Oleh Sudirman Tebba
Perkembangan
pers Indonesia di masa Orde baru dapat dibagi kepada tiga periode, yaitu:
- Tahun 1966 – 1974
- Tahun 1974 – 1988
- Tahun 1988 – 1998
Setiap periode perkembangan
pers itu memiliki karakteristik sendiri yang berbeda satu sama lain. Misalnya
pada periode 1966 – 1974 kehidupan pers berkembang relatif bebas, yang ditandai
dengan munculnya kembali sejumlah penerbitan yang sebelumnya dibreidel dan
lahirnya beberapa penerbitan baru. Kemudian pada periode 1974 – 1988 kehidupan
pers mengalami banyak tekanan pemerintah yang ditandai dengan pembreidelan
banyak penerbitan, dan dalam periode 1988 – 1998 kehidupan pers mengalami
perkembangan yang mengarah ke arah kebebasan, yang ditandai dengan lahirnya
televisi swasta dan media internet. Walaupun pada periode ini terjadi
pembreidelan yang sangat menggoncang kehidupan pers, yaitu pembreidelan Majalah
Tempo, Editor dan DeTIK pada Juni 1994, tetapi lahirnya televisi swasta dan
media internet telah membawa perkembangan baru dalam kehidupan pers, karena
lahirnya televisi swasta mengakhiri dominasi Televisi Republik Indonesia (TVRI)
dalam siaran televisi dan media internet menjadi media informasi yang mendorong
kepada kebebasan pers, sebab informasinya tidak dapat dikontrol oleh
pemerintah.
Teori Pers
Untuk
mengetahui lebih lanjut sejarah pers di masa Orde Baru biasanya para pengamat
dan praktisi pers merujuk kepada teori-teori pers, terutama teori pers yang
pernah dikemukakan oleh Fred S. Sibert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm
dalam karya mereka: “Four Theories of the Press (1963).[1]
Siebert
dan kawan-kawan memperkenalkan empat teori pers, yaitu pers otoriter, pers
bebas, pers tanggung jawab sosial, dan pers komunis Soviet. Teori pers otoriter
muncul dalam sistem politik pada abad ke-17. Namun sampai sekarang pun teori
pers otoriter telah tersebar dan membentuk pola umum bagi sebagian besar sistem
pers di dunia.
Teori
pers otoriter kemudian mengalami kemunduran sejalan dengan berkembangnya
gagasan tentang kebebasan individu, yang lalu dikenal sebagai paham individualisme dan liberalisme. Paham ini
lahir dan berkembang sebagai reaksi terhadap paham otoriter. Paham ini kemudian melahirkan suatu teori pers yang disebut
sebagai teori pers bebas.
Dalam
teori pers bebas, pers dianggap sebagai mitra dalam mencari kebenaran, sehingga
pers tidak lagi menjadi alat penguasa, tetapi sarana bagi rakyat untuk
mengawasi kekuasaan. Teori pers bebas mulai tumbuh pada abad ke-17 dan
berkembang pesat pada abad ke-19, tetapi lalu mengalami revisi pada abad
ke-20. Kurangnya pengawasan pemerintah
terhadap pers atau media massa melahirkan kekuatan baru dalam masyarakat yang
dapat membahayakan kebebasan dan demokrasi itu sendiri, yaitu munculnya
pengelola dan pemilik media yang mendominasi pendapat umum.
Kalau
dalam sistem pers otoriter pers dikendalikan oleh penguasa, maka dalam sistem
pers bebas dikuasai oleh pengusaha. Kelompok pengusaha ini yang menentukan fakta dan kebenaran yang disiarkan ke tengah masyarakat.
Kenyataan ini menimbulkan kekhawatiran yang lalu mendorong lahirnya suatu
gagasan atau teori pers tanggung jawab sosial.
Pencetus
teori pers tanggung jawab sosial berpendapat bahwa orang-orang yang menguasai
media massa harus bertanggung jawab kepada masyarakat. Kalau mereka tidak mau
menerima tanggung jawab itu, maka harus dilakukan pemaksaan oleh lembaga lain,
yaitu pemerintah.
Selain
teori pers bebas mengalami revisi seperti munculnya teori pers tanggung jawab
sosial di Uni Soviet waktu itu muncul teori pers sendiri yang disebut teori
pers komunis Soviet. Namun dengan runtuhnya Uni Soviet, maka teori pers itu
sekarang lebih tepat disebut teori pers komunis.
Teori
pers komunis menempatkan pers sebagai alat partai politik yang berkuasa, dan
karena itu pers merupakan pelayan negara, seperti pada teori pers otoriter.
Teori pers komunis muncul untuk menentang teori pers bebas dan tanggung jawab
sosial. Menurut orang-orang komunis, pers bebas terlalu komersial dan tidak
bebas, karena dikuasai oleh kaum kapitalis.
Selain
keempat teori pers itu Denis McQuail menambahkan dua teori pers lagi, yakni
teori pers pembangunan dan teori pers partisipan-demokratis.[2]
Teori pers pembangunan membolehkan pemilikan pers di tangan swasta,
tetapi menekankan bahwa media massa seyogyanya menerima dan melaksanakan tugas
pembangunan sejalan dengan kebijaksanaan
pemerintah yang diterapkan secara
nasional. Sedang teori pers partisipan-demokratis menekankan bahwa lembaga dan
isi media massa tidak harus tunduk kepada pemerintah. Warga negara secara
individual dan kelompok memiliki hak untuk memanfaatkan media dan berhak
dilayani oleh media sesuai dengan keperluannya.
Tetapi
teori-teori pers itu tidak sepenuhnya diterima oleh para pakar ilmu komunikasi.
Altschull misalnya mengembangkan teori pers yang lain dan lebih sederhana. Bagi
dia, teori pers itu hanya tiga, yaitu teori pers Dunia Pertama (negara
kapitalis), pers Dunia Kedua (negara sosialis) dan pers Dunia Ketiga (negara
sedang berkembang).[3]
Teori
pers dari Altschull itu sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan keenam teori
pers yang telah dijelaskan di atas. Malah teori Altschull sudah terakomodir ke
dalam teori-teori pers tadi. Misalnya teori pers Dunia Pertama mengandung
unsur-unsur teori pers bebas dan
tanggung jawab sosial. Teori pers Dunia Kedua sama dengan teori pers keempat
dari Siebert dan kawan-kawan. Sedang teori pers Dunia Ketiga sama dengan teori
pers pembangunan.
Pers Pancasila
Dilihat
dari segi teori pers itu, maka dapat
dikatakan bahwa pers Orde Baru itu merupakan kombinasi beberapa teori pers.
Pemerintah sendiri menyatakan bahwa pers Indonesia pada masa itu adalah pers
yang bebas dan bertanggung jawab. Ini berarti bahwa pers Orde Baru merupakan
gabungan antara teori pers bebas dan
pers tanggung jawab sosial. Kemudian pers Indonesia saat itu secara
normatif disebut pers Pancasila. Pers Pancasila adalah pers yang berorientasi,
bersikap dan bertingkah laku berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Seperti halnya
Pancasila, maka pers Pancasila merupakan konsep pers yang digali dari
masyarakat Indonesia sendiri, yang melahirkan filsafat Pancasila.
Filsafat
Pancasila memiliki pandangan sendiri tentang manusia. Menurut filsafat
Pancasila manusia itu makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial. Sebagai
makhluk individu manusia mempunyai kebebasan, tetapi sebagai makhluk sosial
manusia memiliki tanggung jawab sosial. Hakikat konsep ini ialah adanya sikap
saling tergantung dan memberi dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Inilah yang disebut paham kekeluargaan.
Berbeda
dengan filsafat liberal yang menekankan keunggulan akal pikiran manusia,
filsafat Pancasila menegaskan bahwa akal pikiran manusia itu terbatas, dan
karena itu masih perlu dibimbing oleh kekuatan di luar dirinya yang maha kuasa,
yaitu Tuhan.
Dengan
demikian, manusia bukan hanya makhluk rasional, tetapi juga makhluk religius
yang berbudi, berakhlak mulia, yang tidak hanya mengejar kehidupan material,
tetapi juga kehidupan spiritual. Karena
itu, manusia tidak hanya melakukan hubungan dengan sesamanya, tetapi juga
dengan Tuhan, pencipta seluruh alam. Paham ini menghendaki kseimbangan dan
keserasian dalam kehidupan manusia.
Konsep
manusia itu berbeda dengan konsep Barat liberal yang menekankan kebebasan
individu dan paham komunis yang mengutamakan kolektivitas dan tanggung jawab
sosial. Konsep ini kemudian melahirkan sistem sosial, ekonomi, politik dan pers
sendiri, yang berbeda dengan sistem yang telah ada sebelumnya.[4]
Dalam
bidang pers konsep itu melahirkan sistem pers Pancasila. Selain digali dari
budaya Indonesia sendiri konsep pers Pancasila juga lahir dari perkembangan
sistem politik Indonesia. Sebelum lahirnya Orde Baru Indonesia sudah mengenal
dua macam sistem politik, yaitu sistem politik liberal dan sistem politik
terpimpin. Sejalan dengan itu sistem pers Indonesia juga mengenal pers merdeka
yang bercorak liberal dan pers terpimpin.[5]
Asas
pers merdeka didasarkan pada kebijakan pers yang diumumkan pemerintah melalui
Menteri Penerangan, Amir Syarifuddin, pada bulan Oktober 1945. Dalam pengumuman
itu ditegaskan bahwa pikiran masyarakat umum atau pendapat umum merupakan dasar
pemerintahan yang berkedaulatan rakyat. Pers yang tidak merdeka tidak dapat
menyatakan pikiran masyarakat, tetapi hanya mewakili pikiran orang yang
berkuasa saja.
Pada
dasarnya pers merdeka mencerminkan suatu sistem pers yang dianut oleh
negara-negara Barat yang bertumpu pada paham liberal, sehingga disebut pers
liberal. Pers merdeka kemudian diperkuat oleh berlakunya Undang-undang Dasar
Sementara (UUDS) tahun 1950 yang menjadi dasar sistem pemerintahan parlementer
(1950 – 1959).
UUDS
mencerminkan sistem demokrasi liberal seperti yang terdapat dalam negara-negara
Barat dengan memberi peranan yang sangat besar kepada parlemen (Dewan
Perwakilan Rakyat Sementara) sebagai
lembaga legislatif yang selanjutnya menentukan nasib pemerintah yang berkuasa. Sistem politik liberal itu berkembang
sejalan dengan berkembangnya sistem pers merdeka. Dalam pers merdeka surat
kabar umumnya dimiliki oleh partai politik dan golongan sosial, dan sama sekali
lepas dari pengaruh pemerintah.
Pers
merdeka memiliki kebebasan yang sangat besar untuk mengetahui dan memberitakan
segala kejadian, termasuk yang menyangkut kehidupan politik dan pemerintahan.
Pers ikut menjalankan fungsi politik terutama sebagai alat demokrasi dengan
cara mengecek atau mengontrol kebijaksanaan pemerintah serat menyalurkan
pendapat umum secara bebas.
Kemudian
pers liberal atau merdeka itu berakhir ketika demokrasi liberal runtuh dan
digantikan oleh demokrasi terpimpin, yang melakukan sistem pers yang juga
terpimpin. Pers terpimpin bersifat otoriter. Dalam pers terpimpin kebebasan
pers dikurangi dan harus memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam
memelihara ketertiban, keamanan dan persatuan bangsa, sehingga pers yang semula
memiliki kebebasan, kemudian ditertibkan, diawasi dan dikontrol dengan ketat.
Fungsi
pers kemudian ditetapkan dalam Ketetapan MPRS (No: II/ MPRS/ 1960) bahwa media
massa, termasuk pers, berfungsi untuk memperkuat usaha penerangan sebagai media
penggerak rakyat dan massa revolusioner. Ini sebabnya tiga tahun kemudian,
yaitu tahun 1963, MPRS memutuskan agar pers nasional diberikan fasilitas dan
bantuan untuk perbaikan mutu supaya dapat memenuhi fungsinya sebagai alat
revolusi.
Selain
itu sejak 12 Oktober 1960 penguasa perang tertinggi mengeluarkan peraturan No:
10 Tahun 1960 tentang izin terbit terhadap penerbitan majalah dan surat kabar.
Dengan peraturan ini semua surat kabar harus menyesuaikan diri dan sebelum
memperoleh izin terbit harus memenuhi sejumlah syarat yang sudah ditetapkan.
Kemudian
ada sejumlah peraturan yang berkaitan dengan pers. Di antaranya yang terpenting
ialah Keputusan Menteri Penerangan (No:
29/ SK/ M/ 1965) tentang norma-norma pokok pengusahaan pers dalam rangka
pembinaan pers Indonesia. Keputusan itu antara lain mewajibkan semua surat kabar
berafiliasi kepada salah satu kekuatan sosial politik yang ada.
Peraturan
itu membatasi anggota masyarakat dalam penerbitan pers, juga agar pers
memantapkan tanggung jawab politiknya dan membatasi kebebasannya. Dalam pers
terpimpin itu pers harus tunduk di bawah kekuasaan dan menjadi alat kekuasaan.
