelly Rasdiana menang sebanyak 8 suara dari pasangan Romi Herton-Harno Jaya.

Namun, berdasarkan hasil sidang MK, setelah penghitungan ulang, pasangan Romi Herton-Harno Jaya memperoleh 316.919 suara, sementara pasangan Sarimuda-Nelly Rasdiana sebanyak 316.896, artinya pasangan Romi yang semula kalah 8 suara, akhirnya menang sebanyak 23 suara dari pasangan Sarimuda-Nelly Rasdiana.

Sementara terkait kabupaten Empat Lawan, panel hakim konstitusi yang dipimpin oleh Akil Mochtar mengabulkan gugatan pasangan Budi Antoni Aljufri-Syahril Hanafiah dan membatalkan Surat Keputusan KPU Kabupaten Empat Lawang yang sebelumnya memenangkan pasangan calon Muhammad-Ali Halimi pada 31 Juli 2013.

Dari hasil penghitungan ulang, terdapat penambahan 52 suara untuk pasangan Budi Antoni-Syahril Hanafiah dari 62.975 suara menjadi 63.027, Sementara pasangan Joncik Muhhamad-Ali Halimi mengalami pengurangan 1.476 suara dari 63.527 suara menjadi 62.051 suara.

Akil Mochtar sebelumnya sudah menjadi tersangka dalam kasus sengketa pilkada kabupaten Gunung Mas dan Lebak di MK.
Editor: Suryanto

Monday, October 28, 2013

Korupsi PT PLN, Gani Abdul Gani Divonis 8 Tahun Penjara



JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Netway Utama, Gani Abdul Gani,  divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan penjara. Gani dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan wewenang dan menguntungkan diri sendiri atau orang lain dalam proyek pengadaan outsourcing roll out customer information system-rencana induk sistem informasi (CIS-RISI) di PT PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang 2004-2006 dan Outsourcing pengelolaan sistem manajemen pelanggan atau Customer Management System (CMS) berbasis teknologi insformasi di PT PLN Disjatim tahun 2004-2008.

"Mengadili, menyatakan Gani Abdul Gani terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan kesatu primer dan dakwaan kedua subsider. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Gani dengan pidana penjara selama 8 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan," ujar Ketua Majelis Hakim, Amin Ismanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (28/10/2013).

Gani juga dibebankan membayar uang pengganti Rp 5,448 miliar untuk pengadaan CIS-RISI di PT PLN. Sementara itu, untuk pengadaan CMS di PT PLN dibebankan sebesar 24.400 dolar AS dan Rp 4,238 miliar. Uang pengganti dibayarkan paling lambat satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Jika tidak dibayarkan dapat diganti dengan kurungan 1 tahun penjara.

Dalam proyek CIS-RISI, hakim mengatakan, Dirut PT PLN Eddie Widiono Suwondho telah melakukan penunjukan langsung kepada PT Netway sebagai rekanan proyek CIS RISI. Penunjukan langsung dilakukan setelah ada kesepakatan antara Gani dan Eddie. Dari proyek ini, PT Netway Utama mendapatkan pembayaran senilai total Rp 92 miliar, padahal pembebanan biaya yang seharusnya atas pengadaan proyek tersebut adalah Rp 46,089 miliar.

Oleh karena itu, selisihnya sebesar Rp 46,189 miliar dianggap sebagai kerugian negara. Namun dari kerugian negara itu yang diterima Gani sebesar Rp 5,448 miliar. Sementara itu, dalam proyek CMS modusnya sama dengan CIS RISI. Gani telah berkongkalikong dengan eks Manajer Utama PT PLN Disjatim, Hariadi Sadono, untuk memuluskan penunjukan langsung perusahaannya sebagai rekanan proyek CMS.

Proyek CMS di PLN Disjatim dilakukan pada tahun 2004-2008. Atas perjanjian kerja sama pengadaan Outsourcing CMS berbasis teknologi informasi pada PT PLN Disjatim tahun 2004 sampai 2008, PT Netway Utama mendapatkan pembayaran secara bertahap sejak Juli 2005- Juni 2008 sebesar Rp 93,017 miliar. Padahal, pembebanan biaya yang seharusnya hanya Rp 23,046 miliar. Sehingga, terjadi kelebihan sebesar Rp 69,970 miliar.

Untuk proyek CMS, kerugian negara yang ditimbulkan sebesar Rp 69,970 miliar itu. Dari kerugian negara tersebut, Gani disebut menerima sebesar 24.400 dolar AS dan Rp 4,238 miliar Vonis Gani lebih rendah dari tuntutan sebelumnya yaitu 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Atas putusan itu, Gani ajukan banding.

Samad: Mubazir, Pembentukan Densus AntiKorupsi


MAKASSAR, KOMPAS.com - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad menilai rencana pembentukan Detasemen Khusus (Densus) AntiKorupsi yang dibuat oleh Polri, mubazir.

"Secara pribadi, rencana pembentukan Densus AntiKorupsi yang dibuat polisi hanya mubazir saja. Dalam pemberantasan korupsi, sebaiknya polisi memperbaiki internalnya saja dulu, tidak perlu ada Densus AntiKorupsi lagi," kata Abraham di depan sejumlah aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, saat menghadiri Seminar Pembukaan Karya Latihan Bantuan Hukum Angkatan V, Senin (28/10/2013) siang.

Bahkan, Abraham Samad meminta Polri membantu KPK dalam penuntasan kasus-kasus korupsi. Apalagi jumlah laporan yang masuk setiap harinya di KPK mencapai 30 sampai 40 kasus. Sementara jumlah penyidik KPK hanya berkisar 60 sampai 40 orang saja.

"KPK bukan supermen yang bisa menyelsaikan kasus dengan mudah. Dibutuhkan proses lama untuk bisa mengungkap kasus serta bantuan teman-teman untuk memperbaiki negeri ini," kata dia.

Dalam upaya pemberantasan korupsi, kata Abraham, KPK ingin menyelamatkan uang rakyat yang nilainya mencapai Rp 18 triliun. Hal itu dilakukan agar tidak ada lagi rakyat miskin di Indonesia ini.

Untuk itu, Abraham meminta peran aktivis LBH dapat memantau kasus-kasus korupsi hingga ke pelosok desa.

Sementara itu, dalam penganan kasus korupsi, sampai saat ini KPK masih melakukan penyelidikan, dan Abraham berjanji akan memberikan informasi yang memuaskan kepada seluruh masyarakat.

PPATK: Koruptor Kakap Pasti Cuci Uang


JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso mengatakan, ada kecenderungan setiap pelaku tindak pidana korupsi kelas kakap untuk melakukan tindak pidana pencucian uang. Modus cuci uang yang dilakukanya bisa berupa penempatan uang tunai ke dalam sistem perbankan (placement), atau mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah masuk ke dalam sistem perbankan (layering).

“Koruptor kakap itu pasti melakukan pencucian uang, itu sudah pasti, karena uangnya kan banyak, itu mau ditaruh di mana. Mereka itu koruptor, kejahatannya punya motif ekonomi, maka itu prosesnya melakukan placement, layering, karena motifnya ekonomi, maka koruptor ini harus dimiskinkan,” kata Agus di Jakarta, Senin (28/10/2013).

Menurut Agus, seorang tersangka kasus dugaan korupsi sudah bisa diduga melakukan tindak pidana pencucian uang jika diketahui mencoba mengalihkan atau menyamarkan kepemilikan hartanya. Misalnya, dengan mengatasnamakan orang rumah, mobil mewah, atau perusahaannya.

“Itu sudah salah satu ciri namanya proses layering,” ujar Agus.

Dia menambahkan, pelaku juga kerap menggunakan perusahaan yang dimilikinya sebagai sarana untuk cuci uang.

Dalam kasus dugaan korupsi kepengurusan sengketa pemilihan kepala daerah contohnya, PPATK sudah menduga kalau salah satu tersangka kasus itu, yakni Ketua Mahkamah Konstitusi nonaktif, Akil Mochtar melakukan pencucian uang. PPATK telah melaporkan transaksi mencurigakan Akil kepada KPK sejak 2012.

Bahkan, PPATK telah mengantongi transaksi Akil sejak 2010. Kini, KPK pun menetapkan Akil sebagai tersangka pencucian uang terkait dugaan korupsi yang dilakukan mantan hakim konstitusi itu.

“Nah kalau sudah dilaporkan PPATK dalam bentuk laporan hasil analisis, artinya PPATK sudah menduga kuat bahwa yang bersangkutan itu melakukan pencucian uang dengan tindak pidana asal hasil dari korupsi,” kata Agus.

Menurutnya, nilai transaksi mencurigakan Akil yang terdeteksi PPATK sejak 2010, mencapai Rp 100 miliar.

“Nah tentu setelah itu kita serahkan ke KPK nanti KPK akan mempelajari itu, dan kami selalu berkoordinasi sangat baik dengan KPK,” ucapnya.

Harus dimiskinkan

Agus juga menilai kalau pelaku tindak pidana korupsi yang melakukan pencucian uang harus dimiskinkan. Caranya, dengan tuntutan komulatif antara tindak pidana korupsi yang didakwakan kepadanya dan tindak pidana pencucian uang.

