Friday, July 4, 2014

Pengembangan Masyarakat Madani



Pengembangan Masyarakat Madani
Oleh Sudirman Tebba
                Orde Baru lahir pada tahun 1966 dan berkembang dengan menjalankan program-program pembangunan dan modernisasi. Waktu itu timbul masalah, apakah modernisasi merupakan rasionalisasi dalam arti penggunaan akal ataukah westernisasi  yang berarti peniruan gaya hidup Barat, seperti perempuan berpakain minim, pergaulan bebas laki-laki dengan perempuan, dan sebagainya. Kalau modernisasi diartikan sebagai westernisasi mungkin sekali umat Islam menolak modernisasi, karena melanggar ajaran agama.
Untuk menghindari salah paham seperti ini di kalangan umat Islam terhadap modernisasi, maka Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa modernisasi adalah rasionalisasi dan bukan westernisasi. Menurut Nurcholish, pengertian modernisasi identik atau hampir identik dengan  rasionalisasi, dan hal ini berarti proses perombakan pola berpikir dan tatanan kerja lama yang tidak rasional dan menggantinya  dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang rasional. Kegunaannya ialah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal. Hal ini dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan.
Sedangkan ilmu pengetahuan ialah hasil pemahaman manusia terhadap hukum-hukum obyektif  yang menguasai alam, ideal dan material, sehingga alam b erjalan menurut kepastian tertentu dan harmonis. Orang yang bertindak menurut ilmu pengetahuan (ilmiah) berarti dia bertindak menurut hukum alam yang berlaku, karena dia tidak melawan hukum alam, malahan menggunakan hukum alam itu sendiri, sehingga memperoleh daya guna yang tinggi.Jadi, sesuatu dapat diseb ut modern kalau ia bersifat rasional, ilmiah, dan sesuai dengan hukum-hukum  yang berlaku dalam alam. Sebagai contoh ialah sebuah mesin hitung termodern dibuat dengan rasionalitas yang maksimal menurut penemuan ilmiah yang terbaru dan karena itu persesuaiannya dengan hokum alam paling mendekati kesempurnaan.
Bagi seorang muslim yang sepenuhnya meyakini kebenaran Islam sebagai way of life, semua nilai dasar way of life yang menyeluruh itu tercantum dalam Kitab Suci Al-Qur’an. Karena itu, modernisasi  merupakan suatu keharusan, malahan kewajiban yang mutlak. Modernisasi merupakan pelaksanaan perintah dan ajaran Tuhan Yang Maha Esa. Dasar sikap ini adalah firman Allah:
1.Allah menciptakan seluruh alam ini dengan haq (benar), bukan bathil (palsu) (QS: 16: 3, 38: 27).
2.Dia mengaturnya dengan peraturan Ilahi (sunnatullah) yang menguasai dan pasti (QS: 7:  54, 25: 2).
3.Sebagai buatan Tuhan Maha Pencipta alam ini adalah baik, menyenangkan (mendatangkan kebahagiaan duniawi) dan harmonis (QS: 21: 7, 67: 3).
4.Manusia diperintah oleh Allah untuk mengamati dan menelaah hukum-hukum yang ada dalam ciptaan-Nya (QS: 10: 101)
5.Allah menciptakan seluruh alam raya untuk kepentingan manusia, kesejahteraan hidup dan kebahagiaannya sebagai rahmat dari-Nya. Tetapi hanya golongan manusia yang berpikir atau berasional yang akan mengerti dan kemudian memanfaatkan karunia itu (QS: 45: 13).
6.Karena adanya perintah untuk mempergunakan akal pikiran (rasio) itu, maka Allah melarang segala sesuatu yang menghambat perkembangan pemikiran, yaitu terutama berupa pewarisan membuta terhadap tradisi-tradisi lama yang merupakan cara berpikir dan tata kerja generasi sebelumnya (QS: 2: 170, 43: 22 – 25).
                Jelaslah bahwa modernisasi yang berarti rasionalisasi untuk memperoleh  daya guna dalam berpikir dan bekerja yang maksimal untuk kebahagiaan umat manusia adalah perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar. Modernisasi berarti berpikir dan bekerja menurut fitrah atau Sunnatullah (Hukum Ilahi) yang haq, sebab alam adalah haq. Sunnatullah telah mengejawantahkan dirinya dalam hukum alam, sehingga untuk dapat menjadi modern manusia  harus mengerti terlebih dahulu  hukum yang berlaku dalam alam itu (perintah Tuhan).