Pers harus melayani kepentingan politik penguasa. Pers yang tidak mengikuti
kebijakan ini dengan sendirinya tidak memiliki hak hidup.
Pers
terpimpin juga akhirnya runtuh sejalan ambruknya demokrasi terpimpin, lalu
muncul Orde Baru yang memperkenalkan sebuah sistem pers sendiri yang disebut
pers Pancasila. Dilihat dari segi perkembangan pers, yaitu pers merdeka yang
bebas di masa demokrasi liberal dan pers terpimpin di masa demokrasi terpimpin
yang otoriter, maka pers Pancasila bersifat tidak liberal dan tidak otoriter.
Kemudian
dilihat dari segi budaya Indonesia pers Pancasila tidak sepenuhnya bebas
seperti pada budaya masyarakat Barat dan juga tidak kolektivistik seperti pada
masyarakat sosialis, tetapi berada di antara keduanya. Dari sinilah kemudian
dirumuskan dan ditetapkan bahwa pers Pancasila itu bebas dan bertanggung jawab.
Prinsip
pers yang bebas dan bertanggung jawab
ditegaskan oleh Ketetapan MPRS Nomor: XXXII/ MPRS/ 1966. Dalam Tap MPRS ini
disebutkan:
“(1). Kebebasan pers berhubungan erat dengan keharusan adanja
pertanggungan djawab kepada:
(a).
Tuhan Jang Maha Esa.
(b).
Kepentingan rakjat dan keselamatan negara.
(c).Kelangsungan dan penjelesaian
revolusi hingga terwudjudnja tiga segi kerangka tudjuan revolusi.
(d).
Moral dan tata susila.
(e).Kepribadian
bangsa.
(2).Kebebasan pers Indonesia adalah
kebebasan untuk menjatakan serta menegakkan kebenaran dan keadilan bukanlah
kebebasan dalam pengertian liberalisme”.
Kemudian
dalam UU No: 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers disebutkan
bahwa kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga negara dan didasarkan pada
tanggung jawab nasional.[6]
Selanjutnya
pers yang bebas dan bertanggung jawab ditetapkan dalam GBHN (Tap MPR No: IV/
1973 dan Tap MPR No: III/ 1983. Dalam Tap-tap MPR ini pers bebas dan
bertanggung jawab mendapat penegasan sebagai pers yang sehat, yaitu pers yang
menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang obyektif, menyalurkan
aspirasi rakyat dan meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat.
Dengan
demikian, kebebasan pers Indonesia dapat diartikan sebagai kebebasan
fungsional. Hal ini merupakan pendekatan baru yang bertitik tolak dari asumsi
bahwa pers adalah lembaga kemasyarakatan yang otonom, dan karena itu bertugas
melaksanakan fungsinya sendiri. Kebebasan
diperlukan bukan untuk kebebasan itu sendiri, tetapi untuk melaksanakan
fungsinya sebagai subsistem dalam keseluruhan sistem kehidupan kemasyarakatan
dan kenegaraan. Karenanya, kebebasan pers Indonesia merupakan suatu kemustian,
sebab melekat dalam fungsi pers itu sendiri.
Dalam
hal ini kebebasan dan tanggung jawab diletakkan dalam keseimbangan yang selaras
dan serasi, karena kebebasan akan kehilangan arti dan manfaatnya apabila tidak
dilandasi oleh tanggung jawab yang mendalam terhadap tata krama dan nilai-nilai
kehidupan bangsa. Sebaiknya
tanggung jawab tak dapat dilaksanakan dengan baik tanpa ada kebebasan.
Keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab merupakan ciri khas masyarakat
Indonesia yang hidup dan dipelihara dari masa ke masa, kemudian dirumuskan
dalam Pancasila sebagai pandangan hidup.
Kebebasan
dan tanggung jawab yang diletakkan dalam keseimbangan yang selaras dan serasi
itu dirumuskan baik dalam bentuk yang positif maupun negatif. Dalam rumusan
positif dijelaskan bahwa pers bebas
dimaksudkan untuk menjalankan kontrol, kritik dan koreksi yang konstruktif.
Sedang dalam bentuk negatif dirumuskan bahwa terhadap pers Indonesia tidak
dikenakan sensor dan pembreidelan.[7]
Sebagai imbangan terhadap kebebasan
itu pers Indonesia dibebani tanggung jawab nasional dalam melaksanakan fungsi,
kewajiban dan hak yang selalu disebut satu nafas dengan kebebasan itu. Tetapi
hubungan antara kebebasan dengan tanggung jawab dalam pers Indonesia berubah
dari waktu ke waktu. Misalnya pada awal Orde Baru, khususnya antara tahun 1966
– 1974 kebebasan lebih besar dibanding dengan tanggung jawabnya.
Hal
itu terlihat pada terbitnya kembali sejumlah surat kabar di awal Orde Baru yang
pernah dibreidel di masa Demokrasi Terpimpin, yaitu Merdeka ( Juni 1966),
Berita Indonesia (Mei 1966), Indonesian Observer (September 1966), Nusantara
(Maret 1967), Indonesia Raya (Oktober 1968), Pedoman (November 1968), dan Abadi
(Desember 1968).[8]
Selain
itu terbit surat kabar baru, seperti Harian KAMI (Juni 1966), Angkatan Baru
(Juni 1966), Angkatan 66 (Juni 1966), Mahasiswa Indonesia edisi Jakarta (Maret
1966), Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat (Juni 1966), Trisakti (Februari
1966), Harian Operasi (Mei 1966), Mingguan Abad Muslimin (Oktober 1966).[9]
Kemudian
berita dan tajuk rencana media cetak relatif bebas mengeritik kebijakan
pemerintah dan kondisi kehidupan bangsa yang memprihatinkan, seperti
melambungnya harga kebutuhan pokok rakyat dan merajalelanya korupsi di kalangan
pejabat dan sebagainya. Kritik pers ini berkembang sejalan dengan meningkatnya
keprihatinan masyarakat, termasuk mahasiswa, terhadap kondisi perkembangan
bangsa saat itu.
Perkembangan
pers yang bebas itu disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pemerintah Orde
Baru merasa masih memerlukan legitimasi etis dan politis dari masyarakat
untuk mengidentifikasikan dirinya
sebagai pemerintah yang demokratis sesuai dengan amanat yang diembannya, yaitu
ingin melaksanakan dasar negara pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen, sehingga akan membedakan dirinya dengan pemerintah atau rezim
sebelumnya. Karena itu, lembaga-lembaga demokratis dan aktivitas-aktivitas
popular-partisipatoris yang sudah ada, seperti pers yang bebas, protes-protes
mahasiswa, kebebasan mimbar dan akademik di kampus, pemogokan buruh dan
lain-lain yang sejenis, masih diperlukan walaupun tetap berada dalam kontrol
rezim.
Kedua,
sikap menahan diri ini juga karena kekuatan-kekuatan negara, terutama militer,
lebih khusus lagi Angkatan Darat, merasa di dalam tubuhnya sendiri konsolidasi
kekuatan masih dalam proses penyelesaian yang cukup rumit. Realitas politik
yang demikian membuat kekuatan-kekuatan politik negara belum terlalu siap untuk
berhadap-hadapan secara frontal dalam konfliknya dengan kekuatan-kekuatan
masyarakat yang sedang dilanda demam demokratisasi. Akibatnya, rezim berusaha
menghindari diri dari tindakan-tindakan yang tidak populer dan anti demokrasi
dan partisipasi, seperti pembreidelan pers.
Ketiga,
menurut persepsi rezim saat itu kritik pers selain masih dapat ditolerir juga
bermanfaat untuk bercermin dan
memperbaiki diri sesuai dengan harapan publik masyarakat.[10]
Namun
kebebasan pers itu ada yang menyebutnya sebagai bulan madu pers dengan
pemerintah hanya berlangsung sampai tahun 1974. Sebelum tahun itu pemerintah
mulai bereaksi dan memperingatkan pers
supaya menahan diri dan tidak terus menerus melancarkan kritik terhadap
kebijakan pemerintah
Peringatan
pemerintah itu misalnya disampaikan oleh Wakil Panglima Kopkamtib Laksmana
Sudomo. Pada bulan September 1973 Sudomo memperingatkan kepada pers dan
masyarakat agar (1) jangan main intrik politik, (2) jangan main hakim sendiri,
(3) jangan bertingkah laku menyinggung orang lain, dan (4) jangan hidup
eksklusif. Khusus beberapa surat kabar yang tidak langsung disebut namanya
Sudomo memperingatkan dengan keras dalam pemberitaannya agar pers menyesuaikan
atau menahan diri sebagai pers bebas, tetapi bertanggung jawab. Lebih lanjut
Sudomo menegaskan:
”Kalau memang tidak dapat
diperbaiki lagi, koran-koran itu akan dicabut SIT (Surat Izin Terbit)nya
sebagai tindakan terakhir”.[11]
Sebelumnya
Presiden Soeharto pernah mengingatkan agar pers selain bebas juga harus
bertanggung jawab. Dalam pidatonya pada acara pembukaan Sidang Umum MPR bulan
Maret 1973 Soeharto berkata:
“Sudah
sewajarnya kita merasa berbangga dan lega melihat pertumbuhan pers yang bebas
dan merdeka suatu pertanda bahwa kehidupan demokrasi terjamin pelaksanaannya
dalam Orde Baru ini, tetapi sering-sering kita merasa prihatin dan kuatir
terhadap hak kebebasan pers yang kurang wajar dan bertanggung jawab.
Masih
banyak harian atau majalah yang terdorong oleh tujuan komersial atau motif
lainnya, menyajikan berita-berita sensasional tanpa mengindahkan norma-norma
kesusilaan, sopan santun, kerahasiaan negara dan juga kurang memperhatikan
akibat-akibat tulisannya yang dapat menggoncangkan masyarakat yang pada
gilirannya akan dapat merusak stabilitas nasional, sehingga kadang-kadang
terpaksa alat-alat negara mengambil tindakan untuk membimbing dan
mendisiplinerkan pers agar lebih bertanggung jawab atas akibat-akibat pemberitaannya.
...
bahwa dewasa ini pers di Indonesia telah dapat menjalankan fungsinya sebagai
pembawa bendera demokrasi, tetapi masih harus mengembangkan fungsinya sebagai
penggerak dan pelancar pembangunan yang efektif”.[12]
Pernyataan-pernyataan
pemerintah itu tampaknya tidak begitu digubris oleh kalangan pers. Kritik
mereka terhadap pemerintah terus berjalan, malah meningkat sejalan dengan
meningkatnya aksi demontrasi mahasiswa yang mencapai puncaknya pada peristiwa
Malari (malapetaka limabelas Januari)
tahun 1974.
Menghadapi
perkembangan pers itu sesuai dengan ancamannya pemerintah bertindak keras,
yaitu membreidel 12 surat kabar (harian dan mingguan ), tetapi waktunya tidak
bersamaan. Harian Pedoman dan Mingguan Ekspres dibreidel 14 Januari; Harian
Nusantara dibreidel 16 Januari; Harian KAMI, Indonesia Raya, Abadi, The Jakarta
Times, Mingguan Wenang, dan Pemuda Indonesia dibreidel 21 Januari. Kesembilan
penerbitan ini terbit di Jakarta. Juga Mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit
di Bandung dibreidel 20 Januari; Suluh
Berita yang terbit di Surabaya dibreidel 19 Januari dan Mingguan Indonesia Pos
yang terbit di Ujung Pandang (kini Makassar) dibreidel 2 Februari 1974.[13]
Pembreidelan
itu dilakukan, karena pers tidak lagi dianggap sebagai kawan seiring bagi
pemerintah, tetapi sudah menjadi musuh yang berbahaya. Hal ini terlihat pada
alasan pembreidelan terhadap Harian Indonesia Raya. Dalam Keputusan Menteri
Penerangan No: 20/ SK/ Dirjen PG/ K/ 1974 tentang pencabutan SIT Harian
Indonesia Raya dikemukakan alasan antara lain bahwa harian ini memuat sejumlah
tulisan yang:
- Pada hakikatnya menjurus ke arah usaha-usaha untuk melemahkan sendi-sendi kehidupan bernegara dan / atau ketahanan nasional dengan jalan mengobarkan isu-isu, seperti modal asing, korupsi, dwifungsi ABRI, kebobrokan-kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan tingkat tinggi, masalah Aspri – Kopkamtib.
- Merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan nasional.
- Mendengungkan kepekaan-kepekaan tanpa memberikan pemecahan yang tepat dan positif yang dapat diartikan menghasut rakyat untuk bangkit bergerak untuk mengambil tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap ketertiban dan keamanan nasional.
- Menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus kepada perbuatan makar.[14]
Pembreidelan itu merupakan
tindakan pengendalian pemerintah terhadap kehidupan pers yang dilakukan melalui
berbagai lembaganya, terutama Departemen Penerangan. Tugas departemen ini
diatur dalam Keputusan Presiden No: 45 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa tugas
pokok Departemen Penerangan adalah menyelenggarakan sebagian tugas umum
pemerintah dan pembangunan di bidang penerangan. Tugas departemen ini kemudian
dipertegas oleh SK Menteri Penerangan No: 55/ Kep/ Menpen/ 1975 yang
menjelaskan fungsi-fungsi utama departemen ini, yaitu: (a).Memantapkan
pembinaan kesatuan, persatuan dan jiwa bangsa dalam rangka membangun sikap
kejiwaan berdasarkan Pancasila; (b) Menyukseskan pembangunan nasional melalui
rencana-rencana Pelita; (c) Menggalang ketahanan nasional bagi terwujudnya
stabilitas nasional; dan (d) Menjalankan tugas-tugas khusus seperti
menyukseskan Pemilu dan lain-lain tugas yang mempunyai ruang lingkup nasional.[15]
Untuk menjalankan tugas itu
pemerintah melalui Departemen Penerangan mengeluarkan Surat Izin Usaha
Penerbitan Pers (SIUPP), tetapi selalu mengingatkan, menegur, mengancam, dan
bahkan membreidel pers yang beritanya dianggap tidak sesuai dengan kebijakan
pemerintah.
Selain itu Bakin (Badan
Koordinasi Intelijen Negara, sekarang
BIN – Badan Intelijen Negara) dan Mabes ABRI (Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia, sekarang TNI/ Polri) serta jajarannya ke bawah dapat mengeluarkan
instruksi kepada lembaga pers untuk memuat atau tidak memuat suatu berita
melalui surat, pengarahan dan telepon. Instruksi lewat telepon ini kemudian di
kalangan pers populer dengan istilah “budaya telepon”.
Lembaga lain yang ikut
menentukan kehidupan pers adalah Dewan Pers. Dalam Undang-undang tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, yaitu UU No: 21 Tahun 1982 sebagai perubahan
atas UU No: 11 Tahun 1966, sebagaimana telah diubah dengan UU No: 4 Tahun 1967
disebutkan bahwa Dewan Pers mendampingi pemerintah dalam membina pertumbuhan
dan perkembangan pers nasional. Dewan Pers beranggotakan wakil pemerintah dan
tokoh masyarakat pers dan nonpers. Tetapi Dewan Pers didominasi oleh
pemerintah, karena selalu diketuai oleh Menteri Penerangan, kemudian Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika
(PPG) Departemen Penerangan, Direktur Jenderal Sosial Politik Departemen Dalam
Negeri dan Jaksa Agung Muda Bidang
Intelijen masing-masing sebagai anggota. Dalam menjalankan tugasnya Dewan Pers
memberi pertimbangan kepada pemerintah tentang kebijakan di bidang pers, seperti
mengeluarkan SIUPP, tidak mengeluarkan SIUPP dan bahkan mencabutnya.
Lembaga yang juga mempengaruhi
kehidupan pers adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai satu-satunya
oragnisasi wartawan yang diakui oleh pemerintah berdasarkan SK Menpen RI/ No:
47/ Kep/ Menpen/ 1975 yang dikeluarkan pada 20 Mei 1975. Sebelumnya pemerintah
mengeluarkan Peraturan Menpen No: 02/
Per/ Menpen/ 1969 yang mewajibkan semua wartawan menjadi anggota PWI. PWI lahir
pada 9 Februari 1946 di Solo. Sampai sekarang tanggal 9 Februari selalu
diperingati oleh kalangan pers sebagai Hari Pers Nasional. Walaupun pemerintah
hanya mengakui PWI, tetapi kemudian lahir sebuah organisasi wartawan yang
menamakan diri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 7 Agustus 1994 sebagai
reaksi terahadap pembreidelan Majalah Tempo, Editor dn DeTIK pada Juni 1994.
Kehadiran AJI tidak diakui, malah ditekan oleh pemerintah, sehingga organisasi
ini bergerak di bawah tanah.
Pers Pembangunan
Pembreidelan
surat kabar – surat kabar pada peristiwa Malari itu menandai berakhirnya suatu
fase perkembangan pers Indonesia, yaitu suatu fase yang diwarnai oleh kebebasan
pers yang lebih besar, dan mulainya fase baru yang lebih menekankan tanggung
jawab pers. Sejak masa ini kritik pers mulai melemah dan kalangan pers
tampaknya merasa lebih aman dengan mengikuti kebijakan pemerintah.
Tetapi
pengebirian kebebasan pers dan penekanan kepada tanggung jawabnya tidak berarti
telah menghancurkan kehidupan pers. Ini terlihat pada tumbuhnya surat kabar
baru setelah pembreidelan surat kabar pada tahun 1974, yaitu lahir Harian
Pelita yang membawa suara Islam untuk menggantikan Harian Abadi dan Harian The
Indonesia Times untuk menggantikan The Jakarta Times.[16] Selain Harian Pelita pers yang membawa
suara Islam juga ditandai dengan kehadiran Majalah Panji Masyarakat yang lahir
kembali sejak 1966. Majalah ini pertama kali terbit pada 15 Juni 1959.
Meskipun
begitu kalangan pers mengalami tekanan demi tekanan pemerintah, sehingga
perkembangan pers mengalami jatuh bangun. Hal ini terlihat pada kasus-kasus
pembreidelan yang terjadi kemudian. Misalnya antara Januari dan Februari 1978
pemerintah kembali membreidel sejumlah surat kabar, yaitu Kompas, Sinar
Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesia Times,
Sinar Pagi, dan Pos Sore. Harian Pos Sore kemudian berubah menjadi Harian Terbit sejak September 1979. Waktu itu
pemerintah juga membreidel sejumlah penerbitan mahasiswa, yaitu Salemba dan
Tridharma di Jakarta; Kampus, Integritas dan Berita ITB di Bandung; Muhibah di
Yogyakarta; dan Aspirasi di Palembang.[17]
Penerbitan-penerbitan itu dibreidel, karena dianggap terlalu banyak
memuat aksi-aksi protes mahasiswa yang sangat gencar saat itu. Kemudian Harian
Jurnal Ekuin yang terbit pada April 1981 dibreidel pada April 1983 karena
beritanya soal harga minyak yang
mendahului pengumuman pemerintah, majalah berita Expo dicabut SITnya pada
Januari 1983, karena laporannya tentang 100 milyuner Indonesia, dan Majalah Fokus dibreidel
pada Mei 1984 karena alasan yang sama,
yaitu laporannya tentang 200 orang Indonesia yang paling kaya.[18]
Setelah
itu kehidupan pers masih terus menunjukkan perkembangan yang jatuh bangun.
Misalnya harian sore Sinar Harapan yang terbit tahun 1961 dibreidel pada 9
Oktober 1986, karena komentarnya tentang kebijakan ekonomi pemerintah, tetapi
boleh terbit lagi dengan nama Suara Pembaruan pada 3 Februari 1987. Lalu Harian
Prioritas yang belum lama terbit waktu itu dibreidel pada 29 Juni 1987, karena
isinya dianggap tidak sesuai dengan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan
Pers)nya. Menurut SIUPPnya harian ini adalah harian ekonomi, tetapi
kenyataannya beritanya lebih banyak berita umum.
Kemudian
memasuki tahun 1990-an pembreidelan pers masih terus berlanjut. Pembreidelan
yang paling banyak dikecam secara luas adalah tindakan Menteri Penerangan
Harmoko mencabut SIUPP tiga penerbitan sekaligus, yaitu Majalah Tempo dan
Editor serta Tabloid DeTIK pada 21 Juni
1994. Ketiga penerbitan ini dibreidel, karena akumulasi beritanya yang dianggap
sangat kritis terhadap pemerintah, khususnya bisnis keluarga presiden,
penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hak asasi manusia, pemborosan keuangan
pemerintah, pertentangan dalam pemerintahan dan militer.[19]
Tetapi
tidak semua pembreidelan itu terjadi karena tindakan represif pemerintah
terhadap kehidupan pers. Ada pula pembreidelan karena kasus penghinaan agama
(godsblasphemy), seperti yang dialami oleh
Majalah Senang Penerbitan ini
dikembalikan SIUPP-nya oleh pengelolanya, Kelompok Kompas - Gramedia sejak 1
November 1990. Sebelumnya Tabloid Monitor yang juga berada di bawah manajemen
Kelompok Kompas- Gramedia dibreidel pada 24 Oktober 1990. Tindakan Kelompok
Kompas – Gramedia mengembalikan SIUPP, karena tampaknya khawatir bila protes
keras umat Islam kepada penerbitan yang dikelolanya saat itu beralih ke Harian
Kompas.
Monitor dibreidel, karena
memuat hasil polling tentang orang paling populer di mata pembacanya, di mana
Nabi Muhammad berada di urutan pada ke-11, sedang Pemrednya Arsweno Atmowiloto
justru menempati urutan ke-10, yang berarti lebih populer dari pada Nabi
Muhammad. Sedang Majalah Senang dibreidel setelah memuat karikatur yang
mengesankan itu Nabi Muhammad.
Selain membreidel pemerintah
juga mengeluarkan SIUPP baru, yaitu lahirnya Harian Republika pada Agustus
1993. Tetapi lahirnya harian yang
bernafaskan Islam ini lebih karena berubahnya politik pemerintah terhadap Islam
dari sikap represif kepada akomodatif dan bahkan mendorong perkembangan agama
ini.
Dengan demikian, di satu sisi
pemerintah menunjukkan keterbukaannya, tetapi di sisi lain masih tampak
otoriter. Tetapi pembreidelan pers terjadi tidak semata-mata karena pemerintah
bersikap otoriter, tetapi juga karena kehidupan pers berada dalam posisi yang
dilematis antara menyuarakan aspirasi rakyat dengan mengamankan kepentingan
pemerintah. Pemerintah berkepentingan agar pers menjadi pers pembangunan,
sebagaimana ditegaskan oleh Presiden Soeharto pada pembukaan Sidang Umum MPR
1973, yang telah dikutip di atas.
Pers pembangunan tidak salah,
malah secara teoritis pers pembangunan merupakan salah satu teori dalam dunia
pers, sebagaimana juga sudah dijelaskan di awal tulisan ini. Hanya saja
masalahnya pembangunan nasional dijalankan dengan strategi yang mengandung distorsi, sehingga merugikan
rakyat banyak.
Itu karena pelaksanaan
pembangunan nasional ditandai dengan tiga ciri yang mengandung kelemahan, yaitu
mengejar stabilitas yang mantap, konsentrasi kekuasaan di tengan pemerintah,
dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pemantapan stabilitas mematikan kritik
yang biasanya datang dari kalangan intelektual dan mahasiswa, dan lalu
diberitakan oleh pers.
Kemudian kekuasaan yang
terkonsentrasi di tangan pemerintah menyuburkan praktek korupsi dalam pemerintahan,
karena tidak ada kontrol dari rakyat, termasuk parlemen. Kontrol dari pers pun
kurang dimungkinkan, karena hal itu biasanya dianggap sebagai gangguan terhadap
pembangunan. Padahal pers harus menunjang proses pembangunan dan bukan sebaliknya.
Lalu strategi pertumbuhan ekonomi menimbulkan kesenjangan sosial yang
semakin parah dalam masyarakat, di mana segelintir orang menjadi kaya raya,
sementara massa rakyat tetap miskin, malah sebagian bertambah miskin. Ini pun
tidak bisa dikritik oleh pers, karena fungsinya sebagai pers pembangunan.
Untuk memperkuat pers
Indonesia menjadi pers pembangunan, maka UU Pokok Pers No: 11 Tahun 1966 yang
telah diubah dengan UU Pokok Pers No: 4
Tahun 1967 diubah lagi dengan UU Pokok Pers No: 21 Tahun 1982. Dalam pasal 1 ayat
(1) a UU No: 21 Tahun 1982 istilah-istilah dalam UU No: 11 Tahun 1966 diubah,
yaitu:
-“alat revolusi” diubah menjadi “alat perjuangan
nasional”.
-“penggerak massa” diubah menjadi “alat penggerak
pembangunan bangsa”.
-“pengawal revolusi” diubah menjadi pengawal
ideologi Pancasila”.
-“pers sosialis Pancasila” diubah menjadi “pers
Pancasila”.
-“tiga kerangka revolusi” diubah menjadi “Tujuan
Nasional”.
-“progresif” diubah menjadi
“konstruktif-progresif”.
-“kontra revolusi’ diubah menjadi “menentang
Pancasila”.
-“berkhianat
terhadap revolusi” diubah menjadi “berkhianat terhadap Perjuangan Nasional”.
-“gotong
royong kekeluargaan terpimpin” diubah menjadi “secara bersama berdasar atas
asas kekeluargaan”.
-“revolusi” diubah menjadi “Perjuangan Nasional”.
-“revolusi Pancasila” diubah menjadi “ideologi
Pancasila”.
Ketentuan
itu menegaskan bahwa pers Indonesia adalah pers Pancasila, yang diwujudkan
dengan pers pembangunan. Boleh juga dikatakan bahwa pers pembangunan merupakan
bagian dari pers Pancasila. Ketentuan itu dan juga kebijakan pemerintah umumnya
di bidang pers telah menggiring kehidupan pers Indonesia ke arah pers
pembangunan. Pers pembangunan biasa juga disebut sebagai pers Dunia Ketiga,
karena Dunia Ketiga selalu ditandai dengan proses pembangunan.
Sebagaimana
telah diterangkan di muka bahwa seperti halnya pers pembangunan pers Dunia
Ketiga juga merupakan salah satu teori yang ada dalam dunia pers, sehingga
secara teoritis penerapan pers Dunia Ketiga bisa dipertanggung-jawabkan.