“Karena di Undang-Undang TPPU Pasal 77-78 ini bisa pembuktian terbalik di proses persidangan, dan ini sudah dilakukan beberapa kali. Jaksa KPK itu sudah berhasil, kejaksaan juga sudah berhasil melaksanakan proses pembuktian terbalik,” ujarnya.

Dengan demikian, lanjutnya, harta si pelaku bisa dirampas negara jika dia tidak bisa membuktikan kalau hartanya itu berasal dari sumber yang sah.

“Jadi bukan hanya untuk dihukum berat, tapi hartanya dirampas untuk negara,” ucap Agus.

PPATK Temukan Aliran Dana dari Kepala Daerah ke Akil


JAKARTA, KOMPAS.com - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendeteksi adanya aliran dana sejumlah calon kepala daerah ke Ketua Mahmakah Konstitusi nonaktif, Akil Mochtar. Para calon kepala daerah tersebut, berasal dari luar Pulau Jawa.

“Kita menengarai ada calon-calon kepala daerah dalam transaksi yang diduga ada transaksional, tapi saya tidak tahu persis transaksinya terkait apa,” kata Wakil Ketua PPATK Agus Santoso di Jakarta, Senin (28/10/2013).

Agus ditanya mengenai aliran dana terkait pasal baru yang disangkakan Komisi Pemberantasan Korupsi kepada Akil. KPK menjerat Akil dengan Pasal 12 B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur soal penerimaan gratifikasi oleh penyelenggara negara/pejabat/penegak hukum. Akil diduga menerima gratifikasi terkait perkara yang ditanganinya di MK selain sengketa pemilihan kepala daerah di Lebak, Banten, dan di Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

“Saya cuma tahu ada hubungan transaksi dari beberapa kepala daerah dengan AM (Akil Mochtar) ini, saya tidak boleh sebut nama, karena itu kan kewenangan penyidik KPK, tapi yang sudah diketahui itu di luar Pulau Jawa,” ujar Agus lagi.

Dia juga mengatakan bahwa PPATK telah mengantongi transaksi mencurigakan terkait Akil sejak 2010. Laporan hasil analisis transaksi keuangan tersebut diserahkan kepada KPK sekitar 2012. Menurut Agus, PPATK mencatat nilai transaksi mencurigakan terkait Akil sejak 2010 sekitar Rp 100 miliar.

“Nilainya sekitar Rp 100 miliar, tentu setelah itu kita serahkan ke KPK nanti KPK akan mempelajari itu, dan kami selalu berkoordinasi sangat baik dengan KPK, nanti KPK meminta info pendalaman kepada PPATK. Koordinasi antara PPATK dan KPK itu tujuannya untuk mengerucutkan orang-orang seperti itu, nanti kalau tidak begitu akan terlalu jauh transaksi-transakisnya iya kan, apa yang diperoleh dari penyidikan KPK, nanti yang kita dalami orang-orang itu,” paparnya.

KPK menetapkan Akil sebagai tersangka atas dugaan menerima suap terkait sengketa pilkada Lebak dan Gunung Mas. Lembaga antikorupsi itu pun menambah pasal sangkaan baru kepada Akil, yakni Pasal 12 B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengenai penerimaan gratifikasi terkait perkara di MK yang lain. Belakangan, KPK menetapkan Akil sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang.

KPK gelar sastra antikorupsi


Senin, 28 Oktober 2013 09:13 WIB | 1399 Views
Depok (ANTARA News) - Ombudsman Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar sastra integritas bertajuk "Anti Maladministrasi dan Anti Korupsi" di Pusat Studi Jepang UI, Depok.

"Kegiatan yang bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda ini hendak memahamkan pemuda akan bahaya praktik maladministrasi dan korupsi melalui gelaran budaya," kata Ombudsman Bidang Pencegahan Hendra Nurtjahjo di Depok, Senin.

Menurut dia pagelaran sastra integritas ini akan menampilkan deklamasi puisi Adhie M Masardi dan Hendra Nurtjahjo serta puisi Helvy Tiana Rosa dan Bengkel Sastra UNJ. 

Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja akan turut serta dalam pagelaran budaya merenungkan Hari Sumpah Pemuda ini.

Acara ini juga mengagendakan penandatanganan pakta integritas oleh seluruh BEM se-Jabodetabek sebagai pernyataan perang melawan maladministrasi dan korupsi, lalu akan ditutup penampilan duo musisi, Endah n Rhesa.

"Perilaku maladministrasi dan korupsi kian marak terjadi, oleh karenanya, diperlukan pemahaman yang tidak hanya bersifat formal tetapi juga melalui pemahaman kultural terutama kepada pemuda selaku tulang punggung bangsa," kata Hendra.
Editor: Jafar M Sidik

Saturday, October 26, 2013

Akil Mochtar akan dijerat dengan pasal pencucian uang



Sabtu, 26 Oktober 2013 15:39 WIB | 3508 Views
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menjerat Ketua Mahkamah Konstitusi Nonaktif Akil Mochtar (AM) dengan pasal tentang tindak pidana pencucian uang (TPPU), selain sangkaan tindak pidana korupsi karena menerima suap.

"Forum ekspose di KPK pada beberapa hari lalu setuju untuk meningkatkan surat perintah penyidikan TPPU atas tersangka AM," kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto melalui pesan singkat di Jakarta, Sabtu.

Akil akan dijerat dengan pasal 3 Undang-Undang No. 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Ancaman hukuman bagi pelanggar pasal itu adalah penjara maksimal 20 tahun dan denda Rp10 miliar.

Sebelumnya KPK sudah menerapkan pasal dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang mengatur pidana bagi hakim yang menerima hadiah atau janji yang dapat mempengaruhi keputusan perkara pada Akil.

Akil juga dijerat dengan pasal tentang gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dianggap pemberian suap.

Bambang juga memastikan KPK memblokir dan menyita aset dan rekening Akil.

"Seluruh rekening yang diketahui KPK sudah diblokir dan sebagian aset yang sudah diketahui juga telah dilakukan upaya paksa sita," katanya.

Namun sebelumnya pengacara Akil mengatakan penyitaan yang dilakukan oleh KPK tidak ada kaitannya dengan pokok perkara.

Dua kejahatan korporasi Kalimantan Timur dilaporkan ke KPK



Sabtu, 26 Oktober 2013 02:45 WIB | 2805 Views
Samarinda, Kalimantan Timur (ANTARA News) - Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur melaporkan dua kejahatan korporasi terkait lingkungan dan sumber daya alam ke Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Tahun ini kami melaporkan dua kejahatan korporasi di Kalimantan Timur ke KPK. Pada Juni 2013, kami melaporkan dugaan suap penerbitan izin tambang di Kota Samarinda," ungkap Ketua Divisi Hukum dan Advokasi Jatam Kalimantan Timur, Merah Johansyah, di Samarinda, Kalimantan Timur, Jumat.

Kejahatan korporasi terkait dugaan suap pada pemberian izin tambang itu lanjut dia, melibatkan dua mantan pejabat di Kota Samarinda.

"Ada dugaan suap pada penerbitan izin tambang itu, dengan bukti dua kwitansi penyerahan uang masing-masing senilai Rp2 miliar dari seorang pengusaha kepada mantan kepala Dinas Pertambangan dan kami mensinyalir uang tersebut mengalir kepada mantan wali kota," katanya.

"Dalam waktu dekat, kami juga akan melaporkan kejahatan korporasi lainnya yang juga terkait pada sektor pertambangan batu bara," ungkap Johansyah.

Berdasarkan catatan Jatam lanjut Merah Johansyah, terdapat sejumlah kasus kejahatan korporasi lain yang terjadi di sana.

Di antaranya, kasus pidana umum terkait pembantaian orangutan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit, penyerobotan lahan oleh perusahaan tambang, kematian anak-anak pada lubang tambang batu bara, serta tanggul jebl perusahaan tambang yang menyebabkan rumah waraga rusak di Samarinda Seberang. 
Editor: Ade Marboen

Thursday, October 24, 2013

Prestasi KPK di Tengah Berbagai Keterbatasan



KOMPAS.com - LANTAI tiga gedung Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki beranda yang nyaman. Dengan ukuran sekitar 5 meter x 20 meter, beranda ini disulap menjadi taman kecil. Bila sore atau malam menjelang, gemerlap lampu kota dan gedung-gedung tinggi di sepanjang Jalan HR Rasuna Said berpadu dengan lembayung di langit menjadi pemandangan indah dari tempat itu.

Lantai tiga gedung KPK menjadi tempat komisioner KPK berkantor. Satu-satunya pejabat struktural yang berkantor di lantai yang sama dengan para pemimpin KPK adalah Juru Bicara KPK Johan Budi SP. Ruang kerja Johan terletak paling ujung, berhadapan dengan mushala kecil. Di antara mushala kecil dan ruangan kerja Johan inilah terletak pintu menuju beranda nyaman di lantai tiga ini.

