Tuesday, May 7, 2013

Sejarah Pers Orde Baru



 Oleh Sudirman Tebba

            Perkembangan pers Indonesia di masa Orde baru dapat dibagi kepada tiga periode, yaitu:
  1. Tahun 1966 – 1974
  2. Tahun 1974 – 1988
  3. Tahun 1988 – 1998
Setiap periode perkembangan pers itu memiliki karakteristik sendiri yang berbeda satu sama lain. Misalnya pada periode 1966 – 1974 kehidupan pers berkembang relatif bebas, yang ditandai dengan munculnya kembali sejumlah penerbitan yang sebelumnya dibreidel dan lahirnya beberapa penerbitan baru. Kemudian pada periode 1974 – 1988 kehidupan pers mengalami banyak tekanan pemerintah yang ditandai dengan pembreidelan banyak penerbitan, dan dalam periode 1988 – 1998 kehidupan pers mengalami perkembangan yang mengarah ke arah kebebasan, yang ditandai dengan lahirnya televisi swasta dan media internet. Walaupun pada periode ini terjadi pembreidelan yang sangat menggoncang kehidupan pers, yaitu pembreidelan Majalah Tempo, Editor dan DeTIK pada Juni 1994, tetapi lahirnya televisi swasta dan media internet telah membawa perkembangan baru dalam kehidupan pers, karena lahirnya televisi swasta mengakhiri dominasi Televisi Republik Indonesia (TVRI) dalam siaran televisi dan media internet menjadi media informasi yang mendorong kepada kebebasan pers, sebab informasinya tidak dapat dikontrol oleh pemerintah. 
                             
                                                                                     Teori Pers
            Untuk mengetahui lebih lanjut sejarah pers di masa Orde Baru biasanya para pengamat dan praktisi pers merujuk kepada teori-teori pers, terutama teori pers yang pernah dikemukakan oleh Fred S. Sibert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm dalam karya mereka: “Four Theories of the Press (1963).[1] 
            Siebert dan kawan-kawan memperkenalkan empat teori pers, yaitu pers otoriter, pers bebas, pers tanggung jawab sosial, dan pers komunis Soviet. Teori pers otoriter muncul dalam sistem politik pada abad ke-17. Namun sampai sekarang pun teori pers otoriter telah tersebar dan membentuk pola umum bagi sebagian besar sistem pers di dunia.
            Teori pers otoriter kemudian mengalami kemunduran sejalan dengan berkembangnya gagasan tentang kebebasan individu, yang lalu dikenal sebagai paham  individualisme dan liberalisme. Paham ini lahir dan berkembang sebagai reaksi terhadap paham otoriter. Paham ini kemudian  melahirkan suatu teori pers yang disebut sebagai teori pers bebas.
            Dalam teori pers bebas, pers dianggap sebagai mitra dalam mencari kebenaran, sehingga pers tidak lagi menjadi alat penguasa, tetapi sarana bagi rakyat untuk mengawasi kekuasaan. Teori pers bebas mulai tumbuh pada abad ke-17 dan berkembang pesat pada abad ke-19, tetapi lalu mengalami revisi pada abad ke-20.  Kurangnya pengawasan pemerintah terhadap pers atau media massa melahirkan kekuatan baru dalam masyarakat yang dapat membahayakan kebebasan dan demokrasi itu sendiri, yaitu munculnya pengelola dan pemilik media yang mendominasi pendapat umum.
            Kalau dalam sistem pers otoriter pers dikendalikan oleh penguasa, maka dalam sistem pers bebas dikuasai oleh pengusaha. Kelompok pengusaha ini yang menentukan  fakta dan kebenaran  yang disiarkan ke tengah masyarakat. Kenyataan ini menimbulkan kekhawatiran yang lalu mendorong lahirnya suatu gagasan atau teori pers tanggung jawab sosial.
            Pencetus teori pers tanggung jawab sosial berpendapat bahwa orang-orang yang menguasai media massa harus bertanggung jawab kepada masyarakat. Kalau mereka tidak mau menerima tanggung jawab itu, maka harus dilakukan pemaksaan oleh lembaga lain, yaitu pemerintah.
            Selain teori pers bebas mengalami revisi seperti munculnya teori pers tanggung jawab sosial di Uni Soviet waktu itu muncul teori pers sendiri yang disebut teori pers komunis Soviet. Namun dengan runtuhnya Uni Soviet, maka teori pers itu sekarang lebih tepat disebut teori pers komunis.
            Teori pers komunis menempatkan pers sebagai alat partai politik yang berkuasa, dan karena itu pers merupakan pelayan negara, seperti pada teori pers otoriter. Teori pers komunis muncul untuk menentang teori pers bebas dan tanggung jawab sosial. Menurut orang-orang komunis, pers bebas terlalu komersial dan tidak bebas, karena dikuasai oleh kaum kapitalis.
            Selain keempat teori pers itu Denis McQuail menambahkan dua teori pers lagi, yakni teori pers pembangunan dan teori pers partisipan-demokratis.[2]  Teori pers pembangunan membolehkan pemilikan pers di tangan swasta, tetapi menekankan bahwa media massa seyogyanya menerima dan melaksanakan tugas pembangunan  sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah  yang diterapkan secara nasional. Sedang teori pers partisipan-demokratis menekankan bahwa lembaga dan isi media massa tidak harus tunduk kepada pemerintah. Warga negara secara individual dan kelompok memiliki hak untuk memanfaatkan media dan berhak dilayani oleh media sesuai dengan keperluannya.
            Tetapi teori-teori pers itu tidak sepenuhnya diterima oleh para pakar ilmu komunikasi. Altschull misalnya mengembangkan teori pers yang lain dan lebih sederhana. Bagi dia, teori pers itu hanya tiga, yaitu teori pers Dunia Pertama (negara kapitalis), pers Dunia Kedua (negara sosialis) dan pers Dunia Ketiga (negara sedang berkembang).[3]
            Teori pers dari Altschull itu sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan keenam teori pers yang telah dijelaskan di atas. Malah teori Altschull sudah terakomodir ke dalam teori-teori pers tadi. Misalnya teori pers Dunia Pertama mengandung unsur-unsur  teori pers bebas dan tanggung jawab sosial. Teori pers Dunia Kedua sama dengan teori pers keempat dari Siebert dan kawan-kawan. Sedang teori pers Dunia Ketiga sama dengan teori pers pembangunan.   

