Monday, January 27, 2014

Dieksekusi Kejaksaan, Eks Anggota DPRD Ini Melawan


PINRANG, KOMPAS.com - Kejaksaan Negeri Kabupaten Pinrang, Parepare, Sulawesi Selatan, akhirnya menjemput paksa Ir Andi Wahyudi Etong, mantan anggota DPRD Pinrang periode 2004-2009 lalu, dieksekusi setelah sempat menjadi buron selama sebulan. Eksekusi menyusul turunnya putusan banding dari Mahkamah Agung (MA) atas kasus proyek pengembangan hutan tanaman pemanfaatan potensi sumber daya Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pinrang tahun 2007.

Saat itu, Wahyudi masih aktif sebagai anggota legislatif Wahyudi sempat melakukan perlawanan saat hendak dieksekusi pihak Kejaksaan. Eksekusi sempat mendapat perhatian warga setempat.

Wahyudi dieksekusi karena terlibat kasus proyek pengadaan 400.000 bibit mengkudu ratu dengan anggaran sebesar Rp 200 juta. Kasus tersebut menyeret dua terpidana, yaitu Wahyudi Etong dan Urbanus yang saat itu menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dari dinas bersangkutan.

Kepala Kejaksaan Negeri Pinrang, N Rahmat SH melalui Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus), Parawansa SH yang dikonfirmasi di ruang kerjanya mengatakan, eks anggota DPRD yang terlibat proyek tersebut, diamankan di Polres Pinrang.

"Awalnya kita telah berupaya melakukan eksekusi damai, melalui surat panggilan kepada terpidana sebanyak tiga kali. Tapi tidak direnspons yang bersangkutan," katanya, Senin (27/1/2014).

Dalam amar putusan kasasi, MA menjatuhkan vonis sesuai tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Pinrang terhadap terpidana, yaitu kurungan penjara selama 18 bulan (1 tahun 6 bulan) dan denda pengembalian kerugian negara sebesar Rp 50 juta subsidier 3 bulan penjara.

"Setelah mendapat informasi pasti keberadaan terpidana, tim kami langsung bergerak dan melakukan eksekusi. Apa yang kami lakukan ini sebatas menjalankan tugas selaku aparat negara sesuai Undang-undang," katanya.

Di tingkat Pengadilan Negeri (PN) Pinrang, Wahyudi Etong divonis 12 bulan penjara (1 tahun) dengan denda Rp 50 juta subsider 1 bulan penjara. Terpidana kemudian banding dan Pengadilan Tinggi (PT) Makassar menjatuhkan vonis yang sama dengan PN Pinrang. Putusan Kasasi MA yang bertanggal 9 Januari 2013.

"Diterima pihaknya pada tanggal 6 Desember 2013 kemarin dan pada hari itu juga langsung ditindaklanjuti dengan turunnya surat perintah eksekusi dari Kajari Pinrang. Terkait Urbanus, rekan terpidana Wahyudi Etong pada kasus yang sama, hingga saat ini putusan kasasi dari MA belum turun," papar Parawansa.

Penulis: Kontributor Pare-Pare, Darwiaty Ambo Dalle
Editor : Farid Assifa

Pimpinan Pengadilan Tipikor Akan Adili Hakim Penerima Suap



SEMARANG, KOMPAS.com - Sidang dua hakim tersangka kasus dugaan penyuapan terkait penanganan perkara korupsi, Asmadinata dan Pragsono, bakal dipimpin langsung oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, Jawa Tengah.
Juru bicara Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Endang Sri Widayanti di Semarang seperti dikutip Antara, Senin (27/1/2014), mengatakan, sidang perdana kasus tersebut akan digelar pada 3 Februari 2014.
Ia menjelaskan, Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Mariyana akan mengadili perkara dengan terdakwa Pragsono. Adapun Asmadinata akan diadili dalam sidang yang dipimpin Dwiarso Budi Santiarto yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang.
"Jadwal sidang sudah ditetapkan, termasuk komposisi hakim yang akan menyidangkannya," ucapnya.
Berkas perkara dugaan penyuapan hakim yang menangani kasus korupsi pemeliharaan mobil dinas di DPRD Kabupaten Grobogan itu sudah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor pada 22 Januari 2014.
Selain berkas yang sudah dilimpahkan, kedua tersangka kasus dugaan suap tersebut juga sudah dipindahkan tempat penahanannya ke Lembaga Pemasyarakatan Kedungpane Semarang.
Asmadinata dan Pragsono merupakan tersangka kasus dugaan penerimaan suap terkait penanganan perkara korupsi pemeliharaan mobil dinas di DPRD Kabupaten Grobogan. Dalam kasus tersebut, pengadilan telah menghukum Kartini Marpaung dan Heru Kisbandono yang dulunya juga merupakan hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang.
Kartini, Asmadinata, dan Pragsono merupakan hakim yang menyidangkan kasus korupsi pemeliharaan mobil dinas di DPRD Kabupaten Grobogan.

