Friday, November 29, 2013

ICW: KPK Tak Bisa Terus Salahkan Pemerintah-DPR



JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai tidak bisa terus-menerus menyalahkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang lambat dalam memberi fasilitas, terutama perihal sumber daya manusia (SDM). Manajerial yang dilakukan pimpinan KPK saat ini dinilai menjadi kunci mengatasi masalah di internal KPK.
"Kalau KPK ini manajerial dan perencanaannya matang, pasti bisa dilakukan," ujar aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun saat jumpa pers di Jakarta, Jumat (29/11/2013).
Jumpa pers tersebut merilis hasil monitor terhadap fungsi koordinasi dan supervisi yang dilakukan KPK terhadap lembaga penegak hukum lain seperti kepolisian dan kejaksaan. Dua fungsi KPK itu dinilai masih lemah.
Tama mengaku tak heran masih lemahnya fungsi koordinasi dan supervisi yang dilakukan KPK. Pasalnya, cukup banyak faktor yang menyebabkan hal itu, salah satunya keterbatasan SDM KPK. Personel KPK yang fokus mengurusi kedua fungsi itu hanya berjumlah enam orang.
"Jadi, tidak mengherankan kalau fungsi ini masih lemah karena KPK masih kekurangan SDM. Di Hongkong yang luas wilayahnya tidak seberapa saja, penyidiknya bisa sampai ribuan. Hitungan kasarnya mereka punya dua penyidik di setiap satu kilometer," ujarnya.
Tama mengatakan, manajerial pimpinan KPK menjadi kunci mengatasi SDM. Anggaran tidak bisa dijadikan alasan lantaran dana yang tersedia untuk kegiatan tersebut cukup besar. Pada tahun 2012, dana yang dianggarkan mencapai Rp 24 miliar. Namun, dana yang berhasil diserap hanya Rp 3 miliar (12,8 persen).
Tama menambahkan, faktor lain belum maksimalnya fungsi koordinasi dan supervisi ialah belum diaturnya teknis pelaksanaan koordinasi dan supervisi antara aparat penegak hukum. Sistem reward dan punishment kepada aparat penegak hukum juga belum diterapkan.
"Aparat penegak hukum lain, terutama di daerah, masih cenderung tebang pilih dan setengah hati dalam menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi," pungkas Tama.

MA tolak kasasi terdakwa korupsi perpustakaan Bandung


Jumat, 29 November 2013 14:00 WIB | 1069 Views
Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang dimohonkan mantan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) Dadang Bastaman, terdakwa korupsi pembangunan kantor perpustakaan dan arsip daerah (Perpusda) Kota Bandung senilai Rp700 juta.

"Menolak kasasi terdakwa," demikian bunyi amar putusan kasasi yang diumumkan dalam Info Perkara dalam website Kepaniteraan MA, Jumat.

Putusan dengan Nomor 1644 K/PID.SUS/2013 ini diketok pada 27 November 2013 oleh majelis kasasi yang terdiri atas Artidjo Alkostar sebagai Ketua didampingi Surachmin dan Krisna Harahap sebagai anggota majelis kasasi.

Sebelumnya Dadang Bastaman dalam putusan banding oleh hakim Pengadilan Tinggi Bandung dengan hukuman pidana penjara selama tiga tahun enam bulan serta denda sebesar Rp50 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka akan diganti dengan kurungan selama tiga bulan.

Kasi Bina Perpustakaan dan Kearsipan pada Kantor Perpustakaan Kota Bandung ini terbukti melanggar pasal 3 UU No. 20/2001 sebagaimana diubah dalam UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Putusan banding ini memperbaiki putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Bandung yang menjatuhkan pidana penjara selama tiga tahun dan enam bulan penjara tanpa membayar denda.

Dadang Bastaman selaku Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) bersama-sama dengan Hj Noneng Siti Kuraesin (Kepala Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Bandung selaku Pengguna Anggaran) dan Egi Givarolla (Direktur PT Cetra Blok) didakwa merugikan keuangan Negara senilai Rp700 juta atas kegiatan pembangunan gedung Kantor Perpustakaan pada Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Bandung (PUSARDA) Tahun Anggaran 2010.
Editor: Unggul Tri Ratomo

KPK cegah satu pendiri Partai Demokrat ke luar negeri


Jumat, 29 November 2013 18:30 WIB | 2791 Views
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencegah salah satu pendiri Partai Demokrat yang kini menjadi staf ahli anggota DPR, Iryanto Muchyi, bepergian ke luar negeri untuk keperluan penyidikan kasus suap di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) pada 2012-2013.

"Perlu diinformasikan berkaitan dengan penyidikan kasus dugaan TPK SKK Migas dengan tersangka RR dan D, KPK mengirimkan surat pencegahan ke Imigrasi untuk Staf Ahli Anggota DPR RI Iryanto Muchyi," kata Juru Bicara KPK Johan Budi dalam siaran pers, Jumat.

KPK juga mencegah Kadiv Penyiapan Penjualan Minyak dan Kondensat SKK Migas Ayodya Bellini Hindriono terkait penyelidikan kasus suap di SKK Migas dengan tersangka Rudi Rubiandini (RR) dan Deviardi (D).

Keduanya dicegah bepergian ke luar negeri selama enam bulan sejak tanggal 28 November 2013.

Menurut Johan, pencegahan kedua orang itu ke luar negeri dilakukan untuk memperlancar proses penyidikan kasus suap di SKK Migas.

"Agar sewaktu-waktu yang bersangkutan diperiksa KPK tidak sedang bepergian ke luar negeri," jelasnya.

Pada blog pribadi Iryanto (http://iryantomuchyi.blogspot.com) ditulis bahwa Iryanto adalah calon anggota DPR Partai Demokrat dari Daerah Pemilihan Jawa Tengah-II (Demak, Jepara) dengan nomor urut 4.

Sementara Ayodya sebelumnya pernah menjadi saksi dalam sidang perkara itu dengan terdakwa Simon Gunawan Tanjaya, Komisaris PT Kernel Oil Private Limited.

Saat itu Ayodya menyampaikan bahwa setelah kegiatan SKK Migas tersandung kasus korupsi, SKK Migas mencoret Kernel Oil Private Limited Singapura dari registered bidder trader (daftar penawar) minyak mentah dan kondesat di SKK Migas.

Thursday, November 28, 2013

Kejati Periksa Mantan Suami Bupati Karanganyar



SOLO, KOMPAS.com — Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah kembali memeriksa Tony Iwan Haryono, mantan suami Bupati Karanganyar, sebagai saksi kasus proyek pembangunan Perumahan Giya Lawu Asri (GLA) dengan tersangka Bupati Karanganyar Rina Iriani Sri Ratnaningsih yang merugikan negara sekitar Rp 11 miliar di Kejaksaan Negeri Solo, Kamis (28/11/2013).

Tony mengatakan, pertanyaan pemeriksaan masih sama dengan pertanyaan yang dulu diajukan sebelum dirinya menjadi terpidana kasus korupsi GLA. Kedatangannya kali ini untuk memenuhi panggilan pemeriksaan karena masih ada yang kurang.

"Saya memang Rabu (27/11/2013) sudah diperiksa, tetapi ada yang kurang. Maka, hari ini saya datang  lagi," kata Tony sambil menambahkan mengenai hal-hal yang lain silakan saja tanyakan kepada penyidik.

Sementara itu, Ketua Rina Center, Bambang Hermawan, yang juga menjadi saksi kasus tersebut, mengatakan yang ditanyakan penyidik kepada dirinya masih seperti dulu dan tidak ada yang baru. Namun, Bambang mengaku tidak mengetahui soal aliran dana sebesar Rp 6 miliar untuk kampanye.

"Ya Rina Center ini umurnya hanya sekitar dua bulan dan tugasnya mendeklarasikan bahwa Bu Rina mau kembali mencalonkan bupati Karanganyar dan setelah itu bubar. Jadi, saya juga tidak mengerti adanya aliran dana tersebut," katanya.

Disinggung adanya aliran dana Rp 1,5 miliar kepada bendahara Rina Center, Utit Styowati, Bambang mengatakan, berdasarkan fakta persidangan, dulu memang ada, tetapi yang lainnya mengatakan dirinya tidak mengerti.

Pemeriksaan saksi-saksi ini masih terus berjalan dan dari tim penyidik selain memeriksa Bambang juga memeriksa Sundoro mantan Kepala Dinas Koperasi Kabupaten Karanganyar yang sekarang menjabat Asisten III Sekda Kabupaten Karanganyar.

Kuasa Hukum Rina Iriani Sri Ratnaningsih Muhammad Taufiq mengatakan, dengan Rina mengembalikan paspor ke Kantor Imigrasi Surakarta, Rabu (27/11/2013), itu sudah jelas menunjukkan etika yang baik.

Kejari Usut Dugaan "Mark Up" Pembangunan RSUD Kota Malang



MALANG, KOMPAS.com - Malang Corruption Watch (MCW) mendesak Kejaksaan Negeri Malang (Kejari) Kota Malang segera mengusut tuntas dugaan penggelembungan (mark up) pembelian lahan untuk pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Malang yang merugikan negara senilai Rp 4,1 miliar.

Desakan itu disampaikan Kepala Koordinator Advokasi MCW, Zainuddin didampingi aktivis MCW lainnya saat menemui Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kota Malang, Munasim di kantor Kejari, Kamis (28/11/2013). Dalam kesempatan itu, MCW membawa serta beberapa data hasil temuan dugaan mark up RSUD Malang untuk dijadikan bahan penyelidikan lebih lanjut.

Zainuddin menjelaskan, berdasarkan hasil temuan MCW, dugaan mark up pembelian tanah itu senilai Rp 4,1 miliar dari anggaran pengadaan lahan sebesar Rp 7,1 miliar. "Dugaan sementara, hasil advokasi MCW, kerugian negara mencapai Rp 4,1 miliar," katanya.

Dia menilai, pembelian tanah untuk RSUSD Kota Malang jelas tak sesuai dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang berkisar Rp 700.000 hingga Rp 1 juta per meter. "Tanah itu dibeli dari pemiliknya senilai Rp 700 ribu per meter. Dari pembeli itu dijual ke pemkot senilai Rp 1,7 juta per meter. Dugaan mark up-nya saat pembelian dilakukan ke pihak kedua ini," katanya.

Sesuai dengan SK Penetapan Lokasi pembangunan RSUD yang dikeluarkan oleh Dinas Perumahan, seharusnya pembelian lahan itu senilai Rp 800.000 per meter. "Kita desak Kajari untuk usut kasus itu. Kita sudah memberikan sebagain datanya," kata Zainuddin.

Sementara itu, Kepala Kejari Kota Malang, Munasim menyatakan akan segera panggil beberapa pihak yang terlibat dalam proses pembelian lahan RSUD Kota Malang itu. "Sudah memintai keterangan lima orang dari pihak RSUD. Mereka sudah datang. Lima orang itu beberapa staf di RSUD dan orang yang terlibat dalam pengadaan lahan itu," tegasnya.

Pihaknya juga akan memanggil pihak luar yang terlibat. "Kita akan panggil pihak luar berinisial LH dan SC untuk dimintai keterangan sebagai saksi. Keduanya itu dimintai keterangan untuk mengetahui riwayat tanahnya," katanya.

Pihak kejaksaan, tambah Munasim, tidak akan melihat harga murah dan mahalnya tanah untuk RSDU Kota Malang, melainkan proses pembeliannya. "Apakah benar atau tidak mekanismenya," katanya.

Bos Kernel Oil Disebut Punya Jaringan ke Istana, Ibas, dan Dipo Alam


JAKARTA, KOMPAS.com — Deviardi, pelatif golf Rudi Rubiandini (mantan Kepala SKK Migas), mengakui bahwa Widodo Ratanachaitong pernah menceritakan bahwa perusahaannya memiliki jaringan ke istana, Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas, dan Sekretaris Kabinet Dipo Alam. Hal itu diungkapkan Deviardi alias Ardi ketika bersaksi dalam sidang kasus dugaan suap di lingkungan SKK Migas dengan terdakwa Simon Gunawan Tanjaya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (28/11/2013).