                Pemahaman manusia terhadap hukum-hukum alam melahirkan ilmu pengetahuan, sehingga modern berarti ilmiah, dan ilmu pengetahuan diperoleh manusia melalui akalnya (rasionya), maka modern berarti ilmiah dan rasional. Maksud sikap rasional ialah memperoleh daya guna yang maksimal untuk memanfaatkan alam ini bagi kebahagiaan manusia. Karena keterbatasan  kemampuannya manusia tidak dapat sekaligus mengerti seluruh hukum alam ini, tetapi sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu, maka menjadi modern adalah juga progresif dan dinamis.  Jadi, tidak dapat bertahan kepada sesuatu yang telah ada (status quo), dan karena itu bersifat merombak dan melawan tradisi-tradisi yang jelas tidak benar, tidak sesuai dengan  kenyataan yang ada dalam hukum alam, tidak rasional, tidak ilmiah, sekalipun di pihak lain juga ada keharusan menerima dan meneruskan, kemudian mengembangkan warisan generasi sebelumnya yang mengandung nilai kebenaran.
                Karenanya, sekalipun bersikap modern itu suatu  keharusan mutlak, tetapi kemodernan itu sendiri sifatnya relatif, sebab terikat oleh ruang dan waktu. Sesuatu  yang sekarang ini  dikatakan modern dapat dipastikan menjadi kolot (tidak modern lagi) di masa yang akan datang. Sedangkan yang modern secara mutlak ialah Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta seluruh alam. Dengan demikian, modernitas berada dalam  suatu proses, yaitu proses penemuan Kebenaran Yang Mutlak, yaitu Allah. Itulah sebabnya Allah berfirman: “Akan Kami (Allah) perlihatkan kepada manusia ayat-ayat (hukum-hukum) Kami, baik di seluruh cakrawala maupun dalam diri mereka sendiri, sehingga menjadi terang bagi mereka bahwa dia (Al-Qur’an) itu benar adanya. Tidak cukupkah Tuhanmu itu menjadi  saksi atas segala sesuatu?” (QS: 41: 52). Jadi, tujuan akhir hidup manusia ialah Kebenaran Akhir, yaitu Tuhan itu sendiri atau boleh juga disebut Kebenaran Ilahi.
                Hal itu berarti bahwa tidak seorangpun  manusia berhak mengklaim suatu kebenaran insani sebagai suatu kebenaran mutlak, kemudian dengan sekuat tenaga mempertahankan kebenaran yang dianutnya itu dari setiap perombakan. Sebaliknya, karena menyadari kerelatifan kemanusiaan, maka setiap orang harus bersedia dengan lapang dada menerima dan mendengarkan kebenaran dari orang lain. Dengan begitu, terjadilah proses kemajuan yang terus menerus dari kehidupan manusia sesuai dengan fithrah (kejadian asal yang suci) manusia itu sendiri, dan sejalan dengan wataknya yang hanif (mencari dan merindukan Kebenaran).
                Seorang muslim seharusnya adalah seorang yang paling mendalam kesadarannya akan kemanusiaannya yang relatif. Seorang muslim adalah seorang yang dengan ikhlas mengaku bahwa dirinya adalah makhluk  yang dhaif (lemah, tidak berdaya) di hadapan Tuhan. Keinsyafan itu terpateri dalam jiwa seorang muslim, karena Tuhan mewajibkannya untuk menundukkan kepala dan bersujud kepada-Nya, Al-Haq al-Muthlaq, lima kali sehari sekurang-kurangnya. Karena itu, seharusnya pula seorang muslim adalah seorang yang paling tidak bersedia untuk mempertahankan kebeneran-kebenaran insani sebagai sesuatu yang mutlak, sehingga menjadi reaksioner, menentang segala perubahan nilai-nilai kemanusiaan.