Penerapan pers Dunia ketiga atau pers pembangunan didasarkan pada asumsi bahwa
pers mempunyai peranan yang penting dalam proses pembangunan. Pers khususnya
dan media massa umumnya berperan:
1.Memperluas
cakrawala pemikiran, memperpendek jarak yang jauh, memperjelas hal-hal yang kabur,
menjembatani peralihan dari masyarakat tradisional menuju masyarakat moderen.
2.Memperoleh
perhatian masyarakat kepada masalah-masalah pembangunan dan menyebarluaskan
gagasan-gagasan pembangunan kepada masyarakat, sehingga mereka memperoleh
kesempatan untuk mendiskusikannya.
3.Menumbuhkan
aspirasi masyarakat untuk bekerja lebih baik, sehingga mereka dapat
meningkatkan kualitas hidupnya.
4.Mengembangkan
dialog tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah politik.
Masyarakat memerlukan pengetahuan tentang politik nasional agar mereka mampu
membentuk pendapatnya dan pada saat yang tepat bertindak sesuai dengan pendapat
mereka.
5.Mengenalkan
norma-norma sosial, khususnya yang berkaitan dengan pembentukan perilaku
pembangunan, seperti tidak malas, boros dan korupsi.
6.Menumbuhkan
selera pada seni, seperti lagu dan tari-tarian baru, dan juga menumbuhkan rasa
kebangsaan melalui acara-acara kesenian nasional.
7.Mengubah
sikap yang lemah menjadi sikap yang kuat, terutama dalam menghadapi perubahan
dan proses pembangunan.
8.Mengembangkan
pendidikan masyarakat. Di daerah di mana kurang guru dan sekolah media massa
dapat memikul sebagian besar tugas pendidikan, terutama dalam pendidikan
orang-orang dewasa serta pemberantasan buta huruf.[20]
Peranan
media massa itu berlaku umum di manapun di negara-negara sedang berkembang,
termasuk Indonesia. Tetapi khusus di Indonesia peranan media massa umumnya dan
pers khususnya ialah:
1.
Memperkuat dan mengkreatifkan konsensus-konsensus dasar nasional. Ini penting
karena bangsa ini memerlukan berbagai konsensus dasar bagi perekat integrasi
nasional. Itulah infrastruktur kejiwaan bagi pembangunan bangsa.
2.
Mengenali masalah-masalah sosial yang peka dalam masyarakatnya, bukan untuk
didiamkan, tetapi juga bukan serta merta diberitakan begitu saja. Perlu
diusahakan pemecahannya bersama pemerintah dan masyarakat secara bijaksana
dengan tetap berorientasi maju.
3.
Menggerakkan prakarsa masyarakat, memperkenalkan usaha-usahanya sendiri, dan
menemukan potensi-potensinya yang kreatif dalam usaha memperbaiki
perikehidupannya.
4.
Menyebarluaskan dan memperkuat rasa mampu masyarakat untuk mengubah nasibnya
sendiri.
5.
Kekurangan, kegagalan dan korupsi dilaporkan bukan untuk merusak dan
membangunkan rasa pesimistis, tetapi untuk koreksi dan membangkitkan kegairahan
dan selalu melangkah maju. Karena itu harus bersedia mengoreksi diri dan
dikoreksi.[21]
Kalangan
pers pun mengerti dan melaksanakan peranannya dalam pembangunan nasional,
sehingga berkembanglah pers Indonesia sebagai pers pembangunan. Pers
pembangunan ialah pers yang menyiarkan
berita-berita pembangunan. Berita pembangunan ialah berita, feature, tajuk
rencana, surat kepada redaksi dan pidato / keterangan yang berhubungan dengan
kebutuhan-kebutuhan primer, sekunder dan tertier dari suatu negara sedang
berkembang.
Kebutuhan
primer ialah pangan, sandang dan perumahan. Kebutuhan sekunder berarti
pembangunan pertanian, perindustrian dan semua kegiatan perekonomian yang
menuju pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer itu. Sedang kebutuhan tertier
ialah pembangunan media massa, transportasi, telekomunikasi, seni dan
kegiatan-kegiatan budaya.[22]
Orientasi
pers kepada pembangunan tampak pada besarnya porsi berita pembangunan dibanding
dengan berita non-pembangunan. Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 1980
terhadap enam surat kabar, yaitu Berita Yudha, Suara Karya, Kompas, Sinar
Harapan, Merdeka dan Pelita menunjukkan bahwa sebagian besar surat kabar
menempatkan berita pembangunan lebih besar porsinya dari pada berita non-pembangunan
dan luar negeri.
Yang
dimaksud berita pembangunan dalam penelitian itu meliputi berita bidang:
- Pemerintah dan reformasi administrasi.
- Produksi pertanian, pembangunan pertanian dan irigasi.
- Pembangunan industri, ilmu, teknologi, tenaga listrik, pertambangan dan produksi minyak mentah.
- Komunikasi, transportasi dan pariwisata
- Perdagangan dan gerakan koperasi
- Tenaga Kerja dan transmigrasi
- Pembangunan daerah, desa, dan perumahan
- Pendidikan dan kebudayaan
- Kesehatan, kesejahteraan masyarakat dan keluarga berencana
- Penerangan dan media massa
- Hukum dan penegakan hukum
- Pertahanan dan keamanan nasional.[23]
Tabel:
Perbandingan Berita Pembangunan, Non-pembangunan dan Luar Negeri Enam Surat Kabar pada Tahun 1980
Surat Kabar
|
Berita Luar Negeri |
Berita Pembangunan
|
Berita Non Pembangunan
|
Jumlah |
Berita Yudha
|
13,3 %
|
66,5 %
|
20,2 %
|
100 %
|
Suara Karya
|
17,1 %
|
49,1 %
|
33,8 %
|
100 %
|
Kompas
|
18,6 %
|
43,7 %
|
37,7 %
|
100 %
|
Sinar Harapan
|
21,4 %
|
45,3 %
|
33,3 %
|
100 %
|
Merdeka |
29,9 %
|
37,7 %
|
32,4 %
|
100 %
|
Pelita
|
15,4 %
|
41,6 %
|
43 %
|
100 %
|
Sumber: Ishadi Sutopo Ks, Analisa
Peliputan Berita Pembangunan, dalam Don Michael Flournoy, ed., Analisa Isi
Surat Kabar – Surat Kabar Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1989), hal. 83
Tabel
itu menunjukkan bahwa dua surat kabar yang berhaluan pemerintah, yaitu Berita
Yudha dan Suara Karya, menempatkan berita pembangunan lebih besar dibanding
dengan surat kabar – surat kabar yang lain, masing-masing 66,5 persen dan 49,1
persen. Sedang berita non-pembangunan masing-masing 20,2 persen dan 33,8
persen. Dan berita luar negerinya masing-masing 13,3 persen dan 17,1 persen.
Kemudian
disusul dengan Sinar Harapan, Kompas, dan Merdeka menempatkan berita
pembangunan masing-masing 45,3 persen, 43,7 persen, dan 37,7 persen. Sedang
berita non-pembangunannya masing-masing 33,3 persen, 37,7 persen dan 32,4
persen.
Satu-satunya
surat kabar dalam penelitian yang menempatkan porsi berita pembangunan lebih
kecil dibanding dengan berita non-pembangunan adalah Pelita. Berita pembangunan
pada harian ini adalah 41,6 persen, sedang berita non-pembangunan 43 persen dan
berita luar negerinya 15,4 persen. Sebenarnya berita pembangunan pada Harian
Pelita sudah cukup besar, malah lebih besar dibanding dengan berita pembangunan
pada Harian Merdeka. Hanya saja berita luar negeri Pelita lebih kecil, sehingga
harian ini harus menyediakan berita dalam negeri yang lebih besar. Berita dalam
negeri dibagi dua, yaitu berita pembangunan dan berita non-pembangunan. Dalam
perbandingannya berita pembangunan Pelita lebih kecil dari pada berita
non-pembangunannya.
Kecilnya
porsi berita pembangunan pada Pelita tampaknya berpengaruh terhadap
perkembangannya kemudian yang tidak menguntungkan surat kabar ini. Misalnya dua
tahun setelah penelitian itu dilakukan, tepatnya tahun 1982, Pelita dibreidel.
Walaupun kemudian harian ini kembali, tetapi jalannya sudah terseok-seok,
ibarat sinarnya sudah redup.[24]
Tetapi
surat kabar yang terlalu banyak memuat berita pembangunan, seperti Suara Karya
dan Berita Yudha, perkembangannya juga kurang menggembirakan. Mungkin karena
surat kabar seperti ini dianggap corong pemerintah, sehingga masyarakat kurang
tertarik membacanya.
Kelihatannya
yang ideal saat itu adalah berita Kompas, Sinar Harapan dan Merdeka. Berita
pembangunan dan non-pembangunan relatif seimbang, sehingga di mata pemerintah
mereka tidak dianggap melawan atau menyalahi kebijakan pemerintah, tetapi oleh
masyarakat tidak dianggap sebagai corong pemerintah.
Selain
soal pers pembangunan kebijakan pemerintah di bidang pers yang paling banyak
dikritik ialah Peraturan Menteri Penerangan Republik Indonesia No: 01/ Per/
Menpen/ 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), karena peraturan
ini menetapkan bahwa SIUPP dapat dibatalkan.[25]
Banyak
alasan untuk membatalkan SIUPP suatu penerbitan, tetapi yang paling ditakuti
ialah ketentuan bahwa “Penerbitan pers yang bersangkutan dalam
penyelenggaraannya tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang sehat, pers yang
bebas dan bertanggung jawab”, karena batasnya tidak jelas.
Ketidak-jelasan
batas sehat dan tidaknya, bertanggung jawab dan tidaknya pers itu menyebabkan
kalangan pers ketakutan, karena setiap saat SIUPPnya bisa dicabut dengan alasan
“tidak lagi mencerminkan pers yang sehat, bebas dan bertanggung jawab”.
Akibatnya pers makin hati-hati dalam pemberitaannya agar tidak ditimpa hukuman
yang mematikan itu.
Selain
itu pembatalan SIUPP dianggap lebih keras dibanding dengan pembreidelan yang
pernah terjadi sebelum keluarnya Peraturan Menpen ini. Sebelum keluarnya
Peraturan Menpen ini penerbitan yang dibreidel boleh terbit lagi
dengan nama dan susunan pengurus yang sama, seperti yang terjadi
pembreidelan pers tahun 1978. Sedang penerbitan yang dicabut SIUPPnya berdasarkan
Peraturan Menpen ini tidak boleh terbit lagi kecuali mengganti nama dan susunan
pengurusnya, terutama pemimpin tertingginya,
seperti yang dialami Sinar Harapan tahun 1986. Surat kabar ini kemudian boleh terbit lagi dengan nama baru,
yaitu Suara Pembaruan, dan pimpinan tertinggi
Sinar Harapan tidak muncul lagi dalam susunan pimpinan tertinggi Suara
pembaruan.
Peraturan
Menpen itu kemudian banyak dikritik, terutama karena dianggap bertentangan
dengan ketentuan yang lebih tinggi, yaitu Undang-undang Pokok Pers, UU No: 11
Tahun 1966. Menurut UU ini pers nasional
tidak dikenakan sensor dan pembreidelan.[26]
Hanya
saja UU No: 11 Tahun 1966 itu sudah diubah dengan UU No: 4 Tahun 1967, kemudian
diubah lagi dengan UU No: 21 Tahun 1982. Perubahan dua kali undang-undang ini
bisa saja ditafsirkan bahwa UU No: 11 Tahun 1966 tidak lagi berlaku. Tetapi
kalangan pers berpendapat bahwa dua kali perubahan undang-undang itu hanya
mengubah pasal-pasal tertentu dalam UU No: 11 Tahun 1966, dan soal pembreidelan
pers termasuk ketentuan yang tidak diubah. Karena itu, asumsinya ketentuan tentang tidak adanya pembreidelan pers masih
berlaku.
Dengan
demikian, berlaku tidaknya ketentuan itu tampaknya memerlukan penafsiran dan
pemerintah membiarkan penafsiran itu berkembang sebagai wacana. Tampaknya
wacana ini dijadikan celah oleh
pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Menpen dan tidak menggunakan istilah
“pembreidelan”, tetapi pembatalan SIUPP supaya secara etimologis tidak
bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi, walaupun prakteknya pembatalan
SIUPP lebih keras dari pada pembreidelan.
Di
samping soal pembatalan SIUPP pemerintah menjadikan Peraturan Menpen itu untuk
membatasi berkembangnya lembaga pers. Misalnya kalau ada pengusaha yang ingin
terjun ke dunia pers biasanya diharuskan untuk membenahi penerbitan yang sudah
ada, yang kondisinya kurang menggembirakan. Begitulah dulu ketika Kelompok
Usaha Bakrie dan Kelompok Usaha Ika Muda berminat mengembangkan investasinya di
bidang pers mereka diharuskan membenahi surat kabar yang telah ada. Akhirnya
Kelompok Usaha Bakrie masuk Pelita dan Kelompok Usaha Ika Muda masuk Berita
Buana.