Sore itu, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto masih bercengkerama dengan Direktur Penyelidikan KPK Arry Widiatmoko. Obrolan mereka terlihat serius. Direktorat Penyelidikan adalah bagian vital yang memimpin operasi tangkap tangan (OTT) di KPK. Kebanyakan yang bertugas di tempat ini adalah auditor yang dulu bekerja di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

Sejak penangkapan Ketua MK Akil Mochtar, pada awal Oktober lalu, beberapa kali muncul isu KPK tengah melakukan OTT lagi. Iseng-iseng sore itu, isu ini ditanyakan kepada Bambang, apalagi mantan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ini tengah berbincang dengan Arry.

Setengah bercanda, Bambang berujar, ”Gila lu ya. Operasi tangkap tangan itu tak semudah kalian menulisnya Bos. Lu sih enak, habis tangkap tangan, tulis beritanya, terus tanya, kapan ada tangkap tangan lagi. Kami ini yang repot, satu tangkap tangan belum selesai, harus dituntut tangkap tangan lagi.”

Bambang memang suka memanggil wartawan dengan sebutan ”bos”. Selain rakyat yang telah memberi amanat, KPK seolah juga menempatkan pers sebagai bos. Pasalnya, wartawan ini paling sering menuntut kerja-kerja KPK. Jika ada tersangka yang belum ditahan, wartawan hampir setiap hari menanyakan kapan ditahan. Kalau ada orang yang seharusnya diperiksa, tak kunjung juga dipanggil, wartawan juga akan menanyakan.

Namun, pertanyaan wartawan itu sejatinya adalah kepercayaan ke KPK. Sejak Penangkapan Akil karena diduga menerima suap terkait penanganan perkara sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Lebak dan Gunung Mas, serta perkara lainnya di MK, publik seperti yakin tak ada lagi lembaga negara yang dibentuk setelah era reformasi bersih dari korupsi.

Penangkapan Akil 2 Oktober lalu tak berselang lama dengan penangkapan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Rudi Rubiandini. Rudi ditangkap KPK, Selasa, 13 Agustus.

Sebelumnya, akhir Januari lalu, KPK juga menangkap Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq. Kini, Luthfi tengah menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Di luar hasil OTT, KPK juga menyeret orang-orang yang masuk kategori high ranking profile di Indonesia karena korupsi. Korupsi pengadaan simulator berkendara di Korps Lalu Lintas Polri untuk pertama kalinya membuat jenderal polisi aktif diadili. Mantan Kepala Korlantas Inspektur Jenderal Djoko Susilo divonis 10 tahun dan hartanya sekitar Rp 200 miliar disita negara. Kasus dugaan korupsi proyek pembangunan kompleks olahraga di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, membuat mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum jadi tersangka. Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng bahkan telah ditahan.

Ini belum termasuk sederet kasus besar lain yang tengah dituntaskan KPK. Kasus Century, korupsi PON Riau, hingga pencucian uang mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.

Keterbatasan

Di tengah sejumlah prestasi ini, sumber daya dan teknologi KPK sebenarnya kalah jauh dengan aparat penegak hukum lain. Pegawai KPK kurang dari 900 orang. Di bagian penyidikan malah hanya sekitar 150 orang, terbagi atas penyidik, penuntut, dan penyelidik. Teknologi penyadapan komunikasi yang dimiliki KPK kalah canggih dari milik kepolisian dan kejaksaan.

”Tapi, untungnya, yang bertugas di bagian teknologi informasi KPK adalah orang yang tepat di bidangnya sehingga kami mampu memanfaatkan peralatan yang tergolong old fashion itu,” kata Bambang.

Berbagai keterbatasan yang dimiliki KPK itu seharusnya membuat semua pemangku kepentingan di negeri ini malu akan prestasi mereka.

Maka, saat Bambang ditanya, kapan lagi ada OTT, dia tak malu berujar, ”Beri kami kesempatan bernapas dulu Bos!” (KHAERUDIN)

Polri Sudah Tahu Siapa Bunda Putri


JAKARTA, KOMPAS.com - Kepolisian Republik Indonesia mengklaim telah mengetahui siapa sosok Bunda Putri sebenarnya. Namun, Polri tak dapat mengungkap sosok Bunda Putri sebenarnya ke ranah publik.

Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Ronny Franky Sompie mengatakan, Polri langsung melakukan penyelidikan terhadap sosok yang dimaksud setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta agar Polri mencaritahu identitas Bunda Putri.

"Itu sifatnya (penyelidikan) intelejen, jadi tidak untuk di-publish," kata Ronny di Mabes Polri, Kamis (24/10/2013).
KOMPAS.COM/Sandro Gatra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat memberikan penjelasan mengenai kesaksian terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq soal sosok Bunda Putri.

Ronny mengatakan, Polri tak bisa mengungkap sosok sebenarnya lantaran kasus hukum yang terkait Bunda Putri tidak ditangani Polri. Menurutnya, justru Komisi Pemberantasan Korupsi yang lebih berhak mengungkap sosok tersebut.

Selain itu, ia menambahkan, sebenarnya, KPK telah mengetahui sosok di balik nama Bunda Putri tersebut. Pasalnya, KPK-lah yang menyelidiki kasus tersebut sejak awal hingga akhirnya Ridwa Hakim, anak Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera mengungkap sosok Bunda Putri di pengadilan.

"KPK pasti tahu siapa itu Bunda Putri, karena mereka punya rekaman penyadapannya," katanya.

Sosok Bunda Putri pertama kali muncul dalam persidangan kasus dugaan suap impor daging sapi dengan Ahmad Fathanah. Ridwan Hakim, anak Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mengatakan bahwa Bunda Putri adalah mentor bisnisnya.

Mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq menuturkan, Bunda Putri dekat dengan SBY dan merupakan anak pendiri Partai Golkar. Menurutnya pula, Bunda Putri juga memiliki informasi yang valid tentang reshuffle atau perombakan di kabinet.

Atas pengakuan Luthfi ini, Presiden SBY pun berang. Presiden langsung menggelar jumpa pers begitu tiba di Bandara Halim Perdanakusuma beberapa waktu lalu. SBY menyatakan bahwa Luthfi telah berbohong.

Korupsi di DKI Bermunculan, Basuki Enggan Buka "Luka Lama"


JAKARTA, KOMPAS.com - Sembilan pegawai negeri sipil (PNS) DKI Jakarta telah ditetapkan sebagai tersangka penyalahgunaan anggaran tahun 2009-2012. Menanggapi hal itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tidak akan membuka "luka lama" untuk mengungkap dugaan kasus-kasus serupa di masa lalu.
"Kita enggak suka buka 'luka lama', sakit lah. Mana enak sih buka 'luka lama'," kata Basuki di Balaikota Jakarta, Kamis (24/10/2013).
Basuki mengatakan bahwa dia dan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo telah bersepakat untuk melakukan rekonsiliasi dan melupakan "dosa lama" di pemerintahan Provinsi DKI. Menurut Basuki, Jokowi enggan mempersoalkan kembali kesalahan-kesalahan para pejabat DKI di masa lalu dan meminta agar aparatnya fokus menata Jakarta.
"Pokoknya Pak Gubernur sudah bersepakat untuk bersama-sama maju ke depan," kata Basuki.
Sepanjang tahun ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan mantan Kepala Dinas Kebersihan Pemprov DKI berinisial EB sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan mobil toilet VVIP besar dan kecil di Dinas Kebersihan Pemprov DKI tahun anggaran 2009. Kasus itu diduga telah menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 5,3 miliar.
Sebelumnya, Kejagung juga telah menetapkan mantan Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas kebersihan Provinsi DKI berinisial LL selaku Kuasa Pengguna Anggaran, dan Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa berinisial A sebagai tersangka kasus yang sama.
Pada 13 September 2013, Kejaksaan Negeri Jakarta Utara menetapkan MM sebagai tersangka penyalahgunaan anggaran proyek kelistrikan di Kepulauan Seribu tahun 2012 senilai Rp 1,3 miliar. MM ditetapkan sebagai tersangka 12 hari setelah pensiun dari jabatannya per 1 September 2013. Sebelumnya, MM menjabat Kepala Unit Pengelola Kelistrikan Kabupaten Kepuluan Seribu.
Di hari yang sama, Kejaksaan Negeri Jakarta Utara menetapkan SBR sebagai tersangka untuk kasus yang sama. SBR merupakan Kepala Seksi Perawatan UPT Kelistrikan Kabupaten Kepulauan Seribu.
Pada 11 Oktober 2013, Kejaksaan Negeri Jakarta Timur menetapkan Lurah Ceger berinisial FFL sebagai tersangka penyalahgunaan anggaran kasus pembuatan laporan pertanggungjawaban fiktif tahun 2012 senilai Rp 454 juta. Di hari yang sama, Kejari Jaktim juga menetapkan Bendahara Lurah Ceger ZA sebagai tersangka untuk kasus yang sama. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, FFL dan ZA langsung ditahan.
Pekan ini ada tiga pejabat struktural Pemprov DKI Jakarta yang terjerat kasus penyalahgunaan anggaran. Mereka adalah Kepala Suku Dinas (Kasudin) Tata Ruang Jakarta Selatan berinisial RS, yang menjadi tersangka kasus korupsi perizinan; Kasudin Komunikasi, Informatika, dan Humas (Kominfomas) Jakarta Pusat berinisial RB dan Kasudin Kominfomas Jakarta Selatan YI sebagai menjadi tersangka penyalahgunaan anggaran proyek pengadaan kamera pengawas dan sarana pendukungnya di Monumen Nasional oleh Kejari Jakarta Pusat.
RS diduga telah mengutip biaya pengurusan izin-izin yang besarannya tidak sesuai dengan tarif resmi yang telah ditetapkan. RS diduga telah menerima uang pengurusan dengan besaran bervariasi antara Rp 225 juta dan Rp 700 juta setiap perizinan. RS diduga telah melakukan tindak pidana korupsi mencapai Rp 1,89 miliar. Saat melakukan tindak korupsi tersebut, RS belum menjabat sebagai Kasudin Tata Ruang Jaksel, tetapi sebagai Kasie Tata Ruang Kecamatan Tebet dan Staf Tata Usaha Suku Dinas Tata Ruang.
Sementara itu, RB dan YI diduga telah menyalahgunakan anggaran pengadaan kamera CCTV di Monas senilai Rp 1,7 miliar pada tahun 2010. Saat itu, YI menjabat sebagai sebagai Kasudin Kominfomas Jakarta Pusat, yang kini ditempati oleh tersangka RB. Adapun RB menjabat sebagai Ketua Panitia Pengadaan Barang dan Jasa.

