Sunday, January 1, 2012

Zikir


 
            Zikir berarti mengingat, menyebut, mengucapkan, mengagungkan dan mensucikan. Maksudnya mengingat, menyebut, mengucapkan, mengagungkan dan mensucikan Allah dengan mengulang-ulang salah satu namanya atau kalimat keagungannya. Zikir yang hakiki ialah sebuah keadaan spiritual di mana seorang yang mengingat Allah (zakir) memusatkan segenap kekuatan fisik dan spiritualnya kepada Allah, sehingga seluruh wujudnya bisa bersatu dengan Yang Maha Mutlak. Ini adalah amalan dasar dalam menempuh jalan sufi.

            Menurut Sara Sviri, zikir merupakan praktik sekaligus keadaan esoteris. Sebagai keadaan esoteris zikir mengandung paradoks, karena sekalipun zikir berarti ingat, tetapi pengalaman puncak yang dituju praktik zikir merupakan lupa segalanya kecuali Allah. Dalam keadaan segenap perhatian tercurah kepada menyebut nama Allah, segalanya hilang dari orbit persepsi dan imajinasi.
            Zikir dialami pada banyak tataran. Pada tataran yang paling luar, zikir merupakan penyebutan nama Allah secara berulang-ulang. Ini pada dasarnya merupakan praktik mekanis yang dilakukan dengan bersuara, menyebut nama suci atau membaca bacaan suci dengan atau tidak bersuara, perhatian hati kepada nama suci tanpa mengucapkan nama itu.
            Penyebutan nama Allah secara berulang yang bersifat mekanis ini menciptakan saluran dalam hati wahana kesadaran yang sifatnya esoteris. Saluran ini merupakan antitesis saluran-saluran yang diciptakan pikiran mekanis dalam benak.
            Kalau terus menerus melakukan praktik zikir kita tak akan menaruh perhatian pada proses berpikir yang tak ada ujung pangkalnya yang terus berlangsung dan kita akan memusatkan perhatian kepada suatu titik.
            Hati merupakan wahana kesadaran dan memiliki lapisan-lapisan. Bila  dilakukan terus menerus zikir akan masuk menembus lapisan demi lapisan yang ada dalam hati. Melalui zikir terjadilah suatu proses semakin lapangnya hati dan hati menjadi bersih cemerlang, sehingga hati menjadi tempat melihat rahasia-rahasia esoteris.
            Kaum sufi, kata Jalaluddin Rumi, membuat bersih dan cemerlang dada mereka dengan berzikir dan merenung, sehingga cermin hati dapat menerima citra-citra suci dalam alam gaib.
            Kaum sufi menyebut praktik batiniah zikir ini sebagai zikir hati. Karena zikir ini dalam, maka kesadaran mental biasa sering kali tidak masuk dalam kesadaran zikir batin, dan zikir ini baru dapat disadari ketika zikir ini mengemuka lagi dalam kehidupan lahiriah.
            Selain membaca bacaan suci zikir itu sendiri juga berarti bacaan suci, khususnya bacaan suci yang harus disimak dengan seksama dan dihapal. Dalam pengertian inilah kaum sufi memandang zikir pertama sebagai firman Allah kepada umat manusia: “Bukankah Aku Tuhanmu?” (alastu birabbikum). Firman ini oleh jiwa-jiwa yang belum menjadi makhluk dijawab dengan kata “ya”.
            Momen sebelum adanya waktu, makhluk yang lain ketika jiwa-jiwa manusia berada dalam dekapan Totalitas Eksistensi yang meliputi segalanya tak ada perbedaan dan batas. Ini adalah akar tradisi sufi. Ini diperkuat oleh ayat yang menyebut hubungan awal manusia dengan Allah:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhamu mengeluarkan dari bani Adam keturunannya dari sulbinya,
  Dan menyuruh mereka bersaksi terhadap dirinya sendiri
  (Atas pertanyaan), Bukankah Aku Tuhanmu?
   Mereka menjawab, Ya,
   Kami bersaksi!
  (Yang demikian itu) supaya
   Jangan kamu berkata di hari kiamat,
  Kami tiada mengetahui hal ini” (Al-A’raf/ 7: 172).
