Sunday, January 1, 2012

Pemikiran Sosial HMI



            Pemikiran sosial Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dapat dilihat dalam ideologi organisasi kemahasiswaan ini berupa buku panduan yang disebut Nilai Dasar Perjuangan (NDP):
“Telah diterangkan di muka bahwa pusat kemanusiaan adalah masing-masing pribadinya dan bahwa kemerdekaan  pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tidak ada sesuatu yang lebih berharga dari kemerdekaan itu. Juga telah dikemukakan bahwa manusia hidup dalam suatu bentuk hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya sebagai makhluk sosial, manusia tidak mungkin memenuhi kemanusiaannya dengan baik tanpa berada di tengah sesamanya dalam bentuk hubungan-hubungan tertentu. Maka dalam masyarakat itulah kemerdekaan asasi diwujudkan.Tetapi justru karena adanya kemerdekaan pribadi itu, maka timbul perbedaan-perbedaan antara suatu pribadi dengan lainnya (Az-Zukhruf: 32). Sebenarnya perbedaan-perbedaan itu adalah untuk kebaikannya sendiri, sebab kenyataan yang penting dan prinsipil ialah bahwa kehidupan ekonomi, sosial dan kultural menghendaki pembagian kerja yang berbeda-beda (Al-Maidah: 48). Pemenuhan suatu bidang kegiatan guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan, sekalipun hanya sebagian anggotanya (Al-Lail: 4). Namun sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur tiap-tiap orang harus diberi kesempatan untuk mengembangkan kecakapannya melalui aktivitas dan kerja yang sesuai dengan kecenderungannya dan bakatnya (Al-Isra’: 84 dan Az-Zumar: 39). Namun inilah kontradiksi yang ada pada manusia dia adalah makhluk yang sempurna dengan kecerdasan dan kemerdekaannya dapat berbuat baik kepada sesamanya, tetapi pada waktu yang sama ia merasakan adanya pertentangan yang konstan dengan keinginannya yang terbatas di bawah sadar yang jika dilakukan pasti merugikan orang lain. Keinginan tak terbatas sebagai hawa nafsu. Hawa nafsu cenderung ke arah merugikan orang lain (kejahatan) dan kejahatan dilakukan orang karena mengikuti hawa nafsu (Yusuf: 53 dan Ar-Rum: 29). Ancaman atas kemerdekaan masyarakat, dan karena itu juga berarti ancaman terhadap kemerdekaan pribadi anggotanya ialah keinginan tak terbatas atau  hawa nafsu tersebut, maka selain  kemerdekaan, persamaan antara hak sesama manusia adalah esensi kemanusiaan yang harus ditegakkan. Realisasi persamaan dicapai dengan membatasi kemerdekaan. Kemerdekaan tak terbatas hanya dipunyai satu orang, sedangkan untuk lebih satu orang kemerdekaan tak terbatas tidak dapat dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan. Kemerdekaan seseorang dibatasi oleh kemerdekaan orang lain. Pelaksanaan kemerdekaan tak terbatas hanya berarti pemberian kemerdekaan kepada pihak yang kuat atas pihak yang lemah (perbudakan dalam segala bentuknya), sudah tentu hak itu bertentangan dengan keadilan. Kemerdekaan dan keadilan merupakan dua nilai yang saling menopang. Sebab harga diri manusia terletak pada adanya hak bagi orang lain untuk mengembangkan kepribadiannya, sebagai kawan hidup dengan tingkat yang sama. Anggota masyarakat harus saling menolong dalam membentuk masyarakat yang bahagia.