                                                                                     Pers Pancasila
            Dilihat dari segi teori pers itu,  maka dapat dikatakan bahwa pers Orde Baru itu merupakan kombinasi beberapa teori pers. Pemerintah sendiri menyatakan bahwa pers Indonesia pada masa itu adalah pers yang bebas dan bertanggung jawab. Ini berarti bahwa pers Orde Baru merupakan gabungan antara teori pers bebas dan  pers tanggung jawab sosial. Kemudian pers Indonesia saat itu secara normatif disebut pers Pancasila. Pers Pancasila adalah pers yang berorientasi, bersikap dan bertingkah laku berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Seperti halnya Pancasila, maka pers Pancasila merupakan konsep pers yang digali dari masyarakat Indonesia sendiri, yang melahirkan filsafat Pancasila.
            Filsafat Pancasila memiliki pandangan sendiri tentang manusia. Menurut filsafat Pancasila manusia itu makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk individu manusia mempunyai kebebasan, tetapi sebagai makhluk sosial manusia memiliki tanggung jawab sosial. Hakikat konsep ini ialah adanya sikap saling tergantung dan  memberi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Inilah yang disebut paham kekeluargaan.
            Berbeda dengan filsafat liberal yang menekankan keunggulan akal pikiran manusia, filsafat Pancasila menegaskan bahwa akal pikiran manusia itu terbatas, dan karena itu masih perlu dibimbing oleh kekuatan di luar dirinya yang maha kuasa, yaitu Tuhan.
            Dengan demikian, manusia bukan hanya makhluk rasional, tetapi juga makhluk religius yang berbudi, berakhlak mulia, yang tidak hanya mengejar kehidupan material, tetapi juga kehidupan spiritual.   Karena itu, manusia tidak hanya melakukan hubungan dengan sesamanya, tetapi juga dengan Tuhan, pencipta seluruh alam. Paham ini menghendaki kseimbangan dan keserasian  dalam kehidupan manusia. 
            Konsep manusia itu berbeda dengan konsep Barat liberal yang menekankan kebebasan individu dan paham komunis yang mengutamakan kolektivitas dan tanggung jawab sosial. Konsep ini kemudian melahirkan sistem sosial, ekonomi, politik dan pers sendiri, yang berbeda dengan sistem yang telah ada sebelumnya.[4]
            Dalam bidang pers konsep itu melahirkan sistem pers Pancasila. Selain digali dari budaya Indonesia sendiri konsep pers Pancasila juga lahir dari perkembangan sistem politik Indonesia. Sebelum lahirnya Orde Baru Indonesia sudah mengenal dua macam sistem politik, yaitu sistem politik liberal dan sistem politik terpimpin. Sejalan dengan itu sistem pers Indonesia juga mengenal pers merdeka yang bercorak liberal dan pers terpimpin.[5]
            Asas pers merdeka didasarkan pada kebijakan pers yang diumumkan pemerintah melalui Menteri Penerangan, Amir Syarifuddin, pada bulan Oktober 1945. Dalam pengumuman itu ditegaskan bahwa pikiran masyarakat umum atau pendapat umum merupakan dasar pemerintahan yang berkedaulatan rakyat. Pers yang tidak merdeka tidak dapat menyatakan pikiran masyarakat, tetapi hanya mewakili pikiran orang yang berkuasa saja.
            Pada dasarnya pers merdeka mencerminkan suatu sistem pers yang dianut oleh negara-negara Barat yang bertumpu pada paham liberal, sehingga disebut pers liberal. Pers merdeka kemudian diperkuat oleh berlakunya Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 yang menjadi dasar sistem pemerintahan parlementer (1950 – 1959).
