Pengembangan Masyarakat Madani
Oleh Sudirman Tebba
Orde Baru lahir pada tahun 1966
dan berkembang dengan menjalankan program-program pembangunan dan modernisasi.
Waktu itu timbul masalah, apakah modernisasi merupakan rasionalisasi dalam arti
penggunaan akal ataukah westernisasi
yang berarti peniruan gaya hidup Barat, seperti perempuan berpakain
minim, pergaulan bebas laki-laki dengan perempuan, dan sebagainya. Kalau
modernisasi diartikan sebagai westernisasi mungkin sekali umat Islam menolak
modernisasi, karena melanggar ajaran agama.
Untuk
menghindari salah paham seperti ini di kalangan umat Islam terhadap
modernisasi, maka Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa modernisasi adalah
rasionalisasi dan bukan westernisasi. Menurut Nurcholish, pengertian
modernisasi identik atau hampir identik dengan
rasionalisasi, dan hal ini berarti proses perombakan pola berpikir dan
tatanan kerja lama yang tidak rasional dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang
rasional. Kegunaannya ialah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang
maksimal. Hal ini dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia di
bidang ilmu pengetahuan.
Sedangkan
ilmu pengetahuan ialah hasil pemahaman manusia terhadap hukum-hukum
obyektif yang menguasai alam, ideal dan
material, sehingga alam b erjalan menurut kepastian tertentu dan harmonis.
Orang yang bertindak menurut ilmu pengetahuan (ilmiah) berarti dia bertindak
menurut hukum alam yang berlaku, karena dia tidak melawan hukum alam, malahan
menggunakan hukum alam itu sendiri, sehingga memperoleh daya guna yang
tinggi.Jadi, sesuatu dapat diseb ut modern kalau ia bersifat rasional, ilmiah,
dan sesuai dengan hukum-hukum yang
berlaku dalam alam. Sebagai contoh ialah sebuah mesin hitung termodern dibuat
dengan rasionalitas yang maksimal menurut penemuan ilmiah yang terbaru dan karena
itu persesuaiannya dengan hokum alam paling mendekati kesempurnaan.
Bagi
seorang muslim yang sepenuhnya meyakini kebenaran Islam sebagai way of life,
semua nilai dasar way of life yang menyeluruh itu tercantum dalam Kitab Suci
Al-Qur’an. Karena itu, modernisasi
merupakan suatu keharusan, malahan kewajiban yang mutlak. Modernisasi
merupakan pelaksanaan perintah dan ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Dasar sikap ini
adalah firman Allah:
1.Allah
menciptakan seluruh alam ini dengan haq (benar), bukan bathil (palsu) (QS: 16: 3,
38: 27).
2.Dia
mengaturnya dengan peraturan Ilahi (sunnatullah) yang menguasai dan pasti (QS:
7: 54, 25: 2).
3.Sebagai buatan
Tuhan Maha Pencipta alam ini adalah baik, menyenangkan (mendatangkan
kebahagiaan duniawi) dan harmonis (QS: 21: 7, 67: 3).
4.Manusia
diperintah oleh Allah untuk mengamati dan menelaah hukum-hukum yang ada dalam
ciptaan-Nya (QS: 10: 101)
5.Allah
menciptakan seluruh alam raya untuk kepentingan manusia, kesejahteraan hidup
dan kebahagiaannya sebagai rahmat dari-Nya. Tetapi hanya golongan manusia yang
berpikir atau berasional yang akan mengerti dan kemudian memanfaatkan karunia
itu (QS: 45: 13).
6.Karena adanya
perintah untuk mempergunakan akal pikiran (rasio) itu, maka Allah melarang
segala sesuatu yang menghambat perkembangan pemikiran, yaitu terutama berupa
pewarisan membuta terhadap tradisi-tradisi lama yang merupakan cara berpikir
dan tata kerja generasi sebelumnya (QS: 2: 170, 43: 22 – 25).
Jelaslah bahwa modernisasi yang
berarti rasionalisasi untuk memperoleh daya guna dalam berpikir dan bekerja yang
maksimal untuk kebahagiaan umat manusia adalah perintah Tuhan yang imperatif
dan mendasar. Modernisasi berarti berpikir dan bekerja menurut fitrah atau
Sunnatullah (Hukum Ilahi) yang haq, sebab alam adalah haq. Sunnatullah telah
mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam, sehingga untuk dapat menjadi modern
manusia harus mengerti terlebih
dahulu hukum yang berlaku dalam alam itu
(perintah Tuhan).