 
            Sejarah dan perkembangannya bukanlah suatu yang tidak dirobah. Hubungan yang benar antara manusia dan sejarah bukanlah penyerahan pasif, tetapi sejarah ditentukan oleh manusia sendiri. Tanpa pengertian ini azab Tuhan (akibat buruk) dan pahala (akibat baik) bagi suatu amal perbuatan mustahil ditanggung manusia (Al-Zalzalah: 7 – 8). Manusia merasakan akibat amal perbuatannya sesuai dengan ikhtiarnya dalam hidup ini (dalam sejarah) dan dalam hidup kemudian (sesudah sejarah) (At-Taubah: 75 dan An-Nahl: 30). Semakin seseorang bersungguh-sungguh dalam kekuatan yang bertanggung-jawab dengan kesadaran yang terus menerus akan tujuannya dalam membentuk masyarakat semakin ia mendekati tujuan (Al-Ankabut: 69). Manusia mengenali dirinya sebagai makhluk yang nilai dan martabatnya dapat sepenuhnya dinyatakan jika ia mempunyai kemerdekaan tidak saja untuk mengatur hidupnya sendiri tetapi juga untuk memperbaiki hubungan sesama manusia dalam lingkungan masyarakat. Dasar hidup gotong royong ini ialah kesetiakawanan dan kecintaan sesama manusia dalam pengakuan akan adanya persamaan dan kehormatan bagi setiap orang (Al-Hujurat: 10 dan 13)”.  

            Kutipan itu menjelaskan bahwa esensi pemikiran sosial HMI adalah keadilan, yaitu persamaan hak dan kesempatan bagi setiap orang dalam semua bidang kehidupan, seperti hukum, politik, sosial, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya, sehingga  ada keadilan hukum, keadilan politik, keadilan sosial, keadilan ekonomi, keadilan pendidikan, dan lain-lain. Keadilan hukum adalah persamaan kedudukan di depan hukum, keadilan politik adalah persamaan hak dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik, keadilan sosial adalah persamaan dan kesempatan yang sama bagi semua orang dalam kehidupan sosial, keadilan ekonomi adalah persamaan hak dan kesempatan dalam kehidupan ekonomi, keadilan pendidikan adalah persamaan hak dan kesempatan dalam bidang pendidikan.
            Keadilan itu diperlukan agar kemerdekaan yang merupakan hak asasi setiap orang tidak melanggar kemerdekaan orang lain. Setiap individu memiliki kemerdekaan, tetapi kemerdekaan itu harus dibatasi supaya tercipta keadilan dalam masyarakat. Kalau kemerdekaan itu tidak dibatasi, maka  ada orang yang kemerdekaannya terpenuhi, tetapi ada pula orang yang kemerdekaannya dirampas, dan ini berarti ketidakadilan.

                                                                            Pemikiran Cak Nur
            Lebih jauh untuk memahami pemikiran sosial HMI dapat ditelusuri pada pemikiran Nurcholish Madjid atau Cak Nur sebagai perumus utama NDP. Dalam pemikiran Cak Nur konsep keadilan sebagai esensi pemikiran sosial merupakan bagian dari akhlak yang mulia, dan akhlak yang mulia merupakan bagian dari amal saleh, sedang amal saleh merupakan salah satu konsekuensi dari iman kepada Tuhan.
            Iman kepada Tuhan melahirkan tindakan untuk melakukan ibadah, amal saleh dan akhlak yang mulia. Jadi, iman itu melahirkan tata nilai berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. “Sesungguhnya kita berasal dari Tuhan dan kita akan kembali kepada-Nya” (Al-Baqarah/ 156). Karena itu, Tuhan adalah sangkan paran (asal dan tujuan) hidup (hurip), bahkan seluruh makhluk (dumadi).
            Ketuhanan Yang Maha Esa adalah inti semua agama yang benar. Setiap umat manusia telah pernah mendapatkan ajaran tentang Ketuhanan Yang Maha Esa melalui para rasul. Karena itu, terdapat titik pertemuan (kalimah sawa’) antara semua agama dan orang-orang Islam diperintahkan untuk mengembangkan titik pertemuan itu sebagai landasan hidup bersama.
            Tuhan adalah pencipta semua wujud yang lahir dan batin, dan Dia telah menciptakan manusia sebagai ciptaan untuk diangkat menjadi khalifah di muka bumi. Karenanya, manusia harus berbuat sesuatu yang bisa dipertanggung-jawabkan di hadapan-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Orang Islam punya pandangan hidup bahwa demi kesejahteraan di dunia dan keselamatannya di akhirat mereka harus bersikap pasrah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbuat baik kepada sesama manusia khususnya dan makhluk pada umumnya.