                Dengan kata lain, seorang muslim semestinya menjadi seorang yang selalu bersedia menerima kebenaran-kebenaran baru dari orang lain dengan penuh rasa tawadhu’ (andap asor) kepada Tuhan. Apalagi Nabi Muhammad SAW sendiri menegaskan bahwa setiap kebenaran adalah barang hilangnya seorang muslim, maka barang siapa yang menemukannya di mana saja kapan saja hendaknya dia memungutnya dan bahwa kebenaran itu harus dicari di mana saja adanya, ”sekalipun harus kenegeri Cina”.
Jadi, seorang muslim adalah seorang yang senantiasa modern, naju, progresif, terus menerus mengusahakan perbaikan-perbaikan bagi diri dan masyarakatnya. Inilah yang disebut ihsan (harfiah: memperbaiki), salah satu dari dua perintah  Tuhan dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu akan keadilan dan ihsan” (QS: 16: 90).
Kemudian di antara wujud modernisasi adalah industrialisasi. Menurut Nurcholish, industrialisasi diberi definisi sebagai proses perkembangan teknologi oleh penggunaan  ilmu pengetahuan terapan yang ditandai dengan eks pansi  produksi besar-besaran dengan menggunakan tenaga permesinan untuk tujuan pasaran yang luas bagi barang-barang produsen maupun konsumen melalui angkatan kerja yang terspesialisasikan dengan pembagian kerja yang disertai dengan  urbanisasi yang meningkat.
Kalau proses telah berjalan cukup jauh mekanisasi  dapat pula meliputi tidak hanya industri itu sendiri, tetapi juga pertanian. Demikian pula produksi besar-besaran  spesialisasi dan pembagian kerja tampak pada skala yang luas, sarana komunikasi dan transportasi mencapai perkembangan yang maksimal, tenaga listrik melalui proyek-proyek pembangkitan tenaga yang besar semakin menggantikan bentuk-bentuk lama tenaga penggerak.
Menyertai perubahan di bidang ekonomi terjadi pula bentuk perubahan  yang kompleks dalam kelompok sosial dan perubahan sosial. Tipikal  pada tahap pertama proses industrialisasi berdampingan dengan urbanisasi ialah peningkatan mobilitas penduduk. Juga terdapat perubahan yang penting dalam adat kebiasaan  dan moral masyarakat yang mempengaruhi semua bentuk penggolongan  primer dan sekunder, di mana penggolongan sekunder memainkan peranan yang makin besar.
Sangat menonjol pula adalah pengaruh-pengaruh terhadap status pekerjaan dan keahlian-keahlian penduduk pekerja, terhadap kehidupan keluarga dan kedudukan perempuan dan terhadap tradisi-tradisi serta kebiasaan-kebiasaan dalam konsumsi barang-barang. Konflik antarkelas, ras dan kelompok sosial lainnya juga dilihat sebagai akibat penyerta yang tipikal, demikian pula sifat yang makin kompleks dari proses akomodasi.
Meskipun saat sekarang industrialisasi juga  digunakan sebagai gambaran tentang perkembangan organisasi ekonomi sosialis, tetapi menurut sejarahnya istilah itu digunakan bagi perkembangan ekonomi kapitalis dengan ciri-ciri selain yang tersebut itu, yaitu pola-pola pemilikan dan pengawasan oleh kepentingan industrial dan kelak juga financial.
Tegasnya industrialisasi menyangkut proses perubahan social, yaitu perubahan susunan kemasyarakatan dari suatu system social pra industrial (agraris misalnya) ke system social industrial. Kadang-kadang juga dsejajarkan dengan perubahan dari masyarakat pramodern ke masyarakat modern, atau dalam peristilahan yang akhir-akhir ini banyak digunakan , yaitu perubahan dari keadaan Negara kurang maju (less developed country – LDC) ke keadaan masyarakat Negara yang lebih maju (more developed  country – MDC).             
Tetapi  pembangunan, modernisasi dan juga industrialisasi  yang mulanya diharapkan membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia ternyata setelah berlangsung puluhan tahun, malahan sampai Orde Baru runtuh   pada tahun 1998 dan sampai sekarang masyarakat Indonesia masih mengalami kesenjangan sosial yang luar biasa. Ada sekitar 115 juta orang atau hampir separuh penduduk Indinesia hidup dengan pendapatan Rp 20.000 sehari ke bawah. Mereka belum tentu bisa makan tiga kali sehari, karena uangnya itu sebagian musti ditabung untuk membayar listrik, cicilan, kontrakan, dan sebagainya. Kalau mau makan tiga kali sehari ada  keperluan yang mereka harus abaikan, seperti pendidikan. Ini sebabnya banyak orang Indonesia yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat yang  lebih tinggi. Kondisi sosial ekonomi ini masih menjauhkan bangsa Indonesia dari cita-cita keadilan, kemakmuran, penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia, pemberdayaan  masyarakat dan pengembangan masyarakat madani (civil society).