Pemahaman manusia terhadap
hukum-hukum alam melahirkan ilmu pengetahuan, sehingga modern berarti ilmiah,
dan ilmu pengetahuan diperoleh manusia melalui akalnya (rasionya), maka modern
berarti ilmiah dan rasional. Maksud sikap rasional ialah memperoleh daya guna
yang maksimal untuk memanfaatkan alam ini bagi kebahagiaan manusia. Karena
keterbatasan kemampuannya manusia tidak
dapat sekaligus mengerti seluruh hukum alam ini, tetapi sedikit demi sedikit
dari waktu ke waktu, maka menjadi modern adalah juga progresif dan
dinamis. Jadi, tidak dapat bertahan
kepada sesuatu yang telah ada (status quo), dan karena itu bersifat merombak
dan melawan tradisi-tradisi yang jelas tidak benar, tidak sesuai dengan kenyataan yang ada dalam hukum alam, tidak
rasional, tidak ilmiah, sekalipun di pihak lain juga ada keharusan menerima dan
meneruskan, kemudian mengembangkan warisan generasi sebelumnya yang mengandung
nilai kebenaran.
Karenanya, sekalipun bersikap
modern itu suatu keharusan mutlak,
tetapi kemodernan itu sendiri sifatnya relatif, sebab terikat oleh ruang dan
waktu. Sesuatu yang sekarang ini dikatakan modern dapat dipastikan menjadi
kolot (tidak modern lagi) di masa yang akan datang. Sedangkan yang modern
secara mutlak ialah Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta seluruh alam. Dengan
demikian, modernitas berada dalam suatu
proses, yaitu proses penemuan Kebenaran Yang Mutlak, yaitu Allah. Itulah
sebabnya Allah berfirman: “Akan Kami (Allah) perlihatkan kepada manusia
ayat-ayat (hukum-hukum) Kami, baik di seluruh cakrawala maupun dalam diri
mereka sendiri, sehingga menjadi terang bagi mereka bahwa dia (Al-Qur’an) itu
benar adanya. Tidak cukupkah Tuhanmu itu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS: 41: 52).
Jadi, tujuan akhir hidup manusia ialah Kebenaran Akhir, yaitu Tuhan itu sendiri
atau boleh juga disebut Kebenaran Ilahi.
Hal itu berarti bahwa tidak
seorangpun manusia berhak mengklaim
suatu kebenaran insani sebagai suatu kebenaran mutlak, kemudian dengan sekuat
tenaga mempertahankan kebenaran yang dianutnya itu dari setiap perombakan.
Sebaliknya, karena menyadari kerelatifan kemanusiaan, maka setiap orang harus
bersedia dengan lapang dada menerima dan mendengarkan kebenaran dari orang
lain. Dengan begitu, terjadilah proses kemajuan yang terus menerus dari
kehidupan manusia sesuai dengan fithrah (kejadian asal yang suci) manusia itu
sendiri, dan sejalan dengan wataknya yang hanif (mencari dan merindukan
Kebenaran).
Seorang muslim seharusnya adalah
seorang yang paling mendalam kesadarannya akan kemanusiaannya yang relatif.
Seorang muslim adalah seorang yang dengan ikhlas mengaku bahwa dirinya adalah
makhluk yang dhaif (lemah, tidak
berdaya) di hadapan Tuhan. Keinsyafan itu terpateri dalam jiwa seorang muslim,
karena Tuhan mewajibkannya untuk menundukkan kepala dan bersujud kepada-Nya,
Al-Haq al-Muthlaq, lima kali sehari sekurang-kurangnya. Karena itu, seharusnya
pula seorang muslim adalah seorang yang paling tidak bersedia untuk
mempertahankan kebeneran-kebenaran insani sebagai sesuatu yang mutlak, sehingga
menjadi reaksioner, menentang segala perubahan nilai-nilai kemanusiaan.
Dengan kata lain, seorang muslim
semestinya menjadi seorang yang selalu bersedia menerima kebenaran-kebenaran
baru dari orang lain dengan penuh rasa tawadhu’ (andap asor) kepada Tuhan.