            Visi yang berbicara melalui ayat ini bersifat universal dan abadi. Dalam tradisi sufi visi ini dikenal sebagai “hari perjanjian” (yaum al-mitsaq). Dalam perjanjian ini terbentuk hubungan antara Allah dan manusia, sebuah hubungan yang dibangun di atas fondasi penerimaan ketuhanan (rububiyah) dan perhambaan (ubudiyah), dan juga pengalaman dekat dengan Allah.
            Bagi sufi segala sesuatu yang ada dalam kehidupan ini memiliki cap momen ini. Tujuan kehidupan hanyalah kembali ke awal, kembali ke fajar dan sumber eksistensi, kembali pulang. Tujuan sufi adalah kembali kepada keadaan ketika dirinya belum menjadi makhluk. Al-Junaid merumuskan pernyataan ini:
“Bagaimana tauhid sufi itu? yaitu sang hamba menjadi seperti jasad tak bernyawa di depan Allah dalam keadaan sirna (fana’) dari diri dan  pandangan orang, tak lagi memiliki persepsi inderawi dan gerakan ragawi, sehingga  Kebenaran (al-Haqq) dapat memberikan apa yang diinginkan Kebenaran untuk dirinya,  yaitu akhir dirinya akan kembali ke awal dirinya. Tauhid berarti keluar dari penjara waktu dan masuk ke dalam rentang keabadian”.
            Zikir awal yang diucapkan pada waktu yang abadi itu terpatri dalam hati semua pria dan wanita. Dalam praktik zikir, zikir awal ini berulang-ulang diingat. Ruwaim Abu Muhammad, seorang sufi Baghdad abad ke-9 dari lingkaran al-Junaid mengikhtisarkan ini:
“Orang mendengar zikir awal mereka ketika Allah berkata kepada mereka: Bukankah Aku ini Tuhanmu? Zikir ini terpendam dalam hati mereka, sedangkan pembenaran mereka (bahwa Allah adalah Tuhan) terpendam dalam akal mereka. Maka ketika mereka mendengar (praktik) zikir segala yang terpendam dalam hati mereka mencuat ke permukaan, dan mereka menjadi senang. Sementara itu segala yang terpendam dalam akal mereka mencuat ke permukaan ketika Allah mengatakan kepada mereka (bahwa Dia adalah Tuhan) dan merekapun percaya”.
            Dalam praktik zikir pencari kebenaran mendapat alat untuk secara berangsur membuka lapis demi lapis batin hati dan untuk mengalami keadaan sadar yang baru. Keadaan ini berbeda dari persepsi waktu, ruang dan sekuen logis yang horizontal.
            Zikir dan juga muraqabah, dua praktik yang saling berkaitan, melahirkan pengalaman keabadian yang bebas dari perubahan dan keanekaragaman. Sebab perubahan dan keanekaragaman merupakan efek dari waktu. Pengalaman ini bergaung dalam syair Rumi:
“Ketika bersama kelompok pilihan itu,
  aku mulai muraqabah,
  Keluar dari diriku.
  Jiwa lepas dari waktu, waktu yang membuat muda jadi tua.
  Perubahan terjadi karena waktu:
  Barang siapa tidak di dalam waktu, dia
   tidak mengalami perubahan.
   Duhai hatiku, keluarlah dari waktu untuk sementara nikmati keabadian.
  Duhai hatiku, keluarlah dari waktu untuk sementara agar bebas dari “bagaimana”  
   dan “kenapa”.
   Waktu tak mengetahui sifat tanpa waktu,
   Karena mukjizat sajalah yang dapat yang dapat mengantar ke sana”.
            Berulang-ulang mengalami dimensi tanpa waktu dan  ruang lewat zikir, mengembangkan kesadaran yang merupakan esensi dari pengalaman esoteris bahwa zona eksistensi ternyata lebih banyak dari pada yang diketahui pikiran kebanyakan orang. Kesadaran semacam itu menjelaskan mengapa dalam literatur kebanyakan tradisi tasawuf dijumpai banyak sekali mimpi dan paparan puitis tentang naiknya jiwa ke zona-zona samawi atau turunnya jiwa  ke kedalaman neraka. 
            Mimpi-mimpi dan citra-citra ini menggambarkan mukjizat dan perasaan kagum. Dengan mukjizat dan perasaan kagum inilah sufi mengalami perjalanan tanpa waktu menjelajahi zona-zona eksistensi.