Masyarakat Madani
 M. Dawam Rahardjo menjelaskan bahwa gagasan civil society yang muncul di Indonesia berkaitan erat dengan gagasann dan visi demokratisasiyang diperjuangkan oleh berbagai kalangan. Asumsi di belakang gagasan itu adalah persepsi tentang perkembangan politik sejak Orde Baru bahwa institusi Negara telah tumbuh menjadi demikian kuatnya. Barangkali kesan itu timbul melihat peranan pemerintah yang sejak Orde Baru memang tampil  sebagai agen perubahan  (agent of change) dalam pembangunan. Dengan begitu di sini Negara diidentikkan  dengan pemerintah.
Identifikasi pemerintah dengan Negara telah banyak ditolak dan dikritik. Kritik itu berkaitan dengan kondisi demokrasi di masa Orde Baru. Menurut para pengeritik, kelompok yang berkuasa selalu menilai setiap kritik terhadap pemerintah sebagai kegiatan menentang Negara. Bahkan kritik terhadap kebijaksanaan seorang pejabat sering pula dianggap sebagai usaha menentang Negara. Hal ini mendekati gejala  l’etat se moi, Negara adalah saya, walaupun kata-kata raja Prancis Louis XIV itu tidak diucapkan.  Padahal pemerintah dan system politik  bisa runtuh dan diganti, tetapi institusi Negara masih tetap tegak berdiri.
Institusi Negara lebih dari sekedar pemerintah, yang hanya  merupakan bagian dari kekuasaan Negara, yakni bagian eksekutif . termasuk badan legislatif  (DPR/ MPR), bagian yudikatif (Mahkamah Agung dan badan peradilan lainnya) serta Angkatan Bersenjata. Masing-masing mempunyai kekuasaannya sendiri yang menurut prinsip Trias Politika Montesquieu (1689 – 1755) harus saling berwasiat  atas kebenaran (check and balance) agar tidak bertindak terlalu jauh, sehingga menggoyahkan keseimbangan kekuasaan. Keseimbangan kekuasaan ini diperlukan untuk mencegah timbulnya kesewenang-wenangan  atau pelanggaran kesepakatan konstitusional yang dalam kenyataannya sering  dilakukan oleh atau terjadi pada badan eksekutif, yakni pemerintah.
Dalam penilaian banyak kalangan selama orde Baru kekuasaan pemerintah telah berkembang terlalu jauh. Pada masa  Demokrasi Terpimpin hal itu sudah terjadi dan sebenarnya hendak dicegah dalam pemerintah Orde Baru, tetapi dalam kenyatannya yang terjadi  pada masa Orde Baru tidak jauh berbeda dengan di masa Orde Lama, yaitu pemerintah telah mendominasi kekuasaan-kekuasaan lainnya. Dominasi terhadap lembaga peradilan dan lembaga perwakilan rakyat telah menimbulkan gangguan terhadap prinsip-prinsip keadilan dan mekanisme demokrasi.
Pada masa Orde Baru sebenarnya rakyat atau masyarakat masih berharap pada partai politik dan Golongan Karya (Golkar) sebagai wadah dan penyalur aspirasi masyarakat. Dua partai politik waktu itu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) diharapkan melakukan perubahan dari luar pemerintahan, sedangkan Golkar diharapkan melakukan perubahan dari dalam. Tetapi kedua organisasi politik itu ternyata juga tidak berdaya, karena telah didominasi oleh pemerintah.  Padahal fungsionaris pemerintah terdiri  atas unsur Golkar dan angkatan bersenjata juga. Gejala itu menimbulkan pengertian mengenai pencaplokan  (incorporation) Negara terhadap organisasi-organisasi yang disebut sebagai lembaga yang dibentuk oleh masyarakat. Pdahal yang terjadi adalah dominasi pemerintah dan angkatan bersenjata  (yang lebih mewakili lembaga Negara) terhadap organisasi  politik yang dianggap mewakili rakyat.