Jokowi Ganti 6 PNS yang Terjerat Korupsi



JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo langsung mengganti enam pegawai negeri sipil Pemerintah Prov DKI Jakarta yang terjerat kasus dugaan penyalahgunaan anggaran. "Sudah diganti semuanya, saat itu juga langsung diganti," ujar Jokowi di Balaikota Jakarta, Kamis (24/10/2013) siang.
Kendati demikian, Jokowi tetap mengutamakan asas praduga tak bersalah. Dirinya mengganti para PNS yang ditetapkan sebagai tersangka untuk memudahkan proses hukum terhadap mereka, bukan untuk mencoreng nama PNS tersebut. Keputusan lebih lanjut akan diambil setelah proses hukum selesai.
Jokowi yakin bahwa meski enam anak buahnya terjerat kasus korupsi, roda pemerintahannya tetap berjalan dengan baik. Ia merasa tidak khawatir bila kasus serupa terjadi kembali di masa pemerintahannya. "Ini kan kasus lama, ndak akan mengganggu," ujarnya.
Untuk mencegah terulangnya kasus serupa, Jokowi menerapkan sejumlah langkah proteksi anggaran. Jokowi mendorong penerapan e-catalog, pelayanan terpadu satu pintu, pajak online, e-budgeting, dan beberapa program lain.
Dalam kurun waktu dua bulan, enam pejabat struktural Pemprov DKI dijerat kasus korupsi. Pada 23 Oktober 2013, Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat menetapkan RB sebagai tersangka penyalahgunaan anggaran proyek pengadaan kamera pengawas dan sarana pendukungnya di Monumen Nasional senilai Rp 1,7 miliar. Saat ditetapkan sebagai tersangka, RB menjabat Kepala Suku Dinas Komunikasi, Informatika, dan Kehumasan Jakarta Pusat. Pada hari yang sama, Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Kepala Suku Dinas Komunikasi Informatika dan Kehumasan Jakarta Selatan berinisial YI pada kasus yang sama dengan RB.
Pada 11 Oktober, Kejaksaan Negeri Jakarta Timur menetapkan Lurah Ceger berinisial FFL sebagai tersangka penyalahgunaan anggaran kasus pembuatan laporan pertanggungjawaban fiktif tahun 2012 senlai Rp 454 juta. Pada hari yang sama, Kejaksaan Negeri Jakarta Timur menetapkan Bendahara Lurah Ceger ZA sebagai tersangka kasus yang sama. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, FFL dan ZA langsung ditahan.
Pada 13 September, Kejaksaan Negeri Jakarta Utara menetapkan MM sebagai tersangka penyalahgunaan anggaran proyek kelistrikan di Kepulauan Seribu tahun 2012 senilai Rp 1,3 miliar. MM ditetapkan sebagai tersangka 12 hari setelah pensiun dari jabatannya per 1 September 2013 lalu. Sebelumnya, MM menjabat Kepala Unit Pengelola Kelistrikan Kabupaten Kepuluan Seribu. Pada hari yang sama, Kejaksaan Negeri Jakarta Utara menetapkan SBR sebagai tersangka kasus yang sama. SBR adalah Kepala Seksi Perawatan UPT Kelistrikan Kabupaten Kepulauan Seribu.

Dahlan ancam pecat direksi BUMN "tidak bersih"



Kamis, 24 Oktober 2013 14:32 WIB | 83 Views
Jakarta (ANTARA News) - Menteri BUMN Dahlan Iskan mengatakan akan memecat direksi perusahaan negara yang tidak ikut program "BUMN Bersih" sebagai aksi antikorupsi.

"Kalau ada BUMN tidak ikut mendaftar dalam program ini, maka direksinya akan dipanggil, kita anggap tidak komitmen membersihkan diri dan lingkungannya dari korupsi, kalau tidak sanggup akan diganti," kata Dahlan, usai Rapat Kementerian BUMN, di Jakarta, Kamis.

Pada 25 September 2013, Dahlan Iskan meluncurkan roadmap BUMN Bersih yang wajib diikuti oleh seluruh BUMN.

Pada tahap awal, Kementerian BUMN membuka kesempatan bagi Direksi dan Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas BUMN untuk mendaftarkan diri paling lambat 31 Oktober 2013.

Setelah mendaftar, tim roadmap BUMN Bersih akan mensurvei jajaran direksi dan anak perusahaan, jajaran satu level di bawah direksi, serta manajer dan jabatan pimpinan lainya dua tingkat di bawah direksi.

Tiga kategori penilaian kepada BUMN yang telah menerapkan program ini, yaitu BUMN Bersih Tingkat I, BUMN Bersih Tingkat II, dan BUMN Bersih Tingkat III.
MN," tegas Dahlan.

Menurut Dahlan, sampai dengan saat ini dari 141 BUMN, baru 31 BUMN yang mendaftar ikut program ini.

"Jika memang ada BUMN yang tidak mendaftar dan tidak sanggup menerapkan BUMN, maka direksinya akan kita ganti," ujar Dahlan.

Ia menjelaskan, sejauh ini sejumlah BUMN yang sudah siap dan telah memberikan program BUMN Bersih antara lain PT Pertamina, PT Pelindo II, PT Telkom, PT Semen Gresik, PT Aneka Tambang, termasuk seluruh Bank-Bank BUMN.
Editor: Aditia Maruli

KPK periksa panitera Mahkamah Konstitusi


Kamis, 24 Oktober 2013 12:22 WIB | 1387 Views
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan (KPK) memeriksa panitera Mahkamah Konstitusi, Kasianur Sidauruk, terkait kasus suap dalam penanganan perkara sengketa pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi.

"Saya ada panggilan kasus suap adalam kaitannya dengan MK," kata Kasianur saat datang ke gedung KPK Jakarta, Kamis.

KPK juga memeriksa Wakil Bupati Gunung Mas Arton S Dohong dalam kasus suap penanganan sengketa Pilkada yang menyeret Ketua Mahkamah Konstitusi Non-aktif Akil Mochtar itu.

Namun Arton tidak berkomentar mengenai pemeriksaannya saat tiba di gedung KPK.

Menurut Kepala Bagian Pemberitaan dan Informasi KPK Priharsa Nugraha, keduanya diperiksa untuk tersangka Bupati Gunung Mas Hambit Bintih.

KPK telah menetapkan Akil Mochtar sebagai sebagai tersangka penerima suap dalam penanganan perkara sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas dan Kabupaten Lebak sejak 3 Oktober lalu.

KPK juga menetapkan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Chairun Nisa sebagai tersangka penerima suap serta Bupati Gunung Mas Hambit Bintih dan Cornelis Nalau dari pihak swasta sebagai tersangka pemberi suap dalam perkara penanganan kasus sengketa Pilkada Gunung Mas.

Sementara dalam kasus sengketa Pilkada Lebak, Akil Mochtar, dan Susi Tur Handayani menjadi tersangka penerima suap serta Tubagus Chaery Wardhana dan kawan-kawan selaku pemberi suap.

Editor: Maryati

Airin enggan komentari penyelidikan peralatan Alkes Tangsel


Kamis, 24 Oktober 2013 13:59 WIB | 719 Views
Jakarta (ANTARA News) - Walikota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany enggan mengomentari penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi atas dugaan korupsi peralatan alat kesehatan di daerahnya.

"Kita hormati proses hukum, jadi kalau mau tanya silakan tanya KPK," kata Airin saat datang ke gedung KPK Jakarta, Kamis.

Airin datang untuk menjenguk suaminya Tubagus Chari Wardana alias Wawan yang ditahan KPK karena menjadi tersangka dalam dugaan suap sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Mahkamah Konstitusi.

Juru Bicara KPK Johan Budi pada Selasa (22/10) mengatakan KPK sudah melakukan permintaan keterangan kepada sejumlah pihak di dinas kesehtan Tangerang Selatan.