            Tetapi hal itu merupakan pengalaman pribadi. Kalau dilakukan dengan benar zikir dapat menembus hati sampai hati yang paling dalam yang disebut sirr (rahasia). Sirr menunjukkan sifat pengalaman esoteris yang lebih bersifat pribadi, bahkan  tak terjangkau persepsi, tempat komunikasi intim antara jiwa dengan Tuhan. Zikir yang banyak tingkatannya itu memiliki karakter hubungan esoteris, vertikal jiwa dengan Tuhan.
            Zikir itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti zikir jahar (mengingat Allah dengan bersuara), zikir khafi (zikir dengan cara diam), zikir lisan (mengingat Allah dengan lidah), zikir nafs (mengingat Allah tanpa suara, tetapi dengan gerakan dan perasaan batin), zikir qalb (mengingat Allah dengan hati ketika merenungkan keindahan dan keagungan Allah dalam relung hati), zikir sirr (zikir dalam hati yang paling dalam ketika tersingkap berbagai misteri ilahi), dan zikrullah (mengingat Allah melalui salah satu namanya atau firmannya).
            Zikrullah yang sempurna, di mana Allah menjadi penglihatan, pendengaran, pembicaraan dan pemahaman sang zakir, dicapai bila setiap atom dalam diri sang zakir terserap dan lenyap dalam mengingat Allah.
            Perlunya zikir dan keutamaannya dijelaskan dalam Al-Qur’an:
  1. “Panjatkanlah puji-pujian kepada Allah,
        Sebagaimana kamu memanjatkan puji-pujian kepada leluhurmu,
        Ya, malahan lebih sungguh-sungguh lagi” (Al-Baqarah/ 2: 200).
  1. “Dan panjatkan pujian kepada Allah,
Pada hari-hari yang ditentukan bilangannya” (Al-Baqarah/ 2: 203).
  1. “Berzikirlah menyebut Allah di Masy’arialharam,
        Dan panjatkanlah puji-pujian kepada-Nya,
        Sebagaimana telah ditunjukkan-Nya kepadamu” (Al-Baqarah/ 2: 198).
  1. “Maka ingatlah akan Daku,
Aku ‘kan ingat kepadamu” (Al-Baqarah/ 2: 152).
  1. “Hai orang-orang yang beriman!
Agungkanlah Allah dengan zikir sebanyak-banyaknya” (Al-Ahzab/ 33: 41).
  1. “Bagi orang laki-laki dan perempuan  yang banyak mengingat Allah,
Bagi mereka itu Allah  menyediakan  ampun dan pahala yang besar” (Al- Ahzab/ 33: 35).
  1. “Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu,
        Dengan rendah hati dan takut,
        Dan tanpa mengeraskan suara pagi dan petang.
        Janganlah masuk golongan orang yang lalai” (Al-A’raf/ 7: 205).
  1. “Sungguh, salat mencegah orang berbuat keji dan mungkar.
        Dan mengingat Allah  adalah yang paling penting (dalam kehidupan)”   (Al-Ankabut/ 29: 45).
  1. “Dan berilah peringatan.
Sungguh, peringatan itu memberi
Manfaat kepada orang yang beriman” (Az-Zariyat/ 51: 55).
  1.  “(Yaitu) mereka yang beriman
        Dan hatinya tenang karena mengingat Allah.
        Ketahuilah! Hanya dengan ingat akan Allah,
        Maka  hati merasa tenang” (Ar-Ra’d/ 13: 28).
  1.  “Sungguh, dalam penciptaan langit dan bumi,
         Dan dalam pergantian malam dan siang,
         Ada  tanda-tanda (Kekuasaan Tuhan)
         Bagi orang yang menggunakan pikiran.
         (Yaitu) orang yang berzikir memuji Allah sambil berdiri, duduk dan    (berbaring) di sisinya” (Ali ‘Imran/ 3: 190-191).
  1. “Tapi barang siapa tiada memperhatikan peringatanKu,
         Baginya  penghidupan yang sempit,
          Kami halau ia di hari kiamat
          Ke tempat berhimpun dengan yang  buta.
          Ia akan berkata, Tuhanku!
          Mengapa Kau bangkitkan daku dengan mata yang buta,
          Sedang (tadinya) aku dapat melihat?
          (Tuhan) menjawab, Demikianlah
           Telah datang kepadamu ayat-ayat Kami,
            Tapi kau melupakannya.
            Demikianlah kau pun  dilupakan hari ini” (Ta-Ha/ 20: 124-126). 