Tetapi
pengambil-alihan usaha pers itu tidak semudah dengan usaha lain. Di bidang pers
orang-orang lama harus diakomodir, sehingga ada orang-orang lama dan baru,
padahal semangat kerja dan kepentingan masing-masing berbeda, yang akhirnya
menjadi sumber konflik dan kadang tidak bisa diatasi. Inilah yang terjadi di
Pelita dan Berita Buana, sehingga kedua kelompok usaha tadi mundur dari
masing-masing surat kabar itu pada tahun 1992. Perkembangan kedua surat kabar
itu kemudian kembali terpuruk, seperti kondisinya sebelum dibenahi.
Keharusan
mengambil alih SIUPP yang sudah ada juga dialami oleh Kompas, Jawa Pos dan
Media Indonesia ketika mereka hendak mengembangkan surat kabar di berbagai
daerah. Sebagian surat kabar itu berhasil, tetapi banyak pula yang gagal.
Hanya
saja Peraturan Menpen itu tidak sepenuhnya buruk, tetapi ada pula positifnya.
Misalnya peraturan ini menetapkan bahwa perusahaan pers wajib memberikan saham
kepada wartawan dan karyawan lainnya sekurang-kurangnya 20 persen dari modal
perusahaan.[27]
Pers Sebagai Industri
Keluarnya
Peraturan Menteri Penerangan RI No: 01/ Per/ Menpen/ 1984 tentang Surat Izin
Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) menunjukkan
perkembangan baru dalam kehidupan pers, yaitu makin disadarinya pers telah
tumbuh sebagai industri. Ini terlihat misalnya pada ketentuan Peraturan Menpen
ini tentang permodalan usaha pers.
Pasal
19 ayat (1) Peraturan Menpen ini menetapkan bahwa “Jumlah modal kerja yang
disediakan oleh perusahaan penerbit pers harus cukup untuk keperluan pembiayaan
penerbitan pers secara teratur sekurang-kurangnya untuk selama satu tahun”.
Ketentuan itu berbeda sekali dengan kehidupan pers di awal Orde Baru yang terbit
dengan modal seadanya, seperti yang dialami Harian Kompas, sebuah surat kabar
yang kemudian berkembang menjadi surat kabar terbesar di Indonesia sampai saat
ini.
Suasana
prihatin pada masa awal berdirinya surat kabar itu pernah diceritakan oleh Jakob
Oetama, salah seorang pendirinya:
“Surat
kabar itu mulai terbit 28 Juni 1965. Dalam semua bidang ditemui kesulitan:
personalia dalam redaksi, personalia dalam distribusi. Tetapi kesulitan
terbesar pada waktu itu adalah percetakan, sebab tidak ada percetakan bagus
yang masih dapat menerima order. Akibatnya dalam waktu tiga bulan pertama,
terpaksa berpindah sampai dua percetakan, percetakan Abadi dan percetakan
Merdeka, keduanya milik orang lain dan dikelola oleh manajemen lain di luar
surat kabar itu.
Kantor
redaksi numpang sebagian di rumah saya yang kecil, sebagian di percetakan, baru
kemudian menumpang di kantor PT Kinta, tempat almarhum Saudara Ojong bekerja
sebelumnya. Distribusi mula-mula dilakukan oleh PT Kinta, dan baru dijalankan
sendiri setelah terjadi perubahan politik besar dalam tahun 1965. Percetakan
sendiri baru dimiliki tahun 1972 berkat tersedianya kredit dari bank pemerintah
yang menyediakan dana ¾ dari yang diperlukan, asalkan sanggup menyediakan ¼
sisanya”.[28]
Kondisi
seperti itu dialami oleh umumnya penerbitan pers saat itu. Penerbitan terutama
didorong oleh idealisme untuk menyebarkan informasi yang diperlukan masyarakat.
Ini juga disebabkan oleh masih terbatasnya jumlah pembaca. Tetapi setelah
pembaca itu meningkat sejalan dengan meningkatnya pendidikan, maka permintaan
akan bahan bacaan, seperti surat kabar dan majalah, baik jumlah maupun
variasinya, bertambah pula. Hal ini mendorong pertumbuhan dan perkembangan pers
yang menyebabkan oplah mereka meningkat.
Setelah
oplah bertambah besar dan harus menjangkau daerah yang luas, misalnya surat
kabar yang terbit di Jakarta lalu diedarkan di daerah, maka harus memikirkan
sirkulasi yang dapat memenuhi permintaan pasar. Akibatnya bagian sirkulasi
harus dikembangkan menjadi bagian sendiri yang tak kalah pentingnya dengan
bagian redaksi.
Selain
karena faktor pendidikan pers juga tumbuh karena didorong oleh perkembangan
ekonomi dan bisnis. Dunia bisnis selalu didorong keperluan untuk mempromosikan
produk-produk mereka dalam usaha pers. Hal ini mendorong usaha pers untuk
mendirikan bagian periklanan untuk memenuhi permintaan dunia usaha itu. Apalagi
kemudian periklanan menjadi sumber pendapatan besar bagi usaha pers, bahkan
lebih besar dari penjualan media atau sirkulasinya. Akibatnya bagian periklanan
menjadi bagian yang tak kalah pentingnya dibanding dengan bagian redaksi dan sirkulasi.
Sirkulasi
dan periklanan menghasilkan uang yang harus dikelola dengan baik, yang juga tak
kalah pentingnya dibanding dengan redaksi, sirkulasi, dan periklanan. Dengan
perkembangan ini, maka pers tumbuh menjadi industri yang memiliki bagian
redaksi, sirkulasi, periklanan, dan keuangan.[29]
Berkembangnya pers sebagai
industri ditunjang oleh beberapa organisasi, yaitu Serikat Penerbit Surat kabar
(SPS), Serikat Grafika Pers (SGP) dan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia
(PPPI). SPS didirikan pada 8 Juni 1946 di Yogyakarta oleh wakil-wakil surat
kabar yang disponsori oleh Panitia Usaha PWI. SPS merupakan satu-satunya
organisasi penerbit surat kabar berdasarkan SK Menpen RI No: 47/ Kep/ Menpen/
1975. Kemudian dalam Peraturan Menpen RI No: 01/ Per/ Menpen/ 1984 tentang
SIUPP ditegaskan bahwa perusahaan/ penerbit pers wajib menjadi anggota
perusahaan pers yang dikukuhkan oleh pemerintah. SPS terutama bertugas menjalankan
kebijakan pemerintah di bidang bisnis pers, seperti pembatasan jumlah halaman
surat kabar, termasuk halaman untuk iklan, pembagian saham kepada karyawan, dan
sebagainya.
Sedang SGP didirikan pada 13
April 1974 di Jakarta oleh para pengusaha grafika pers karena dorongan hasrat
dan tanggung jawab untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan nasional.
Pengertian grafika pers adalah usaha percetakan yang perlengkapan utamanya
diadakan terutama untuk mencetak penerbitan pers. SPS dikukuhkan sebagai satu-satunya
organisasi percetakan pers di Indonesia berdasarkan SK Menpen RI No: 184/ Kep/
Menpen/ 1978 yang dikeluarkan tanggal 19 September 1978.
Kemudian PPPI lahir pada 20
Desember 1972 di Jakarta dalam Kongres Persatuan Biro Reklame Indonesia (PBRI).
PBRI sendiri lahir pada 1 September 1949. PPPI bertujuan untuk ikut serta
menyelesaikan tugas-tugas pembangunan nasional dan menyempurnakan dunia usaha
periklanan dengan: 1. mengembangkan pengetahuan dan keterampilan para anggota
agar tercipta usahawan-usahawan yang ahli, jujur, dinamis, serta mengabdi
kepada pembangunan nasional; 2. turut
serta menyelesaikan dan memperjuangkan kepentingan dunia periklanan umumnya dan
anggota khususnya; 3. turut menciptakan dan menyempurnakan kondisi-kondisi yang
menguntungkan bagi dunia usaha umumnya dan usaha periklanan khususnya.
Dengan berkembangnya aspek
bisnis dalam kehidupan pers, maka bagian redaksi yang merupakan inti kehidupan pers
hanya merupakan bagian kecil dari usaha pers itu sendiri. Sebagian besar
bagian dunia pers justru meliputi urusan non-pers, yaitu produksi, sirkulasi,
periklanan dan keuangan. Hal ini mengukuhkan perkembangan pers sebagai
industri.
Industri pers pun telah
berkembang cukup baik. Hal ini misalnya dapat dilihat pada oplah surat kabar
yang terbit di Jakarta dan daerah. Menurut data Inventarisasi Pertumbuhan dan
Perkembangan Pers Nasional dari Departemen Penerangan tahun 1982 di Jakarta ada
enam surat kabar yang oplahnya di atas 100.000 eksamplar, yaitu Kompas, Pos
Kota, Sinar Harapan, Sinar Pagi, Berita Buana dan Merdeka.
Kemudian perkembangan surat
kabar di daerah juga cukup baik. Pada tahun 1982 itu misalnya ada sejumlah
surat kabar yang oplahnya mencapai 50.000 eksamplar, yaitu Pikiran Rakyat di
Bandung, Suara Merdeka di Semarang, Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, Jawa
Pos dan Surabaya Post di Surabaya,
Haluan di Padang, Pedoman Rakyat di Ujung Pandang (kini Makassar), Waspada,
Sinar Indonesia Baru dan Analisa di Medan.[30]
Angka-angka tentang oplah
surat kabar itu menunjukkan adanya peredaran yang relatif merata di Jakarta dan
daerah. Karena meski oplah surat kabar
di Jakarta rata-rata lebih besar dibanding dengan daerah surat kabar yang
terbit di Jakarta selain dibaca di Jakarta sendiri juga sebagian diedarkan ke
daerah. Sebaliknya surat kabar yang terbit di daerah sebagian besar oplahnya
beredar di daerah yang bersangkutan, dan hanya sebagian kecil yang diedarkan ke
daerah lain, seperti ke Jakarta.
Pertumbuhan dan perkembangan
pers itu juga ditandai dengan meningkatnya jumlah halaman surat kabar. Di awal
Orde Baru umumnya surat kabar hanya terbit empat halaman. Harian Kompas
misalnya yang merupakan barometer pertumbuhan dan perkembangan surat kabar
nasional waktu terbit tahun 1965 hanya terdiri 4 halaman, baru meningkat jadi 8 halaman pada
28 Juni 1969 dan menjadi 12 halaman sejak 26 Juni 1970. Walaupun turun kembali
menjadi 8 halaman sejak 2 April 1973, tetapi kemudian kembali jadi 12 halaman sejak 30 Mei 1980, lalu
bertambah jadi 16 halaman sejak 1 April 1990, 20 halaman sejak 1 Maret 1993, 24
halaman sejak 1 Desember 1997, tetapi kemudian sempat turun lagi pada akhir
Orde baru, yaitu kembali menjadi 20 halaman sejak 3 Februari 1998.
Selain itu perkembangan pers
di masa Orde Baru telah melahirkan sejumlah kelompok usaha pers, seperti Kelompok
Kompas – Gramedia, Sinar Kasih, Tempo – Grafiti / Jawa Pos, Media Indonesia/
Surya Persindo.[31]
Harian Kompas lahir pada 28
Juni 1965. Pada masa itu kehidupan pers dibagi dalam beberapa kelompok
ideologis dan Harian Kompas termasuk pers kelompok Kristen (Katolik) bersama
Sinar Harapan (Kristen Protestan). Di samping itu ada kelompok pers Islam,
yaitu Duta Masyarakat, Angkatan Baru, Suara Islam dan Mercu Suar. Ada pula pers
kelompok intelektual, yaitu Harian KAMI, Nusantara, Indonesia Raya dan Pedoman.
Pers kelompok independen ialah Harian Merdeka, The Jakarta Times dan
Revolusioner; pers nasionalis ialah Suluh Marhaen dan el-Bahar; dan pers
kelompok militer, yaitu Angkatan Bersenjata, Berita Yudha, Ampera, Api
Pancasila, Pelopor Baru dan Warta Harian.[32]
Ideologi pers itu kelihatannya
mulai mencair sewaktu pers Indonesia berubah menjadi pers pembangunan,
lebih-lebih lagi setelah tumbuh sebagai industri. Sebab pers harus mendahulukan
kepentingan bisnisnya dari pada perjuangan ideologisnya, walaupun perjuangan
ideologis pers tidak hilang sama sekali.
Setelah menjadi industri
pers mengembangkan usahanya semakin
besar, malah membentuk kelompok usaha, seperti Kelompok Kompas – Gramedia.