"Saya belum dapat informasi siapa saja yang dimintai keterangan maupun total anggarannya, ini baru di tingkat penyelidikan yaitu mengumpulkan bahan keterangan, yang jelas bukan terhadap walikota," kata Johan pada Selasa (22/10).

Editor: AA Ariwibowo

Tuesday, October 22, 2013

Terganjal Polri, Timwas Century Gagal Panggil Paksa Budi Mulya



JAKARTA, KOMPAS.com
 — Tim Pengawas Bank Century kembali gagal menggali informasi dari mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Budi Mulya, terkait bail out Bank Century. Pasalnya, permintaan pemanggilan paksa Budi Mulya belum bisa dilakukan oleh Polri dengan alasan prosedural. "Ini informasi yang didapat, Budi Mulya dipastikan tidak hadir," kata anggota Timwas Century dari Fraksi PKS, Indra, di Kompleks Gedung Parlemen, Jakarta, Rabu (23/10/2013).

Rencananya, perwakilan dari Mabes Polri akan hadir dalam rapat bersama timwas hari ini. Dalam kesempatan itu, Mabes Polri akan menjelaskan prosedur tetap saat akan melakukan pemanggilan paksa kepada seseorang. Indra menjelaskan, dalam Undang-Undang MPR/DPR/DPD dan DPRD tidak dijelaskan secara jelas mengenai mekanisme pemanggilan paksa.

Hal inilah yang akan disamakan dengan mekanisme dari Polri agar pemanggilan paksa Budi Mulya dapat segera terealisasi.
"Mudah-mudahan dalam penjelasan Polri terlihat apa yang bisa dilakukan untuk pemanggilan paksa karena Budi Mulya bisa melengkapi puzzle-puzzle yang selama ini disusun," ujarnya.

Untuk diketahui, Tim Pengawas Bank Century telah meminta Polri untuk memanggil paksa Budi Mulya pada hari ini. Pemanggilan paksa itu dilakukan karena Budi selalu mangkir dengan alasan yang tak dapat diterima dari dua panggilan timwas sebelumnya pada 25 September dan 2 Oktober 2013.

Budi Mulya diundang dalam rapat Timwas Century karena yang bersangkutan pernah menjabat sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Rencananya, Timwas akan mendalami kebijakan Bank Indonesia menggelontorkan dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun kepada Bank Century.

Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso menuturkan, dalam pemanggilan ini juga akan dikonfrontasi temuan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kapolri, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang telah lebih dulu hadir dalam rapat Timwas Century. Kasus bail out Bank Century masih menyisakan sejumlah tanya. Beberapa anggota Timwas Bank Century meyakini bahwa mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani dan mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas keputusan memberi dana talangan sebesar Rp 6,7 triliun kepada Bank Century.

Ketua KPK Abraham Samad berjanji akan membawa kasus bail out Bank Century ke pengadilan pada tahun ini. Dia mengatakan, penanganan kasus tersebut di KPK baru sampai tahap mengelola alat bukti yang ditemukan. Abraham mengaku mencium kekecewaan publik karena dianggap ada tebang pilih dalam penuntasan kasus Century. Namun, ia meminta publik tak perlu memelihara keragu-raguan itu karena KPK akan mengusut tuntas kasus ini dan menyeret siapa pun yang terlibat.

Dugaan Korupsi Perjalanan Dinas DPRD, Kejati Panggil Sekda Gorontalo


GORONTALO, KOMPAS.com – Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Gorontalo Winarni Monoarfa diperiksa Kejaksaan Tinggi (Kejati) setempat dalam kasus dugaan korupsi perjalanan dinas yang diduga dilakukan sejumlah anggota DPRD Provinsi Gorontalo.

Winarni datang memenuhi memenuhi panggilan Kejati Gorontalo dengan berpakaian dinas. Dia diperiksa sejak pukul 10.00 Wita, Selasa (22/10/13). Winarni yang diperiksa selama 2,5 jam menolak memberi komentar kepada para wartawan. Seusai pemeriksaan, Winarni langsung melenggang pergi tanpa mau melayani pertanyaan para wartawan yang telah menunggunya.

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Gorontalo, Mulyadi Abdullah menerangkan status Sekda dalam pemeriksaan tersebut sebagai orang yang dimintai keterangan. Mulyadi menuturkan sampai saat ini kasus dugaan SPPD fiktif tersebut masih dalam tahap penyelidikan, sehingga belum ada satu pun nama yang ditetapkan sebagai tersangka.

“Sekarang masih tahap penyelidikan, sehingga yang kami panggil semuanya baru sebatas dimintai keterangan. Jika sudah masuk tahap penyidikan, baru kami bisa menentukan siapa saksi dan tersangkanya,” ujar Mulyadi.

Kejati Gorontalo, jelas Mulyadi, akan masuk dalam tahap penyidikan. Dalam waktu dekat ini Kejati akan memanggil anggota DPRD lainnya. Mulyadi menjelaskan, dalam kasus ini pihaknya menemukan berbagai kejanggalan dalam penggunaan uang perjalanan dinas DPRD Provinsi Gorontalo tahun 2008 yang merugikan negara hingga Rp 5,5 miliar.

Sebelumnya Kejati juga telah meminta keterangan kepada tiga mantan anggota DPRD Provinsi Gorontalo periode 2004-2009 yakni Dahlan Muda, Christian Jong Manalip dan Abdullah Bia. Kejati juga telah meminta keterangan tujuh mantan anggota DPRD termasuk Amir Piola Isa yang saat itu sebagai Ketua DPRD Provinsi Gorontalo pada Senin (21/10/13).

Ini Kronologi Penangkapan Dua Mantan Pegawai Pajak oleh Polri



JAKARTA, KOMPAS.com - Tim penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menangkap dua mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan berinisial TH dan DT, Senin (21/10/2013). Wakil Direktur Dittipideksus Bareskrim Polri, Kombes Pol Rahmad Sunanto, mengungkapkan kronologi pengusutan hingga penangkapan kedua mantan pegawai pajak tersebut.

Keduanya ditangkap lantaran diduga menerima suap yang diberikan Komisaris PT Surabaya Agung Industry Pulp and Paper (SAIPP) berinisial B sebesar Rp 1,6 miliar. Uang tersebut diberikan untuk menangani persoalan restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran) pajak sebesar Rp 21 miliar yang seharusnya dibayarkan PT SAIPP.

"Senin kemarin, sekira pukul 05.30 WIB, Bareskrim menangkap tiga orang tersangka yang diduga melakukan tindak pidana pencucian uang, money laundring, dan tindak pidana korupsi. Dua di antaranya mantan personel pegawai pajak," kata Rahmad di Mabes Polri, Selasa (22/10/2013).

Penangkapan tersebut bermula dari adanya laporan hasil analisa yang diberikan Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi Keuangan (PPATK) kepada Kementerian Keuangan pada tahun 2010. Laporan tersebut berisi adanya transaksi keuangan mencurigakan yang masuk ke rekening milik TH dan DT selama kurun waktu 2005-2007.

Selama kurun waktu 2005-2007, dikatakan Rahmad, ada sembilan transaksi keuangan yang masuk ke rekening TH. Sementara itu, untuk DT, ada tujuh transaksi mencurigakan mencurigakan yang masuk ke rekeningnya. Namun, Rahmad tidak merinci nilai masing-masing transaksi keuangan tersebut. Ia hanya mengatakan jika total transaksi tersebut mencapai Rp 1,6 miliar.

Kemudian, setelah mendapati laporan PPATK, Kementerian Keuangan lantas melakukan analisa dan pengecekan atas laporan tersebut. Barulah pada tahun 2011, Kementerian Keuangan menindaklanjuti hasil laporan PPATK ke Bareskrim Polri.

"Bareskrim kemudian melakukan penyelidikan atas laporan yang diberikan. Namun baru pada tahun 2013, Bareskrim menemukan alat bukti yang cukup untuk menangkap tersangka," katanya.

Dalam penangkapan tersebut, Rahmad mengatakan, penyidik menyita sejumlah barang bukti terkait transaksi keuangan yang dilakukan oleh ketiganya. Adapun barang bukti yang disita diantaranya sejumlah dokumen ekspor impor, laporan transaksi keuangan, dan dokumen rekening yang bersangkutan.

DPR minta bantuan Polri hadirkan Budy Mulya


Selasa, 22 Oktober 2013 16:34 WIB | 1592 Views
Jakarta (ANTARA News) - Anggota Tim Pengawas (Timwas) Century dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Fahri Hamzah menyatakan Timwas Century sudah mengirimkan surat ke Mabes Polri mengenai pemanggilan paksa Budi Mulya.

"Suratnya sudah jadi dari kemarin-kemarin, sudah dikirim, dan sudah diterima oleh Kapolri," kata Fahri kepada Antara di gedung MPR/DPR RI Jakarta, Selasa.

Pemanggilan paksa Budi dilakukan karena dia sudah dua kali menyatakan tak bisa memenuhi panggilan Timwas dengan alasan yang menurut Fahri tak bisa dibenarkan.

"Sekarang masih tunggu informasi dari Mabes Polri karena bantuan untuk panggil paksa itu kan kita mintanya ke Mabes Polri," jelas Fahri.