KPK periksa Wakil Ketua PPATK terkait Century


Senin, 27 Januari 2014 10:50 WIB | 1846 Views
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Agus Santoso terkait kasus dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century dan penetapan bank tersebut sebagai bank gagal berdampak sistemik.

"Nanti setelah keluar ya," kata Agus menanggapi pertanyaan wartawan saat tiba di gedung KPK Jakarta, Senin.

Agus diperiksa dalam kapasitasnya sebagai mantan Deputi Direktur Departemen Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat Bank Indonesia (BI).

Ia menjadi saksi untuk tersangka Budi Mulya, mantan Deputi Bidang IV Pengelolaan Devisa BI yang sudah ditahan sejak 15 November 2013.

KPK hari ini juga menjadwalkan pemeriksaan mantan Direktur Hukum BI Ahmad Fuad, pegawai BI Rudiatin S Djadmiko dan Doddy Budi Waluyo, mantan pegawai BI Eddy Sulaiman Yusuf dan Rusli Simanjuntak, serta Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah terkait kasus Century.

Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan kerugian negara akibat pemberian FPJP dari Bank Indonesia ke Bank Century mencapai Rp689,3 miliar dan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik menyebabkan kerugian negara sampai Rp6,76 triliun.

Sebenarnya ada pihak lain yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum dalam kasus ini, mantan Deputi Bidang V Pengawasan BI Siti Chodijah Fajriah. Namun saat ini Fajriah masih sakit sehingga belum bisa dimintai pertanggungjawaban pidana.

Bank Century mendapatkan dana talangan hingga Rp6,7 triliun pada 2008 meski awalnya tidak memenuhi kriteria mendapatkan FPJP.

Editor: Maryati

KPK sita delapan berkas dari rumah Airin


Senin, 27 Januari 2014 16:06 WIB | 1577 Views
Tangerang (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita delapan berkas dari kediaman Wali Kota Tangerang, Airin Rachmi Diany, di Cluster Narada Alam Sutera Serpong.

"Ada delapan berkas yang disita KPK dari hasil penggeledahan di dalam rumah tersebut," kata TB Sukatma selaku kuasa hukum Tubagus Chaeri Wardana yang juga suami Airin Rachmi Diany di Tangerang, Senin.

Dijelaskannya, tidak banyak berkas yang disita penyidik dari hasil penggeledahan. Hanya beberapa dokumen yang dinilai penting.

Berkas hasil sitaan penyidik KPK tersebut, dibawa dan dimasukan ke dalam kardus dan sebuah koper. "Jadi, isi di dalam koper itu adalah beberapa dokumen yang berisi delapan poin," kata TB Sukatma.

Mengenai kaitan penggeledahan, TB Sukatma menjelaskan bila hal itu terkait kasus yang menimpa Tubagus Chaeri Wardana. "Penggeledahan ini berkaitan dengan kasus yang menimpa pak Wawan, bukan bu Airin," tegasnya.

Perlu diketahui, sejumlah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan penggeledahan di kediaman Wali Kota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany di Cluster Narada Alam Sutera Serpong, Senin. Penyidik datang sekitar pukul 12.00 WIB menggunakan minibus dengan nomor polisi B 7355 KAA dan keluar pukul 15.00 WIB dengan membawa sejumlah dokumen.

Berdasarkan informasi Penyidik KPK melakukan penggeledahan di beberapa lokasi terkait dengan dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) atas nama tersangka TCW, adik Gubernur Banten Ratu Atut.

Lokasi yang digeledah tersebut di antaranya Rumah TCW (Tubagus Chaery Wardana-red) Jl Denpasar IV No. 35 Jaksel, Jl Denpasar II No. 43 Jaksel, Rumah Dinas Walkot Tangsel Jl Sutera Narada V No. 16 Alam Sutera - Tangsel, Rumah Yayah Rodiah Kompl. Grand Serang Asri Blok A3-4 , Cipocok Jaya-Serang, Kompl. Griya Serang Asri K5 No. 7 Serang - Banten, Rumah Dadang Prijatna Taman Graha Asri Blok H5-9, Serang - Banten dan Rumah Dadang Sumpena Taman Graha Asri Blok CC5 no.13.
Editor: Fitri Supratiwi

Saturday, January 18, 2014

Bupati Basuri Tjahaja Purnama bantah terima suap


Jumat, 17 Januari 2014 21:17 WIB | 3162 Views
Mangggar, Belitung Timur (ANTARA News) - Bupati Belitung Timur Basuri Tjahaja Purnama membantah keras pemberitaan yang menyebutkan dia menerima suap Rp400 juta terkait permohonan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diajukan PT Mulya Artha Jaya Utama (MAJU).

"Jangankan Rp400 juta, satu rupiah pun saya tidak menerima uang terkait permohonan IUP yang diajukan Iwan Arif, pengusaha PT MAJU," ujar Basuri di Manggar, Jumat.

Ia juga membantah keras pernah menjanjikan dana sebesar Rp400 juta itu jika diterimanya, maka segala urusan IUP akan diselesaikan secepatnya.