Lebih jauh dari itu pemerintah dan angkatan bersenjata juga berusaha menguasai organisasi-organisasi kemasyarakatan, seperti NU dan Muhammadiyah. Lembaga buruh, tani dan nelayan yang sudah lama dibubarkan dan diganti yang baru, seperti  Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Himpunan Kerukunan Tani Seluruh Indonesia (HKTI). Organisasi pemuda yang baru menggantikan yang lama dibentuk juga atas  sponsor pmerintah, seperti Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) dan Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI)
Hal yang menarik adalah analisis sejumlah pakar yang melihat kelahiran Ikatan Cendekiawan  Muslim se Indonesia (ICMI) yang waktu itu diketuai oleh   B.J. Habibie sebagai hasil rekayasa pemerintah menghadapi pemilihan umum 1992 dan SU MPR 1993. Padahal kenyataannya ICMI dibentuk oleh sejumlah  mahasiswa Universitas Brawijaya di Malang yang bekerja sama dengan cendekiawan muslim yang sebagian memang birokrat. Kelahiran ICMI dianggap sebagai ekspansi Negara di satu pihak dan kooptasi Negara terhadap umat Islam di pihak lain. Karena itu ada usul agar dilakukan proses demokratisasi di kalangan umat Islam dengan melepaskan ICMI dari Negara, sehingga ICMI bisa menjadi bagian  dari civil society. Terkesan  bahwa ICMI dibayangkan sebagai benar-benar bagian dari Negara.
Menarik untuk menyimak wacana civil society yang muncul di Amerika Serikat, karena Amerika Serikat memberi contoh kasus-kasus civil society, sebagaimana ditemukan oleh Tocquiville (1805 – 1859), seorang teoritisi politik, sosiolog dan ahli sejarah Prancis yang pada tahun 1831 -1832 berkunjung ke Amerika Serikat dan menghasilkan buku yang terkenal De la democratie en Amerique atau Democracy in America.
Sebenarnya  pembicaraan mengenai civi society di Amerika Serikat dan juga Eropa Barat misalnya cukup menimbulkan tanda tanya, karena di kawasan  itu demokrasi tidak menjadi masalah. Bahkan contoh  tentang sistem politik demokrasi diambil dari Eropa Barat dengan sistem parlementernya dan Amerika Serikat dengan sistem presidensialnya. Pada tahun 1989 sebelum  Uni Soviet runtuh Francis Fukuyama, seorang Amerika keturunan Jepang menulis artikel yang dikembangkannya dalam buku The End of History and the Last Man (1990) yang pada pokoknya mentesiskan bahwa akhir evolusi sistem politik di seluruh dunia adalah demokrasi liberal dan di bidang ekonomi ialah kapitalisme.
Namun di Eropa Barat para sarjana dan politisi masih menghadapi masalah Negara kesejahteraan (welfare state) yang dianggap menyimpang dari prinsip-prinsip liberalisme, karena menonjolnya peranan Negara. Konsep ini dalam arti sempit hanya menyangkut kebijaksanaan pemerintah di bidang  pendidikan dan kesehatan. Dalam arti yang lebih luas hal ini menyangkut peranan Negara yang cukup besar dalam sistem kapitalis sebagai warisan sosialisme. Di Eropa Barat masih beroperasi  perusahaan-perusahaan Negara, terutama di bidang pelayanan umum. Pemerintah sendiri juga ikut berperan di bidang kesejahteraan masyarakat. Peranan partai komunis, partai sosialis  atau partai buruh masih tetap  besar dan kerapkali  malahan menang dalam pemilihan umum dan memegang tampuk pemerintahan.
 Namun hal yang mendasar sebenarnya adalah masuknya pengaruh Negara dan politik dalam kehidupan politik. Hal ini tercermin dari begitu banyaknya undang-undang dan peraturan pemerintah dan peraturan lembaga-lembaga  masyarakat sendiri yang menyerupai  peraturan pemerintah dalam mengatur kehidupan individu hingga hal yang sekecil-kecilnya. Di lain pihak peranan Negara itu sangat dirasakan dalam banyaknya jenis dan besarnya pajak yang harus dibayar. Dengan pajak itu pula peranan Negara dan pemerintah terasa begitu  besarnya yang merasuk ke dalam masyarakat.