Fahri mengungkapkan Tiwas Century sudah berkoordinasi dengan Mabes Polri untuk pemanggilan tersebut.

Kapolri juga sudah meminta semua bahan yang dibutuhkan sebagai bahan pertimbangan untuk menjemput paksa. "Tinggal eksekusinya saja, jadi kita lihat saja besok dia hadir atau tidak," ujar Fahri.

Menurut Fahri, Timwas saat ini sudah memasuki tahap menggunakan hak DPR menghadirkan orang secara paksa.

Pemanggilan paksa ini merupakan yang pertama kali dilakukan Timwas Century. "Siapa pun yang dipanggil DPR harus hadir," tegas Fachri.        
Editor: Jafar M Sidik

KPK selidiki pengadaan alat kesehatan di Tangerang Selatan



Selasa, 22 Oktober 2013 17:21 WIB | 2630 Views
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelidiki pengadaan alat kesehatan di Kota Tangerang Selatan.

"KPK tadi siang melakukan kegiatan permintaan keterangan kepada sejumlah pihak di Dinas Kesehatan Tangerang Selatan," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, KPK sedang menyelidiki pengadaan alat kesehatan di Tangerang Selatan periode tahun 2010-2011.

Namun Johan tidak menjelaskan besaran anggaran pengadaan alat kesehatan di kota itu serta orang-orang yang dimintai keterangan mengenai pengadaannya.

"Saya belum dapat informasi siapa saja yang dimintai keterangan maupun total anggarannya, ini baru di tingkat penyelidikan yaitu mengumpulkan bahan keterangan, yang jelas bukan terhadap Wali Kota," tambah Johan.

Suami Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, saat ini menjadi tersangka kasus suap dalam penanganan sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Lebak di Mahkamah Konstitusi (MK) yang sedang ditangani KPK.

"Ini adalah penyelidikan baru, kasus ini tidak berkaitan dengan kasus dugaan suap sengketa pilkada di MK, melainkan berasal dari laporan masyarakat," tambah Johan.

Pasangan Wawan-Airin diketahui memiliki sejumlah perusahaan yang kerap terlibat dalam proyek-proyek infrastruktur di Provinsi Banten.

Misalnya PT Bali Pacific, tempat Wawan menjabat sebagai direktur utama, tercatat menangani proyek jalan Tigaraksa-Rangkas Bitung dengan total nilai anggaran Rp7 miliar yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Banten.

Sedangkan Airin tercatat sebagai pemilik saham PT Putra Perdana Jaya, yang merupakan pemenang tender proyek Jalan Citeurep-Tanjung Lesung-Sumur. Proyek yang dibiayai dengan APBD Banten tahun 2013 itu nilainya Rp38 miliar.


Editor: Maryati

Kepolisian Indonesia dan KPK perlu bersinergi


Selasa, 22 Oktober 2013 17:40 WIB | 2925 Views
Jakarta (ANTARA News) - Kepala Kepolisian Indonesia terpilih, Komisaris Jenderal Polisi Sutarman, menyatakan, Kepolisian Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi perlu bersinergi dalam memberantas korupsi di Indonesia.

"Kita harus bersinergi bersama-sama bagaimana caranya memberantas kejahatan ini. Kejahatan korupsi ini 'khan sudah luar biasa," kata dia, di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa petang. 

Sidang DPR petang hari ini menyetujui dia menjadi pengganti Jenderal Polisi Timur Pradopo di puncak kepemimpinan Kepolisian Indonesia. 

Sutarman menyatakan cara untuk memberantas korupsi perlu ditangani bersama. "Kemudian yang sudah tertangkap ini memberikan prevensi kepada yang lain untuk tidak korupsi," kata Sutarman.

Hal itu disampaikan Sutarman ketika disinggung perihal wacana pembentukan Detasemen Khusus Anti Korupsi yang disebut-sebut bisa mengkerdilkan KPK.

Sutarman menyatakan, hal itu tidak benar karena setiap institusi yang berjuang memberantas korupsi seharusnya justru saling menguatkan.

"Penguatan anggota meningkatkan profesionalisme kemampuan untuk pengungkapan perkara-perkara yang ada, harus segera kita lakukan," ujar Sutarman.

Dia kemudian mengemukakan, saat ini penguatan internal dalam institusi terkait hal lebih penting untuk segera dilakukan.

Sementara untuk kelembagaan seperti Detasemen Khusus Anti Korupsi itu, dia menjelaskan, hal itu tidak hanya dalam institusi Kepolisian Indonesia sendiri, namun juga akan terkait dengan institusi lain seperti beberapa kementerian terkait.

"Tapi penguatan dalam bentuk latihan, penambahan jumlah personil, peralatan dan sebagainya itu sudah pasti harus dilakukan. Kalau untuk Densus itu wadahnya kan sudah ada," kata dia.
Editor: Ade Marboen

KPK cegah dua hakim bepergian ke luar negeri


Selasa, 22 Oktober 2013 18:41 WIB | 1788 Views
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berupaya mencegah dua hakim bepergian ke luar negeri untuk keperluan penyidikan pengurusan perkara korupsi dana bantuan sosial (bansos) Pemerintah Kota Bandung.

"Hari ini KPK mengirimkan surat cegah bepergian ke luar negeri terkait penyidikan terhadap pengurusan perkara bansos Bandung," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Gedung KPK Jakarta, Selasa.

Kedua hakim yang dicegah KPK bepergian ke luar negeri yakni Pasti Serefina Sinaga dari Pengadilan Tinggi Jawa Barat dan Ramlan Comel, hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung.

"Dicegah sejak tanggal 22 Oktober berlaku enam bulan ke depan," ujar Johan.

Ramlan dan Pasti pernah diperiksa KPK sebagai saksi dalam perkara itu.

Ramlan merupakan anggota majelis hakim yang menangani perkara korupsi dana bantuan sosial Pemerintah Kota Bandung bersama hakim Setyabudi Tejocahyono dan Jojo Johari.

Setyabudi sudah menjadi terdakwa penerima suap dalam penanganan perkara korupsi dana bantuan sosial tersebut.

Sementara Pasti merupakan anggota majelis hakim yang menangani perkara korupsi bantuan sosial Bandung di Pengadilan Tinggi Jawa Barat bersama hakim Fontian Munzil.

Editor: Maryati

KPK terima banyak laporan setelah kasus MK


Selasa, 22 Oktober 2013 18:59 WIB | 913 Views
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi menerima banyak laporan pengaduan dari masyarakat setelah kasus dugaan suap pengurusan sengketa pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi terkuak, kata Juru Bicara KPK Johan Budi SP.

"Harus diakui setelah ada tangkap tangan dalam dugaan suap sengketa pilkada di MK ada beberapa laporan pengaduan masyarakat, di antaranya terkait pilkada dan hal-hal lainnya," kata Johan di Gedung KPK, di Jakarta, Selasa.

Sejumlah mantan calon kepala daerah yang merasa dirugikan saat bersengketa di MK bereaksi setelah KPK menangkap Akil Mochtar. Mereka melaporkan kepada KPK tentang kejanggalan dalam pengambilan putusan MK atas sengketa pilkada.

Salah satunya Atmari, mantan calon bupati di Pilkada Tanah Laut, Kalimantan Selatan, yang melaporkan dugaan suap dalam penanganan sengketa pilkada daerah tersebut.

Putusan MK menguatkan kemenangan pasangan Bambang Alamsyah-Sukamta pada 30 Mei. Padahal menurut Atmari, dia sudah membawa 23 barang bukti untuk membuktikan kecurangan yang sifatnya terstruktur, sistematis, dan masif.

Begitu juga dengan pasangan calon Bupati Banyuasin, Sumatera Selatan, Hazuar Bidui dan Slamet Sumosentono yang melaporkan ada dugaan suap di MK. Dalam laporannya ia menyebut adanya dugaan suap sebesar Rp10 miliar dari Bupati Banyuasin Yan Anton Ferdian kepada Akil Mochtar.

KPK menangkap tangan Akil Mochtar, Rabu (2/10) malam, di kediamannya di kompleks Widya Chandra III No 7 bersama dengan anggota Komisi II dari fraksi Partai Golkar Chairun Nisa dan pengusaha Cornelis Nhalau.

Ia ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dalam dua kasus dugaan suap penyelesaian sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Lebak, Banten. Akil diduga menerima suap dengan total 4 miliar untuk dua kasus tersebut.

KPK juga menetapkan lima tersangka lainnya.

Editor: Heppy Ratna

Monday, October 21, 2013

Hilmi sebut nama Chairul Tanjung


Senin, 21 Oktober 2013 15:40 WIB | 2952 Views
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera Hilmi Aminuddin mengaku meminta pengusaha Chairul Tanjung untuk menyampaikan pesan kepada Menteri Koordinator Perekonomian terkait masalah bercampurnya daging sapi dengan daging celeng dan tikus.

"Ada tamu persisnya bapak Chaerul Tanjung, ketua KEN (Komite Ekonomi Nasional) ke rumah saya, saya katakan, saya sulit sekali bertemu dengan Pak Hatta Rajasa, bisa tidak sampaikan pesan saya ke Hatta? Oh bisa kata beliau," kata Hilmi dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.