"Saya tidak mau nama baik saya tercoreng hanya karena uang segitu," katanya.

Terkait biaya umrah sebesar Rp250 juta untuk sejumlah orang, ia juga menyatakan tidak pernah menerima uang tersebut.

"Uang itu tidak pernah saya terima, tapi langsung diberikan ke biro perjalanan yang mengurusnya. Sementara kepada mereka yang akan melaksanakan umrah juga sudah saya jelaskan bahwa PT MAJU yang menanggung seluruh pembiayaan," jelasnya.

Kegiatan umrah itu, menurut dia, tidak berbeda dari program Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan untuk masyarakat di sekitarnya.

"Dana dari PT MAJU untuk umrah itu bukanlah sesuatu imbalan dari perusahaan untuk bupati, apalagi harus dikait-kaitkan dengan proses perizinan usaha," tegasnya.

Sebagai warga negara yang baik, kakak kandung Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama itu menyatakan akan menghormati hukum dan berharap proses hukum berlangsung transparan.

Karena menyangkut nama dirinya dan keluarga, Basuri berencana melaporkan pihak perusahaan ke polisi.

Sebelumnya, Polda Bangka Belitung telah memeriksa Basuri Tjahaja Purnama terkait laporan PT MAJU.

Investor yang berencana membuka tambang bijih timah di Belitung Timur itu melaporkan bupati karena diduga telah melakukan penipuan dalam proses pengajuan IUP, mengingat izin tidak juga kunjung selesai sementara biaya yang dikeluarkan perusahaan sudah cukup banyak. 
Editor: Jafar M Sidik

Friday, January 17, 2014

Unair bantah terlibat kasus Anas


Jumat, 17 Januari 2014 13:46 WIB | 1670 Views
Surabaya (ANTARA News) - Pihak Universitas Airlangga (Unair) membantah keterlibatan dalam salah satu dari tiga kasus gratifikasi oleh mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum.

"Kasus Anas yang dikaitkan dengan Unair adalah kasus gratifikasi pengadaan alat laboratorium kesehatan," kata Kepala Pusat Informasi dan Humas (PIH) Unair Dr MG Bagus Ani Putra S.Psi di Surabaya, Jumat.

Namun, tender dalam pengadaan alat-alat laboratorium kesehatan itu dilakukan oleh Kemenkes, sedangkan Unair hanya menerima dalam bentuk barang untuk Rumah Sakit Penyakit Tropis dan Infeksi (RSPTI).

"Itu kasus tahun 2011 dan Unair tidak terlibat dalam pengadaannya, karena tender untuk pengadaan dilakukan Kemenkes. Jadi, posisi Unair dalam kasus itu hanya saksi," katanya.

Apalagi, katanya, posisi Unair juga sangat pasif, karena alat-alat yang diterima itu bukan pengajuan Unair, melainkan hibah Kemenkes karena Unair ditunjuk sebagai "National Health Center".

"Kalau pun alat-alat itu disita KPK, kami juga tidak ada masalah. Hanya saja, kalau alat-alat itu dibutuhkan RSPTI, maka kami akan mengajukan permohonan pinjam-pakai," katanya.

Bahkan, katanya, jika Unair diperiksa KPK terkait alat-alat itu, maka Unair juga siap, tapi pemeriksaan itu sifatnya sebatas saksi, seperti pemeriksaan Rektor Unair terkait tersangka M Nazarudin.

"Pak Rektor memang baru saja diperiksa KPK sebagai saksi dalam kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan M Nazarudin terkait RS DGI," katanya.

Tentang posisi Anas Urbaningrum sebagai alumni Fisip Unair, Bagus menyatakan Anas memang merupakan alumni terbaik Fisip Unair dari angkatan tahun 1988.

"Kami menyesalkan hal itu bila memang Anas terbukti bersalah, tapi kami tidak perlu meminta maaf, karena kasus Anas itu berbeda dengan kasus Rudi Rubiandini, sebab Rudi itu guru besar, sedangkan Anas hanya alumni, jadi perbuatan Anas itu bersifat individu," katanya.

Selain itu, Anas juga bukan hanya alumni Unair. "Anas memang alumni Unair untuk S1, tapi dia alumni UI untuk S2 dan dia juga alumni UGM untuk S3. Jadi, kalau alumni itu di luar kontrol institusi, bahkan alumni juga sangat ditentukan lingkungan," katanya.

Namun, kasus yang menimpa Anas itu memberi hikmah kepada Unair untuk melakukan pembenahan organisasi alumni Unair di berbagai fakultas yang tersebar di berbagai daerah agar "Excellent with Morality" yang menjadi komitmen Unair juga menjadi komitmen alumni.
Editor: Fitri Supratiwi

KPK geledah kantor Kementerian ESDM


Jumat, 17 Januari 2014 15:21 WIB | 3474 Views
Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi mendatangi Kantor Kementerian ESDM di Jalan Merdeka Selatan Nomor 18 Jakarta Pusat dan menggeledah ruangan di kantor tersebut.