Secara keseluruhan terkesan bahwa Negara memang makin hadir di mana-mana , sekalipun di Negara-negara paling demokratis di dunia. Bahkan perusahaan-perusahaan dan kantor-kantor swasta, terutama yang besar dengan peraturan-peraturannya yang ketat menyerupai dan dirasakan sebagai semacam Negara. Birokratisasi menjalar ke mana-mana. Timbulnya visi yang sebenarnya sebuah kerinduan akan lahirnya kembali perusahaan-perusahaan kecil tetapi indah (small and beautiful) dari Schumacher atau gagasan prosumsi (kesatuan produksi dengan konsumsi) dari Toffler sebenarnya  adalah merupakan pemberontakan  terhadap birokrasi yang tidak saja terdapat pada lembaga Negara tetapi juga pada pabrik-pabrik  dan kantor-kantor swasta.
Impian itulah agaknya yang menjelma ke dalam perhatian terhadap konsep civil society. Gagasan pokoknya adalah mengembangkan kehidupan masyarakat di luar Negara. Di sini civil society memang dipertentangkan dengan Negara yang dilihat sebagai semacam  monster. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang terbebas dari peraturan yang dipelihara dengan kekuasaan yang kuat. Masyarakat itu mampu mengatur dirinya sendiri. Dengan kata lain merupakan masyarakat yang mandiri.  
Sedang di Indonesia wacana mengenai masyarakat madani yang dimaksud adalah civil society yang sebenarnya itu berlangsung  karena frustrasi terhadap proses demokratisasi. Itulah sebabnya wacana itu diikuti dengan agenda pemberdayaan.
Selama ini telah muncul berbagai gagasan dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Pertama, yang lebih mementingkan upaya-upaya integrasi nasional, mencakup integrasi politik, integrasi sosial, integrasi ekonomi, dan integrasi budaya di bawah kepemimpinan pemerintah. Pemikiran ini justru dianggap menimbulkan hambatan-hambatan menuju demokratisasi. Kedua,  yang mengutamakan perombakan sistem politik yang memiliki cirri-ciri demokrasi, khususnya menghormati hak-hak asasi manusia. Usaha ke arah ini banyak mengalami kegagalan dan justru memancing munculnya tindakan-tindakan yang tidak demokratis, dan ketiga, yang ingin terlebih dahulu membangun masyarakat madani sebagai basis yang kuat ke arah proses demokratisasi.
Strategi pertama mendasarkan pada asumsi bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung atas dasar masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat. Dewasa ini demokrasi masih belum diperlukan dan masih merupakan barang mewah. Pelaksanaan demokrasi yang liberal justru akan menimbulkan konflik  dan merupakan sumber instabilitas politik sebagai landasan pembangunan, karena pembangunan lebih-lebih yang terbuka terhadap perekpnomian global.
Dalam pandangan yang pertama ini persatuan dan kesatuan bangsa lebih dutamakan dari pada demokrasi. Paling tidak perlu adanya keseimbangan antara berbagai nilai yang terdapat  dalam Pancasila. Dalam Pancasila kedaulatan bukan satu-satunya nilai yang menjadi acuan. Persatuan bangsa juga harus dipertimbangkan. Bahkan, dari segi pragmatis keadilan sosial perlu mendapatkan prioritas. Ini berarti yang diutamakan adalah pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi. Pendapatan masyarakat harus ditingkatkan. Ekonomi nasional harus diperkuat, lebih-lebih menghadapi era globalisasi.
Tentu saja tidak dilupakan pembangunan sosial (social development) yang dicanangkan PBB. Proses pembangunan ekonomi dan sosial ini akan membawa kepada proses integrasi nasional. Tetapi proses integrasi ini  tidak bisa menunggu, sebab ia juga merupakan prasyarat pembangunan. Apabila pembangunan berhasil, maka barangkali dapat diharapkan timbulnya proses demokratisasi. Yang menjadi masalah dalam strategi ini  adalah bahwa keberhasilan pembangunan yang diraih Orde Baru tidak diikuti dengan proses demokratisasi. Bahkan timbul berbagai persoalan  sosial, seperti kesenjangan ekonomi, korupsi, nepotisme, neofeodalisme, erosi budaya tradisional, dan konflik sosial yang diwarnai oleh kesukuan dan kekerasan.