Apalagi Nabi Muhammad SAW sendiri menegaskan bahwa setiap kebenaran adalah
barang hilangnya seorang muslim, maka barang siapa yang menemukannya di mana
saja kapan saja hendaknya dia memungutnya dan bahwa kebenaran itu harus dicari
di mana saja adanya, ”sekalipun harus kenegeri Cina”.
Jadi,
seorang muslim adalah seorang yang senantiasa modern, naju, progresif, terus
menerus mengusahakan perbaikan-perbaikan bagi diri dan masyarakatnya. Inilah
yang disebut ihsan (harfiah: memperbaiki), salah satu dari dua perintah Tuhan dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Allah
memerintahkan kepada kamu akan keadilan dan ihsan” (QS: 16: 90).
Kemudian
di antara wujud modernisasi adalah industrialisasi. Menurut Nurcholish,
industrialisasi diberi definisi sebagai proses perkembangan teknologi oleh
penggunaan ilmu pengetahuan terapan yang
ditandai dengan eks pansi produksi
besar-besaran dengan menggunakan tenaga permesinan untuk tujuan pasaran yang
luas bagi barang-barang produsen maupun konsumen melalui angkatan kerja yang
terspesialisasikan dengan pembagian kerja yang disertai dengan urbanisasi yang meningkat.
Kalau
proses telah berjalan cukup jauh mekanisasi
dapat pula meliputi tidak hanya industri itu sendiri, tetapi juga
pertanian. Demikian pula produksi besar-besaran
spesialisasi dan pembagian kerja tampak pada skala yang luas, sarana
komunikasi dan transportasi mencapai perkembangan yang maksimal, tenaga listrik
melalui proyek-proyek pembangkitan tenaga yang besar semakin menggantikan
bentuk-bentuk lama tenaga penggerak.
Menyertai
perubahan di bidang ekonomi terjadi pula bentuk perubahan yang kompleks dalam kelompok sosial dan
perubahan sosial. Tipikal pada tahap
pertama proses industrialisasi berdampingan dengan urbanisasi ialah peningkatan
mobilitas penduduk. Juga terdapat perubahan yang penting dalam adat
kebiasaan dan moral masyarakat yang
mempengaruhi semua bentuk penggolongan
primer dan sekunder, di mana penggolongan sekunder memainkan peranan
yang makin besar.
Sangat
menonjol pula adalah pengaruh-pengaruh terhadap status pekerjaan dan
keahlian-keahlian penduduk pekerja, terhadap kehidupan keluarga dan kedudukan
perempuan dan terhadap tradisi-tradisi serta kebiasaan-kebiasaan dalam konsumsi
barang-barang. Konflik antarkelas, ras dan kelompok sosial lainnya juga dilihat
sebagai akibat penyerta yang tipikal, demikian pula sifat yang makin kompleks
dari proses akomodasi.
Meskipun
saat sekarang industrialisasi juga
digunakan sebagai gambaran tentang perkembangan organisasi ekonomi
sosialis, tetapi menurut sejarahnya istilah itu digunakan bagi perkembangan
ekonomi kapitalis dengan ciri-ciri selain yang tersebut itu, yaitu pola-pola
pemilikan dan pengawasan oleh kepentingan industrial dan kelak juga financial.
Tegasnya
industrialisasi menyangkut proses perubahan social, yaitu perubahan susunan
kemasyarakatan dari suatu system social pra industrial (agraris misalnya) ke
system social industrial. Kadang-kadang juga dsejajarkan dengan perubahan dari
masyarakat pramodern ke masyarakat modern, atau dalam peristilahan yang
akhir-akhir ini banyak digunakan , yaitu perubahan dari keadaan Negara kurang
maju (less developed country – LDC) ke keadaan masyarakat Negara yang lebih
maju (more developed country – MDC).
Tetapi pembangunan, modernisasi dan juga
industrialisasi yang mulanya diharapkan
membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia ternyata setelah
berlangsung puluhan tahun, malahan sampai Orde Baru runtuh pada
tahun 1998 dan sampai sekarang masyarakat Indonesia masih mengalami kesenjangan
sosial yang luar biasa. Ada sekitar 115 juta orang atau hampir separuh penduduk
Indinesia hidup dengan pendapatan Rp 20.000 sehari ke bawah. Mereka belum tentu
bisa makan tiga kali sehari, karena uangnya itu sebagian musti ditabung untuk
membayar listrik, cicilan, kontrakan, dan sebagainya. Kalau mau makan tiga kali
sehari ada keperluan yang mereka harus
abaikan, seperti pendidikan. Ini sebabnya banyak orang Indonesia yang tidak
dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang
lebih tinggi. Kondisi sosial ekonomi ini masih menjauhkan bangsa
Indonesia dari cita-cita keadilan, kemakmuran, penegakan hukum dan hak-hak
asasi manusia, pemberdayaan masyarakat
dan pengembangan masyarakat madani (civil society).