Para penyidik tiba Jumat sekitar pukul 14.30 WIB dan langsung menuju lantai enam Gedung Sekretariat Jenderal Kementerian ESDM.

Lantai enam merupakan ruang Biro Keuangan.

Para penyidik dengan memakai rompi bertuliskan KPK terlihat membawa dua koper besar berwarna merah beserta kereta dorongnya.

Tampak pula mendampingi sejumlah anggota kepolisian.

Saat ditanya penggeledahan terkait kasus dengan tersangka mantan Sekjen Kementerian ESDM Waryono Karno, salah seorang penyidik tidak bersedia memberikan keterangan.

"Mau ke lantai 6," kata salah satu penyidik singkat sebelum naik lift.

Wartawan yang ingin menuju ke ruang lantai enam dilarang sejumlah petugas satuan pengamanan Kementerian ESDM.

Pada Kamis (16/1), KPK menetapkan Waryono Karno sebagai tersangka dengan dugaan penerimaan suap yang dijerat Pasal 12B, Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Saat penggeledahan beberapa waktu lalu, KPK menyita uang 200 ribu dolar AS dari ruang kerja Waryono Karno.
Editor: Fitri Supratiwi

Sofyan Djalil penuhi panggilan KPK terkait Century


Jumat, 17 Januari 2014 14:03 WIB | 2549 Views
Jakarta (ANTARA News) - Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara Sofyan Djalil memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penyidikan kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century dan penetapan bank tersebut sebagai bank gagal berdampak sistemik.

"Saya saksi dalam kasus pak Budi Mulya," kata Sofyan saat tiba di gedung KPK Jakarta sekitar pukul 13.00 WIB, Jumat.

Seharusnya Sofyan diperiksa pada Rabu (15/1), namun ia tidak dapat memenuhi panggilan pemeriksaan tersebut.

Sofyan yang menjadi menteri BUMN pada 2007-2009, mengaku saat dana talangan KPK dikucurkan pada 2008 menjabat sebagai Menteri Keuangan ad-interm.

"Waktu itu saya kebetulan Menteri Keuangan ad-interim sewaktu Bank Century kalah clearing, itu saja, mungkin dalam konteks itu saya dipanggil," ungkap Sofyan.

Sofyan mengonfirmasi bahwa memang ada dana BUMN yang sempat disimpan di Bank Century.

"Makanya diselamatkan, jadi amanlah dia (BUMN), ada empat atau lima yang menyimpan deposito," katanya.

Ia tidak menjelaskan BUMN apa saja yang menyimpan dananya di Bank Century.

"Kalau tidak salah kurang dari Rp1 triliun, sekitar Rp600-700 miliar," jelas Sofyan.

Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan kerugian negara akibat pemberian FPJP dari Bank Indonesia ke Bank Century mencapai Rp689,3 miliar, sedangkan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp6,76 triliun sehingga total kerugian negara adalah Rp7,4 triliun.

KPK dalam kasus ini baru menetapkan mantan Deputi Bidang IV Pengelolaan Devisa Bank Indonesia Budi Mulya sebagai tersangka dan telah ditahan sejak 15 November 2013 lalu di rumah tahanan KPK.

Sebenarnya ada pihak lain yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum yaitu mantan Deputi Bidang V Pengawasan BI Siti Chodijah Fajriah namun saat ini Fajriah masih sakit sehingga belum bisa dimintai pertanggungjawaban pidana.

Editor: AA Ariwibowo

Monday, January 13, 2014

Tersangka Korupsi, Bupati Rembang Ditahan


SEMARANG, KOMPAS.com — Bupati Rembang Moch Salim ditahan oleh penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Jawa Tengah, Senin (13/1/2014) sekira pukul 14.30 WIB.

Salim yang mengenakan kemeja batik berlengan panjang dimasukkan ke mobil tahanan Polda Jateng. Dia tidak memberi keterangan apa pun kepada puluhan wartawan yang menunggunya sejak pagi. Mobil tahanan itu kemudian membawa Salim ke Markas Polda Jateng di Jalan Pahlawan, Semarang.

Moch Salim menjadi tersangka kasus dugaan korupsi dana APBD 2006-2007 yang turut menjerat pamannya, Waluyo, yang dulu menjadi Kabag Perekenomian.

Waluyo yang juga menjadi tersangka kini aktif menjabat sebagai Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Rembang. (A Prianggoro)
Editor : Kistyarini

KPK Tetapkan Wawan Tersangka Pencucian Uang


JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi menjerat pengusaha Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan dengan kasus baru. Adik Gubernur Banten Atut Chosiyah tersebut ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Kasus ini merupakan hasil pengembangan penyidikan kasus dugaan korupsi yang menjerat Wawan sebelumnya, yakni dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di Tangerang Selatan, pengadaan alkes di Pemerintah Provinsi Banten, dan dugaan suap sengketa pilkada di Lebak, Banten.