Hilmi menjadi saksi dalam sidang suap pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian dan tindak pidana pencucian uang mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq.

"Saya yang menyampaikan awalnya kepada Chaerul Tanjung untuk menyampaikan ke Pak Hatta Rajasa, beberapa hari kemudian saudara Lutfhi datang ke rumah, saya katakan saya sudah sampaikan pesan ke Pak Chaerul Tanjung untuk disampaikan ke Pak Hatta Rajasa yaitu bagaimana ini dalam posisi Menko Ekuin dari partai Islam, Mentan (Menteri Pertanian) dari partai Islam, tapi umat dipaksa makan daging celeng dan bakso tikus?," jelas Hilmi.

Namun Hilmi membantah bahwa Mentan Suswono pernah datang ke rumah Hilmi di Lembang untuk membahas masalah daging sapi.

"Pernahkah terdakwa bersama Mentan datang ke rumah Anda membahas masalah ini?," tanya anggota majelis hakim Nawawi Pomolango.

"Tidak pernah," jawab Hilmi yang merupakan pengasuh pondok pesantren Madani tersebut.

Padahal dalam sidang sebelumnya, Mentan Suswono mengatakan bahwa dalam pertemuan di Lembang, Hilmi menyampaikan keluhan masyarakat seputar isu beredarnya daging oplosan atau daging celeng.

"Atau masalah lain soal impor daging sapi?," tanya Nawawi.

"Tidak pernah," jawab Hilmi.

Hilmi selanjutnya juga mengatakan bahwa ia tidak kenal dengan direktur utama PT Indoguna Utama selaku perusahaan yang memberikan uang Rp1 miliar kepada Fathanah untuk diberikan Luthfi Hasan Ishaaq sebagai komisi awal untuk mengatur kuota impor daging sapi.

"Tidak kenal dengan Maria Elizabeth Liman, sama sekali tidak kenal," jelas Hilmi.

Ia juga mengaku tidak pernah mengendengar mengenai bisnis antara anaknya Ridwan Hakim dengan Maria Elizabeth Liman yang berdasarkan pernyataan saksi Elda Devianne Adiningrat, Maria Elizabeth masih punya utang Rp17 miliar atas bisnis yang belum selesai dengan Hilmi.

"Tidak mendengar ada bisnis antara putra Anda Ridwan Hakim dengan Maria Elizabeth Liman ada bisnis?," tanya Nawawi.

"Tidak," jawab Hilmi.

Namun anggota majelis hakim I Made Hendra mempertanyakan mengapa Hilmi tidak langsung menyampaikan kekhawatiran bercampurnya daging tersebut ke Suswono yang juga merupakan anggota Majelis Syuro.

"Sebelum menyampaikan ke Hatta memang tidak sampaikan lebih dulu ke Mentan Suswono yang adalah menteri teknis menteri ekonomi itu? Padahal Suswono itu orang yang dekat saudara sebagai anggota Majelis Syuro?," tanya Made Hendra.

"Saya pikir lebih tepat ke pimpinannya," ungkap Hilmi.

Ia juga menjelaskan bahwa dalam tertib organgisasai PKS, ketua Majelis Syuro hanya berdiskusi dengan Presiden PKS.

"Saya hanya berkeluh kesah ke presiden partai, tidak kepada menteri," tambah Hilmi.

Mengenai pertemuan di Lembang, Hilmi hanya mengaku bahwa ada pertemuan dengan pengusaha asal Sulawesi Selatan Aksa Mahmud pada hari raya Idul Adha.

"Menjelang Idul Adha tahun lalu, Pak Aksa Mahmud datang bersama tiga orang, tapi perhatian saya ke tamu saya Pak Aksa, tiga tamu lain juga tidak masuk," tambah Hilmi.

Padahal salah satu dari tiga tamu tersebut diakui sebagai Ahmad Fathanah yang ikut bersama rombongan Aksa Mahmud saat berkunjung ke gedung badan inseminasi buatan.
Editor: Desy Saputra

Friday, October 18, 2013

Polri Tak Perlu Densus Antikorupsi!


JAKARTA, KOMPAS.com — Wacana pembentukan detasemen khusus antikorupsi dinilai hanya akan menyebabkan terjadinya tumpang tindih wewenang penanganan kasus korupsi oleh Polri. Pasalnya, Polri saat ini telah memiliki Direktorat Tindak Pidana Korupsi yang berdiri di bawah Badan Reserse Kriminal Polri.

"Usulan pembentukan densus anti-korupsi merupakan usulan absurd dan tak mendasar. Sebab, Polri telah memiliki Direktorat Tipikor (Dittipikor). Dittipikor inilah yang harus dimaksimalkan," kata Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane kepada Kompas.com, Jumat (18/10/2013).

Neta menilai, secara kuantitas memang jumlah kasus yang ditangani Dittipikor Bareskrim Polri sudah cukup banyak. Namun, dari segi kualitas, Polri masih jauh di bawah Komisi Pemberantasan Korupsi yang mampu mengungkap sejumlah kasus yang melibatkan sejumlah pejabat tinggi atau kasus dengan nominal besar.

Kapolri terpilih Komjen Sutarman dikatakan memiliki tantangan terbesar yang harus segera diselesaikan, yakni kasus korupsi. Terlebih lagi, ia menambahkan, dalam pernyataannya di hadapan Komisi III DPR RI, Sutarman berjanji akan memberantas korupsi di tubuh Polri.

Jika Sutarman konsisten dengan janjinya, maka sudah seharusnya Dittipikor Bareskrim Polri memprioritaskan penanganan sejumlah kasus korupsi, baik yang melibatkan oknum polisi maupun di luar instansi tersebut.

"Dittipikor jangan hanya menangani kasus yang ecek-ecek saja seperti selama ini. Sutarman harus bisa membuktikan jika Polri dapat menyelesaikan kasus besar," katanya.

Berdasarkan catatan IPW, sejumlah kasus korupsi besar yang saat ini tengah ditangani Dittipikor Bareskrim Polri di antaranya kasus dugaan korupsi pengadaan tanda nomor kendaraan bermotor (TNKB) dan kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan pada Kementerian Kesehatan.

"Jika Dittipikor Polri efektif dan bekerja maksimal memberantas korupsi, tentunya tak perlu ada KPK," ujarnya.