Harian Kompas didirikan oleh PK Ojong dan Jakob
Oetama. Perkembangan harian ini tidak saja menempatkan diri sebagai
surat kabar terbesar di Indonesia (dengan oplah 525.000 eksamplar pada tahun
1991), tetapi juga berhasil membangun puluhan media cetak, memiliki percetakan,
toko buku, perdagangan buku impor,
radio, usaha perfilman dan periklanan. Bahkan bisnisnya merambah ke
bisnis di luar media massa, seperti hotel, perjalanan wisata, bank, asuransi,
super market, pabrik tisu, tambak udang,
mebel rotan, warung telekomunikasi, lembaga pendidikan bahasa Inggeris, lembaga
pendidikan dan banyak lagi.[33]
Selain tumbuh dan berkembang
menjadi surat kabar yang terbesar Kompas bersama kelompok usahanya juga sejak
1989 mengembangkan surat kabar di daerah, seperti Serambi Indonesia (sebelumnya
dikenal sebagai Mimbar Swadaya) di Banda Aceh, Sriwijaya Post di Palembang,
Mandala di Bandung, Berita Nasional (belakangan dikenal dengan Bernas) di
Yogyakarta dan Surya di Surabaya. Kelompok Kompas – Gramedia juga memiliki
sejumlah penerbitan, yaitu Hai, Bobo, Kawanku, Citra Musik, Nova, Tiara, Sigma,
Suara Alam, Foto Media, Info Komputer, Angkasa, Bola, Intisari, Jakarta Jakarta, Monitor dan Senang. Tetapi dua yang
terakhir dibreidel tahun 1990.
Kemudian Kelompok Sinar Kasih
semula memiliki surat kabar sore Sinar Harapan yang lahir pada tahun 1961. Setelah
dibreidel pada Oktober 1986 kelompok usaha pers ini menerbitkan Suara Pembaruan
sejak 3 Februari 1987. Lalu pada tahun 1991 Suara Pembaruan menjadi surat kabar
terbesar keempat dengan oplah 340.000 eksamplar setelah Kompas (525.000
eksamplar), Pos Kota (500.000 eksamplar), dan Jawa Pos (350.000 eksamplar).
Selain itu Kelompok Sinar
Kasih memiliki sejumlah penerbitan, yaitu Mutiara, Tribun, Higina, Teknologi
dan Strategi Militer (TSM). Kemudian sejak 1989 kelompok usaha ini menangani
manajemen surat kabar pagi Jayakarta bersama Ponco Sutowo dan Kodam Jaya.
Sebelum dibreidel Sinar Harapan bekerja sama dengan beberapa surat kabar
daerah, seperti Obor Pancasila di Manado Sulawesi Utara, Suara Indonesia di
Jawa Timur, dan Suara Timor Timur.
Tetapi kerja sama itu tidak
berkembang. Obor Pancasila kemudian berubah nama Cahaya Siang dan bekerja sama
dengan Jawa Pos, lalu Media Indonesia. Sedang Suara Indonesia kemudian
bergabung dengan Jawa Pos dan Suara Timor Timur bergabung dengan Kompas.
Kelompok usaha pers berikutnya
ialah Tempo – Grafiti/ Jawa Pos. Majalah Tempo lahir tahun 1971 didirikan oleh
wartawan-wartawan yang sebelumnya bekerja di Harian KAMI dan Majalah Express,
milik BM Diah, pendiri Harian Merdeka. Tempo sempat tumbuh dan berkembang
menjadi majalah mingguan yang besar dan menguasai pendapatan iklan 24,2 persen
dari total belanja iklan majalah. Majalah ini kemudian dibreidel pada Juni 1994
bersama Editor dan DeTIK.
Pada kelompok Tempo ini
terdapat usaha percetakan dan penerbitan PT Grafiti Pers. Selain mencetak Tempo
dan penerbitan dalam kelompoknya juga menerbitkan buku. Kelompok usaha ini juga
pernah menerbitkan Zaman, Matra, Humor, dan Medika. Grafiti juga bekerja sama
dengan penerbitan lain seperti SWAsembada dan Forum Keadilan.
Dalam perkembangannya Tempo
pernah mengalami goncangan, yakni ketika sebagian wartawan dan karyawannya
keluar dan mendirikan Majalah Editor pada tahun 1986. Editor juga kemudian
dibreidel pada Juni 1994.
Selain mengembangkan
penerbitan di Jakarta Grafiti juga mengambil alih surat kabar Jawa Pos di
Surabaya tahun 1982. Jawa Pos sendiri lahir tahun 1949. Lalu Kepala Biro Tempo
di Surabaya, Dahlan Iskan, diserahi tugas memimpin Jawa Pos.
Jawa Pos kemudian berkembang
dan pada tahun 1992 menjadi surat kabar terbesar ketiga dengan oplah 350.000
eksamplar setelah Kompas dan Pos Kota. Jawa Pos juga mengembangkan surat kabar
di daerah, seperti Manuntung di Balikpapan, Akcaya di Pontianak, Cahaya Siang di Manado, Fajar
di Ujung Pandang (kini Makassar), Mercusuar di Palu, Suara Maluku di Ambon,
Palangkaraya Pos (kemudian jadi Kalteng Pos) di Palangkaraya Kalimantan Tengah,
Suara Nusa di Mataram Nusa Tenggara Barat, Riau Pos di Pekanbaru, Cendrawasih
Post di Jayapura, Independent di Jambi, dan Batam Post di Batam.
Di Surabaya sendiri Jawa Pos
menangani Suara Indonesia, Liberty, Mentari Putera Harapan, Karya Darma, Dharma
Nyata, Bhirawa, Komptisi, Memorandum, dan juga Jawa Anyar di Surakarta.
Kelompok usaha pers berikutnya
ialah Kelompok Media Indonesia/ Surya Persindo. Surya Persindo merupakan induk
perusahaan pers yang didirikan oleh Surya Paloh pada tahun 1985 dengan kerja
sama dengan Kelompok Bimantara, kelompok usaha Bambang Trihatmojo, putera
Presiden Soeharto. Surya Persindo pernah mendirikan Harian Prioritas, tetapi
tidak lama kemudian dibreidel tahun 1987. Setelah itu kelompok usaha pers ini
mengambil alih Majalah Vista tahun 1988, lalu Media Indonesia tahun 1989. Surat
kabar ini didirkan oleh Teuku Yousli Syah tahun 1969.
Surya Persindo juga
mengembangkan surat kabar di daerah pada tahun 1989 – 1990, seperti Peristiwa
dan Aceh Post di Banda Aceh, Mimbar Umum di Medan, Semangat di Padang, Sumatera
Express di Palembang, Lampung Post di Bandar Lampung, Gala di Bandung, Yogya
Post di Yogyakarta (sebelumnya bernama
Masa Kini, harian berafiliasi dengan Muhammadiyah), Dinamika Berita di
Pontianak, Cahaya Asing di Manado dan Nusatenggara di Bali.
Tetapi sebagian besar surat
kabar itu mengalami kemunduran. Lalu Surya Paloh mengembangkan DeTIK tahun
1992. DeTIK sendiri lahir pada tahun 1977. Tabloid DeTIK sempat berkembang
pesat dan oplahnya diperkirakan mencapai 450.000 eksamplar pada saat dibreidel
pada 1994.
Kemudian ada lagi sejumlah
kelompok usaha pers di beberapa kota, seperti Kelompok Pos Kota di Jakarta,
Pikiran Rakyat di Bandung Jawa Barat, Suara Merdeka di Semarang Jawa Tengah dan
sebagainya.
Selain itu muncul sejumlah
pemain baru dalam bisnis pers yang berasal dari kalangan pengusaha non-pers,
seperti Kelompok Usaha Ika Muda, Kelompok Usaha Bakrie, Bambang Trihatmojo (Bimantara), Siti Hardiyanti Indra Rukmana
yang lazim dipanggil Mbak Tutut (Cipta Lamtoro Gung Persada), Sudwikatmono, dan
Bob Hasan.
Ika Muda dengan seorang
pemiliknya, Sutrisno Bachir, menangani
sejumlah penerbitan pada awal 1990-an, yaitu Berita Buana, Mode Indonesia,
Aneka Ria, Infobank, Prospek dan Anda Bos. Kemudian Aburizal Bakrie, bos
Kelompok Usaha Bakrie, bersama Fadel Muhammad, bos Kelompok Usaha Bukaka,
mengambil alih Harian Pelita tahun 1990. Sebelumnya Bakrie sudah memiliki
Majalah Popular, dan Fadel Muhammad sudah memliki Majalah Warta Ekomomi dan
Mobil Motor.
Di samping itu sejak
pertengahan 1980-an Bambang N. Rachmadi dan Muhammad Suleiman Hidayat mendanai
lahirnya Editor, Nirwan D. Bakrie dan Ponco Sutowo menyuntik dana ke Jayakarta,
Liem Sioe Liong dan Sukamdani Sahid Gitosarjono menerbitkan Bisnis Indonesia,
dan Probosutejo menyuntik dana ke Kartika di Semarang dan Kedaulatan Rakyat di
Yogyakarta.
Kemudian Sudwikatmono dan
Ciputra menerbitkan tabloid Bintang Indonesia tahun 1991, dan Sudwikatmono juga
menerbitkan Majalah Sinar tahun 1993. Sedang Mbak Tutut menerbitkan tabloid
Wanita Indonesia tahun 1989. Lalu Bob Hasan menerbitkan Gatra setelah Tempo
dibreidel tahun 1994. Format Gatra meniru Tempo dan sebagian wartawan dan
karyawan Gatra berasal dari Tempo.
Perkembangan pers yang juga
menarik ialah lahirnya Harian Republika pada Agustus 1993, karena pada
prinsipnya saat itu tidak boleh lagi terbit surat kabar baru di Jakarta. Republika lahir sebagai prakarsa Ikatan Cendekiawan
Muslim se-Indonesia (ICMI), yang saat itu ketuanya adalah BJ Habibie, Menteri
Negara Riset dan Teknologi.
Semula ICMI tidak ingin
mengusahakan penerbitan surat kabar baru, tetapi ingin memberdayakan surat
kabar Islam yang sudah ada, seperti Pelita. Tetapi setelah dipertimbangkan secara
mendalam akhirnya Habibie meminta SIUPP baru untuk menerbitkan surat kabar,
maka lahirlah Republika. Kebetulan saat itu politik pemerintah sedang berpihak
kepada Islam, sehingga bertemulah dengan keinginan ICMI mendirikan surat kabar
baru di Jakarta.
Televisi Swasta
Beberapa pengusaha yang telah
terjun ke bisnis pers itu kemudian mendapat izin untuk mendirikan stasiun
televisi swasta, yaitu Bambang Trihatmojo dengan kelompok usahanya Bimantara
yang mendapat izin Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) tahun 1988,
Sudwikatmono mendapat izin Surya Citra Televisi (SCTV) tahun 1990, Mbak Tutut
mendapat izin Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) tahun 1991, Agung Laksono dengan kelompok usahanya
Hasmuda mendapat izin Cakrawala Andalas Televisi (antv) tahun 1993 (Hasmuda
kemudian bekerja sama dengan Kelompok Usaha Bakrie untuk mengembangkan staisiun
televisi ini), dan Group Salim mendapat izin Indosiar Visual Mandiri (IVM) juga
tahun 1993.[34]
Pemberian izin televisi swasta
itu didorong oleh beberapa alasan, yaitu: 1.Ada permintaan yang sangat kuat
dari khalayak penonton televisi untuk mencari program alternatif di luar
saluran tunggal TVRI yang monopolistis. Pada kurun waktu 1987 – 1989 video rental
amat marak dan tidak bisa dikontrol; 2.Open sky policy (kebijakan udara
terbuka) yang awalnya dimaksudkan pemerintah untuk menggalakkan penyebaran
parabola di daerah pelosok, sehingga penyebaran siaran TVRI ke seluruh
Indonesia lebih cepat terlaksana ternyata malah menjadi ajang distribusi dan
penyebaran siaran televisi negara-negara tetangga dan transnasional yang
menyewa satelit Palapa; 3. Adanya keperluan dari kalangan pengusaha untuk
memperoleh akses siaran iklan dari berbagai saluran televisi, khususnya
televisi swasta yang orientasi siarannya lebih ditujukan kepada keinginan
khalayak penonton. Hal ini seiring dengan program deregulasi ekonomi yang
memungkinkan sektor-sektor swasta bergerak di wilayah yang sebelumnya
dimonopoli oleh pemerintah, seperti sektor perbankan, real estate, transportasi
dan komunikasi.
Itulah alasan-alasan formal
yang biasa dianggap sebagai faktor penyebab keluarga izin televisi swasta.
Tetapi ada pula alasan yang tidak formal, yaitu bahwa kehadiran televisi swasta
tidak lepas dari suasana KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) saat itu. Ini
terbukti pada tiga izin televisi swasta yang pertama diberikan kepada keluarga
Presiden Soeharto, yaitu RCTI diberikan kepada Bambang Trihatmojo (putera
Soeharto), SCTV diberikan kepada Sudwikatmono (sepupu Soeharto) dan TPI
diberikan kepada Mbak Tutut (puteri Soeharto). Setelah itu baru keluar IVM yang
diberikan kepada Liem Sioe Liong (kroni Soeharto) dan antv diberikan kepada
Agung Laksono (tokoh Golkar, kekuatan politik yang memerintah di zaman Orde
Baru).
Izin mendirikan televisi
swasta dimulai dengan keluarnya Keputusan Menteri Penerangan Harmoko No: 190 A
1987 pada 20 Oktober 1987 tentang televisi berlangganan untuk wilayah Jakarta
dan sekitarnya. Siarannya hanya bagi mereka yang memiliki dekoder pada pesawat
televisinya.