Masyarakat Madani
M. Dawam Rahardjo menjelaskan bahwa gagasan
civil society yang muncul di Indonesia berkaitan erat dengan gagasann dan visi
demokratisasiyang diperjuangkan oleh berbagai kalangan. Asumsi di belakang
gagasan itu adalah persepsi tentang perkembangan politik sejak Orde Baru bahwa
institusi Negara telah tumbuh menjadi demikian kuatnya. Barangkali kesan itu
timbul melihat peranan pemerintah yang sejak Orde Baru memang tampil sebagai agen perubahan (agent of change) dalam pembangunan. Dengan
begitu di sini Negara diidentikkan
dengan pemerintah.
Identifikasi
pemerintah dengan Negara telah banyak ditolak dan dikritik. Kritik itu
berkaitan dengan kondisi demokrasi di masa Orde Baru. Menurut para pengeritik,
kelompok yang berkuasa selalu menilai setiap kritik terhadap pemerintah sebagai
kegiatan menentang Negara. Bahkan kritik terhadap kebijaksanaan seorang pejabat
sering pula dianggap sebagai usaha menentang Negara. Hal ini mendekati gejala l’etat se moi, Negara adalah saya, walaupun
kata-kata raja Prancis Louis XIV itu tidak diucapkan. Padahal pemerintah dan system politik bisa runtuh dan diganti, tetapi institusi
Negara masih tetap tegak berdiri.
Institusi
Negara lebih dari sekedar pemerintah, yang hanya merupakan bagian dari kekuasaan Negara, yakni
bagian eksekutif . termasuk badan legislatif
(DPR/ MPR), bagian yudikatif (Mahkamah Agung dan badan peradilan
lainnya) serta Angkatan Bersenjata. Masing-masing mempunyai kekuasaannya
sendiri yang menurut prinsip Trias Politika Montesquieu (1689 – 1755) harus
saling berwasiat atas kebenaran (check
and balance) agar tidak bertindak terlalu jauh, sehingga menggoyahkan
keseimbangan kekuasaan. Keseimbangan kekuasaan ini diperlukan untuk mencegah
timbulnya kesewenang-wenangan atau
pelanggaran kesepakatan konstitusional yang dalam kenyataannya sering dilakukan oleh atau terjadi pada badan
eksekutif, yakni pemerintah.
Dalam
penilaian banyak kalangan selama orde Baru kekuasaan pemerintah telah
berkembang terlalu jauh. Pada masa
Demokrasi Terpimpin hal itu sudah terjadi dan sebenarnya hendak dicegah
dalam pemerintah Orde Baru, tetapi dalam kenyatannya yang terjadi pada masa Orde Baru tidak jauh berbeda dengan
di masa Orde Lama, yaitu pemerintah telah mendominasi kekuasaan-kekuasaan
lainnya. Dominasi terhadap lembaga peradilan dan lembaga perwakilan rakyat
telah menimbulkan gangguan terhadap prinsip-prinsip keadilan dan mekanisme
demokrasi.
Pada
masa Orde Baru sebenarnya rakyat atau masyarakat masih berharap pada partai
politik dan Golongan Karya (Golkar) sebagai wadah dan penyalur aspirasi
masyarakat. Dua partai politik waktu itu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) diharapkan melakukan perubahan dari luar
pemerintahan, sedangkan Golkar diharapkan melakukan perubahan dari dalam.
Tetapi kedua organisasi politik itu ternyata juga tidak berdaya, karena telah
didominasi oleh pemerintah. Padahal
fungsionaris pemerintah terdiri atas
unsur Golkar dan angkatan bersenjata juga. Gejala itu menimbulkan pengertian
mengenai pencaplokan (incorporation)
Negara terhadap organisasi-organisasi yang disebut sebagai lembaga yang
dibentuk oleh masyarakat. Pdahal yang terjadi adalah dominasi pemerintah dan
angkatan bersenjata (yang lebih mewakili
lembaga Negara) terhadap organisasi
politik yang dianggap mewakili rakyat.