Selain itu perlunya zikir dan keutamaannya juga dijelaskan dalam sejumlah hadits:
    1. “Rasulullah berzikir kepada Allah setiap saat” (HR Muslim).
    2. “Perumpamaan orang yang berzikir kepada Allah dengan orang yang tidak berzikir bagaikan perbedaan antara orang hidup dengan orang mati” (HR Bukhari).
    3. “Perumpamaan rumah di mana di dalamnya Allah disebut dengan rumah di mana Allah tidak disebut adalah bagaikan perbedaan antara yang hidup dengan yang mati” (HR Muslim).
    4. Allah berkata:
“Aku selalu mengikuti sangkaan hambaku dan aku selalu menyertainya jika ia berzikir kepadaku. Jika ia berzikir kepadaku dalam hatinya aku ingat padanya dalam diriku, dan jika ia berzikir kepadaku dalam majelis orang-orang niscaya aku ingat dia dalam kelompok yang lebih baik dari pada kelompoknya” (HR Bukhari dan Muslim).
    1. “Hai Mu’az demi Allah aku sayang dan berpesan kepadamu: jangan kau tinggalkan tiap selesai shalat membaca: Ya Allah bantulah aku untuk berzikir kepadamu, bersyukur dan memperbaiki ibadahku kepadamu” (HR Dawud).
Itulah ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits yang menjelaskan perlunya zikir dan keutamaannya. Dengan  zikir orang mengakui keagungan Allah dan sekaligus menyadari kerendahan dirinya, sehingga tidak sombong, tetapi sebaliknya bersikap lemah lembut dan peduli kepada sesama. Sikap seperti ini diperlukan dalam membangun masyarakat yang kita cita-citakan, yaitu masyarakat yang adil dan makmur.
Kemudian  dengan zikir orang akan selalu ingat ajaran Islam, terutama perintah Allah dan larangannya dalam kehidupan sehari-hari. Ingat ajaran ini perlu supaya orang selalu berusaha menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya.
Orang kadang-kadang meninggalkan perintah dan mengerjakan larangan Allah, karena lupa kepada Allah. Lupa ini sering terjadi bila orang menghadapi keadaan darurat, seperti krisis yang berkepanjangan ini. Misalnya di masa krisis ini banyak orang yang sulit memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya, sehingga terdorong melakukan larangan Allah, seperti mencuri dan korupsi.
Selain itu zikir dapat menenangkan hati dan pikiran. Orang yang selalu berzikir akan merasakan ketenangan hati, jiwa dan pikiran, sekaligus terhindar dari gangguan jiwa, seperti stres, dan penyakit hati, seperti iri, dengki dan dendam. Orang yang mengalami stres akan mudah menderita berbagai penyakit fisik. Jadi, dengan hati dan pikiran tenang, maka orang terhindar dari salah satu sumber penyakit yang merusak fisik, bahkan membawa maut.
Di antara zikir yang dapat menenangkan hati dan pikiran adalah membaca hasbunallah 4.500 kali setiap hari, tetapi  setiap selesai membaca 450 kali zakir harus berhenti untuk berdoa meminta hal-hal yang diinginkan. Saya sendiri  sebelum membiasakan baca zikir itu sering merasa gelisah dalam menghadapi berbagai tantangan dalam pekerjaan dan kehidupan ini. Kegelisahan ini kemudian mengurangi gairah kerja dan menyebabkan susah tidur.
Tetapi sejak membiasakan membaca zikir tadi saya merasa hidup lebih tenang, sabar, gairah kerja bangkit lagi dan  mudah tidur. Hidup rasanya lebih sehat dan bahagia. Padahal kita hidup di zaman krisis yang membawa banyak masalah dalam hidup ini, sedang kegelisahan yang sering saya alami dulu terjadi sebelum datangnya krisis ini.
Dengan demikian, zikir dapat membuat orang yang berzikir (zakir) menjadi hidup sehat dan bahagia. Kesehatan dan kebahagiaan merupakan dua hal yang selalu didambakan oleh manusia. Banyak orang yang rela mengeluarkan uangnya dalam jumlah besar demi kesehatan dan kebahagiaan.