Mulanya hakim anggota Joko Subagyo membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) Deviardi.

"Beliau (Widodo) punya tujuh perusahaan minyak di luar negeri semuanya. Bahwa Widodo punya jaringan sampai ke istana, DPR, dan Dipo Alam," kata Joko.

Deviardi pun membenarkan BAP yang dibacakan hakim. Dia mengatakan, hal itu diceritakan Widodo ketika bertemu di Singapura. Widodo dikenal sebagai bos PT Kernel Oil di Singapura. Kemudian, Deviardi mengaku menelepon Rudi dan menyampaikan informasi dari Widodo tersebut.

"Oh, iya itu pas ketemuan di Singapura. Widodo menyampaikan ke saya seperti itu. Setelah itu saya lapor ke Rudi," terang Deviardi.

"Tanggapan Rudi bagaimana?" tanya hakim Joko.

"Ya, gitu saja. Saya cuma sekadar melapor gitu via telepon," jawab Rudi.

Deviardi mengaku tak tahu tujuh perusahaan yang dimaksud Widodo. Dia juga membenarkan bahwa Widodo menceritakan perusahaannya sering "main" di SKK Migas dan BP Migas sejak dijabat Kardaya dan Priyono seperti terungkap dalam BAP yang dibacakan Joko.

"Widodo juda sampaikan suka main di SKK Migas, BP Migas sejak dijabat Kardaya dan Priyono. Oh tenang, maksud saya menyampaikan ke Rudi apabila berhubungan dengan Widodo ini, Rudi akan membuat Ibas dan istana tenang," kata Joko membacakan BAP Deviardi.

Hakim tak mendalami lebih jauh BAP tersebut dan kembali menanyakan hal lain yang masuk ke dalam substansi hukum kasus yang menjerat Simon.

Rudi Rubiandini Akui Beri THR 200.000 Dollar AS kepada Anggota DPR


JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Rudi Rubiandini mengatakan, Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pernah meminta uang tunjangan hari raya (THR) kepadanya. Rudi pun mengakui memenuhi permintaan tersebut.

"Muncul permintaan THR DPR dari Komisi VII. Di sisi lain, ada tawaran beberapa orang bersedia memberi bantuan 200.000 dollar AS," kata Rudi ketika bersaksi dalam kasus dugaan suap SKK Migas dengan terdakwa Simon Gunawan Tanjaya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (28/11/2013).

Rudi akhirnya menerima uang 200.000 dollar AS dari Deviardi, pelatih golfnya, dan digunakan untuk THR yang diminta Komisi VII. Menurut Rudi, uang itu diserahkanya melalui anggota DPR, Tri Yulianto.

"Waktu itu Tri Yulianto anggota DPR. Mereka mewakili Komisi VII," kata Rudi.

Rudi mengatakan, adanya permintaan THR itu membuatnya terpaksa menerima uang yang diberikan Deviardi. Rudi membantah uang itu digunakannya untuk kepentingan pribadi.

"Untuk menutupi permintaan THR itu, saya simpan, enggak pernah saya pergunakan untuk kebutuhan pribadi," terang Rudi.

Dalam kasus ini, Simon didakwa bersama-sama Widodo Ratanachaitong memberi atau menjanjikan sesuatu berupa uang 200.000 dollar Singapura dan 900.000 dollar AS kepada penyelenggara negara, yaitu Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini melalui Deviardi alias Ardi. Pemberian uang tersebut dilakukan agar Rudi Rubiandini menggunakan jabatannya untuk melakukan perbuatan terkait pelaksanaan lelang terbatas minyak mentah dan Kondensat Bagian Negara di SKK Migas.

Di antaranya ialah agar menyetujui Fossus Energy Ltd sebagai pemenang lelang terbatas Kondensat Senipah Bagian Negara pada 7 Juni 2013 untuk periode bulan berikutnya, kemudian menyetujui kargo pengganti minyak mentah Grissik Mix Bagian Negara untuk Fossus Energy Ltd periode Februari-Juli 2013, menggabungkan lelang terbatas Minyak Mentah Minas/SLC Bagian Negara dan Kondensat Senipah periode Agustus 2013. Selain itu ialah agar Rudi kembali menyetujui Fossus Energy Ltd sebagai pemenang lelang terbatas Minyak Mentah Minas dengan Kondensat Senipah.

PPATK telusuri rekening para pejabat SKK Migas


Kamis, 28 November 2013 07:03 WIB | 1550 Views
Bogor (ANTARA News) - Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf mengatakan pihaknya sedang mendalami seluruh transaksi menyangkut orang-orang di SKK Migas yang diindikasikan oleh penegak hukum terkait tindak pidana pencucian uang yang dilakukan Rudi Rubiandini.

"Perlu dicari tahu, betul gak dia minta sebesar itu, karena kalau kami lihat duit tidak masuk rekening dia, sepertinya diperuntukkan untuk pihak-pihak tertentu, misalnya kepentingan internal dia, seperti THR untuk pegawai atau pihak ketiga," kata Yusuf, di Bogor, Rabu malam.

Yusuf mengakui awalnya rekening Rudi tak ada masalah, sebagai akademisi, transaksi yang dilakukan Rudi masih termasuk wajar.

"Kalau dilihat dari salah satu rekening dia, kelihatannya wajar. Setelah masuk SKK Migas, di situ dia tergoda untuk melakukan tindakan menerima pemberian," katanya.

Rudi Rubiandini dan bersama pelatih golfnya, Devi Ardi, ditangkap pihak KPK atas tuduhan menerima uang 900 ribu dollar AS dan 200 dollar Singapura dari Direktur PT Kernel Oil Pte Ltd Singapura, Widodo Ratanachaitong melalui Komisaris PT Kernel Oil Indonesia, Simon Gunawan Tanjaya, atas pemenangan lelang Fossus Energy Ltd di SKK Migas.

Uang itu diserahkan Simon kepada Rudi Rubiandini melalui Devi Ardi. Rudi dan Devi Ardi juga dikenakan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) karena diduga turut menyamarkan uang hasil dari lelang dan tender di SKK Migas. (*)
Editor: B Kunto Wibisono

PPATK minta penegak hukum validasi nasabah Century


Kamis, 28 November 2013 07:16 WIB | 3099 Views
Bogor (ANTARA News) - Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) meminta kepada penegak hukum yang menangani kasus Bank Century untuk memvalidasi kembali nasabah Bank Century.

"Hasil temuan PPATK, dari dana bailout senilai Rp6,7 triliun, memang terdapat sekitar Rp4 triliun yang masuk ke rekening nasabah. Validasi nasabahnya ada pada direksi banknya sendiri, betul gak ada nasabahnya, itu yang perlu dikorek penegak hukum," kata Kepala PPATK Muhammad Yusuf, usai diskusi bersama pers di Bogor, Rabu malam.

Yusuf juga meminta meminta kepada KPK yang menangani kasus Bank Century agar tidak hanya fokus dana Rp6,7 triliun saja.

"Di kasus Century harusnya fokusnya tidak hanya pada uang Rp6,7 triliun, tapi juga pada FPJP 1, disitu jelas ada pelanggara-pelanggaran, FPJP 2, Rp6,7 triliun itu gong terakhirnya," katanya.

Sebelumnya audit Badan Pemeriksa Keuangan tentang Bank Century menyebutkan, dalam rapat dewan gubernur 14 November 2008, Dewan Gubernur Bank Indonesia memutuskan dilakukan perubahan atas PBI No.10/26/PNI/2008 tanggal 30 Oktober 2008 tentang FPJP bagi bank umum.

Isinya, mengubah ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) menjadi Bank yang dapat mengajukan permohonan FPJP dari memiliki capital adequency ratio (CAR) negatif menjadi bank memiliki CAR positif.

Wakil Presiden Boediono sebelumnya menjelaskan, kebijakan pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century pada saat krisis tahun 2008 tidak terelakkan.

Menurut dia, situasi ekonomi global pada saat itu memang sudah mengancam perekonomian nasional.

Boediono menjadi Gubernur Bank Indonesia (BI) saat FPJP senilai Rp 6,7 triliun dikucurkan. Dia mengatakan, Dewan Gubernur Bank Indonesia berkesimpulan jika ada bank yang gagal kliring atau tak bisa menyelesaikan kewajibannya, berisiko besar memicu krisis pada industri perbankan.

Apalagi, katanya, di Indonesia saat itu tidak menerapkan blanket guarantee (kebijakan penjaminan penuh simpanan di bank), tapi hanya menetapkan penjaminan sebesar maksimal Rp2 miliar. (*)
Editor: B Kunto Wibisono

Sunday, November 24, 2013

Boediono: pembengkakan dana talangan urusan LPS dan pengawas bank


Sabtu, 23 November 2013 21:49 WIB | 3036 Views
Jakarta (ANTARA News) - Wakil Presiden Boediono dalam keterangan persnya pada Sabtu sore mengatakan soal pembengkakan dana talangan untuk Bank Century adalah kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan pengawas bank.

"LPS adalah pemegang saham Bank Century pascadiberi Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Hal, seperti, kekurangan modal (CAR), perhitungan dan sebagainya harus diselesaikan di antara LPS dan pengawas bank. Di situ datanya, tentu saya tidak mengetahuinya," katanya.

Boediono diperiksa pada Sabtu pagi terkait pemberian FPJP, yang diberikan Bank Indonesia kepada Bank Century pada 2008. Pada saat itu, Boediono menjabat Gubernur Bank Indonesia.

Pada waktu itu, pengucuran dana penyelamatan Bank Century dilakukan dalam beberapa tahap. Rapat pada 21 November 2008 memutuskan penyelamatan dilakukan dengan penggelontoran Rp632 miliar. Namun, dana itu saat dikucurkan pada 23 November 2008 membengkak hingga lebih dari Rp2 triliun dan berlanjut mencapai Rp6,7 triliun hingga Juli 2009.

Menurut Boediono, perubahan jumlah FPJP diperlukan pada saat itu, karena krisis dunia, yang dikhawatirkan memberi dampak sistemik ke ekonomi Indonesia.

"Kegagalan satu institusi keuangan, betapa pun kecilnya, bisa menimbulkan dampak domino cukup luas. Negara lain juga berupaya menyelamatkan perekonomiannya dengan menjamin deposito di semua bank di negara mereka. Tapi, pada saat itu, saya bersama teman-teman di BI berpendapat, instrumen utama untuk menangkal resiko sistemik itu adalah pemberian FPJP ke Bank Century," katanya.

Boediono, yang diperiksa petugas KPK lebih dari tujuh jam sejak pukul 10.00 WIB pada Sabtu, mengatakan, setelah pemberian FPJP ke Bank Century, Indonesia berhasil melewati krisi global.

"Saat memasuki 2009 dan seterusnya, ekonomi kita cukup mantap, bahkan kalau ditanya pertumbuhan ekonomi saat ini sampai 2012, itu sangat tinggi. Kita berada di posisi kedua di kelompok G20 dan kedua dari China," tambahnya.

Tuesday, November 19, 2013

Korupsi Bansos, Ketua DPRD TTU Diperiksa Kejaksaan



KEFAMENANU, KOMPAS.com - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur, Robertus Vinsensius Nailiu diperiksa oleh tim penyidik Kejaksaan Negeri Kefamenanu, karena terlibat kasus korupsi dana bantuan sosial di Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten TTU, Nusa Tenggara Timur.

Robertus diperiksa oleh tiga orang jaksa penyidik, yakni masing-masing Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Frengky M Radja SH, Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Jonathan S Limbongan SH dan Gatot, dilakukan secara maraton selama delapan jam.

Kepala Kejaksaan Negeri Kefamenanu, Dedie Tri Haryadi ketika ditemui Kompas.com di ruang kerjanya, Selasa (19/11/2013) mengatakan, Robertus diperiksa karena kapasitasnya sebagai saksi mahkota (saksi sekaligus tersangka).