Lebih
jauh dari itu pemerintah dan angkatan bersenjata juga berusaha menguasai
organisasi-organisasi kemasyarakatan, seperti NU dan Muhammadiyah. Lembaga buruh,
tani dan nelayan yang sudah lama dibubarkan dan diganti yang baru, seperti Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI),
Himpunan Kerukunan Tani Seluruh Indonesia (HKTI). Organisasi pemuda yang baru
menggantikan yang lama dibentuk juga atas
sponsor pmerintah, seperti Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) dan
Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI)
Hal
yang menarik adalah analisis sejumlah pakar yang melihat kelahiran Ikatan
Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI)
yang waktu itu diketuai oleh B.J. Habibie
sebagai hasil rekayasa pemerintah menghadapi pemilihan umum 1992 dan SU MPR
1993. Padahal kenyataannya ICMI dibentuk oleh sejumlah mahasiswa Universitas Brawijaya di Malang
yang bekerja sama dengan cendekiawan muslim yang sebagian memang birokrat.
Kelahiran ICMI dianggap sebagai ekspansi Negara di satu pihak dan kooptasi
Negara terhadap umat Islam di pihak lain. Karena itu ada usul agar dilakukan
proses demokratisasi di kalangan umat Islam dengan melepaskan ICMI dari Negara,
sehingga ICMI bisa menjadi bagian dari
civil society. Terkesan bahwa ICMI
dibayangkan sebagai benar-benar bagian dari Negara.
Menarik
untuk menyimak wacana civil society yang muncul di Amerika Serikat, karena
Amerika Serikat memberi contoh kasus-kasus civil society, sebagaimana ditemukan
oleh Tocquiville (1805 – 1859), seorang teoritisi politik, sosiolog dan ahli
sejarah Prancis yang pada tahun 1831 -1832 berkunjung ke Amerika Serikat dan
menghasilkan buku yang terkenal De la democratie en Amerique atau Democracy in
America.
Sebenarnya pembicaraan mengenai civi society di Amerika
Serikat dan juga Eropa Barat misalnya cukup menimbulkan tanda tanya, karena di
kawasan itu demokrasi tidak menjadi
masalah. Bahkan contoh tentang sistem
politik demokrasi diambil dari Eropa Barat dengan sistem parlementernya dan
Amerika Serikat dengan sistem presidensialnya. Pada tahun 1989 sebelum Uni Soviet runtuh Francis Fukuyama, seorang
Amerika keturunan Jepang menulis artikel yang dikembangkannya dalam buku The
End of History and the Last Man (1990) yang pada pokoknya mentesiskan bahwa
akhir evolusi sistem politik di seluruh dunia adalah demokrasi liberal dan di
bidang ekonomi ialah kapitalisme.
Namun
di Eropa Barat para sarjana dan politisi masih menghadapi masalah Negara
kesejahteraan (welfare state) yang dianggap menyimpang dari prinsip-prinsip
liberalisme, karena menonjolnya peranan Negara. Konsep ini dalam arti sempit
hanya menyangkut kebijaksanaan pemerintah di bidang pendidikan dan kesehatan. Dalam arti yang
lebih luas hal ini menyangkut peranan Negara yang cukup besar dalam sistem
kapitalis sebagai warisan sosialisme. Di Eropa Barat masih beroperasi perusahaan-perusahaan Negara, terutama di
bidang pelayanan umum. Pemerintah sendiri juga ikut berperan di bidang
kesejahteraan masyarakat. Peranan partai komunis, partai sosialis atau partai buruh masih tetap besar dan kerapkali malahan menang dalam pemilihan umum dan
memegang tampuk pemerintahan.
Namun hal yang mendasar sebenarnya adalah
masuknya pengaruh Negara dan politik dalam kehidupan politik. Hal ini tercermin
dari begitu banyaknya undang-undang dan peraturan pemerintah dan peraturan
lembaga-lembaga masyarakat sendiri yang
menyerupai peraturan pemerintah dalam
mengatur kehidupan individu hingga hal yang sekecil-kecilnya. Di lain pihak
peranan Negara itu sangat dirasakan dalam banyaknya jenis dan besarnya pajak
yang harus dibayar. Dengan pajak itu pula peranan Negara dan pemerintah terasa
begitu besarnya yang merasuk ke dalam
masyarakat.