                                                                                Kaum Sufi

            Zikir sebenarnya merupakan ibadah yang dianjurkan, tetapi bagi kaum sufi zikir itu wajib. Mereka selalu mengingatkan bahwa esensi setiap aktivitas ibadah adalah mengingat Allah.

            Orang harus berpuasa dan mengerjakan shalat untuk mengingat Allah dan menghadirkannya dalam kehidupan. Ihsan adalah beribadah kepada Allah seakan-akan kita melihat-Nya dan menjaga agar lidah tetap basah dengan menyebut nama-Nya akan membantu dalam melaksanakan semua ini.

            Syaikh Naqsyabandiyah Khawaja Parsa (wafat tahun 1420 M) menulis: “Prinsip menjadi muslim adalah la ilaha illallah (tidak ada Tuhan kecuali Allah), kata-kata yang identik dengan zikir Allah. Karena itu, ruh shalat dan amal ibadah yang lain seperti puasa dan haji adalah memperbarui zikir Allah dalam hati”.

            Demikian pula, tulis William C. Chittick, kaum sufi memandang semua ajaran Islam ditujukan untuk membangkitkan ingatan kepada Allah dalam jiwa. Dalam menjelaskan ajaran Al-Qur’an mereka membuktikan bahwa zikir memiliki pengaruh yang lebih kuat dari pada aktivitas ritual lainnya yang mengatasnamakan zikir.

            Mengingat Allah secara utuh berarti mengaktualisasikan semua kesempurnaan yang tersembunyi dalam fitrah manusia, karena kedudukannya sebagai citra Tuhan. Al-Ghazali dan banyak ulama yang lain berbicara tentang kesempurnaan manusia yang telah berakhlak dengan sifat-sifat Allah.

            Allah adalah nama yang komprehensif atau rujukan bagi semua nama Allah, sehingga tahapan kesempurnaan utuh manusia disebut juga taalluh (menjadi seperti Allah). Bagi banyak sufi mengingat nama Allah itu merupakan tanda keutuhan individu manusia yang dirujuk oleh sabda Nabi Muhammad: “Hari kiamat tak akan tiba selama masih ada manusia di dunia ini yang menyebut Allah, Allah”.

            Tanda citra Allah dalam diri manusia adalah akal yang membedakannya dengan makhluk yang lain. Menghadap atau mengingat Allah membangkitkan kesadaran   tentang Allah dalam hati dan mengaktualisasikan citra Allah yang tersembunyi dalam jiwa.

            Tidak ada kebahagiaan tertinggi kecuali kembali kepada sumber kita yang sejati, yaitu Allah atau mengaktualisasikan sifat kemanusiaan sejati, yakni jejak-jejak nama Allah yang ada dalam diri manusia.

            Syahadat umumnya dipandang sebagai zikir terbaik. Zikir mencakup semua ajaran dan parktik kaum sufi. Tujuannya adalah mengingat Allah untuk menghilangkan segala sesuatu kecuali Allah dan menjadi kekal di hadirat Allah.

            Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Athaillah bahwa seseorang  tidak bisa dikatakan telah mengucapkan kalimat la ilaha illallah dengan benar kecuali dia menghilangkan segala sesuatu kecuali Allah dari jiwa dan hatinya.

            Najm al-Din Razi, tokoh yang sezaman dengan Ibnu ‘Athaillah menulis: “Dengan kalimat la ilaha (tidak ada Tuhan) seorang hamba menegasikan segala sesuatu kecuali Yang Mahabenar (Al Haqq) dan dengan kalimat illallah (kecuali Allah) dia meneguhkan Kehadiran Yang Mahasuci. Jika dengan tekun dia melaksanakan dan berpegang teguh kepada hal itu, daya tarik spiritual illallah lambat laun terputus oleh kalimat la ilaha. Keindahan kalimat illallah tersingkap dari beranda Yang Mahasuci. Dalam menepati janji “Ingatlah Aku niscaya Aku akan mengingatmu” (QS. Al-Baqarah/ 2: 152) zikir dilepaskan dari selubung huruf dan suara. Karakter khas “Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya” (QS. Al-Qasas/ 28: 88) menjadi bukti bagi terungkapnya cahaya kekuasaan ilahi”.                                                                    

Meskipun banyak ulama sepakat bahwa kalimat la ilaha illallah merupakan formula zikir yang paling sempurna, tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa zikir tunggal, yakni menyebut nama Allah saja lebih tinggi derajatnya.
Ibnu ‘Arabi sering mengutip ucapan salah seorang gurunya, Abu Al-Abbas Uryabi yang berpendapat bahwa nama tunggal (Allah) jelas yang paling baik, karena dalam mengingat la ilaha illallah orang mungkin mati dalam jurang curam penegasian, tetapi dengan mengingat Allah semata, orang mungkin mati dalam akrabnya peneguhan.
Para guru sufi menggunakan nama-nama dan formula zikir tertentu untuk mengukuhkan potensi spiritual dan meluluhkan sifat-sifat para muridnya. Banyak karya sufi yang menyajikan informasi tentang nama-nama yang pantas digunakan – meskipun tidak pernah tanpa seizin seorang guru – oleh murid-muridnya pada tahapan yang sesuai dengan pertumbuhan spiritual.
Karya-karya sufistik tentang Nama-nama Paling Indah Allah sering membahas sifat moral dan sikap spiritual yang mencerminkan masing-masing nama individual pada tahapan kemanusiaan. Ibnu ‘Athaillah mempersembahkan beberapa halaman buku bagi keunggulan nama-nama Allah dan pengaruhnya terhadap para pengembara spiritual pada tahapan berbeda di jalan sufistik.
Dia mengemukakan bahwa nama Yang Mahakaya (Al-Ghani) sangat bermanfaat bagi orang yang ingin lepas dari fenomena, tetapi tidak mampu mencapainya. Nama Yang Maha Pemberi (Al-Mannan) sangat berguna bagi orang-orang yang berjalan di atas kesenangan hawa nafsu, namun berbahaya bagi mereka yang masih mempunyai kebutuhan egosentris.
Selain banyak membahas manfaat nama-nama tertentu, teks-teks sufistik sering menyatakan  bahwa orang-orang yang menyebut nama Allah tidak boleh disibukkan oleh manfaat dan tujuan jangka pendek, tetapi mereka harus meneladani sikap yang diungkapkan melalui doa Rabi’ah al Adawiyah: “Ya Allah jika aku menyembah-Mu karena takut api neraka, bakarlah di neraka, dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga, jauhkanlah aku dari surga. Namun jika aku menyembah-Mu karena-Mu, maka janganlah Engkau jauhkan aku dari Keindahan Abadi”.              
Doa itu menggambarkan bahwa zikir bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan karena ingin surga dan takut neraka. Tetapi kalau sudah dekat dengan Tuhan, maka konsekuensinya adalah masuk surga. Mendekatkan diri kepada Tuhan merupakan tujuan zikir dan meditasi dalam tasawuf.

No comments:

Post a Comment