“Setelah melakukan pengembangan penyidikan tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan TCW (Tubagus Chaeri Wardana), penyidik menemukan dua alat bukti permulaan yang cukup,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Gedung KPK, Jakarta, Senin (13/1/2014).

Menurut Johan, Wawan disangka dengan dua undang-undang pencucian uang, yakni UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang serta UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

“Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Tersangka juga diduga melanggar Pasal 3 ayat 1 dan atau Pasal 6 ayat 1 serta UU Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke- 1 KUHP,” tutur Johan.

Dia juga mengatakan bahwa KPK terus melakukan penelusuran aset-aset Wawan. Mengenai mobil-mobil mewah Wawan, Johan mengaku belum tahu apakah aset tersebut sudah disita atau belum. “Ini yang saya belum tahu, saya harus cek dulu, yang pasti penelusuran aset sudah dilakukan,” ucap Johan.

Seperti diberitakan sebelumnya, saat menggeledah kediaman Wawan di Jalan Denpasar, Jakarta, beberapa waktu lalu, KPK sempat menyegel 11 mobil Wawan. Tujuh di antaranya diketahui sebagi mobil mewah. Namun ketika itu, mobil-mobil Wawan tersebut tidak disita KPK.

Lembaga antikorupsi itu melakukan penggeledahan terkait kasus dugaan suap sengketa pilkada Lebak. Ketika itu Wawan belum dtetapkan sebagai tersangka dugaan pencucian uang. KPK pertama kali menetapkan Wawan sebagai tersangka atas dugaan menyuap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar terkait sengketa pilkada Lebak.

Wawan kemudian ditetapkan sebagai tersangka atas kasus dugaan korupsi pengadaan alkes Tangsel dan Banten. Dalam kasus dugaan suap sengketa pilkada Lebak dan dugaan korupsi alkes Banten, KPK juga menetapkan Atut sebagai tersangka.

Kejari Cibadak tahan tersangka koruptor GOR Cisaat


Senin, 13 Januari 2014 21:50 WIB | 1114 Views
Sukabumi (ANTARA News) - Kejaksaan Negeri Cibadak, Kabupaten Sukabumi menahan tersangka dugaan korupsi dana bantuan hibah pembangunan Gelanggang Remaja Gedung Olah Raga di Kecamatan Cisaat yang bersumber dari Kemenpora RI.

"Tersangka kami jebloskan ke dalam penjara sebagai proses penyidikan dan untuk antisipasi tersangka menghilangkan barang bukti atau melarikan diri," kata Kepala Seksi Pidana Khusu Kejari Cibadak Iwan Setiadi kepada Antara, Senin.

Tersangka yang bernama Lomri Maladi yang menjabat sebagai Komite Pembangunan Gelanggang Remaja GOR Cisaat diduga telah menyalahgunakan jabatannya untuk melakukan dugaan tindak pidana korupsi pada bantuan hibah dari Kemenpora RI senilai Rp4,9 miliar pada anggaran tahun 2011.

Menurut Iwan, dalam proses penyidikan ini tidak menutup kemungkinan ada tersangka lainnya karena pihaknya masih terus mempertajam data dan berkas penyidikan lainnya.

Selain itu, akan kembali memeriksa beberapa saksi lagi yang berkompeten untuk dimintai keterangan seputar dugaan korupsi dana bantuan hibah Kemenpora RI untuk pembangunan gelanggang olah raga tersebut.

Tersangka juga dijerat dengan Pasal 2 dan 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi dengan ancaman hukuman empat tahun penjara.

"Saat ini kami masih menunggu hasil audit dari BPKP untuk mengetahui berapa kerugian negara akibat kasus ini," tambahnya.

Sementara, Penasehat Hukum tersangka, Dedi Fatius mengatakan pihaknya akan segera mengajukan penangguhan penahanan untuk kliennya tersebut yakni Lomri Maladi dan rencananya pada Rabu (15/1). (ADR/F006)
Editor: B Kunto Wibisono

KPK kenakan pasal pemerasan kepada Ratu Atut


Senin, 13 Januari 2014 23:09 WIB | 3343 Views
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi mengenakan pasal pemerasan terhadap Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan sarana dan prasarana alat kesehatan provinsi Banten 2011-2013.

"Dari hasi pengembangan perkara juga atas nama RAC (Ratu Atut Chosiyah), penyidik juga telah menemukan dugaan sangkaan korupsi yang baru yaitu pasal 12 huruf e atau a atau pasal 12 huruf b atau pasal 5 ayat 2 atau pasal 11 UU No 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat 1 ke-1, terkait tugas dan fungsi yang bersangkutan sebagai Gubernur Banten," kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Senin.

Pasal 12 huruf e adalah mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Ancaman pidana bagi orang yang terbukti melanggar pasal tersebut adalah pidana penjara penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Artinya dalam kasus ini, selain memaksa atau memeras orang lain sehingga mendapatkan keuntungan untuk dirinya sendiri, Atut juga menyalahgunakan kewenangan sebagaimana sangkaan pertama KPK kepada Atut dan adiknya, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan yang berasal dari pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tentang setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.