“Robertus Nailiu kita periksa sebagai saksi karena pada tahun 2009 lalu dia menjabat sebagai direktur PT Wanini Perkasa yang mengerjakan proyek pembangunan rumah bantuan sosial. Pemanggilan itu juga untuk melengkapi berkas-berkas kasus ini,” jelas Dedie.

Menurut Dedie, selain Robertus, rencananya esok pihaknya akan memanggil 14 orang yang statusnya sebagai tersangka, termasuk Robertus dan anggota DPRD lainnya, yakni Eduardus Tanesib.

Sebelumnya, Ketua DPRD TTU, Robertus Vinsensius Nailiu ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Negeri Kefamenanu pada November 2010 lalu karena terlibat kasus korupsi dana bantuan sosial dari Dinas Kesejahteraan Sosial Kabupaten TTU tahun 2008 senilai Rp 5 miliar lebih. Saat itu, Dinas Kesejahteraan Sosial TTU melelang proyek pembangunan rumah sangat sederhana sebanyak 333 unit. Proyek itu dikerjakan Robertus selaku kontraktor pelaksana.

Selain Ketua DPRD TTU, kasus korupsi dana bansos telah menyeret sejumlah pejabat di TTU, yakni anggota DPRD dari Fraksi Demokrat Eduardus Tanesib, konsultan pengawas (baru ditetapkan sebagai tersangka); mantan Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial, Kabupaten TTU, Nikolaus Suni (dipenjara dua tahun); serta konsultan perencana, Mikael Moa (dipenjara dua tahun).

Olly Dondokambey Minta Rp 500 Juta untuk Acara di Bali


JAKARTA, KOMPAS.com - Bendahara Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Olly Dondokambey disebut pernah meminta uang Rp 500 juta kepada mantan Direktur Operasional PT Adhi Karya, Teuku Bagus Muhammad Noor untuk suatu acara di Bali pada tahun 2010.

Hal itu dibenarkan oleh saksi Muhammad Arifin (Komisaris PT Metaphora Solusi Global) dalam sidang kasus dugaan korupsi proyek Hambalang dengan terdakwa Deddy Kusdinar. "Apa benar Teuku Bagus pernah minta uang Rp 500 juta untuk Olly Dondokambey, untuk sebuah acara di Bali?" tanya Jaksa Penuntut Umum KPK, Kiki Ahmad Yani di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (19/11/2013).

"Iya, tapi bukan ke saya," jawab Arifin.

Hal itu tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi Arifin. Menurut Arif, Teuku Bagus tak langsung meminta kepadanya. Perusahaan Arifin merupakan salah satu konsultan desain pembangunan proyek Hambalang. Namun, tidak diungkapkan acara apa yang dimaksud. Diketahui, pada 2010 pernah berlangsung Kongres III PDIP di Bali.

Sebelumnya, Teuku Bagus Muhammad Noor melalui kuasa hukumnya Hario Budi Wibowo mengakui adanya aliran dana terkait proyek Hambalang untuk anggota DPR Olly Dondokambey. Uang itu diberikan melalui Manager Pemasaran PT Adhi Karya, Arif Taufiqurrahman.

Dalam dakwaan Deddy Kusdinar, Olly yang merupakan anggota Banggar DPR itu juga mendapat Rp 2,5 miliar pada tanggal 28 Oktober. Uang itu untuk memuluskan Adhi Karya memenangkan lelang pekerjaan fisik proyek pembangunan Hambalang.

PT Adhi Karya diketahui telah mengeluarkan uang sebesar Rp 14,601 miliar kepada sejumlah pihak. Uang itu sebagian bersumber dari PT Wika sebesar Rp 6,925 miliar.

Dalam kasus Hambalang, KPK menetapkan tiga tersangka, yaitu mantan Kepala Biro Keuangan dan Rumah Tangga Kemenpora, Deddy, mantan Menpora Andi Alfian Mallarangeng, dan petinggi PT Adhi Karya Teuku Bagus Muhammad Noer.

Dalam pengembangannya, KPK menetapkan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum sebagai tersangka dugaan menerima pemberian hadiah atau janji terkait proyek Hambalang. Sementara itu, dalam perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kasus ini merugikan negara sebesar Rp 463,6 miliar.

Ratu Atut klarifikasi temuan KPK


Selasa, 19 November 2013 17:54 WIB | 3209 Views
Jakarta (ANTARA News) - Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah mengklarifikasi temuan Komisi Pemberantasan Korupsi terkait penyelidikan kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten.

"Ada beberapa masalah yang perlu diklarifikasi kepada Atut, hari ini, tentunya diminta klarifikasinya terhadap beberapa temuan oleh karena setiap orang yang diperiksa KPK wajib menyampaikan sesuatu hal yang diketahuinya," kata Ketua KPK Abraham Samad di Jakarta, Selasa.

Ratu Atut seusai diperiksa selama sekitar tujuh jam tidak mengungkapkan materi pemeriksaannya.

"Saya tadi memberikan keterangan, sudah memberikan klarifikasi atau keterangan terkait dengan sarana prasarana di pemerintah Provinsi Banten, makasih," kata Atut singkat.

Abraham mengakui ada sejumlah laporan mengenai Provinsi Banten yang tengah didalami KPK.

"Ada beberapa laporan dan temuan KPK sendiri di provinsi Banten yang memerlukan klarifikasi, pendalaman lebih jauh karena itu untuk pendalaman itu diperlukan untuk memeriksa Atut," ungkap Abraham.

Abraham juga tidak menutup kemungkinan bahwa Atut sebagai terperiksa dapat menjadi tersangka.

"Tidak menutup kemungkinan orang yang diperiksa KPK, kalau ternyata dari hasil pemeriksaan berkelanjutan terus dan ditemukan dua alat bukti yang cukup signifikan, cukup kuat, tidak menutup kemungkinan seseorang itu berubah statusnya dari saksi menjadi tersangka, tapi ini masih terlalu prematur untuk kita simpulkan karena masih terlalu awal," tambah Abraham.

Atut sebelumnya juga pernah diperiksa di KPK sebagai saksi dalam kasus dugaan suap dalam pengurusan perkara di Mahkamah Konstitusi (MK).

KPK pernah meminta keterangan sejumlah pejabat di Dinas Kesehatan Banten.

Badan Pemeriksa Keuangan setidaknya menemukan tiga indikasi penyimpangan dalam pengadaan alat kesehatan di Banteng yang mencapai Rp30 miliar.

Ketiga penyimpangan itu adalah alat kesehatan tidak lengkap sebesar Rp5,7 miliar; alat kesehatan tidak sesuai spesifikasi sebesar Rp6,3 miliar dan alat kesehatan tidak ada saat pemeriksaan fisik sebanyak Rp18,1 miliar.

Selain penyelidikan alkes Banten, saat ini KPK sedang menyidik dugaan korupsi pengadaan alkes di Tangerang Selatan yang masuk dalam provinsi Banten dengan tersangka adik Ratu Atut, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan.

Wawan ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi pengadaan Alat Kesehatan (Alkes) Kedokteran Umum di Puskesmas kota Tangerang Selatan tahun anggaran 2012 sejak 11 November 2013 dengan sangkaan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 Undang-undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah pada UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat ke (1) ke-1 KUHP.
Editor: Suryanto

Friday, November 15, 2013

Seorang Pejabat Kolut Tersangka Korupsi Rp 1,8 Miliar



KOLAKA UTARA, KOMPAS.com - Kejaksaan Negeri Kolaka Utara (Kolut) menetepkan Kepala Bagian Kesbang Kolaka Utara, Pahri sebagai tersangka kasus korupsi dana bantuan sosial senilai Rp 1,8 miliar. Kasi Intel Kejari Kolaka Utara, A Akbar mengatakan, proses penyidikan kasus penyaluran dana bansos tersebut dimulai sejak 10 Oktober 2013 lalu.

Namun setelah mempunyai bukti yang kuat, Pahri, yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Bagian Keuangan dan Badan Bencana Daerah segera ditetapkan sebagia tersangka kasus korupsi tersebut.

“Dana Rp 1,8 miliar itu merupakan dana bantuan dari pusat untuk bantuan sosial. Namun setelah kita kroscek di lapangan ternyata banyak keganjilan. Salah satunya nominal yang tertera di proposal pemohon tidak sesuai dengan yang cair. Belum lagi data fiktif. Warga tidak terima, tapi dalam laporannya sudah diterima, bahkan ditandatangani. Makanya bukti kuat dan cukup yang kita miliki sehingga pak Pahri ini jadi tersangka kasus korupsi," beber Akbar, Jumat (15/11/2013).

Dia juga menambahkan, pihak kejaksaan akan mengembangkan kasus ini, sehingga tidak menutup kemungkinan jumlah tersangka bakal bertambah.

“Sekarang kita sudah memeriksa beberapa orang, dan akan kembali memeriksa beberapa orang lagi. Yang sementara kita periksa adalah Sumardi yang menjabat sebagai bendahara bantuan. Sebenarnya juga ada asisten III yang bernama Safaat Nur, tapi beliau keburu meninggal dunia, padahal beliau itu juga banyak tahu tentang masalah bantuan ini,” tambahnya.

Kendati ditetapkan sebagai tersangka, Pahri belum juga ditahan. Bahkan dirinya masih bebas menjalankan tugas barunya sebagai Kepala Bagian Kesbang Pol Kolaka Utara. Menurut Akbar, tersangka masih bersikap kooperatif.

“Tentu ada pertimbangan untuk menahan seseorang, nah, khusus untuk Pahri dia belum ditahan karena masih kooperatif. Tapi saya tegaskan, pihak kami tidak akan menutup informasi pengembangan penyidikan ini dari publik,” tutupnya.

Diperiksa, Tri Dianto Bawa 3 Wanita ke KPK



JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Ketua DPC Partai Demokrat Cilacap Tri Dianto memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk diperiksa sebagai saksi mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam kasus dugaan penerimaan hadiah terkait proyek Hambalang, Jumat (15/3/2013). Tri tak datang sendirian, tetapi didampingi oleh tiga orang wanita.

Tiga wanita yang mendampingi Tri hanya tersenyum dan enggan memberi komentar. Ketiganya berambut panjang dan berpakaian rapi. Pada pemanggilan sebelumnya, loyalis Anas ini tidak datang dengan alasan surat dari KPK tidak sampai.
Icha Rastika/Kompas.com Mantan Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat Kabupaten Cilacap Tri Dianto

"Saya diperiksa sebagai saksi atas nama tersangka Anas. Sebetulnya, kemarin ini saya dijadwalkan diperiksa, cuma bukan saya takut, tapi karena surat panggilannya enggak ada," kata Tri.

Sementara itu, Tri Dianto mengaku tak tahu adanya pemberian handphone BlackBerry oleh Anas saat Kongres Partai Demokrat tahun 2010. Tri meminta hal itu ditanyakan kepada mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang mengatakan hal itu.

"Nazaruddin main di tiga kaki, calon ketum ada tiga, siapa pun yang jadi bendahara umumnya ya, Nazaruddin. Kalau ada DPC atau orang dikasih BB oleh Nazarudddin, tanyakan ke Nazaruddin," kata Tri.

Selain diperiksa, Tri mengaku ingin meminta kembali uang Rp 1 miliar yang disita KPK saat penggeledahan di rumah Anas. Menurutnya, uang itu adalah kas Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI).

Sementara itu, Tri Dianto langsung masuk ke ruang tunggu KPK sebelum bisa dikonfirmasi mengenai ketiga wanita yang mendampinginya. Hanya, ketiga wanita itu tidak ikut ke dalam. Mereka sempat menunggu sebentar di belakang ruang tunggu KPK, lalu beranjak ke luar.

"Mau makan dulu," kata salah satu dari mereka.