            Dengan demikian, iman itu tidak sekedar percaya bahwa Tuhan itu ada, tetapi mengandung konsekuensi berupa tindakan nyata dalam kehidupan manusia, yaitu ibadah, amal saleh dan akhlak yang mulia. Iman seseorang dikatakan tidak sempurna kalau tidak disertai dengan pelaksanaan ibadah, amal saleh dan akhlak yang mulia.
            Ibadah atau ritus atau tindakan ritual merupakan bagian yang amat penting dari setiap agama dan kepercayaan. Tidak pernah ada sistem kepercayaan yang tumbuh dan berkembang tanpa sedikit banyak mengintrodusir ritus. Bahkan pandangan hidup yang tidak berpretensi religius sama sekali dan mempunyai program untuk menghapus agama, seperti komunisme, juga mempunyai sistem ritualnya sendiri. Melalui ritus-ritus itu yang wujudnya bisa berupa mulai dari sekedar menunjukkan rasa hormat kepada lambang partai sampai kepada penghayatan dogmatis doktrin-doktrin dan ideologi partai, seorang komunis memperkukuh komitmen dan dedikasinya kepada anutan hidup dan cita-cita bersamanya.
            Kemudian memang benar bahwa yang penting ialah iman dan amal saleh, yaitu rangkaian dari dunia nilai yang salah satunya (iman) mendasari yang lainnya (amal saleh), tetapi iman yang abstrak itu untuk dapat melahirkan dorongan dalam diri seseorang ke arah perbuatan yang baik haruslah memiliki kehangatan dan keakraban dalam jiwa seorang yang beriman, dan ini bisa diperoleh melalui kegiatan ubudiyah (ibadah). Wujud nyata kehidupan agama selalu didapatkan dalam bentuk-bentuk ibadah.
            Jelaslah bahwa ibadah merupakan salah satu kelanjutan logis sistem iman. Kalau tidak ada ibadah, maka iman hanya akan menjadi rumusan-rumusan abstrak tanpa ada kemampuan memberi dorongan batin kepada individu untuk berbuat sesuatu dengan tingkat ketulusan yang sejati. Karena itu, iman harus dilembagakan dalam peribadatan sebagai ekspresi perhambaan seseorang kepada pusat makna dan tujuan hidupnya, yaitu Tuhan.
            Dalam Islam ibadah itu ada dua macam, yaitu ibadah formal atau ibadah khusus dan ibadah yang bersifat umum. Ibadah khusus yang wajib ialah shalat, puasa, zakat dan haji. Sedang ibadah yang bersifat umum adalah amal saleh. Karena itu, amal saleh juga merupakan konsekuensi dari iman. Artinya kalau orang itu mengaku beriman, maka salah satu wujudnya ialah melakukan amal saleh. Sebab iman itu menguasai jiwa dan sikap seseorang serta mendorong orang itu untuk beramal saleh, berbuat baik dan benar.
            Dorongan, keinginan dan kecenderungan seseorang untuk melakukan amal saleh, yaitu kebaikan, kesucian dan kebenaran, tidak hanya datang dari agama, tetapi juga merupakan sifat yang secara intrinsik ada pada diri manusia, karena kemanusiaannya. Sebab manusia itu menurut fitrah atau asal kejadiannya yang suci itu memang dengan sendirinya cenderung kepada kesucian atau hanif.
            Seterusnya  manusia itu dengan sendirinya cenderung merindukan atau mendambakan kesucian terakhir dan mutlak, yaitu Tuhan Yang Maha Suci, Maha Benar, Maha Baik, dan sebagainya yang serba mutlak. Tetapi justru karena Tuhan itu serba mutlak, maka Ia tak mungkin terjangkau oleh manusia dalam pengertian apapun. Yang dapat dilakukan oleh manusia ialah berproses menurut dorongan kerinduan dan keinginan kemanusiaannya dalam suatu jalan yang menuju Tuhan, dan biarpun manusia itu dalam hidupnya tak mungkin menjangkau dan sampai kepada Tuhan ia dapat persetujuan atau rida-Nya yang ia rasakan secara ruhani berupa apresiasi ketuhanan itu.