Selain pasal penyalahgunaan wewenang, KPK juga menyangkakan kepada Wawan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang berasal dari dua UU TPPU pencucian uang, yakni UU No 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang serta UU No 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

"Pasal 3 dan pasal 4 UU No 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang, tersangka juga diduga melanggarpasall 3 ayat 1 dan atau pasal 6 ayat 1 UU No/2002 tentang TPPU jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP," tambah Johan.

Ancaman pidana terhadap orang yang melanggar pasal tersebut adalah penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar.

Saat ini KPK juga sedang melakukan pelacakan aset yang terkait dengan Wawan.

Artinya Atut menjadi tersangka dalam tiga kasus di KPK yaitu dugaan korupsi pengadaan alkes Banten, dugaan penerimaan gratifikasi dalam pengadaan alkes Banten dan dugaan suap kepada mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terkait dengan pilkada Lebak, sedangkan Wawan menjadi tersangka untuk empat kasus yaitu pemberian suap terkait pilkada Lebak dan korupsi Alkes Kedokteran Umum di Puskesmas kota Tangerang Selatan tahun anggaran 2012, korupsi pengadaan alkes provinsi Banten dan tindak pidana pencucian uang

Badan Pemeriksa Keuangan setidaknya menemukan tiga indikasi penyimpangan dalam pengadaan alat kesehatan di Banteng yang mencapai Rp30 miliar.

Ketiga penyimpangan itu adalah alat kesehatan tidak lengkap sebesar Rp5,7 miliar; alat kesehatan tidak sesuai spesifikasi sebesar Rp6,3 miliar dan alat kesehatan tidak ada saat pemeriksaan fisik sebanyak Rp18,1 miliar. (D017)
Editor: B Kunto Wibisono

Saturday, January 11, 2014

KPK Temukan Indikasi Pencucian Uang oleh Atut dan Wawan



JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan indikasi tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dilakukan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan adiknya Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Hal itu merupakan kesimpulan ekspose atau gelar perkara internal KPK.
“Putusan pasca-ekspose di mana disetujui karena ada indikasi yang kuat terjadi dugaan pelanggaran TPPU yang sangat sistematis,” kata Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto melalui pesan singkat, Sabtu (11/1/2014), saat ditanya apakah sudah menemukan indikasi TPPU yang diduga dilakukan Atut dan Wawan.
Namun, ketika ditanya apakah KPK sudah menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) terkait TPPU Atut dan Wawan ini, Bambang mengatakan bahwa ekspose internal penyidikan KPK bukan sekadar untuk menghasilkan sprindik. Dia juga mengatakan bahwa tim penyidik KPK terus menelusuri aset-aset Atut dan Wawan yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
KPK menetapkan Atut dan Wawan sebagai tersangka dalam dua kasus tindak pidana korupsi, yakni dugaan suap sengketa pilkada Lebak, serta dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di Pemerintah Provinsi Banten. Khusus untuk Wawan, lembaga antikorupsi itu juga menetapkannya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di Tangerang Selatan.
Dalam kasus sengketa pilkada Lebak, Atut dan Wawan diduga bersama-sama menyuap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, melalui pengacara Susi Tur Andayani.
Sementara itu, dalam kasus korupsi alkes Banten, Atut dan Wawan diduga terlibat mengatur pengadaan proyek alkes 2011-2013. Diduga, ada mark up atau penggelembungan harga sehingga nilai proyek melonjak.