Seperti diketahui, KPK juga tengah mendalami dugaan dana korupsi Hambalang dan proyek pemerintah lainnya yang mengalir ke Kongres Partai Demokrat 2010 di Bandung. Dalam dakwaan Deddy Kusdinar, Anas disebut mendapat Rp 2,21 miliar dari PT Adhi Karya. Uang itu kemudian disebut digunakan untuk keperluan Kongres Demokrat. Sebelumnya, KPK juga pernah memanggil sejumlah kader Demokrat untuk diperiksa sebagai saksi, di antaranya, Ruhut Sitompul, Sutan Bhatoegana, Ramadhan Pohan, Max Sopacua, dan Marzuki Alie.

Berkalungkan Poster, "Bunda Putri" Sambangi KPK



JAKARTA, KOMPAS.com
 — Seorang wanita yang mengaku sebagai Bunda Putri kembali menyambangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat (15/11/2013). Wanita yang bernama asli Syafnina Wati ini menuntut agar KPK mengusut pembangunan kembali gedung baru Sentral Pasar Raya Padang yang menggunakan anggaran Pemkot Padang tahun 2009.

"Tentang pembangunan Gedung SPR (Sentra Pasar Raya) yang dimufakatkan oleh wali kota Padang. Tanah tersebut bunyinya fasilitas umum, terminal, yang sudah dipindahtangankan kepada PT Cahaya Semaraya seluas 29.338 meter persegi," kata Syahnina di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta.

Kedatangan perempuan berkerudung ini mengundang perhatian para pewarta. Syahnina dan seorang wanita lainnya tampak membawa poster bertuliskan "Bunda Putri Datang ke KPK" yang dikalungkan di lehernya.

"Saya biasa dipanggil Bundo Putri," kata Syahnina.

Kendati mengaku sebagai Bunda Putri, Syahnina menegaskan bahwa dia bukanlah Bunda Putri yang disebut-sebut dalam kasus dugaan korupsi kuota impor daging sapi. Syahnina mengaku tidak mengenal mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Luthfi Hasan Ishaaq, yang menjadi terdakwa dalam kasus tersebut. Dia juga mengaku tidak kenal dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

"Yang saya kenal itu SBY, Si Buyung, anak saya," ucap Syahnina kemudian disambut tawa para pewarta.

Sekilas, penampilan Syahnina tidak mirip dengan Bunda Putri yang fotonya dengan para pejabat beredar melalui media beberapa waktu lalu. Hanya, poster yang dikalungkan di lehernya cukup menunjukkan bahwa dia dan temannya tengah berperan sebagai Bunda Putri. Syahnina dan seorang wanita lainnya mendatangi Gedung KPK dengan didampingi dua pria. Mereka kompak mengenakan pakaian putih. Kepada wartawan, mereka mengaku sebagai perwakilan Ikatan Pedagang Pasar Raya Kota Padang.

"Kami menagih janji KPK agar kasus Wali Kota Padang Fauzi Bahar segera dituntaskan dengan mengaudit anggaran pembangunan Sentral Pasar Raya dan memeriksa Wali Kota Padang Fauzi Bahar yang diduga di belakang layar," kata Syahnina seperti yang tertulis dalam selebaran yang dia bagikan di Gedung KPK.

Kedatangan wanita yang mengaku sebagai Bunda Putri ke Gedung KPK bukan kali ini saja. Akhir Oktober 2013, KPK kedatangan seorang wanita berkerudung yang juga mengaku sebagai Bunda Putri. Wanita itu bernama asli Raden Ayu Yenny Meliyana. Sama halnya dengan Syahnina, Yenny mengatakan bahwa dia bukanlah Bunda Putri yang disebut-sebut dalam kasus dugaan suap kuota impor daging sapi. Namun, Yenny mengaku kenal dengan sejumlah pejabat sama halnya dengan Bunda Putri.

KPK Pastikan Tahan Budi Mulya


JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad memastikan pihaknya akan menahan tersangka kasus dugaan korupsi Century, Budi Mulya, seusai pemeriksaan Budi sebagai tersangka, Jumat (15/11/2013). Abraham mengatakan bahwa surat perintah penahanan atas nama Budi sudah ditandatangani.

"BM (Budi Mulya) akan ditahan hari ini. Surat penahanannya sudah ditandatangani," kata Ketua KPK Abraham Samad saat dihubungi wartawan. Budi Mulya merupakan tersangka Century pertama yang ditahan KPK.

Pada Jumat ini, KPK memeriksa Budi sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century serta penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Pemeriksaan Budi sebagai tersangka ini merupakan yang pertama kali sejak KPK mulai menyidik kasus Century sekitar Februari 2013.

Saat memenuhi panggilan pemeriksaan pagi tadi, Budi berjanji akan kooperatif dengan KPK. Pengacaranya, Luhut Pangaribuan, mengatakan bahwa kliennya sudah siap lahir batin menghadapi proses hukum di KPK.

Budi ditetapkan KPK sebagai tersangka atas dugaan bersama-sama melakukan perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang terkait pemberian FPJP dan penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

Akhir Desember 2012, Ketua KPK Abraham Samad mengatakan kepada Tim pengawas Bank Century di DPR bahwa Budi dan mantan Deputi Gubernur BI Siti Fajriah merupakan pihak yang bertanggung jawab atas kerugian negara yang timbul terkait Century.

Namun, hingga kini, pemeriksaan perkara Siti masih mengambang karena yang bersangkutan sakit parah sehingga dianggap tidak dapat menjalani proses hukum.

Terkait Bansos, Kejari Pekalongan periksa 116 Kepsek



Kamis, 14 November 2013 21:05 WIB | 1485 Views
Pekalongan (ANTARA News) - Kejaksaan Negeri Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, memeriksa 116 kepala sekolah karena diduga telah melakukan penyelewengan terhadap dana bantuan sosial 2010 dan 2011.

Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Kabupaten Pekalongan, Agung Kusumayasa, di Pekalongan, Kamis, mengatakan bahwa sebanyak 116 penerima bantuan sosial tersebut terdiri atas 67 kepala sekolah yang berada di bawah naungan kementerian agama, tempat pendidikan Alquran (TPQ), dan pimpinan pondok pesantren.

"Sedangkan yang lain, sebanyak 49 kepala sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD), SD, SMP, dan SMK," katanya.

Ia mengatakan bansos tersebut digunakan untuk perlengkapan alat laboratorium, rehab berat pembangunan gedung hingga pembelian alat peraga pendidikan tetapi dalam aplikasinya tidak sesuai aturan.

"Ada 116 penerima bansos tahun 2010 dan 2011 ini yang sedang menjalani pemeriksaan di kejari," katanya.

Ia mengatakan pengajuan proposal dari penerima bantuan sosial tersebut, diajukan langsung ke dinas terkait di Propinsi Jawa Tengah dan ada yang bekerja sama dengan lembaga atau organisasi tertentu.

"Namun karena diduga menyalahi aturan yang ada maka mereka kami periksa. Setelah pemeriksaan ini selesai, hasilnya kami laporkan langsung ke Kejaksaan Tinggi Semarang," katanya.

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pekalongan, Umaedi, mengatakan sejak awal pemkab sudah mengingatkan pada para kepala sekolah agar berhati-hati dalam penggunaan bantuan sosial itu.

"Setiap bantuan sosial yang diterima maka harus dipertanggungjawabkan dengan benar. Dari awal sudah saya ingatkan, jika bermain api maka segala risiko ditanggung sendiri," katanya. (KR-KTD/I007)
Editor: Tasrief Tarmizi

Indonesia dilanda bencana korupsi


Jumat, 15 November 2013 15:41 WIB | 632 Views
Semarang (ANTARA News) - Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia R. Siti Zuhro menilai korupsi di Indonesia sudah melampaui batas karena sudah melanda lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

"Bisa dikatakan bangsa ini dilanda bencana korupsi, terbukti sejumlah oknum aparat di tiga lembaga kekuasaan tersebut melakukan korupsi," kata Siti Zuhro kepada Antara di Semarang, Jumat.

Peneliti senior LIP ini mengemukakan, karena koruptor telah melanggar hukum dan merugikan uang negara, maka wajar dikenai sanksi hukum seperti hukuman kurungan, dan mengembalikan dana yang dicurinya.

"Bisa juga dengan menyita harta benda koruptor yang dicurigai sebagai hasil curian," ucapnya.

Menurut dia, sudah saatnya koruptor mendapat efek jera dengan mempermalukannya di depan publik, baik melalui media cetak maupun media elektronik bahwa korupsi itu bahaya laten yang daya rusaknya sangat dahsyat, kejahatan nyata, dan menyengsarakan rakyat.

"Dengan cara itu akan memberikan efek psikologis kepada si koruptor dan para calon koruptor," katanya.
Editor: Jafar M Sidik

Monday, November 11, 2013

KPK Bahas Gratifikasi dalam Layanan Pernikahan



JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi menggandeng Inspektorat Jenderal Kementerian Agama untuk membahas masalah pencegahan gratifikasi yang rawan terjadi dalam pelayanan nikah. Pada Senin (11/11/2013), Inspektur Jenderal Kemenag M Jasin menyambangi Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, untuk membahas masalah tersebut bersama pihak KPK melalui diskusi yang disiarkan radio KanalKPK.

“Diundang untuk jadi narasumber di radio KanalKPK menjelaskan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan gratifikasi. Jadi gratifikasi di Kementerian Agama, bagaimana mencegah gratifikasi di Kemenag, jadi kita paparkan. Apabila judulnya gratifikasi, ada beberapa gratifikasi di beberapa layanan, khususnya adalah di layanan nikah,” tutur Jasin di Gedung KPK.

Jasin yang juga mantan wakil ketua KPK itu mengatakan bahwa pihak Kemenag sudah mengupayakan pencegahan gratifikasi terkait layanan pernikahan. Salah satu upaya yang diusulkan, katanya, adalah dengan memberikan insentif kepada penghulu berupa transportasi lokal sehingga kecenderungan mereka untuk menerima gratifikasi dapat dicegah. Selain itu, menurut Jasin, Kemenag mengajukan dana tambahan APBN untuk jajak profesi bagi penghulu.

Tapi pada akhirnya kan tidak ada dalam pagu indikatif, artinya dalam tahun 2014, belum ada dana yang disediakan dari APBN,” kata Jasin.

Dia mengatakan, sejauh ini belum ada respons positif dari pemerintah atas pengajuan tersebut meskipun menurut Jasin, semua fraksi di DPR sudah setuju untuk menambah APBN Kemenag yang akan digunakan untuk insentif penghulu.

“Saya tidak mengatakan tidak direspons positif, tetapi belum direspons dengan positif. Mudah-mudahan ya tahun-tahun berikutnya ada respons yang positif ya,” tambahnya.

Jasin pun meminta seluruh lapisan masyarakat agar melaporkan kepada pihak yang berwenang jika menemukan praktik penerimaan gratifikasi terkait pelayanan nikah.

Kasus Bea Cukai, Bareskrim Minta Tambahan Data dari PPATK


JAKARTA, KOMPAS.com - Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri telah mengajukan permohonan penambahan data (inquiry) terkait kasus dugaan penerimaan suap kepada salah seorang mantan pejabat Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan senilai Rp 11,4 miliar ke Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).

"HS (Heru Sulastyono) dan YA (Yusron Arif) sedang kamj ajukan inquiry ke PPATK tentang rekening yang bersangkutan," kata Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, Kombes Pol Rahmad Sunanto di Gedung Bareskirm Polri, Senin (11/11/2013).

Selain kedua tersangka, Rahmad mengatakan, penyidik juga mengajukan inquiry untuk saksi Widyawati.

Untuk diketahui, Widyawati merupakan mantan istri kedua dari Heru. Diduga, dalam kasus ini, rekening bank milik Widyawati dijadikan tempat untuk menampung suap yang diberikan Yusran kepada Heru.

Rahmad menambahkan, dengan pengajuan inquiry tersebut, diharapkan penyidik dapat mengungkap dari mana dan kemana saja kah uang hasil suap tersebut mengalir. Sehingga, nantinya penyidik dapat melakukan pemblokiran terhadap sejumlah rekening dan menyita sejunlah aset milik tersangka yang diduga terkait dengan kasus ini.