Keputusan itu memberi wewenang
kepada Televisi Republik Indonesia (TVRI) mengeluarkan izin kepada pihak ketiga
untuk mengadakan siaran televisi dengan perhitungan harian, dengan lama waktu
dan persyaratan yang diputuskan oleh kedua belah pihak.
Surat keputusan itu mencatat
bahwa acara-acara televisi diizinkan menayangkan iklan yang memungkinkan
mempromosikan kemajuan pembangunan. TVRI selanjutnya diberi otoritas
menggunakan dana yang diperoleh dari saluran swasta untuk membiayai
operasionalnya.
Kemudian pada 28 Oktober 1987
TVRI menunjuk RCTI sebagai pengelola siaran televisi swasta pertama di
Indonesia. Pada 17 Januari 1990 TVRI membuat kesepakatan yang sama dengan SCTV
untuk mengelola siaran televisi berlangganan di Surabaya. Kesepakatan ini
melampaui SK Menpen No: 190 A 1987 yang hanya mengizinkan siaran televisi
swasta untuk daerah Jakarta.
Pada Juli 1990 Departemen
Penerangan memperluas ketentuan surat keputusan yang asli dengan mengadakan
revisi besar terhadap struktur sistem siaran. SK Menteri Penerangan No: 111
Tahun 1990 mengesahkan dua kategori yang
berbeda mengenai siaran dan stasiun televisi swasta. Kategori pertama terdiri
atas stasiun-stasiun yang menyiarkan materi program umum untuk khalayak lokal.
Hanya satu pengelola siaran semacam itu yang diizinkan beroperasi di Ibukota
Jakarta dan ibukota daerah atau propinsi.
Kedua, kategori stasiun siaran
khusus yang merupakan satu-satunya stasiun swasta siaran pendidikan, yang
diberi otoritas bersiaran secara nasional. TVRI tetap berhak memperoleh bagi
hasil dari stasiun swasta.
Tidak lama kemudian SK Menpen
No: 111 Tahun 1990 itu direvisi. Pertama pada Mei 1992 dengan Keputusan Menteri
Penerangan No: 84 A/ Kep/ Menpen/ 1992 dan sekali lagi pada Januari 1993 dengan
Keputusan Menteri Penerangan No: 04 A/ Kep/ Menpen/ 1993. Pada tahun 1992
kriteria campuran dari jangkauan penyiaran (lokal, regional dan nasional) dan
tekanan program (pendidikan dan umum) dihapus. Stasiun siaran swasta hanya
digolongkan menurut kerangka penekanan acara-acaranya.
Berbeda dengan penggolongan
“umum” dan “pendidikan” pada SK No: 111 Tahun 1990 dibuat kategori “siaran
ekonomi”. Stasiun ini diberi hak untuk mengudara secara nasional serta
menggunakan satelit dan stasiun relay untuk menyalurkan program-programnya.
Kemudian pada 18 Januari 1993
SK Menteri Penerangan No: 04 A menciptakan dasar yang sama sekali berbeda untuk
mengatur siaran televisi swasta. Kriteria bagi kategori penyiaran sekali lagi
bergeser dan kembali kepada pertimbangan kewilayahan. Surat keputusan ini
menetapkan dua kategori pemancar, pertama berlokasi di ibukota daerah atau
provinsi dengan jangkauan siaran lokal. Maksimum diperbolehkan lima stasiun
komersial nasional dan dibatasi tidak lebih dari satu stasiun lokal pada masing-masing
ibukota daerah atau provinsi.
Stasiun nasional diperbolehkan
menggunakan satelit Palapa dan atau stasiun relay serta mendirikan jaringan
stasiun atau cabang pendukung. Tetapi stasiun lokal dibatasi pada transmisi
wilayah lokal dan tidak bisa menggunakan satelit.
Dengan ketentuan ini struktur
desentralisasi yang dirancang dalam SK No: 111 dan sedikit banyak dipertahankan
dalam SK No: 84 A diubah secara radikal dan terbentuklah sistem yang sangat
tersentralisasi dengan lima stasiun siaran swasta nasional yang didirikan di
Jakarta.
Lima stasiun televisi yang
mendapat izin untuk siaran nasional pada bulan Maret 1993 ialah Rajawali Citra
Televisi Indonesia (RCTI), Surya Citra Televisi (SCTV), Televisi Pendidikan
Indonesia (TPI), Cakrawala Andalas Televisi (antv), dan Indosiar
Visual Mandiri (IVM).[35]
Lahirnya televisi swasta
menimbulkan perkembangan baru dalam kehidupan pers khususnya dan media massa
umumnya. Misalnya kelahiran televisi swasta itu telah mengakhiri monopoli
siaran televisi oleh Televisi Republik Indonesia (TVRI). Televisi Republik
Indonesia semula disebut Televisi Republik Indonesia Jajasan Bung Karno, karena
dikelola oleh sebuah yayasan yang dipimpin oleh Bung Karno. TVRI memonopoli
siaran televisi di Indonesia sejak kelahirannya pada 24 Agustus 1962. Kelahiran
TVRI ini bersamaan dengan berlangsungnya Asian Games IV, 24 Agustus – 4
September 1962 di Jakarta.
Lahirnya televisi swasta juga
memperkuat perkembangan pers sebagai industri, karena industri televisi padat
modal dan teknologi, tetapi pendapatannya tergantung sepenuhnya pada iklan,
(berbeda dengan media cetak yang sebagian pendapatannya dari sirkulasi),
sehingga programnya, termasuk berita
harus dikemas sebaik mungkin agar layak jual dan dapat menyedot iklan
yang sebanyak-banyaknya.
Di samping itu kelahiran
televisi swasta telah menambah jumlah
dan jenis media massa yang menyiarkan berita. Walaupun masih banyak pembatasan
materi siarannya, tetapi bertambahnya media massa menunjukkan adanya kemajuan
dalam perkembangan kebebasan pers di Indonesia. Karena kebebasan pers meliputi kebebasan mendirikan
media massa dan kebebasan menyiarkan informasi berdasarkan fakta yang benar.
Hanya saja kebebasan itu masih
sangat terbatas, karena izin televisi tadi sebagian besar diberikan kepada keluarga
dan kroni Presiden Soeharto atau setidaknya berada dalam lingkaran kekuasaan
Orde Baru. Misalnya RCTI diberikan kepada Bambang Trihatmojo (putera Soeharto),
SCTV diberikan kepada Sudwikatmono (sepupu Soeharto), TPI diberikan kepada Mbak
Tutut (puteri Soeharto), IVM diberikan
kepada Liem Sioe Liong (Sudono Salim) (kawan akrab dan mitra bisnis
putera-puteri Soeharto) dan antv diberikan kepada Agung Laksono yang
bekerja sama dengan Aburizal Bakrie adalah tokoh Golkar, golongan politik yang
berkuasa di masa Orde Baru.
Pada mulanya televisi swasta
tidak boleh menyiarkan program berita dan harus menayangkan (relay) program
berita TVRI, khususnya Berita Nasional dan Dunia dalam Berita. TVRI sendiri
menyiarkan berita empat kali sehari, yaitu Berita Nusantara, Berita
Nasional, Dunia dalam Berita, dan Berita
Terakhir.
Televisi swasta kemudian boleh
menyiarkan program berita dan pemerintah mendiamkannya.Tetapi nama programnya
tidak menyebut berita secara eksplisit, seperti program berita TVRI.
Berdasarkan hal ini, maka muncullah program berita televisi swasta, seperti
Seputar Indonesia dan Nuansa Pagi (RCTI), Selamat Pagi Indonesia dan Lintas 5
(TPI), Cakrawala dan Halo Indonesia (antv) dan Fokus Pagi dan Fokus Petang (IVM).
Program berita SCTV pada
mulanya bergabung pada mulanya bergabung dengan RCTI dan ketika kemudian
membuat program berita sendiri terpisah dari RCTI televisi swasta sudah semakin
terang-terangan menyiarkan program berita, maka program berita SCTV pun diberi
nama yang jelas menyebut berita atau kata-kata yang semakna dengan berita,
yaitu Liputan 6. (Program Liputan 6 sebenarnya sudah tayang sewaktu SCTV masih
bergabung dengan program berita RCTI, tetapi waktu itu masih merupakan program
mingguan, sehingga tidak menonjol. Program berita ini menonjol setelah
menjadi program harian dan SCTV tidak
lagi bergabung dengan dengan program berita RCTI. Jadi, sebagai program
mingguan sudah ada bersamaan dengan program berita televisi lain, tetapi
sebagai program berita harian munculnya belakangan).
Televisi swasta kemudian
memiliki dasar hukum untuk menyiarkan berita setelah keluar Undang-undang
Penyiaran (UU No: 24 Tahun 1997). Undang-undang ini mengatur penyiaran radio
dan televisi. Dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa lembaga penyiaran swasta
dapat melaksanakan siaran berita.[36]
Penjelasan pasal itu
mengatakan “Pada dasarnya kewenangan melaksanakan siaran berita berada pada
lembaga penyiaran pemerintah. Meskipun demikian lembaga penyiaran swasta dapat
juga melaksanakan siaran berita sesuai dengan persyaratan tertentu”.
Sebelumnya pada pasal 11 ayat
(1) dikatakan bahwa “Lembaga penyiaran swasta adalah lembaga penyiaran yang
berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya khusus menyelenggarakan
siaran radio atau siaran televisi”.
Undang-undang itu juga menjadi
dasar hukum bagi radio swasta untuk menyiarkan
berita. Sebelumnya siaran berita radio dimonopoli oleh Radio Republik
Indonesia (RRI) dan radio swasta harus merelay siaran berita RRI. RRI sendiri
lahir pada 11 September 1945 sebagai konsorsium delapan stasiun lokal yang
tadinya merupakan jaringan di bawah Jepang. Operasi mereka ditempatkan di bawah
Departemen Penerangan mulai April 1946.[37]
Dengan keluarnya undang-undang
penyiaran itu televisi swasta boleh menyiarkan berita sendiri dan tidak lagi
harus merelay berita TVRI. Begitu pula radio swasta sudah boleh menyiarkan
berita sendiri dan tidak harus merelay berita RRI.
Tetapi bolehnya televisi dan
radio menyiarkan berita sendiri tidak berarti kehidupan pers sudah sepenuhnya
bebas. Karena pemerintah masih mengontrol kehidupan pers dengan ketat. Misalnya
pemimpin redaksi televisi sering dikumpulkan dengan pemimpin redaksi media
cetak (surat kabar dan majalah) untuk menerima pengarahan, imbauan, teguran dan
pernyataan dari menteri penerangan atau pejabat tinggi negara lainnya.
Biasanya para pemimpin redaksi
itu diingatkan agar tetap konsisten pada pers Pancasila, yaitu pers yang bebas
dan bertanggung jawab. Di antara wujudnya ialah pers pembangunan, yaitu pers
yang memberitakan program pembangunan, khususnya kemajuan-kemajuan yang
dicapai, bukan kelemahan, apalagi kegagalannya.
RCTI misalnya pernah ditegur
karena laporannya tentang kehidupan suatu kelompok masyarakat di Nusa Tenggara
Timur, di mana umumnya orang di sana hanya bisa mandi beberapa kali dalam
setahun, karena tanahnya kering kerontang dan jarang air. Laporan seperti ini
termasuk berita yang mengesankan pembangunan itu kurang berhasil.
Kemudian SCTV pernah memiliki
acara Perspektif, sebuah acara dialog yang menonjol saat itu, kemudian dihentikan
karena dianggap terlalu kritis dan mengangkat isu kontroversial. Lalu antv pernah memiliki acara dialog, Debat
Terbuka. Dalam sebuah tayangannya
tentang kebijaksanaan perfilman nasional diedit habis-habisan bersama
seorang petugas dari Departemen Penerangan, karena banyak bagian dari dialog
yang tak diinginkan oleh pemerintah.
Di bidang siaran radio
misalnya Radio Trijaya FM di Jakarta pernah memiliki acara Jakarta Round Up,
kemudian dihentikan sebab pimpinan radio itu merasa cemas terhadap acara itu
setelah membahas pelarangan majalah Tempo, Editor dan DeTIK pada Juni 1994.
Kasus-kasus itu hanya
merupakan sebagian kisah kehidupan pers, khususnya pers televisi dan radio.
Kasus-kasus itu juga menggambarkan ketatnya pengawasan pemerintah Orde Baru
terhadap kehidupan pers. Meskipun begitu televisi swasta telah membawa
perkembangan baru dalam jurnalisme televisi, baik materi maupun teknik
penyajiannya. Berita televisi swasta banyak memberitakan masalah-masalah yang
terjadi dalam masyarakat, seperti kebakaran, tindak kriminal, dan sebagainya. Sedang televisi pemerintah
(TVRI) lebih banyak memberitakan kegiatan pemerintah dan masyarakat, seperti
peresmian proyek, penyelenggaraan seminar dan semacamnya.
Kemudian teknik penyajiannya
program berita televisi swasta sering
menampilkan sound up (wawancara dengan sumber berita mengenai peristiwa
yang sedang diberitakan), sehingga beritanya lebih dinamis. Sedang TVRI jarang
sekali menampilkan sound up, maka beritanya terkesan monoton dan kurang
dinamis.