Secara
keseluruhan terkesan bahwa Negara memang makin hadir di mana-mana , sekalipun
di Negara-negara paling demokratis di dunia. Bahkan perusahaan-perusahaan dan
kantor-kantor swasta, terutama yang besar dengan peraturan-peraturannya yang
ketat menyerupai dan dirasakan sebagai semacam Negara. Birokratisasi menjalar
ke mana-mana. Timbulnya visi yang sebenarnya sebuah kerinduan akan lahirnya
kembali perusahaan-perusahaan kecil tetapi indah (small and beautiful) dari
Schumacher atau gagasan prosumsi (kesatuan produksi dengan konsumsi) dari
Toffler sebenarnya adalah merupakan
pemberontakan terhadap birokrasi yang
tidak saja terdapat pada lembaga Negara tetapi juga pada pabrik-pabrik dan kantor-kantor swasta.
Impian
itulah agaknya yang menjelma ke dalam perhatian terhadap konsep civil society.
Gagasan pokoknya adalah mengembangkan kehidupan masyarakat di luar Negara. Di
sini civil society memang dipertentangkan dengan Negara yang dilihat sebagai
semacam monster. Masyarakat yang
dimaksud adalah masyarakat yang terbebas dari peraturan yang dipelihara dengan
kekuasaan yang kuat. Masyarakat itu mampu mengatur dirinya sendiri. Dengan kata
lain merupakan masyarakat yang mandiri.
Sedang
di Indonesia wacana mengenai masyarakat madani yang dimaksud adalah civil
society yang sebenarnya itu berlangsung
karena frustrasi terhadap proses demokratisasi. Itulah sebabnya wacana
itu diikuti dengan agenda pemberdayaan.
Selama
ini telah muncul berbagai gagasan dalam rangka pemberdayaan masyarakat.
Pertama, yang lebih mementingkan upaya-upaya integrasi nasional, mencakup
integrasi politik, integrasi sosial, integrasi ekonomi, dan integrasi budaya di
bawah kepemimpinan pemerintah. Pemikiran ini justru dianggap menimbulkan
hambatan-hambatan menuju demokratisasi. Kedua,
yang mengutamakan perombakan sistem politik yang memiliki cirri-ciri
demokrasi, khususnya menghormati hak-hak asasi manusia. Usaha ke arah ini
banyak mengalami kegagalan dan justru memancing munculnya tindakan-tindakan
yang tidak demokratis, dan ketiga, yang ingin terlebih dahulu membangun
masyarakat madani sebagai basis yang kuat ke arah proses demokratisasi.
Strategi
pertama mendasarkan pada asumsi bahwa sistem demokrasi tidak mungkin
berlangsung atas dasar masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan
bernegara yang kuat. Dewasa ini demokrasi masih belum diperlukan dan masih
merupakan barang mewah. Pelaksanaan demokrasi yang liberal justru akan
menimbulkan konflik dan merupakan sumber
instabilitas politik sebagai landasan pembangunan, karena pembangunan lebih-lebih
yang terbuka terhadap perekpnomian global.
Dalam
pandangan yang pertama ini persatuan dan kesatuan bangsa lebih dutamakan dari
pada demokrasi. Paling tidak perlu adanya keseimbangan antara berbagai nilai
yang terdapat dalam Pancasila. Dalam
Pancasila kedaulatan bukan satu-satunya nilai yang menjadi acuan. Persatuan
bangsa juga harus dipertimbangkan. Bahkan, dari segi pragmatis keadilan sosial
perlu mendapatkan prioritas. Ini berarti yang diutamakan adalah pembangunan,
khususnya pembangunan ekonomi. Pendapatan masyarakat harus ditingkatkan.
Ekonomi nasional harus diperkuat, lebih-lebih menghadapi era globalisasi.
Tentu
saja tidak dilupakan pembangunan sosial (social development) yang dicanangkan
PBB. Proses pembangunan ekonomi dan sosial ini akan membawa kepada proses
integrasi nasional. Tetapi proses integrasi ini
tidak bisa menunggu, sebab ia juga merupakan prasyarat pembangunan.
Apabila pembangunan berhasil, maka barangkali dapat diharapkan timbulnya proses
demokratisasi. Yang menjadi masalah dalam strategi ini adalah bahwa keberhasilan pembangunan yang
diraih Orde Baru tidak diikuti dengan proses demokratisasi. Bahkan timbul
berbagai persoalan sosial, seperti
kesenjangan ekonomi, korupsi, nepotisme, neofeodalisme, erosi budaya
tradisional, dan konflik sosial yang diwarnai oleh kesukuan dan kekerasan.