"Kami telah melakukan penyitaan terhadap brankas milik HS. Namun sampai saat ini belum berhasil dibuka," ujarnya.

Untuk diketahui, dugaan suap dalam kasus ini diberikan dalam rupa polis asuransi berjangka. Suap tersebut diduga diterima Heru dari Yusran Arief selama kurun 2005-2007, saat Heru menjabat sebagai Kepala Penindakan dan Penyidikan Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok di Jakarta Utara.

Jabatan Heru saat sebelum dinonaktifkan adalah sebagai Kasubdit Ekspor dan Impor Ditjen Bea Cukai. Dugaan suap dalam kasus ini diberikan dalam rupa polis asuransi berjangka.

Suap tersebut diduga diterima Heru dari Yusran Arief selama kurun 2005-2007, saat Heru menjabat sebagai Kepala Penindakan dan Penyidikan Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok di Jakarta Utara. Yusran diduga menyuap Heru sebagai upaya menghindarkan perusahaannya dari audit pajak.

Heru dan Yusran telah ditetapkan sebagai tersangka kasus ini, dengan sangkaan Pasal 3 dan 6 UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Heru dan Yusran juga dikenakan sangkaan Pasal 3 dan 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Merkeka dikenakan pula sangkaan Pasal 5 ayat 2, serta Pasal 12 huruf a dan b UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 dan 56 KUHP

BPK laporkan 42 temuan mengandung unsur pidana



Senin, 11 November 2013 15:47 WIB | 1864 Views
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo mengatakan pihaknya telah menyampaikan 14 laporan yang mengungkap 42 temuan kepada penegak hukum karena mengandung unsur tindak pidana.

"Total nilainya sekitar Rp3,8 triliun," katanya seusai diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, Jakarta, Senin.

Menurut dia, hasil pemeriksaan BPK tersebut melengkapi sejumlah temuan yang telah ada sebelumnya.

BPK sejak semester pertam 2009 hingga 2013 setidaknya telah menyampaikan 425 temuan kepada aparat penegak hukum dengan total nilai Rp40,522 triliun.

Dari 452 temuan tersebut, 60 temuan telah disampaikan kepada aparat kepolisian, 200 temuan kepada kejaksaaan, 165 temuan kepada Komisi Peberantsana Korupsi.

Terdapat 282 temuan atau 66,35 persen yang telah ditindaklanjuti yaitu 40 dilimpahkan ke penyidik, 86 temuan dilakukan penyelidikan, 32 temuan dalam tahap penyidikan, 22 dalam proses penuntutan dan persidangan.

Sebanyak 86 temuan telah diputus dan 14 temuan telah dihentiakn penyidikannya melalui surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Sementara itu, jajaran BPK dipimpin Ketuanya Hadi Poernomo dan didampingi oleh Wakil Ketua BPK Hasan Bisri, serta sejumlah Anggota BPK diantaranya Moermahadi Soerja Djanegara, Sapto Amal Damandari, Agus Joko Pramono dan Ali Masykur Musa bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden.

Hadi Poernomo dan jajarannya dalam kesempatan itu menyampaikan IHPS I 2013 secara langsung kepada Presiden.

Presiden dalam kesempatan itu, didampingi oleh Menteri koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Kemanan Djoko Suyanto dan Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi.

BPK selalu menyampaikan hasil pemeriksaaanya kepada instansi yang berwenang guna dapat dijadikan acuan koreksi dalam penggunaan anggaran. IHSP semester pertama 2013 sebelumnya telah disampaikan kepada DPR RI.

Editor: AA Ariwibowo
Senin, 11 November 2013 15:47 WIB | 1864 Views
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo mengatakan pihaknya telah menyampaikan 14 laporan yang mengungkap 42 temuan kepada penegak hukum karena mengandung unsur tindak pidana.

"Total nilainya sekitar Rp3,8 triliun," katanya seusai diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden, Jakarta, Senin.

Menurut dia, hasil pemeriksaan BPK tersebut melengkapi sejumlah temuan yang telah ada sebelumnya.

BPK sejak semester pertam 2009 hingga 2013 setidaknya telah menyampaikan 425 temuan kepada aparat penegak hukum dengan total nilai Rp40,522 triliun.

Dari 452 temuan tersebut, 60 temuan telah disampaikan kepada aparat kepolisian, 200 temuan kepada kejaksaaan, 165 temuan kepada Komisi Peberantsana Korupsi.

Terdapat 282 temuan atau 66,35 persen yang telah ditindaklanjuti yaitu 40 dilimpahkan ke penyidik, 86 temuan dilakukan penyelidikan, 32 temuan dalam tahap penyidikan, 22 dalam proses penuntutan dan persidangan.

Sebanyak 86 temuan telah diputus dan 14 temuan telah dihentiakn penyidikannya melalui surat perintah penghentian penyidikan (SP3).

Sementara itu, jajaran BPK dipimpin Ketuanya Hadi Poernomo dan didampingi oleh Wakil Ketua BPK Hasan Bisri, serta sejumlah Anggota BPK diantaranya Moermahadi Soerja Djanegara, Sapto Amal Damandari, Agus Joko Pramono dan Ali Masykur Musa bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden.

Hadi Poernomo dan jajarannya dalam kesempatan itu menyampaikan IHPS I 2013 secara langsung kepada Presiden.

Presiden dalam kesempatan itu, didampingi oleh Menteri koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Kemanan Djoko Suyanto dan Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi.

BPK selalu menyampaikan hasil pemeriksaaanya kepada instansi yang berwenang guna dapat dijadikan acuan koreksi dalam penggunaan anggaran. IHSP semester pertama 2013 sebelumnya telah disampaikan kepada DPR RI.

Editor: AA Ariwibowo

Bunda Putri sanggup datangkan Luthfi sekali perintah


Senin, 11 November 2013 16:59 WIB | 1248 Views
Jakarta (ANTARA News) - Dalam sidang perkara suap pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian dan tindak pidana pencucian uang terungkap bahwa Bunda Putri mampu mendatangkan terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq hanya dengan sekali perintah.

"Terdakwa (Luthfi) datang ke tempat Bunda Putri pagi menjelang siang, hari itu juga," kata anak Ketua Majelis Syuro Hilmi Aminudding, Ridwan Hakim, dalam sidang di pengadilan Tipikor Jakarta, Senin.

Luthfi, menurut Ridwan, langsung datang rumah Bunda Putri alias Non Saputri di Pondok Indah setelah Bunda Putri menelepon Ridwan pada 30 Januari, sehari setelah penangkapan orang dekat Luthfi, Ahmad Fathanah.

"Hebat sekali Bunda Putri ini sehingga presiden partai langsung datang pada hari yang sama," kata anggota majelis hakim I Made Hendra menanggapi kesaksian Ridwan tersebut.

Bunda Putri menurut Ridwan menelepon untuk untuk mengonfirmasi mengenai penangkapan Fathanah.

"Bunda bertanya mengenai apa yang ramai di TV, ustad Luthfi mengatakan itu tidak ada kaitan dengan partai maupun menteri," ungkap Ridwan.

Akhirnya karena permintaan Bunda Putri, Luthfi dan Ridwan pun pergi ke rumah Pondok Indah untuk memberikan penjelasan.

"Maksud pergi ke Pondok Indah adalah agar Luthfi datang untuk memberi klarifikasi tertangkapnya Ahmad (Fathanah), saat beliau sampai di rumah Bunda, ditanya ada apa yang ramai-ramai di TV? Lalu ustad menyampaikan bahwa (penangkapan) itu B to B tidak ada kaitan dengan menteri dan partai," jelas Ridwan.

Selain penjelasan ke Bunda Putri, Luthfi juga memberikan penjelasan mengenai penangkapan Fathanah kepada ayah Ridwan, Hilmi Aminuddin.

"Ustad Luthfi menelepon, karena ayah saya kebetulan ada jadwal konsultasi ke dokter, ustad menyampaikan tolong beri tahu bapak ada isu bahwa tiga tempat yang digerebek KPK: DPP (Dewan Pimpinan Pusat), rumah beliau dan rumah Sekjen, Pak Anis Matta, tapi sampai sekarang hanya ramai media saja, tidak ada KPK," cerita Ridwan.

Hal itu pun mengherankan hakim karena Luthfi lebih dekat dengan Hilmi dibanding Ridwan.

"Kenapa tidak langsung hubungi orang tua saudara?," tanya hakim Made Hendra.

"Saya tidak menanyakan hal itu, mungkin karena komunikasi dengan ayah saya susah, beliau dari dokter," jawab Ridwan.

Ridwan pun mengaku melaporkan kedatangan Luthfi dan Ridwan ke rumah Bunda Putri ke ketua majelis Syuro Hilmi Aminuddin, namun tidak ada respon dari Hilmi.

Terkait kasus ini, orang dekat Luthfi, Ahmad Fathanah sudah divonis 14 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan pidana karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang.

Sedangkan Luthfi didakwa melakukan korupsi dan TPPU berdasarkan pasal 12 huruf a atau pasal 5 ayat 2 jo pasal 5 ayat 1 atau pasal 11 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman penjara maksimal 20 tahun dan denda Rp1 miliar.

Selanjutnya pasal 3 ayat (1) huruf a, b, dan c UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang sebagaimana telah diubah dengan UU no 25 tahun 2003 tentang perubahan atas UU No 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang jo pasal 65 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun dan denda paling banyak Rp15 miliar.

Serta pasal 6 ayat (1) huruf b dan c UU No15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang sebagaimana telah diubah dengan UU No 25 tahun 2003 tentang perubahan atas UU No 15 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang mengenai orang yang menerima atau menguasai harta kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun penjara dan Rp15 miliar.

Friday, November 8, 2013

Kasus Suap Mantan Suami, Wabup Wonosobo Dipanggil Polisi


JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Bupati Wonosobo Maya Rosida akan diperiksa terkait kasus dugaan penerimaan suap untuk Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan senilai Rp 11,4 miliar. Kasus itu menjerat mantan suaminya, Heru Sulastyono, yang sampai sekarang adalah pejabat kepabeanan.

"Kami berharap beliau dapat hadir untuk dapat dimintai keterangan," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Arief Sulistyanto, di Gedung Bareskrim Polri, Jumat (8/11/2013). Dia mengatakan, surat panggilan untuk Maya sudah dikirimkan pada Selasa (5/11/2013).

Dugaan suap dalam kasus ini diberikan dalam rupa polis asuransi berjangka. Suap tersebut diduga diterima Heru dari Yusran Arief selama kurun 2005-2007, saat Heru menjabat sebagai Kepala Penindakan dan Penyidikan Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok di Jakarta Utara.

Yusran diduga menyuap Heru sebagai upaya menghindarkan perusahaannya dari audit pajak. Heru dan Yusran telah ditetapkan sebagai tersangka kasus ini, dengan sangkaan Pasal 3 dan 6 UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Heru dan Yusran juga dikenakan sangkaan Pasal 3 dan 5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. Merkeka dikenakan pula sangkaan Pasal 5 ayat 2, serta Pasal 12 huruf a dan b UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 dan 56 KUHP.

Maya diketahui telah berpisah secara agama dengan Heru sejak 2002. Saat ini Heru adalah Kasubdit Ekspor Impor Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Pada 2010 Maya terpilih menjadi Wakil Bupati Wonosobo mendampingi Kholiq Arif.