Kasus Atut Mengungkap Ironi


SERANG, KOMPAS.com - Puluhan mahasiswi sejumlah perguruan tinggi berunjuk rasa mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa keluarga Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Kasus dugaan suap Atut dan keluarganya kepada hakim Mahkamah Konstitusi mengungkap ironi.
Unjuk rasa dilakukan di bundaran padat lalu lintas di Jalan Ciceri, Kota Serang, Banten, Jumat (18/10/2013). Puluhan perempuan itu terhimpun dalam Gerakan Perempuan Banten (Gebrak). Selain berunjuk rasa dengan berorasi, mereka juga menyebarkan selebaran berisi seruan kepada warga yang melintas. Unjuk rasa dimulai sekitar pukul 10.30 dan berakhir tengah hari.
”Kami mendukung pemeriksaan terhadap keluarga Atut. Jika terbukti bersalah, harus ditahan dan diadili. Pemeriksaan bahkan bisa diperluas untuk dugaan korupsi atau penyelewengan dana-dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Banten sesuai dengan temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) tahun 2010," ujar Yulistia dari Humas Gebrak.
Tersangkutnya Atut dalam dugaan suap ke Mahkamah Konstitusi, menurut Yulistia yang juga aktivis perempuan, memprihatinkan. ”Dia perempuan gubernur pertama di Indonesia malah mencederai citra perempuan dengan melakukan tindakan-tindakan tidak benar seperti dugaan suap kepada MK,” ujarnya.
Gebrak mendukung KPK agar lebih jauh memeriksa dugaan korupsi dan penyalahgunaan APBD Provinsi Banten. ”Teliti saja dugaan mark up anggaran APBD Banten untuk membiayai rumah dinas Atut yang nilainya Rp 16,14 miliar. Ini suatu angka yang fantastis mengingat masyarakat miskin Banten masih banyak,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, tingkat kemiskinan di Banten meningkat. Jika per Maret 2012 tingkat kemiskinan 652.766 jiwa, per Maret 2013 jumlahnya naik menjadi 656.243 jiwa. Adapun jumlah penduduk Banten sekitar 11,2 juta orang.
”Konsentrasi warga miskin ini pada 2009-2011 terlihat berada di daerah-daerah pinggiran, seperti Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang,” tutur Jaih Ibrohim, Kepala Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik BPS Banten.
Tingkat pengangguran juga masih tinggi. Data BPS Banten per Februari 2013 mencatat jumlah penganggur 552.895 jiwa (10,10 persen) dari total jumlah angkatan kerja 4,9 juta jiwa. Jumlah ini turun sedikit dibandingkan posisi sama tahun sebelumnya, yaitu 579.677 jiwa.
Dari total angkatan kerja yang bekerja di Banten, sebagian besar adalah tamatan sekolah dasar (2,04 juta jiwa).
Tawar nilai suap
Dari perkembangan pemeriksaan penyidik KPK atas kasus yang melibatkan Atut dan Ketua MK (nonaktif) Akil Mochtar didapati, upaya Akil minta uang kepada sejumlah pihak yang beperkara dalam sengketa pilkada di MK sangat vulgar dan tidak malu-malu. Akil diduga menawar agar besaran uang suap sesuai dengan keinginannya. Dia pun tak segan menolak tawaran nilai uang yang diberikan pemberi suap sambil menyebutkan angka yang dimintanya.
Dari penelusuran Kompas, cara Akil menawar nilai uang suap juga menggunakan kode-kode tertentu. Misalnya, uang suap diistilahkan dengan emas, sementara jumlahnya disamarkan dengan satuan ukuran berat ton. Saat minta uang suap Rp 3 miliar, ia akan meminta 3 ton emas.
KPK memiliki bukti tawar-menawar yang terjadi dalam pembicaraan Akil dengan pihak yang beperkara dalam sengketa pilkada di MK. Saat pihak yang beperkara menawarkan 2,5 ton emas, Akil tak segan bertahan dengan "harga" 3 ton emas. Mantan politikus Partai Golkar ini pun berani menolak membantu penanganan perkara sengketa pilkada di MK jika penawaran pihak yang ingin dibantu tak sesuai.
Juru Bicara KPK Johan Budi SP, saat dikonfirmasi mengenai cara-cara Akil meminta uang yang diduga suap terkait dengan penanganan perkara sengketa pilkada di MK ini, mengatakan, sampai saat ini yang bersangkutan masih membantah. Johan mengatakan, Akil belum mengakui perbuatan yang disangkakan kepadanya, dugaan penerimaan suap terkait penanganan sengketa Pilkada Lebak, Gunung Mas, dan perkara lain di MK.
"Itu hak tersangka untuk tidak mengakui perbuatannya. Tersangka, kan, punya hak ingkar. Namun, KPK, kan, tidak mengejar pengakuan tersangka," ujar Johan di Jakarta, kemarin.
Pengacara Akil, Otto Hasibuan, menyatakan, kliennya tetap membantah menerima suap dari pihak yang beperkara di MK. Otto malah mengklaim, KPK juga menyatakan Akil tak pernah menerima suap. "Ya, dia tidak pernah merasa, kok. KPK juga menyatakan (Akil) tidak pernah menerima kok karena memang tidak ada delivery. KPK sendiri mengakui belum pernah Akil menerima. Ini fakta loh, Akil sendiri tidak pernah terima uang dari sengketa Lebak dan Gunung Mas," katanya.
Namun, menurut Johan, penangkapan terhadap Akil harus dilihat dari rangkaian peristiwa sebelumnya. Johan mengatakan, bisa saja pengacara Akil tak mengetahui rangkaian peristiwa yang terjadi sebelum penangkapan terhadap Akil.
Surat penyidikan baru
Rabu lalu, KPK mengumumkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru untuk Akil. Sebelumnya Akil hanya dijerat Pasal 12 Huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juncto Pasal 55 Ayat 1 Kesatu KUHP, Pasal 6 UU Tipikor juncto Pasal 55 Ayat 1 Kesatu KUHP terkait dengan dugaan korupsi dalam penanganan sengketa Pilkada Lebak dan Gunung Mas. Kali ini ada pasal tambahan yang menjerat Akil. Ia juga dijerat Pasal 12B UU Tipikor.
Johan menegaskan, dengan penambahan Pasal 12B yang disangkakan kepada Akil, dia diduga tak hanya menerima hadiah atau janji terkait dengan sengketa Pilkada Lebak dan Gunung Mas. "Dari keterangan saksi ataupun tersangka dan hasil penggeledahan serta penelusuran yang dilakukan KPK, penyidik KPK menduga ada tindak pidana korupsi tambahan berkaitan dengan Pasal 12B UU Tipikor, yakni dugaan tindak pidana korupsi dalam kaitan dengan penerimaan hadiah atau janji oleh hakim berkaitan dengan penanganan perkara di lingkup kewenangan MK," tuturnya.
Menurut Johan, bukti lain yang dimiliki KPK soal penerimaan suap yang diduga diterima Akil di luar penanganan sengketa Pilkada Lebak dan Gunung Mas adalah laporan hasil analisis (LHA) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). ”Jadi, setelah melakukan penggeledahan, didapati beberapa temuan, ada uang, ada mobil. Kedua, KPK dapat LHA dari PPATK terkait dengan transaksi mencurigakan milik AM (Akil Mochtar). Berdasarkan keterangan saksi dan bukti-bukti itulah, lalu ditetapkan sprindik Pasal 12B itu,” ujar Johan.
KPK pun mencari sejumlah bukti lain seputar dugaan permintaan suap Akil kepada pihak-pihak yang beperkara dalam sengketa pilkada di MK.
Kemarin, KPK memeriksa Wali Kota Serang Tubagus Haerul Jaman sebagai saksi untuk Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, salah seorang tersangka dugaan korupsi dalam penanganan perkara sengketa Pilkada Kabupaten Lebak di MK. Haerul adalah adik tiri Atut, sedangkan Wawan adik kandung Atut.
Wawan diduga merupakan pemberi suap terkait dengan sengketa Pilkada Lebak. Dia adalah tim sukses pasangan Amir Hamzah-Kasmin. Wawan diduga hendak menyuap Akil melalui pengacara yang dekat dengan Akil, yaitu Susi Tur Andayani.
Perintah menyuap Akil terkait penanganan sengketa Pilkada Lebak diduga dari Atut kepada Wawan yang merupakan tim sukses pasangan Amir-Kasmin. KPK mengantongi bukti komunikasi aktif antara Atut dan Akil. Atut dinilai berkepentingan agar Amir-Kasmin yang diusung Partai Golkar menang.
”Peranan Ratu Atut itu diketahui setelah didalami informasi kepada pihak-pihak terkait,” kata Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja.
Atut sudah dicegah ke luar negeri untuk penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi dalam penanganan perkara gugatan sengketa pilkada 2011-2013 di MK. KPK mencurigai keterlibatan Atut dalam sejumlah sengketa pilkada di MK, bukan hanya Pilkada Lebak. (DIA/BIL)

Polres Payakumbuh selidiki selebaran gelap tentang Bunda Putri



Jumat, 18 Oktober 2013 23:12 WIB | 2406 Views
Payakumbuh, Sumbar (ANTARA News) - Kepolisian Resor Payakumbuh akan menyelidiki selebaran tentang Bunda Putri yang tiba-tiba menyebar di wilayah hukum polres setempat, Jumat pagi.

Kapolres Payakumbuh AKBP Rubintoro Suhada melalui Kasat Intel AKP Zulman Effendi meminta semua pihak tidak terburu-buru menyimpulkan beredarnya selebaran gelap itu berkaitan dengan rencana kedatangan Presiden ke Limapuluh Kota.

"Kita akan menelusuri selebaran yang beredar tersebut," kata AKP Zulman Effendi.

Menurut dia, setelah dibaca dan pelajari, isi selebaran gelap itu memang bersifat menghasut.

"Kami akan melakukan penyelidikan siapa yang mengedarkannya dan apa tujuannya," sebut Zulman kepada sejumlah wartawan di Mapolres Payakumbuh.

Sebelumnya, selebaran terkait dengan Bunda Putri, PKS, dan Presiden SBY yang ditulis pada kertas seukuran A-3 dan tergulung rapi tiba-tiba ditemukan oleh sejumlah wartawan di sekretariat Balai Wartawan di kompleks bekas Kantor Bupati Limapuluh Kota, Jumat pagi.

Sekretaris Balai Wartawan Rino dan mantan Koordinator Balai Wartawan Luak Limopuluah Doddy Sastra mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui siapa yang membawa dan meletakkan selebaran itu di Sekretariat Balai Wartawan Luak Limopuluah.

Selebaran yang berada dalam keadaan tergulung rapi dan dilem tersebut terletak di atas meja di BW Luak Limopuluah.

Saat diperiksa ternyata isinya merupakan selebaran berjudul "Bunda Putri, Di manakah Kau Berada?".

Dalam selebaran itu, kata Doddy Sastra, dipertanyakan siapakah Bunda Putri yang namanya disebut mantan Presiden PKS Luhtfi Hasan Ishaq dalam persidangannya beberapa waktu lalu.

Selebaran itu mengambil sumber dari Kultwit Triomacan2000.

Politikus PDI Perjuangan Kota Payakumbuh Astra Santayana (51) ketika diminta komentarnya terkait dengan beredarnya selebaran tersebut menduga ada kepentingan politik dari pihak tertentu.

Kemungkinan, kata dia, untuk menaikkan popularitasnya atau membersihkan "dirinya".

"Sekarang kan tahunnya politik," kata calon anggota legislatif dari Daerah Pemilihan (Dapil) I Payakumbuh Barat tersebut.

Hal senada disampaikan Sekretaris Hanura Payakumbuh, Taufik. Menurut dia, penyebaran selebaran itu di Payakumbuh mempunyai latar belakang politis. (MLN/D007)
Editor: B Kunto Wibisono