Itu
semua justru memancing peranan Negara yang lebih besar. Sudah tentu hal itu
memberi hambatan haru terhadap proses demokratisasi. Karena itu, maka
pembangunan ekonomi perlu diimbangi dengan pembangunan sosial. Selain itu,
secara lebih konkrit dilakukan reformasi politik untuk melancarkan proses
demokratisasi.
Strategi kedua berpandangan
bahwa kita tidak usah menunggu rampungnya
kalau memang bisa rampung tahap pembangunan ekonomi. Sejak awal dan
secara bersama-sama diperlukan proses demokratisasi yang pada esensinya adalah
memperluas partisipasi politik yang bergandengan dengan transparansi politik.
Kalau kerangka kelembagaan ini diciptakan, maka akan dengan sendirinya timbul
masyarakat madani atau publik politik yang mampu melakukan kontrol terhadap pemerintah. Hal ini akan mencegah
korupsi, kolusi dan kebijaksanaan yang memihak yang kuat. Nepotisme dan
neo-feodalisme akan bisa dicegah dengan kontrol masyarakat yang kuat. Dengan
begitu masyarakat akan ikut bertanggungjawab untuk mencegah timbulnya
konflik-konflik sosial dengan latar belakang apapun.
Strategi ketiga agaknya muncul
karena kekecewaaan terhadap realisasi strategi pertama dan frustrasi terhadap
proses demokratisasi oleh kelompok-kelompok pro-demokrasi. Jalan ketiga ini
mengutamakan pendidikan politik dan penyadaran (conscientization),
terutama terhadap golongan menengah yang
makin luas. Demokrasi dalam pandangan kelompok ini memerlukan dukungan struktural
yang sebenarnya telah muncul sebagai hasil pembangunan.
Agaknya strategi ketiga ini
tidak berdiri sendiri. Keberhasilan pembangunan sangat diperlukan, karena
strategi ini mengasumsikan muncul dan berkembangnya kelas menengah, khususnya
kelas menengah baru yang beintikan cendedikiawan dan professional juga kalangan perempuan
dalam perjuangan gender. Sebab penyadaran juga memerlukan basis struktural. Di
samping itu penyiapan kerangka
kelembagaanyang melancarkan proses demokratisasi juga diperlukan. Misalnya
dengan sistem kepartaian seperti sekarang ini sulit timbul proses
demokratisasi, karena sistem ini menghendaki dominasi satu golongan politik atas golongan lain secara permanen. Alternatif tidak diakui dan
dicegah timbul. Bahkan sistem yang ada sekarang ini menumbuh-suburkan nepotisme
dan neo-feodalisme.
Dalam kaitan ini perlu
diperhatikan ucapan Huntington yang mengatakan bahwa hanya sistem yang
demokratislah yang mampu survive. Sistem
yang berlaku di Indonesia sekarang ini
memang tampak kuat, tetapi sekuat-kuat rezim represif, akhirnya akan runtuh
juga, kalau tidak dari luar, bisa dari dalam sendiri.
Dengan demikian, maka
pemberdayaan masyarakat dapat ditempuh melalui tiga cara. Pertama, dengan
memperluas golongan menengah melalui pembangunan ekonomi yang lebih terarah.
Kedua, memberdayakan sistem politik dengan menciptakan kerangka kelembagaan yang
lebih konduslf terhadap proses demokratisasi, dan ketiga, dengan upaya-upaya
penyadaran dan pendidikan politik tidak saja lapisan menengah ke bawah, tetapi juga kalangan elit politik.
Dalam kerangka pemikiran
masyarakat madani persatuan umat dipandang sangat penting. Persatuan ini
dilandasi oleh orientasi terhadap kebajikan umum (al-khair) yang diterima
bersama. Dengan demikian, maka akan ada komitmen untuk mencapai masyarakat yang
kita cita-citakan itu, yakni masyarakat madani yang merupakan sumber dari
sebuah Negara yang kuat, tetapi demokratis.
Daftar bacaan:
1.Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan
(Bandung: Mizan, 1987).
2.M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah
dan Perubahan Sosial (Jakarta: LP3ES – LSAF, 1999).