Diperiksa KPK, Dirut Pertamina Serahkan Dokumen Tambahan



JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan mengaku telah menyerahkan kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi dokumen tambahan yang diperlukan KPK terkait penyidikan kasus dugaan korupsi kegiatan hulu minyak dan gas yang melibatkan Kepala SKK Migas nonaktif Rudi Rubiandini. Karen mengaku menyerahkan dokumen tersebut selama pemeriksaannya sebagai saksi yang berlangsung sekitar lima jam.
“Jadi kami sudah menyampaikan dokumen tambahan yang dibutuhkan dan sudah kami jelaskan secara detail ke penyidik,” kata Karen di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Jumat (8/11/2013).
Selebihnya, Karen enggan mengungkapkan materi pemeriksaannya. Dia langsung berjalan ke mobil yang telah menunggunya. “Jadi kalau ada pertanyaan, mohon tanyakan ke penyidik,” kata Karen.
Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan lanjutan setelah Karen diperiksa selama hampir 10 jam sebagai saksi dalam kasus yang sama pada Kamis (7/11/2013). KPK memeriksa Karen karena dia dianggap tahu seputar kasus dugaan suap yang menjerat Rudi, Komisaris PT Kernel Oil Private Limited Simon G Tanjaya, dan pelatih golf Rudi yang bernama Deviardi alias Ardi.
Seusai diperiksa kemarin, Karen enggan mengungkapkan kepada wartawan materi pemeriksaannya. Dia hanya mengatakan telah menyampaikan semua keterangan sebagai saksi untuk Rudi. Karen juga tidak menjawab saat dikonfirmasi wartawan mengapa perusahaan minyak negara yang dipimpinnya itu tidak membeli kondensat Senipah bagian negara.
Dalam surat dakwaan Simon yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Kamis (7/11/2013), disebutkan bahwa Simon menyuap Rudi terkait pelaksanaan lelang terbatas minyak mentah dan kondensat bagian negara di SKK Migas. Antara lain dengan menyetujui Fossus Energy Ltd sebagai pemenang lelang terbatas kondensat Senipah bagian negara pada 7 Juni 2013 untuk periode Juli 2013. Rudi juga menyetujui Fossus Energy Ltd sebagai pemenang lelang terbatas minyak mentah Minas/SLG bagian negara pada 4 Juli 2013 untuk periode Agustus 2013.

Bareskrim sita brangkas milik Ditjen Bea Cukai



JAKARTA, KOMPAS.com — Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri menyita satu brankas milik Kepala Sub-Direktorat Ekspor dan Impor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan nonaktif, Heru Sulastyono, Jumat (8/11/2013). Heru merupakan salah satu tersangka dalam kasus dugaan penerimaan suap dalam bentuk polis asuransi senilai Rp 11,4 miliar.
Berdasarkan pantauan Kompas.com, brankas tersebut dibawa mobil Nissan Serena silver B 1595 QH. Brangkas tersebut diambil langsung oleh Kasubdit Money Laundring Dittipideksus Bareskrim Polri Kombes Agung Setya bersama dua penyidik di kediaman tersangka yang terletak di Perum Sutera Renata Alba Utama Nomor 3, Alam Sutera, Serpong, Tangerang, Banten.
Saat pengambilan, tampak tersangka Heru juga turut dibawa penyidik. Setibanya di Bareskrim Polri, brankas besi berwarna hitam berukuran 60 sentimeter x 60 sentimeter itu tampak berat. Empat orang petugas harus mengeluarkan brankas itu dari dalam mobil. Brangkas tersebut diangkat ke atas troli lalu dibawa ke ruang penyimpanan yang terletak di lantai satu gedung Bareskrim Polri.
Hingga saat ini, belum diketahui apakah isi brankas tersebut. "Kita berharap ada dokumen-dokumen penting di dalamnya," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Arief Sulistyanto di Bareskrim Polri, Jumat.
Seperti diberitakan, Heru diduga menerima suap sebesar Rp 11,4 miliar dari Komisaris PT Tanjung Jati Utama (TJU), Yusran Arif. Suap tersebut diberikan dalam kurun waktu 2005-2007 saat Heru masih menjabat sebagai Kepala Penindakan dan Penyidikan Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Penyidik masih mendalami motif pemberian suap itu. Diduga, suap tersebut diberikan sebagai upaya Yusran untuk menghindari audit pajak dari yang akan dilakukan Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu.
Bareskrim menangkap Heru dan Yusran secara terpisah di kediamannya masing-masing, Selasa (29/10/2013). Heru ditangkap di rumahnya sekitar pukul 01.00 WIB. Adapun Yusran ditangkap di rumahnya yang terletak di Jalan H Aselih RT 11 RW 01 No. 49, Ciganjur, Kelurahan Cipedak, Jagakarsa.
Heru Sulastyono dan Yusran Arif dijerat dengan pasal yang sama, yaitu Pasal 3, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 dan Pasal 3, Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Selain itu, keduanya juga disangka dengan Pasal 5 ayat (2), Pasal 12 Huruf a dan b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP.

KPK Bidik Pemberi dan Penerima Lain dalam Kasus Suap SKK Migas


JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih terus membidik pemberi dan penerima suap dalam dugaan kasus korupsi di Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Kasus ini menjerat Kepala SKK Migas nonaktif Rudi Rubiandini.
"Pengembangan kasus SKK Migas ini bukan dalam kaitan dengan parsial-parsial pertemuan begitu, tapi siapa penerima dan pemberi selain yang sudah ditetapkan menjadi tersangka," ujar Juru Bicara KPK Johan Budi di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (8/11/2013). Tidak tertutup kemungkinan, kata dia, akan dibuka penyelidikan baru bila memang ditemukan cukup bukti.

Selain Rudi, tersangka lain dalam kasus ini adalah petinggi PT Kernel Oil Private Limited Simon G Tanjaya dan pelatih golf Rudi bernama Deviardi alias Ardi. Simon didakwa memberi atau menjanjikan uang 200.000 dollar Singapura dan 900.000 dollar AS kepada Rudi melalui Ardi.

Dalam surat dakwaan, Simon diduga memberikan uang itu agar Rudi menggunakan jabatannya memengaruhi pelaksanaan lelang terbatas minyak mentah dan kondensat di SKK Migas. Di antara dugaan penggunaan pengaruh tersebut adalah hasil lelang terbatas kondensat Senipah pada 7 Juni 2013 untuk periode Juli 2013.

Dugaan lain, adalah pemenangan lelang terbatas minyak mentah Minas/SLG bagian negara pada 4 Juli 2013 untuk periode Agustus 2013. Kedua lelang dimenangi Fossus Energy Ltd.

Mengapa KPK Periksa Petinggi Pertamina?


JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memanggil beberapa pejabat dari PT Pertamina untuk diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi kegiatan hulu minyak dan gas. Terakhir adalah Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan yang diperiksa intensif pada Kamis (7/11/2013) selama sekitar 10 jam dan menjalani pemeriksaan lanjutan Jumat (8/11/2013) selama 5 jam. Apakah penyidikan KPK mengarah ke Pertamina?

"Kemungkinan itu bisa saja. Sampai hari ini sih, belum ada," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di kantornya, Jumat (8/11/2013).

Pertamina sendiri disebut dalam dakwaan Komisaris PT Kernel Oil Private Limited Simon Gunawan Tanjaya yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum KPK beberapa waktu lalu. Dalam dakwaan itu, Pertamina mengikuti rapat shipping coordination dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam proses awal pelelangan terbatas Kondensat Senipah Bagian Negara.

Hasil rapat tersebut menyebutkan bahwa Kondensat Senipah Bagian Negara dengan volume 300.000 barrel (bbl) tidak dapat diolah oleh kilang Pertamina karena ada keterbatasan penyerapan kilang Pertamina, kemudian akan memaksimalkan pendapatan negara melalui lelang untuk mendapatkan penawaran terbaik. Berdasarkan hasil rapat itu, pada 31 Mei 2013, Tim Penunjukan Penjual mengirimkan undangan lelang penunjukan penjual Kondensat Senipah Bagian Negara kepada 33 perusahaan yang tercatat sebagai registered bidder di SKK Migas, termasuk perusahaan yang diwakili petinggi PT Kernel Oil Widodo Ratanachaitong, yaitu Fossus Energy Ltd, Kernel Oil Pte Ltd, Fortek Thailand Co.Ltd, dan World Petroleum Energy, Pte, Ltd.

Akhirnya, pada 7 Juni 2013, Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini menyetujui perusahaan yang diwakili Widodo, yaitu Fossus Energy Ltd memenangkan lelang Kondensat Senipah periode Juli. Selanjutnya, pada 25 Juni 2013, kembali dilakukan rapat di antara pihak SKK Migas, Pertamina, dan KKKS. Hasil rapat menyimpulkan di antaranya masih ada Kondensat Senipah Bagian Negara yang tidak bisa diolah kilang Pertamina akibat keterbatasan penyerapan kilang dan kilang TPPI tidak dapat menyerap karena masih shut down, kemudian, meminimalkan stok Kondensat Senipah. Belum diketahui apakah hasil kesimpulan rapat itu menyalahi aturan atau disalahgunakan.

Namun, menurut Johan, pemeriksaan terhadap Karen tidak secara khusus mengenai pertemuan-pertemuan tersebut. "Pengembangan kasus SKK Migas ini bukan dalam kaitan dengan parsial-parsial pertemuan begitu, tapi terkait siapa penerima dan pemberi selain yang sudah ditetapkan sebagai tersangka," katanya.

Selain Karen, KPK pernah memeriksa pegawai kantor pusat PT Pertamina, yaitu Bimasakti dan Isdiana Karma Putri. Johan mengatakan, tidak tertutup kemungkinan ada penyelidikan baru dari hasil pemeriksaan itu. Selain itu, menurutnya, keterlibatan pihak lain akan terungkap dari proses persidangan.

"Nanti kita lihat saja dalam proses persidangan dan penyidikan. Masih terbuka kemungkinan ada penyelidikan baru terkait dengan SKK Migas," kata Johan.

Dalam kasus ini, Simon lebih dulu menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Simon didakwa memberi atau menjanjikan sesuatu berupa uang 200.000 dollar Singapura dan 900.000 dollar AS kepada penyelenggara negara, yaitu Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini.

Uang itu diberikan melalui pelatih golf Rudi bernama Deviardi alias Ardi. Pemberian uang tersebut dilakukan agar Rudi Rubiandini menggunakan jabatannya untuk melakukan perbuatan terkait pelaksanaan lelang terbatas minyak mentah dan Kondensat Bagian Negara di SKK Migas. Di antaranya ialah agar menyetujui Fossus Energy Ltd sebagai pemenang lelang terbatas Kondensat Senipah Bagian Negara pada 7 Juni 2013 untuk periode bulan berikutnya, kemudian menyetujui kargo pengganti minyak mentah Grissik Mix Bagian Negara untuk Fossus Energy Ltd periode Februari-Juli 2013, menggabungkan lelang terbatas Minyak Mentah Minas/SLC Bagian Negara dan Kondensat Senipah periode Agustus 2013. Selain itu ialah agar Rudi kembali menyetujui Fossus Energy Ltd sebagai pemenang lelang terbatas Minyak Mentah Minas dengan Kondensat Senipah.

Berkas perkara kasus pajak segera dilayangkan


Jumat, 8 November 2013 20:44 WIB | 1748 Views
Jakarta (ANTARA News) - Polri menyatakan siap melayangkan berkas perkara kasus suap pengurusan restitusi pajak yang melibatkan dua mantan pegawai pajak pada Selasa (12/11).

"Berkas perkara Totok dan Denok selesai, Selasa (12/11) sudah bisa kami kirimkan ke Kejaksaan Agung," kata Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Brigjen Pol Arief Sulistyanto di Jakarta, Jumat.

Dua mantan pegawai pajak, Denok Taviperiana (DT) dan Totok Hendriatno (TH) terbukti menerima suap sebesar Rp1,6 miliar dari Komisaris PT Surabaya Agung Industry Pulp and Paper (SAIPP), Berty (B) dalam pengurusan restitusi (pengembalian kelebihan pembayaran) pajak senilai Rp21 miliar.

Arief menjelaskan penyidik kini terus mendalami pidana korporasi SAIPP karena ada dugaan bahwa hasil restitusi pajak perusahaan itu digunakan untuk menyuap oknum pegawai Ditjen Pajak.

"Jadi perusahaannya diadukan sebagai pelaku tindak pidana. Jika terbukti, yang kena (pertanggungjawaban) nantinya adalah direksi atau komisaris perusahaan," jelasnya.