            Tingkat tertinggi kehidupan spiritual itu ialah sikap apresiatif ruhani serta perasaan lega dan rela (lego lilo) kepada Tuhan. Dan Pengalaman itu merupakan pertanda bahwa Tuhan pun rela (ridla) dan menyetujuinya. Sudah tentu selalu diingat bahwa bentuk-bentuk pengalaman religius itu amat individual sifatnya dengan segala kelanjutannya. Karena Tuhan sebagai tujuan penghayatan dan apresiasi itu bersifat serba mutlak yang pada hakikatnya tak terjangkau, maka yang dapat dan harus dilakukan ialah pendekatan terus menerus mengikuti garis yang membentang menuju-Nya. Hal ini berarti manusia harus berusaha senantiasa mengembangkan dan meningkatkan apresiasi religius itu dengan mengadakan eksplorasi-eksplorasi yang akan menambah  pengalaman-pengalaman baru.
            Akhirnya, kosekuensi iman adalah akhlak yang mulia. Artinya orang yang beriman harus memiliki akhlak yang mulia dan menjauhi akhlak yang tercela dalam kehidupannya. Akhlak yang mulia tidak hanya merupakan ajaran normatif Islam, tetapi sudah pernah dipraktekkan di awal perkembangan Islam, khususnya pada masa Rasulullah dan empat khalifah sesudah beliau, yakni Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
            Mereka dikenal sebagai golongan salaf, yang terdiri atas pribadi-pribadi yang sangat paham akan ajaran agama mereka, Islam (lebih tepatnya al-islam, ajaran tentang sikap penuh pasrah kepada Tuhan), dan sangat bersungguh-sungguh melaksanakannya. Karena mereka paham benar ajaran agama mereka dan telah bersungguh-sungguh melaksanakan al-islam dan memang begitulah yang semestinya yang terjadi, maka tindakan penuh pasrah kepada Tuhan itu menjiwai keseluruhan tingkah laku mereka. Itu sebabnya yang ada di hadapan mereka dan yang menjadi tujuan tingkah laku mereka ialah perkenan Tuhan.
            Masyarakat muslim salaf itu ditempa dengan iman yang kemudian menghasilkan nilai-nilai etis dan hal ini sangat relevan dengan masyarakat moderen. Masyarakat beriman itu memiliki nilai-nilai yang kemudian berimplikasi pada terbentuknya akhlak yang mulia. Akhlak yang mulia meliputi akhlak individu dan akhlak sosial. Di antara akhlak sosial ialah sikap adil atau keadilan. Mengenai keadilan antara lain Tuhan berfirman:
“Hai orang yang beriman!
  Jadilah kamu penegak keadilan,
  Sebagai saksi bagi Allah,
  Sekalipun terhadap dirimu sendiri,
  Atau orang tuamu, atau kerabatmu,
  Baik ia kaya maupun ia miskin.
  Allah lebih mengetahui kemaslahatan keduanya.
  Janganlah ikuti hawa nafsu,
  Supaya jangan kamu menyimpang (dari Kebenaran).
  Jika kamu memutar balik (Kebanaran),
  Atau menyimpang (dari Keadilan),
  Sungguh, Allah tahu benar
  Apa yang kamu lakukan” (An-Nisa’/ 4: 135).
            Menegakkan keadilan merupakan bagian dari akhlak yang mulia dan akhlak yang mulia merupakan bagian dari amal saleh. Amal saleh sendiri membawa manusia menuju kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat. Ini karena amal saleh atau tindakan manusia yang baik itu serasi dengan keseluruhan lingkungannya, baik di dunia maupun di akhirat.
            Keserasian duniawi diliputi oleh keserasian dunia lingkungan alam dan sosial sesama manusia. Dalam rangka keserasian sosial itulah cita-cita keadilan berada. Kehidupan yang saleh atau serasi antar manusia itu ialah kehidupan yang diliputi oleh kedamaian, kesejahteraan, keselamatan dan semacamnya. Singkatnya ialah kehidupan yang diliputi oleh salam, suatu kata Arab yang juga satu akar kata dengan “Islam”. Pengertian kata ini meliputi keseluruhan pengertian tentang nilai-nilai hidup yang tinggi dan mulia.