Media Internet
Pengawasan pemerintah terhadap
kehidupan pers tidak sampai mematikan arus informasi sejalan dengan
berkembangnya teknologi informasi, khususnya media internet yang muncul sebagai
media informasi dan komunikasi pada akhir pemerintahan Orde Baru.
Arus informasi dan komunikasi
melalui internet tidak dapat dikontrol oleh pemerintah. Misalnya pada hari-hari
terakhir menjelang pengunduran diri Soeharto dari jabatan presiden RI pada 21
Mei 1998 di antara para mahasiswa yang menduduki gedung DPR/ MPR RI saat itu
ada yang membawa laptop untuk mengirim berita secara online, sementara aparat
keamanan menjaga dengan ketat di sekeliling mereka.
Pengembangan media internet di
Indonesia tak dapat dilepaskan dari peranan BJ Habibie (Menteri Negara Riset
dan Teknologi saat itu). Pengembangan internet dimulai ketika Dewan Riset
Nasional di bawah Habibie merekomendasikan pembangunan jasa informasi Iptek
pada tahun 1986.[38]
Kampus-kampus universitas adalah
yang pertama kali mencoba jaringan internet pada pertengahan tahun 1980-an.
Universitas seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada UGM),
Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS)
di Surabaya bekerja sama sejak tahun 1986 dalam pembangunan jaringan antar
universitas, Uninet, yang didanai oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(kini Departemen Pendidikan Nasional). Kemudian ide pengembangan jaringan
internet mengkristal di bawah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
menjadi sebuah rancangan jaringan informasi Iptek net pada tahun 1989.
Lalu pada April 1993 Komisi
Perencanaan Iptek net memulai percobaan sebuah proto tip Micro Iptek net, yang
melibatkan enam perangkat pemerintah dan beberapa universitas serta lembaga
riset. Banyak insinyur komputer merupakan ahli waris visi besar Habibie itu.
Pada tahun 1980-an mereka menjadi staf di universitas-universitas dan
pusat-pusat penelitian seperti BPPT dan LAPAN, keduanya diketuai oleh Habibie mencobakan
dan mempromosikan internet.
Pada pertengahan 1990-an
orang-orang yang sama membangun perusahaan-perusahaan internet komersial
pertama, seperti Radnet. Ledakan permintaan akan akses internet mulai akhir
1995 dan mencapai puncaknya pada paruh pertama 1996. Pada saat yang sama
kecepatan dan efisiensi teknologi semakin membaik.
Hingga akhir 1995 diperkirakan
pengguna internet di Indonesia dilayani oleh lima Internet Service Provider
(ISP- Penyedia Jasa Internet) ditambah dengan Ipktek net. Setelah enam bulan
angkanya semakin menjamur. Hingga Mei 1996 ada 22 ISP yang terdaftar di
Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi.
Sampai September dua provider
lagi mendaftar izin operasional, tetapi dari semuanya hanya 15 yang benar-benar
berjalan. Menjelang akhir 1996 diperkirakan ada 40.000 pelanggan, sekitar
25.000 di antaranya menggunakan provider komersial. Jumlah ISP dan pelanggan
mereka terus meningkat, tetapi jauh lebih lambat dari pada proyeksi tahun 1996
yang optimistis.
Selain itu surat kabar, seperti
Kompas, Media Indonesia dan Republika masuk internet, sehingga bisa dibaca pada
layar komputer. Kemudian Majalah Tempo yang dibreidel Juni 1994 muncul di
internet dengan nama Tempo Interaktif sejak Maret 1996.
Media internet makin
memasyarakat sejalan dengan tumbuh dan
berkembangnya warung internet (Warnet) di berbagai daerah, sehingga dapat
diakses oleh mereka yang tidak memiliki
komputer atau memiliki komputer, tetapi tidak berlangganan internet.
Berkembangnya media internet
telah ikut memperkuat kehidupan pers sebagai industri, karena pendapatannya
terutama mengandalkan iklan dan sebagian informasinya yang hanya didapat dengan
cara berlangganan atau membayar program yang bersangkutan. Karena itu, boleh
dikata kelangsungan hidup dan kemajuan industri ini sangat
tergantung pada kemampuannya menjual informasi, termasuk berita, sebagai
komoditas melalui layar komputer.
Kemudian karena berita
internet sulit dikontrol oleh pemerintah, maka lebih bebas dibandingkan dengan
media cetak, televisi dan radio. Ini sebabnya media internet disebut juga
information superhighway (jalan tol informasi), karena informasinya mengalir
tanpa hambatan. Karena itu, media internet telah mendorong kebebasan pers dan
ikut mempercepat ambruknya rezim Orde Baru yang ditandai dengan mundurnya
Soeharto dari kedudukannya sebagai presiden RI pada 21 Mei 1998.
Penutup
Pers Indonesia di masa Orde
baru disebut pers Pancasila, yaitu pers yang bebas dan bertanggung jawab.
Kebebasan dan tanggung jawab harus berjalan secara seimbang. Tetapi dalam
prakteknya hubungan antara kebebasan dan tanggung jawab itu berubah dari waktu ke waktu. Pada awal
Orde Baru, khususnya antara 1966 – 1974 kehidupan pers lebih besar kebebasan
dari pada tanggung jawabnya. Sesudah itu kehidupan pers lebih ditekankan
tanggung jawabnya dari pada kebebasannya. Tanggung jawab pers terutama
diarahkan untuk menunjang proses pembangunan. Pers Indonesia pun menjadi pers
pembangunan yang diasumsikan sebagai pengamalan pers Pancasila.
Pers pembangunan kemudian
berkembang sejalan dengan tumbuhnya pers sebagai industri, yaitu kegiatan yang
berorientasi kepada keuntungan. Hal ini tidak bisa dihindari, karena pers
mempekerjakan karyawan, seperti wartawan dan karyawan lainnya, yang juga ingin
hidup layak seperti kelompok masyarakat yang lain.
Hanya saja masalahnya proses
pembangunan yang berjalan menimbulkan banyak distorsi, karena strateginya lebih
menekankan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Strategi ini melahirkan berbagai macam
kesenjangan, seperti kaya dan miskin, pusat dan daerah, kota dan desa, kawasan
timur dan kawasan barat, Jawa dan luar Jawa, dan sebagainya.
Kesenjangan itu menempatkan
pers dalam suasana dilematis antara mengutamakan orientasi pembangunan dengan
memperjuangkan aspirasi rakyat yang menghendaki penyelesaian berbagai
kesenjangan itu. Kalau terlalu mengikuti orientasi pembangunan pers bisa
dianggap corong pemerintah, tetapi terlalu banyak mengangkat aspirasi rakyat bisa
dianggap melawan pemerintah.
Hal itu berlangsung sampai
akhir 1980-an, yaitu sampai lahirnya televisi swasta. Dengan lahirnya televisi
swasta berarti ada sedikit peluang yang memberi ruang gerak kepada kehidupan
pers. Perkembangan ini mengarah kepada timbulnya kembali kebebasan pers yang
lebih besar, seperti yang terjadi di awal Orde Baru.
Perkembangan ke arah kebebasan
pers itu juga ditunjang oleh kemajuan teknologi informasi, yaitu lahirnya media
internet, karena arus berita internet tidak bisa dikontrol oleh pemerintah.
Walaupun media internet itu baru dikenal luas pada pertengahan 1990-an, tetapi
sudah dirintis jauh sebelumnya yaitu sejak pertengahan 1980-an oleh BJ Habibie
selaku Menristek kala itu.
Karenanya, jika rezim Orde
Baru belum runtuh kebebasan pers tidak bisa dibendung lagi, atau boleh dikata
media internet ikut mempercepat keruntuhan rezim Orde Baru. Ini karena
kebebasan pers merupakan fitrah manusia atau sunnatullah yang harus dihormati
dalam membangun kehidupan bangsa yang adil, makmur, demokratis dan mandiri.
[1]
Anwar Arifin, Komunikasi Politik dan Pers Pancasila: Suatu Kajian Pers
Pancasila (Jakarta: Media Sejahtera, 1992), hal. 26 – 29; F. Rachmadi, Perbandingan
Sistem Pers: Analisis Deskriptif Sistem Pers di Berbagai Negara
(Jakarta: Gramedia, 1990), hal. 29 – 41; Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan
Wilbur Schramm, Empat Teori Pers (Jakarta: Intermasa, 1986); William L.
Rivers dan Wilbur Schramm, Responsibility in Mass Communication (New
York - Evanston – London: Harper & Row Publishers, 1969), hal. 29 – 52.
[2]
Denis McQuail, Mass Communication Theory: An Introduction
(London-Newbury Park-Beverly Hills-New Delhi: Sage Publications, 1991), hal.
119 – 123.
[3]Ibid,
hal. 123
[4]
Anwar Arifin, Komunikasi Politik dan Pers Pancasila, hal. 58
[5]
Ibid, hal. 42 – 49. Juga Edward C. Smith, Pembreidelan Pers di
Indonesia (Jakarta: Grafitipers, 1986), hal. 156.
[6]
Pasal 5 ayat 1 dan 2 UU No: 11 Tahun 1966
[7]
Pasal 3 dan 4 UU No: 11 Tahun 1966.
[8]
Ahmad Zaini Abar, Kisah Pers Indonesia 1966 – 1974 (Yogyakarta: LKiS,
1995), hal. 56
[9]
Ibid, hal. 45 – 46
[10]
Ibid, hal. 70
[11]
Ibid, hal. 72
[12]
Ibid, hal. 71 - 72
[13]
Ibid, hal. 153
[14]
Ibid, hal. 74
[15]
Kurniawan Junaedhie, Ensiklopedi Pers Indonesia (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1991), hal. 48.
[16]
David T. Hill, The Press in New Order Indonesia (Jakarta: University of
Western Australia Press bekerja sama dengan Asia Research Centre on Social,
Political and Economic Change dan Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 37
[17]
Abdurrachman Surjomihardjo, ed., Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di
Indonesia (Jakarta: Kompas, 2002), hal. 243
[18]
David T. Hill, The Press in New Order Indonesia, hal. 39
[19]
Ibid, hal. 40 - 41
[20]
Wilbur Schramm, Peranan dan Bantuan Media Massa dalam Pembangunan Nasional,
dalam Eduard Depari dan Colin MacAndrews, ed., Peranan Komunikasi Massa dalam
Pembangunan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1978), hal. 47 - 52
[21]
Jakob Oetama, Perspektif Pers Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), hal. 158
- 159
[22]
Ishadi Sutopo Ks, Analisa Peliputan Berita Pembangunan, dalam Don
Michael Flournoy, ed., Analisa Isi Surat Kabar – Surat Kabar Indonesia
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Perss, 1989), hal. 71
[23]
Ibid, hal. 72 - 75
[24]
Perkembangan surat kabar ini selanjutnya tidak menguntungkan lagi ketika
diambil alih oleh Golkar pada tahun 1985. Sejak itu Golkar mempunyai dua surat
kabar, yaitu Pelita yang berhaluan Islam dan Suara Karya yang dekat dengan
kalangan Kristen. Kemudian pada tahun 1990 Kelompok Usaha Bakrie bekerja sama
dengan Fadel Muhammad berusaha membenahi harian ini, di mana penulis merupakan
salah seorang anggota timnya, tetapi tidak bertahan lama, karena manajemen
Bakrie mundur tahun 1992 setelah pertentangan internal antara orang-orang
manajemen lama dengan manajemen baru tidak dapat diatasi.
[25]
Pasal 33 Peraturan Menpen No: 01/ Per/ Menpen/ 1984
[26]
Pasal 4 UU No: 11 Tahun 1966
[27]
Pasal 20 Peraturan Menpen No: 01/ Per/ Menpen/ 1984 tentang SIUPP
[28]
Jakob Oetama, Perspektif Pers Indonesia, hal. 26
[29]
HG Rorimpandey, Penerbitan Pers Sebagai Perusahaan, dalam Christianto
Wibisono, ed., Pengetahuan Dasar Jurnalistik (Jakarta: Media Sejahtera, 1991),
hal. 33
[30]
Jakob Oetama, Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus
(Jakarta: Kompas, 2001), hal.317 - 318
[31]
David T. Hill, The Press in New Order Indonesia, hal. 83 - 97
[32]
Akhmad Zaini Abar, Kisah Pers Indonesia, hal. 57 - 58
[33]
Krishna Sen dan David T. Hill, Media, Budaya dan Politik di Indonesia
(Jakarta: Institut Studi Arus Informasi bekerja sama dengan PT Media Lintas
Inti Nusantara, 2001), hal.69
[34]
Ishadi SK, Prospek Bisnis Informasi di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999), hal. 91 - 92
[35]
Philip Kitley, Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca (Jakarta: Institut
Studi Arus Informasi, Lembaga Studi Pers & Pembangunan dan Media Lintas
Inti Nusantara, 2001), hal. 239 - 241
[36]
Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No: 24 Tahun 1997
[37]
Krishna Sen dan David T. Hill, Media, Budaya dan Politik di Indonesia,
hal. 95
[38]
Ibid, hal. 227 - 231
Sekarang media cetak sudah banyak yang gulung tikar bang.
ReplyDeleteLebih suka yang online sih...
Terimakasih
menang BERSAMA
Hidup Adalah Perjuangan