Penyidik juga tengah mempelajari dokumen perusahaan yang sebelumnya pengurusan restitusinya ditangani oleh dua mantan pegawai Ditjen Pajak itu.

"Wajib pajak (WP) mana lagi kira-kira yang ditangani oleh tersangka yang kemungkinan juga memperoleh restitusi pajak dengan cara serupa," katanya.

Seperti diberitakan sebelumnya, dua mantan pegawai pajak, Denok Taviperiana (DT) dan Totok Hendritatno (TH) dan Komisaris PT Surabaya Agung Industry Pulp and Paper (SAIPP), Berty (B) ditangkap Senin (21/10) di dua tempat berbeda.

Ketiganya ditahan di rumah tahanan Bareskrim Polri. Mereka ditangkap berdasarkan laporan Kementerian Keuangan kepada Bareskrim Polri pada 2011.

Ada pun sejumlah dokumen ekspor impor perusahaan, dokumen transaksi keuangan serta dokumen pemblokiran para tersangka kini menjadi bukti kasus tindak pidana pencucian uang itu.

Atas perbuatannya, ketiganya dijerat Pasal 5, 11, 12 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 3 dan 6 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.
(A062/I007)
Editor: Ruslan Burhani

Thursday, November 7, 2013

Kasus Hambalang, Choel Mallarangeng Disebut Minta "Fee"



JAKARTA, KOMPAS.com — Adik Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alfian Mallarangeng, yaitu Andi Zulkarnain Mallarangeng alias Choel disebut meminta fee sebesar 18 persen dari PT Adhi Karya. Hal itu terungkap dari dakwaan tersangka proyek Hambalang Deddy Kusdinar yang dibacakan secara bergantian oleh Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (7/11/2013).

"Dalam pertemuan itu Deddy meminta Teuku Bagus supaya PT Adhi Karya selaku calon pemenang lelang jasa konstruksi memberi fee sebesar 18 persen sebagaimana diminta Choel," kata Jaksa Atti Novianty saat membacakan dakwaan.

Pertemuan yang dimaksud adalah antara Deddy, Lisa Lukitawati, dan Muhammad Arifin dengan Kepala Divisi Konstruksi Jakarta PT Adhi Karya, Teuku Bagus, di Plaza Senayan. Teuku Bagus menyepakati permintaan Choel itu, dan akan memberikannya melalui Direktur PT Dutasari Citralaras, Mahfud Suroso.

"Teuku Bagus menyatakan bahwa realisasi fee akan diberikan melalui Mahfud Suroso," kata Jaksa.

Dalam dakwaan disebutkan, mulanya pada pertengahan tahun 2010, Deddy bersama Sekretaris Menpora Wafid Muharam menemui Choel di restoran Jepang, Hotel Grand Hyatt, Jakarta.

"Pada pertemuan itu Choel menyampaikan bahwa kakaknya, Andi Mallarangeng, sudah satu tahun menjabat tapi belum dapat apa-apa," kata Jaksa Atti.

Perkataan Choel kemudian diperjelas oleh staf khusus Menpora, Mohammad Fakhruddin. Fakhruddin menanyakan pada Wafid kesiapan memberi fee sebesar 18 persen untuk pekerjaan pembangunan proyek Hambalang. Wafid kemudian menyarankan agar Choel langsung bertemu saja dengan pihak PT Adhi Karya.

Setelah itu, pertemuan terjadi di ruangan Menpora. Pertemuan itu dihadiri Wafid, Deddy, Choel, Fakhruddin, dan Manajer Pemasaran PT Adhi Karya Arief Taufiqurrahman.

Jelang Pemilu, KPK Diminta Fokus Usut Korupsi Kehutanan



JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama dengan Human Right Watch (HRW) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi fokus mengusut masalah korupsi di sektor kehutanan. Ditengarai, korupsi kehutanan akan semakin merebak jelang pemilihan umum (pemilu) 2014.

“Calon dalam pemilu akan mencari duit dari alam yang juga akan menimbulkan konflik. Menjelang pemilu tahun depan, mereka akan mencari uang dari sumber daya alam,” kata Wakil Direktur Program HRW Joe Saunders di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (7/11/2013).

Menurut Anggota Badan Pekerja ICW Emerson Yuntho, salah satu modus korupsi yang biasa terjadi di sektor kehutanan berkaitan dengan pemberian izin pengelolaan hutan yang bermasalah.

“Soal praktek SKSHH (surat keterangan sahnya hasil hutan) bodon yang biasa dikeluarkan secara dokumentasi sah, tetapi secara perolehan tidak sah. Peran-peran ini bisa diambil KPK atau masyarakat sipil berkaitan informasi praktek-praktek ilegal tersebut,” ujarnya.

Emerson menilai, sejauh ini KPK belum maksimal dalam mengusut korupsi di sektor kehutanan. Lembaga antikorupsi itu dinilai belum menjerat semua aktor korupsi, terutama pihak korporasi.

“KPK jangan hanya menjerat aktor-aktor pelaku saja, tetapi juga harus bisa menjerat korporasi," sambung Emerson.

Berdasarkan catatan ICW, setidaknya ada tujuh kasus korupsi kehutanan dengan 26 tersangka yang ditangani KPK selama kurun waktu 2003-2012. Joe mengatakan, sejauh ini vonis terhadap pelaku korupsi kehutanan juga belum maksimal.

“Tren vonis kepada pelaku penjahat kehutanan 60 persen bebas di pengadilan, memprihatinkan, cukong banyak lari keluar negeri,” ujarnya.

Dia juga mengatakan bahwa Indonesia mengalami kerugian sekitar Rp 22 triliun pada 2011 akibat penyelewengan di sektor kehutanan. Kerugian itu muncul dari pajak yang tidak tertagih karena pembalakan liar dan subsidi yang tidak resmi. Angka kerugian ini didapat dalam kurun waktu setahun setelah sistem legalitas kayu diwajibkan bagi semua pelaku industri.

Kerugian ini, lanjut Joe, juga menunjukkan bahwa perjanjian perdagangan kayu antara Indonesia dan Uni Eropa tak cukup mencegah pembalakan liar dan mengatasi masalah korupsi dalam hal penerbitan lisensi kayu. Perjanjian ini mewajibkan kayu dari Indonesia yang diekspor ke Eropa untuk dilengkapi dengan sertifikat yang menunjukkan kayu tersebut diperoleh secara legal.

Anas Pernah Minta Nazaruddin Tak Kejar Proyek Hambalang



JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum pernah meminta mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin mundur dari proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang. Hal itu disampaikan Anas ketika bertemu Nazaruddin dan Direktur PT Dutasari Citralaras, Mahfud Suroso.  

"Mahfud melakukan pertemuan dengan Anas dan Nazaruddin. Saat itu Anas menyampaikan kepada Nazaruddin agar mundur dan tidak mengambil proyek konstruksi pembangunan P3SON," kata Jaksa Kadek Wiradana saat membacakan dakwaan tersangka Hambalang, Deddy Kusdinar, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (7/11/2013).

Permintaan Anas itu bermula ketika Staf Pemasaran Grup Permai Mindo Rosalina Manulang meminta PT Adhi Karya mundur dari proyek Hambalang. Mindo dan Nazaruddin ingin mengerjakannya dengan membawa PT Duta Graha Indah dan mengatakan sudah keluar banyak uang untuk proyek Hambalang. Permintaan itu disampaikan langsung kepada Manajer Pemasaran PT Adhi Karya Arief Taufiqurrahman ketika bertemu di Hotel Darmawangsa, Jakarta, pada Agustus 2010.

"Arief melaporkan hal tersebut ke Teuku Bagus. Karena masalah ini, Teuku Bagus meminta tolong Mahfud Suroso karena Mindo masih mengganggu," kata jaksa.

Mahfud kemudian meminta bantuan Anas dan bertemu saat acara buka puasa di rumah Anas. Saat itulah Anas meminta Nazaruddin mundur dari proyek.

Setelah pertemuan itu, Mahfud menyampaikan kepada Teuku Bagus bahwa masalah tersebut telah selesai saat acara buka puasa di rumah Anas. Dalam kasus ini Mahfud juga ditetapkan sebagai tersangka. Sementara itu, Anas menjadi tersangka karena diduga menerima pemberian hadiah atau janji terkait proyek Hambalang.

Putusan Akil soal Hak Pilih di Pilkada Bali Diprotes


JAKARTA, KOMPAS.com – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar disebut pernah membuat dalil putusan yang melanggar prinsip dan azas dasar Pemilu. Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilkada Provinsi Bali tahun 2013 yang tertuang dalam perkara nomor 62/PHPU.D-XI/2013, Akil bersama rekan sepanelnya, Maria Farida Indriarti dan Anwar Usman, mengeluarkan putusan yang mengizinkan pemilih untuk menggunakan hak pilihnya lebih dari satu kali atau dapat diwakilkan.

Putusan tersebut terungkap setelah kelompok yang menamakan diri sebagai Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Demokrasi mendatangi Gedung MK, Jakarta, Kamis (7/11/2013), untuk mengajukan protes. Mereka menilai putusan tersebut sangat berbahaya bagi kelangsungan pemilu apabila tidak ditindaklanjuti.

“Putusan tersebut nyata-nyata bertentangan dengan prinsip satu orang satu suara, sebagai prinsip yang fundamental dalam pemilu demokratis,” kata salah satu Anggota Koalisi Yaser Kurniawan.

Anggota Koalisi lainnya, Effendy Gazalli mendesak putusan perkara ini dicabut. Menurutnya, putusan ini sangat menciderai asas pemilu dan demokrasi. Setelah kisruh dalam penetapan DPT, lanjut dia, pemilu 2014 tidak boleh dirusak oleh hal-hal seperti ini.

“Kalau orangnya sudah diberhentikan dengan tidak hormat, maka kami minta putusannya juga dicabut dengan tidak hormat juga,” ujar Effendy.

Pakar Komunikasi Politik itu juga menilai, meskipun merupakan putusan yang dibuat oleh Akil, namun putusan ini menjadi tanggung jawab Mahkamah Konstitusi secara lembaga. Oleh karena itu, hakim-hakim lain serta seluruh elemen Mahkamah Konstitusi harus bertanggungjawab dengan putusan ini.

Yaser dan Effendy beserta rombongan tiba di Gedung MK sekitar pukul 15.00 WIB. Mereka langsung disambut oleh staf kesekjenan, namun upaya mereka menemui Ketua MK Hamdan Zoelva dan Wakil Ketua MK Arief Hidayat gagal karena kedua pemimpin baru MK tersebut sedang memiliki jadwal yang padat.

MPR: PNS Sulit Dapat Pensiun, Kok Koruptor Gampang?



JAKARTA, KOMPAS.com – Wakil Ketua Majelis Pemusyawaratan Rakyat Melani Leimena Suharli menilai pemberian dana pensiun bagi koruptor adalah sebuah pengkhianatan. Pasalnya, seorang pegawani negeri sipil (PNS) harus mengabdi puluhan tahun agar memeroleh dana pensiun.

“Ini tidak adil. Dana pensiun itu kan diberikan sebagai penghargaan jasa. PNS saja harus puluhan tahun bekerja, kenapa koruptor mudah sekali diberikan?” ujar Melani di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (7/11/2013).

Politisi Partai Demokrat itu mendukung agar pemberian dana pensiun DPR harus diperketat. Menurut Melani, selama ini koruptor masih mendapat keleluasaan mendapatkan kekayaan. Padahal, koruptor seharusnya diberikan efek jera.

“Aturan ini harus segera direvisi, karena sudah mengkhianati masyarakat,” ungkap Melani.

Dana Pensiun

Para anggota DPR yang dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi ternyata masih mendapatkan dana pensiun. Dana pensiun itu didapat jika mereka diganti atau mengundurkan diri. Para mantan anggota dewan koruptor yang masih menerima dana pensiun itu yakni Muhammad Nazaruddin, Asad Syam (Partai Demokrat), Wa Ode Nurhayati (Partai Amanat Nasional), dan Panda Nababan (PDI Perjuangan).