            Tugas manusia terhadap sesamanya ialah menyebarkan dan menanamkan salam, sehingga ia merupakan pernyataan paling langsung apresiasi ketuhanan, yang telah memperkuat rasa kemanusiaan. Hubungan langsung keduanya itu disimbolkan dalam struktur shalat, ia dibuka dengan takbir (Allah akbar) yang merupakan kontak dengan Tuhan dan ditutup dengan salam (assalamu’alaikum) yang merupakan kontak dengan sesama manusia.
            Tetapi keadaan yang penuh kedamaian tidak akan tumbuh dengan sendirinya, tetapi memerlukan kondisi-kondisi yang akan menumbuhkannya. Kondisi-kondisi itu antara lain dan yang terpenting ialah adanya keadilan sosial, yaitu keadilan yang menyangkut bidang ekonomi, di mana terdapat pembagian rizki atau kekayaan dalam masyarakat.
            Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa harta kekayaan adalah titipan Tuhan yang dikuasakan kepada penerimanya agar dipergunakan untuk sesama anggota masyarakat atau kepentingan umum. Ditegaskan pula bahwa dalam harta benda orang-orang kaya itu ada hak yang pasti bagi orang miskin. Betapa rendahnya orang-orang yang mempergunakan harta kekayaannya untuk kepentingan dirinya sendiri dalam kehidupan yang mewah, sehingga dikatakan sebagai kawan setan, makhluk jahat. Juga terkutuk orang-orang yang menyimpan rapat harta kekayaan itu, sehingga kehilangan fungsi sosialnya.
            Karena itu, betapa dikehendakinya agar orang-orang mampu menggunakan harta kekayaannya untuk diri sendiri itu mengingat tingkat rata-rata dalam masyarakat, tidak terlalu boros dan tidak pula terlalu irit. Ditegaskan pula bahwa manusia tidak akan memperoleh kebajikan sebelum ia bersedia mengorbankan sebagian harta yang dicintainya itu untuk orang banyak.
            Dalam Islam diajarkan pula bahwa barang siapa yang tidak tegas membela nasib orang-orang lemah, seperti anak-anak yatim dan orang miskin, berarti mendustakan agama, dan ia tetap celaka meskipun mengerjakan shalat. Juga ditandaskan bahwa dalam hubungan ekonomi antar sesama manusia tidak boleh ada tindas menindas. Betapa ancaman kehancuran suatu masyarakat atau negara ditujukan kalau di dalamnya terdapat kesenjangan antara si kaya dan si miskin, kemudian si kaya tidak bersedia mengorbankan sebagian kekayaannya untuk kepentingan menegakkan keadilan sosial, tetapi malahan bertindak demonstratif dan hidup mewah.
            Dengan demikian, Islam sangat apresiatif terhadap keadilan sosial. Apresiasi terhadap keadilan itu harus bersifat dinamis, sebab kita mengapresiasikannya  dalam rangkaian penghayatan keagamaan yang spiritual, dan karena itu bersifat aspiratif dan inspiratif. Aspiratif memberikan dorongan dan motivasi kepada kita, dan dalam merealisasikannya dalam kehidupan nyata sebagaimana semua kehidupan duniawi kita harus bersandar pada ilmu pengetahuan (sosial) yang berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat.
            Misalnya sekarang konsep keadilan sekarang telah berkembang ke dalam berbagai bidang kehidupan, seperti keadilan hukum, keadilan politik, keadilan  pendidikan, keadialan budaya, selain keadilan sosial dan keadilan ekonomi. Tentu saja konsep keadilan harus dipahami dalam konteks kehidupan yang luas. Inilah suatu pendekatan untuk memahami konsep keadilan dalam NDP, yaitu memahami latar belakang pemikiran yang mendasarinya untuk mengembangkannya saat ini.


No comments:

Post a Comment