Pengacara: Anas Siap Kerja Sama Bongkar Keterlibatan Ibas


JAKARTA, KOMPAS.com — Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum siap bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk membongkar dugaan keterlibatan pihak lain dalam kasus Hambalang, termasuk Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas. Anas siap menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tim penyidik KPK dalam pemeriksaan nantinya.
"Tidak ada alasan tidak siap, tinggal penyidiknya bagaimana,” kata pengacara Anas, Firman Wijaya, melalui telepon ketika ditanya apakah Anas siap menjawab pertanyaan penyidik KPK terkait keterlibatan Ibas, Sabtu (11/1/2014).
Menurut Firman, terbongkarnya dugaan keterlibatan Ibas bukan bergantung pada keterangan Anas. Tim penyidik KPK-lah yang seharusnya menggali dugaan tersebut. “Pertanyaan penyidik itu harusnya diarahkan karena ini menyangkut Kongres, ini bukan Kongres Anas tetapi Kongres Partai Demokrat. Siapa pun subyek partai harus diperiksa, apalagi ada dugaan uang ke Kongres,” ujar Firman.
Dalam proses penanganan kasus pidana, lanjut Firman, penyidik berwenang untuk mencari kebenaran materiil maupun kebenaran formal. Penyidik bisa memulainya dengan memeriksa siapa saja yang dianggap mengetahui, mendengar, atau melihat suatu perbuatan pidana yang disangkakan kepada tersangka.
“Jadi tidak ada halangan bagi penyidik KPK untuk mencari berdasarkan kebenaran materiil,” kata Firman.
Juru Bicara KPK Johan Budi sebelumnya mengatakan, kemungkinan pemeriksaan Ibas tergantung sejauh mana keterangan Anas mengenai Ibas yang disampaikan kepada penyidik KPK. Jika dalam pemeriksaan Anas menyampaikan informasi terkait Ibas dengan didukung bukti-bukti, maka KPK bisa saja memeriksa putra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.
Nama Ibas disebut
Sebelumnya mantan Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat Cilacap Tri Dianto yang juga loyalis Anas menyebut SBY dan Ibas sebagai pihak yang seharusnya diperiksa KPK terkait penyidikan kasus dugaan gratifikasi proyek Hambalang. Menurut Tri, SBY selaku Dewan Pembina Partai Demokrat ketika itu merupakan penanggung jawab Kongres Partai Demokrat 2010. Sementara itu, Ibas bertindak sebagai steering committee dalam kongres.
Mantan Wakil Direktur Keuangan Grup Permai Yulianis juga mengaku pernah menyebut nama Ibas ketika diperiksa sebagai saksi dalam kasus Hambalang yang menjerat Anas. Menurut Yulianis, nama Ibas disebutnya saat penyidik mencecarnya soal penyelenggaran Kongres Partai Demokrat 2010.
Yulianis mengungkapkan, ada catatan keuangan Grup Permai yang menyebutkan aliran dana 200.000 dollar AS ke Ibas. Dana tersebut, kata Yulianis, berkaitan dengan pelaksanaan Kongres Partai Demokrat 2010. Kepada wartawan, Yulianis menyebut uang 200.000 dollar AS itu berasal dari proyek Grup Permai yang bermasalah.
Sejauh ini, KPK belum memeriksa Ibas. Ketua KPK Abraham Samad sebelumnya mengatakan bahwa pihaknya belum memanggil Ibas untuk diperiksa dalam kasus Hambalang karena belum menemukan cukup bukti mengenai keterlibatan Ibas yang perlu diklarifikasikan kepada yang bersangkutan.
Keterangan yang disampaikan Yulianis terkait Ibas, menurut Abraham, hanya dilontarkan dalam persidangan, dan tak pernah secara resmi dikatakan kepada penyidik KPK untuk dimasukkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
Abraham juga menegaskan, meski nantinya Yulianis telah mengatakan keterlibatan Ibas dalam BAP, KPK belum dapat memanggil Ibas. Pemanggilan itu harus didukung dua alat bukti atau keterangan lain untuk memperkuat pernyataan Yulianis.
Ibas sudah membantah dirinya terlibat korupsi. "Saya katakan tudingan tersebut tidak benar dan tidak berdasar. 1.000 persen saya yakin kalau saya tidak menerima dana dari kasus yang disebut-sebut selama ini," kata Ibas.

KPK: Ibas bisa diperiksa jika Anas tunjukkan bukti



Jumat, 10 Januari 2014 23:12 WIB | 5233 Views
Jakarta (ANTARA News) - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi mengatakan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) bisa diperiksa oleh KPK jika Anas Urbaningrum memberikan bukti yang cukup.

"Edhie Baskoro bisa diperiksa KPK jika keterangan Anas kepada penyidik KPK bukan asal keterangan tapi didukung oleh bukti. AU memiliki kesempatan untuk menjelaskan kondisi kepada penyidik," kata Johan Budi kepada wartawan di Kantornya, Jakarta, Jumat.

Nama Sekretaris Jenderal PD, Ibas memang kerap dikaitkan dengan kasus korupsi proyek Hambalang.

Johan membantah tudingan jika kasus korupsi yang ditangani KPK memiliki tujuan politik terlebih mendekati Pemilu 2014.

"Yang dilihat oleh KPK adalah domain hukum. Bukan tentang kedekatan politik apakah itu elit politik atau kekuasaan. Siapapun jadi tersangka karena KPK menemukan dua alat bukti yang cukup dan itu terkait hukum," katanya.

Menurut Johan, KPK melakukan proses penegakan hukum berdasarkan hukum. Pasal-pasal terkait sangkaan akan diuji di pengadilan.

"Pengadilan akan mengujinya, apakah sangkaan itu tepat diarahkan ke Anas atau tidak. Berdasarkan bukti-bukti yang ada sudah cukup untuk menyimpulkan AU sebagai tersangka," katanya.

Penyidikan terhadap AU telah memakan waktu cukup lama. Karena itu kemungkinan berkas kasus Anas tidak lama lagi akan dinaikkan ke proses penuntutan.

"Sejak sembilan bulan yang lalu hingga hari ini (Jumat) ketika AU ditetapkan sebagai tersangka, kasus ini tidak lama lagi akan dibawa ke tahap dua. Bisa saja seminggu, setahun atau sebulan ke depan," kata Johan.
(A061/A029)
Editor: Ruslan Burhani

Keluarga kirim konsumsi Anas selama ditahan KPK



Jumat, 10 Januari 2014 23:33 WIB | 3934 Views
Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) Gede Pasek Suardika mengatakan, pihak keluarga akan mengirim konsumsi untuk Anas Urbaningrum selama ditahan di rumah tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi.