Itu semua justru memancing peranan Negara yang lebih besar. Sudah tentu hal itu memberi hambatan haru terhadap proses demokratisasi. Karena itu, maka pembangunan ekonomi perlu diimbangi dengan pembangunan sosial. Selain itu, secara lebih konkrit dilakukan reformasi politik untuk melancarkan proses demokratisasi.       
                Strategi kedua berpandangan bahwa kita tidak usah menunggu rampungnya  kalau memang bisa rampung tahap pembangunan ekonomi. Sejak awal dan secara bersama-sama diperlukan proses demokratisasi yang pada esensinya adalah memperluas partisipasi politik yang bergandengan dengan transparansi politik. Kalau kerangka kelembagaan ini diciptakan, maka akan dengan sendirinya timbul masyarakat madani atau publik politik yang mampu melakukan kontrol  terhadap pemerintah. Hal ini akan mencegah korupsi, kolusi dan kebijaksanaan yang memihak yang kuat. Nepotisme dan neo-feodalisme akan bisa dicegah dengan kontrol masyarakat yang kuat. Dengan begitu masyarakat akan ikut bertanggungjawab untuk mencegah timbulnya konflik-konflik sosial dengan latar belakang apapun.
                Strategi ketiga agaknya muncul karena kekecewaaan terhadap realisasi strategi pertama dan frustrasi terhadap proses demokratisasi oleh kelompok-kelompok pro-demokrasi. Jalan ketiga ini mengutamakan pendidikan politik dan penyadaran (conscientization), terutama  terhadap golongan menengah yang makin luas. Demokrasi dalam pandangan kelompok ini memerlukan dukungan struktural yang sebenarnya telah muncul sebagai hasil pembangunan.
                Agaknya strategi ketiga ini tidak berdiri sendiri. Keberhasilan pembangunan sangat diperlukan, karena strategi ini mengasumsikan muncul dan berkembangnya kelas menengah, khususnya kelas menengah baru yang beintikan cendedikiawan  dan professional juga kalangan perempuan dalam perjuangan gender. Sebab penyadaran juga memerlukan basis struktural. Di samping itu  penyiapan kerangka kelembagaanyang melancarkan proses demokratisasi juga diperlukan. Misalnya dengan sistem kepartaian seperti sekarang ini sulit timbul proses demokratisasi, karena sistem ini menghendaki dominasi  satu golongan politik atas golongan lain  secara permanen. Alternatif tidak diakui dan dicegah timbul. Bahkan sistem yang ada sekarang ini menumbuh-suburkan nepotisme dan neo-feodalisme.
                Dalam kaitan ini perlu diperhatikan ucapan Huntington yang mengatakan bahwa hanya sistem yang demokratislah  yang mampu survive. Sistem  yang berlaku di Indonesia sekarang ini memang tampak kuat, tetapi sekuat-kuat rezim represif, akhirnya akan runtuh juga, kalau tidak dari luar, bisa dari dalam sendiri.
                Dengan demikian, maka pemberdayaan masyarakat dapat ditempuh melalui tiga cara. Pertama, dengan memperluas golongan menengah melalui pembangunan ekonomi yang lebih terarah. Kedua, memberdayakan  sistem politik  dengan menciptakan kerangka kelembagaan yang lebih konduslf terhadap proses demokratisasi, dan ketiga, dengan upaya-upaya penyadaran dan pendidikan politik tidak saja lapisan menengah  ke bawah, tetapi juga  kalangan elit politik.
                Dalam kerangka pemikiran masyarakat madani persatuan umat dipandang sangat penting. Persatuan ini dilandasi oleh orientasi terhadap kebajikan umum (al-khair) yang diterima bersama. Dengan demikian, maka akan ada komitmen untuk mencapai masyarakat yang kita cita-citakan itu, yakni masyarakat madani yang merupakan sumber dari sebuah Negara yang kuat, tetapi demokratis.   

Daftar bacaan:
1.Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan,  1987).
2.M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial (Jakarta: LP3ES – LSAF, 1999).