Tak hanya mereka yang terkena kasus korupsi, anggota dewan yang mundur karena persoalan etika pun mendapat dana pensiun. Misalnya, mantan Ketua Fraksi Partai Gerindra Widjono Hardjanto yang hampir mendapat sanksi pemberhentian dari BK DPR karena masalah absensi dan politisi PKS Arifinto yang mundur setelah tertangkap kamera menonton video porno saat rapat paripurna.

Dana pensiun bagi anggota Dewan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Bekas Anggota Lembaga Tinggi Negara.

Selain itu, uang pensiun tersebut juga diberikan kepada anggota dewan yang diganti atau mundur sebelum masa jabatannya habis. Hal tersebut diatur dalam UU MPR DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Uang pensiun bagi anggota DPR berjumlah 6-75 persen dari gaji pokok yang diterimanya selama aktif menjadi anggota DPR.

Besaran uang pensiun juga didasarkan pada lamanya masa jabatan seorang anggota DPR. Untuk dana pensiun bagi anggota dewan yang berhenti sebelum masa tugasnya selesai, baik karena cuti maupun diganti, Sekretariat Jenderal DPR akan melihat terlebih dulu alasan penggantian itu.

“Jika diberhentikan tidak hormat baru tidak mendapat dana pensiun,” ujar Sekretaris Jenderal Winantuningtyastiti.

Dirut Pertamina penuhi panggilan KPK


Kamis, 7 November 2013 11:46 WIB | 1923 Views
Jakarta (ANTARA News) - Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberikan keterangan sebagai saksi atas kasus suap kegiatan SKK Migas dengan tersangka Rudi Rubiandini.

"Saya datang ke KPK hari ini untuk memenuhi undangan bahwa saya diminta untuk memberikan keterangan sebagai saksi untuk Bapak Rudi Rubiandini," kata Karen sesaat setelah tiba di Gedung KPK di Jakarta, Kamis.

Karen tiba di Gedung KPK sekitar pukul 09.35 WIB, didampingi ajudannya.

Sebelumnya KPK telah menjadwalkan pemeriksaan kepada Karen pada Senin (4/11) lalu, namun yang bersangkutan berhalangan hadir dengan alasan telah memiliki agenda lain yang tidak bisa ditinggalkan.

KPK sebelumnya juga pernah memeriksa pegawai kantor pusat PT Pertamina Isdiana Karma Putri, Bhimasakti dan Isdiana Karma Putri.

Sebelumnya, KPK menetapkan mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi di SKK Migas berdasarkan operasi tangkap tangan (OTT) pada 13 Agustus 2013 malam.

Dalam OTT tersebut, KPK menyita barang bukti 400 ribu dolar AS yang diberikan oleh Komisaris PT Kernel Oil Private Limited Simon Gunawan Tanjaya melalui pelatih golf Rudi, Deviardi yang juga sudah ditangkap KPK.

Pemberian tersebut diduga merupakan pemberian kedua, sedangkan pemberian pertama dilakukan sebelum Lebaran dengan uang sejumlah 300 ribu dolar AS.

KPK selanjutnya menggeledah sejumlah tempat terkait kasus tersebut yaitu ruang Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian ESDM dan menyita uang 200 ribu dolar AS, selanjutnya di rumah Rudi di Jalan Brawijaya disita uang senilai 127 ribu dolar Singapura, 90 ribu dolar AS dan motor berkapasitas mesin besar merek BMW.

Dalam pengembangannya KPK juga menemukan uang 350 ribu dolar AS di kotak penyimpanan milik Rudi di Bank Mandiri, 60 ribu dolar Singapura, 2 ribu dolar AS dan juga emas kepingan dengan nilai 180 gram dari brankas milik Rudi di kantornya di gedung SKK Migas.

KPK juga telah menyita tanah dan bangunan yang diduga milik Rudi Rubiandini di Jalan Haji Ramli No 13, Tebet, Menteng Dalam, Jakarta Selatan serta rumah di Jalan Anatomi Kelurahan Cigadung, Bandung, Jawa Barat pada Selasa (29/10).

Editor: Heppy Ratna

Monday, November 4, 2013

Fathanah Terbukti Terima Suap Bersama Luthfi Hasan



JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menilai Ahmad Fathanah terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima suap bersama-sama mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebesar Rp 1,3 miliar dari Direktur Utama PT Indoguna Utama.

"Dari fakta-fakta hukum terdakwa, atas permintaan, terdakwa menerima uang masing-masing Rp 300 juta dan Rp 1 miliar. Hal tersebut merupakan pemerimaan realisasi dari Rp 40 miliar yang merupakan janji Maria Elizabeth," kata Hakim I Made Hendra dalam sidang vonis Fathanah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (4/11/2013).

Hakim menilai terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 12 huruf a Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagamana diubah Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Tipikor jo pasal 55 ayat 1 ke1 KUHPidana.

Hakim menjelaskan, Fathanah awalnya mempertemukan teman dekatnya yang merupakan mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera uthfi dan Direktur Utama PT Indoguna Utama, Maria Elizabeth Liman.

Dalam pertemuan itu, Maria meminta Luthfi membantu memuluskan agar Menteri Pertanian Suswono memberikan rekomendasi agar PT Indoguna Utama mendapat tambahan kuota daging sapi sebanyak 8000 ton.

Luthfi kemudian menyanggupi akan mempertemukan Maria dengan Suswono. Kemudian Fathanah meminta agar disediakan akomodasi untuk pertemuan di Medan. Atas permintaan Fathanah, Maria memberikan Rp 300 juta.

Fathanah juga menelepon Luthfi untuk menanyakan kapan akan mempertemukan Maria dan Suswono. Fathanah menyampaikan bahwa Maria akan memberikan fee sebesar Rp 5.000 per kilogram daging apabila berhasil memberikan tambahan kuota sebanyak 8.000 ton sehingga total fee yang akan diterima Rp 40 miliar.

Selain telah menerima Rp 300 juta, Fathanah juga telah menerima Rp 1 miliar dari Maria untuk kelancaran pengurusan penambahan kuota impor daging sapi.

Hakim Djoko Subagyo menambahkan bahwa Fathanah terbukti melakukan perbuatan tindak pidana korupsi bersama Luthfi yang selaku penyelenggara negara. Ketika menerima uang Rp 1 miliar dari Maria, Fathanah menelepon Luthfi bahwa ada hal yang menguntungkan.

"Uang Rp 1 miliar telah diterima terdakwa untuk menggerakan Luthfi membantu memperoleh rekomendasi penambahan kuota impor daging sapi untuk PT Indoguna Utama. Karena Maria mengetahui Luthfi sebagai kader PKS  anggota DPR dan mengetahui mau memberikan penambahan kuota," kata hakim.

Saat ini, sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Nawawi Pomolango masih membacakan pertimbangan dalam tindak pidana pencucian uang yang dilakukan Fathanah.

Fathanah Divonis 14 Tahun Penjara


JAKARTA, KOMPAS.com — Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis 14 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan kepada Ahmad Fathanah. Putusan itu dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (4/11/2013) malam.

"Memutuskan pidana 14 tahun dan denda 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar dengan mengganti kurungan 6 bulan penjara," ujar Ketua Majelis Hakim Nawawi Pomolango.

Hakim menilai Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Tipikor jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHPidana. Juga terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dakwaan kedua, Pasal 3 Undang-Undang nomor 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Fathanah dianggap terbukti menerima uang Rp 1,3 miliar dari Direktur PT Indoguna Utama terkait kepengurusan kuota impor daging sapi. Hakim menjelaskan, Fathanah awalnya mempertemukan teman dekatnya yang merupakan mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi dan Direktur Utama PT Indoguna Utama, Maria Elizabeth Liman.

Dalam pertemuan itu, Maria meminta Luthfi membantu memuluskan agar Menteri Pertanian Suswono memberikan rekomendasi agar PT Indoguna Utama mendapat tambahan kuota daging sapi sebanyak 8.000 ton.

Luthfi kemudian menyanggupi akan mempertemukan Maria dengan Suswono. Kemudian Fathanah meminta agar disediakan akomodasi untuk pertemuan di Medan. Atas permintaan Fathanah, Maria memberikan Rp 300 juta.

Fathanah juga menelepon Luthfi untuk menanyakan kapan akan mempertemukan Maria dan Suswono. Fathanah menyampaikan bahwa Maria akan memberikan fee sebesar Rp 5.000 per kilogram daging apabila berhasil memberikan tambahan kuota sebanyak 8.000 ton sehingga total fee yang akan diterima Rp 40 miliar.

Selain telah menerima Rp 300 juta, Fathanah juga telah menerima Rp 1 miliar dari Maria untuk kelancaran pengurusan penambahan kuota impor daging sapi.

Hakim Djoko Subagyo menambahkan bahwa Fathanah terbukti melakukan perbuatan tindak pidana korupsi bersama Luthfi selaku penyelenggara negara.

Pencucian uang

Fathanah terbukti membayarkan, mentransfer, membelanjakan, dan menukarkan mata uang dengan menggunakan dua rekeningnya dan uang tunai dengan seluruh transaksi mencapai Rp 38,709 miliar pada Januari 2011-2013.

Namun, Fathanah tidak terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dakwaan ketiga, Pasal 5 UU nomor 8 tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Dalam memutuskan perkara ini terjadi dissenting opinion atau berbeda pendapat antara dua hakim anggota. Hakim menilai jaksa Penuntut Umum KPK tidak berwenang menuntut pencucian uang.

Vonis Fathanah lebih rendah dari tuntutan Jaksa yaitu 17,5 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan penjara untuk tindak pidana. Sementara itu, dalam kasus tindak pidana pencucian uang, Fathanah didenda Rp 1 miliar subsider 1 tahun 6 bulan kurungan.

Kasus Restitusi Pajak, Polri Kantongi Dokumen Transaksi Pajak Totok dan Denok


JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dittipideksus) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Brigjen Pol Arief Sulistyanto mengaku, pihaknya telah mengantongi dokumen transaksi pajak dari Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa Gatot Subroto Jakarta. Dokumen tersebut terkait penanganan sejumlah transaksi pajak yang ditangani mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Denok Taviperiana dan Totok Hendrianto.

“Kemarin kami menerima penyerahan dokumen dari Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa Gatot Subroto. Dokumen tersebut diberikan setelah mendapat izin dari Kementerian Keuangan,” kata Arief di Gedung Bareskrim Polri, Senin (4/11/2013).

Seperti diketahui, Denok dan Totok merupakan mantan pegawai pajak yang ditetapkan Dittipideksus Bareskrim Polri sebagai tersangka dalam kasus penerimaan suap sebesar Rp 1,6 miliar. Suap tersebut diduga diberikan Berty, Komisaris PT Surabaya Agung Industry Pulp and Papper (SAIPP), untuk penanganan kepengurusan restitusi pajak senilai Rp 21 miliar.

Saat ini, Berty telah ditetapkan sebagai tersangka bersama dengan Denok dan Totok. Ketiganya ditahan di Rutan Bareskrim Polri.

Melalui dokumen tersebut, penyidik akan mendalami adanya dugaan pelanggaran lain yang mungkin dilakukan Denok dan Totok selama masih menjabat sebagai pegawai pajak. Pasalnya, selama menjabat sebagai pegawai pajak, keduanya tak hanya mengurusi pajak PT SAIPP saja.

“Penyidik mengembangkan kemungkinan adanya tindak pidana lain karena selama bekerja sebagai pegawai pajak, kedua tersangka juga memeriksa wajib pajak lain,” kata Arief.

Sebelumnya, Dittipideksus Bareskrim Polri menangkap Berty, Denok, dan Totok di kediamannya masing-masing, Senin (21/10/2013). Akibat perbuatannya, ketiganya diancam akan dijerat dengan Pasal 5, 11, dan 12 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) serta Pasal 3 dan 6 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).