"Tadi kami di dalam bersama keluarga menyampaikan bahwa mohon hak mas Anas untuk konsumsinya itu sepenuhnya akan dikirim dari keluarga. Jadi silakan uang rakyat, uang yang digunakan untuk konsumsi para tahanan digunakan untuk tahanan yang lain," kata Pasek dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat malam.

Dalam jumpa pers yang juga disiarkan langsung dari stasiun televisi swasta itu, segenap jajaran ormas dan keluarga juga berharap hak-hak Anas selama berada di dalam tahanan bisa dihormati.

Hal itu berkaitan dengan peristiwa pelemparan telur ke kepala mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu ketika berjalan ke luar gedung KPK menuju mobil tahanan untuk proses penahanan.

"Melihat fenomena itu, kalau hanya urusan kecil saja (pelemparan telur) sudah tidak aman, tidak nyaman, maka hal yang lebih subtansial mungkin akan mengalami hal yang sama," katanya.

Lebih lanjut, Pasek juga mengatakan, konsumsi yang dikirimkan keluarga kepada Anas merupakan upaya preventif demi rasa aman yang bersangkutan.

"Kami sendiri, saya yakin tidak akan terjadi apa-apa di sana. Pimpinan KPK pasti akan bertanggung jawab, tapi melihat fenomena tadi, hal kecil saja tidak mampu diamankan, jadi wajar keluarga berkepentingan menjaga rasa aman," ujarnya.

Permintaan untuk mengirimkan konsumsi, lanjutnya, juga dinilai sangat manusiawi. Keluarga berharap permintaan tersebut bisa dikabulkan oleh pihak KPK.

"Karena ini menyangkut hak asasi manusia juga. Toh juga tidak membebani anggaran negara kan," katanya.

Komisi Pemberantasan Korupsi menahan tersangka kasus dugaan korupsi penerimaan hadiah terkait pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah di Hambalang dan proyek-proyek lain, Anas Urbaningrum, di rumah tahanan KPK.

Anas ditahan untuk 20 hari pertama sebelum nantinya menjalani proses peradilan.
(A062/Z002)
Editor: Ruslan Burhani

Friday, January 3, 2014

Bupati Tapanuli Tengah penuhi panggilan KPK


Jumat, 3 Januari 2014 13:07 WIB | 1569 Views
Jakarta (ANTARA News) - Bupati Tapanuli Tengah Bonaran Situmeang memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi terkait kasus dugaan suap sengketa pemilihan kepada daerah (pilkada) di Mahkamah Konstitusi.

"Nanti saya jelaskan, sehabis diperiksa. Apa hubungannya dengan saya juga tidak tahu, saya juga tidak kenal Akil Mochtar," kata Bonaran saat tiba di gedung KPK Jakarta, Jumat.

Kedatangan Bonaran tersebut adalah penjadwalan ulang, setelah ia tidak memenuhi panggilan pertama pada 30 Desember 2013 lalu. "Saya tidak datang tanggal 30, karena baru saya terima undangannya pada tanggal 30 malam," tambah Bonaran singkat.

Mantan pengacara Anggodo Widjojo dalam kasus percobaan suap kepada pimpinan KPK itu menjadi Bupati Tapanuli Tengah periode 2011-2016.

Dalam kasus dugaan suap sengketa pilkada di MK, KPK telah menetapkan mantan Ketua MK Akil Mochtar sebagai tersangka. Ia diduga menerima suap terkait Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Lebak, Kota Palembang dan Empat Lawang.

Selain Akil, tersangka dugaan penerimaan suap dalam perkara Pilkada Kabupaten Gunung Mas adalah anggota Komisi II dari fraksi Partai Golkar Chairun Nisa, Bupati Gunung Mas Hambit Bintih sebagai pemberi dan Cornelis Nalau dari pihak swasta dengan barang bukti uang senilai sekitar Rp3 miliar.

Sedangkan dalam kasus sengketa Pilkada Lebak, Akil Mochtar dan Susi Tur Handayani menjadi tersangka sebagai penerima suap, sementara Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan adiknya Tubagus Chaery Wardhana diduga sebagai pemberi suap. KPK juga menyita uang senilai Rp1 miliar di rumah orangtua Susi sebagai barang bukti.

Akil juga masih terjerat dugaan suap sengketa pemilihan Wali Kota Palembang dan Bupati Empat Lawang karena KPK mendapati uang Rp2,7 miliar di rumah Akil.

KPK juga menjadikan Akil tersangka tindak pidana pencucian uang dan sudah menyita sekitar 33 mobil, 31 motor dan aset properti Akil di Jakarta dan daerah, ditambah pembekuan rekening perusahaan milik istri Akil, Ratu Rita yaitu CV Ratu Samagad yang diduga sebagai tempat pencucian uang.


Editor: Heppy Ratna