            UUDS mencerminkan sistem demokrasi liberal seperti yang terdapat dalam negara-negara Barat dengan memberi peranan yang sangat besar kepada parlemen (Dewan Perwakilan  Rakyat Sementara) sebagai lembaga legislatif yang selanjutnya menentukan nasib pemerintah yang berkuasa.     Sistem politik liberal itu berkembang sejalan dengan berkembangnya sistem pers merdeka. Dalam pers merdeka surat kabar umumnya dimiliki oleh partai politik dan golongan sosial, dan sama sekali lepas dari pengaruh pemerintah.
            Pers merdeka memiliki kebebasan yang sangat besar untuk mengetahui dan memberitakan segala kejadian, termasuk yang menyangkut kehidupan politik dan pemerintahan. Pers ikut menjalankan fungsi politik terutama sebagai alat demokrasi dengan cara mengecek atau mengontrol kebijaksanaan pemerintah serat menyalurkan pendapat umum secara bebas.
            Kemudian pers liberal atau merdeka itu berakhir ketika demokrasi liberal runtuh dan digantikan oleh demokrasi terpimpin, yang melakukan sistem pers yang juga terpimpin. Pers terpimpin bersifat otoriter. Dalam pers terpimpin kebebasan pers dikurangi dan harus memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam memelihara ketertiban, keamanan dan persatuan bangsa, sehingga pers yang semula memiliki kebebasan, kemudian ditertibkan, diawasi dan dikontrol dengan ketat.
            Fungsi pers kemudian ditetapkan dalam Ketetapan MPRS (No: II/ MPRS/ 1960) bahwa media massa, termasuk pers, berfungsi untuk memperkuat usaha penerangan sebagai media penggerak rakyat dan massa revolusioner. Ini sebabnya tiga tahun kemudian, yaitu tahun 1963, MPRS memutuskan agar pers nasional diberikan fasilitas dan bantuan untuk perbaikan mutu supaya dapat memenuhi fungsinya sebagai alat revolusi.
            Selain itu sejak 12 Oktober 1960 penguasa perang tertinggi mengeluarkan peraturan No: 10 Tahun 1960 tentang izin terbit terhadap penerbitan majalah dan surat kabar. Dengan peraturan ini semua surat kabar harus menyesuaikan diri dan sebelum memperoleh izin terbit harus memenuhi sejumlah syarat yang sudah ditetapkan.
            Kemudian ada sejumlah peraturan yang berkaitan dengan pers. Di antaranya yang terpenting ialah Keputusan Menteri  Penerangan (No: 29/ SK/ M/ 1965) tentang norma-norma pokok pengusahaan pers dalam rangka pembinaan pers Indonesia. Keputusan itu antara lain mewajibkan semua surat kabar berafiliasi kepada salah satu kekuatan sosial politik yang ada.
            Peraturan itu membatasi anggota masyarakat dalam penerbitan pers, juga agar pers memantapkan tanggung jawab politiknya dan membatasi kebebasannya. Dalam pers terpimpin itu pers harus tunduk di bawah kekuasaan dan menjadi alat kekuasaan. Pers harus melayani kepentingan politik penguasa. Pers yang tidak mengikuti kebijakan ini dengan sendirinya tidak memiliki hak hidup.
            Pers terpimpin juga akhirnya runtuh sejalan ambruknya demokrasi terpimpin, lalu muncul Orde Baru yang memperkenalkan sebuah sistem pers sendiri yang disebut pers Pancasila. Dilihat dari segi perkembangan pers, yaitu pers merdeka yang bebas di masa demokrasi liberal dan pers terpimpin di masa demokrasi terpimpin yang otoriter, maka pers Pancasila bersifat tidak liberal dan tidak otoriter.
            Kemudian dilihat dari segi budaya Indonesia pers Pancasila tidak sepenuhnya bebas seperti pada budaya masyarakat Barat dan juga tidak kolektivistik seperti pada masyarakat sosialis, tetapi berada di antara keduanya. Dari sinilah kemudian dirumuskan dan ditetapkan bahwa pers Pancasila itu bebas dan bertanggung jawab.
            Prinsip pers yang bebas dan bertanggung  jawab ditegaskan oleh Ketetapan MPRS Nomor: XXXII/ MPRS/ 1966. Dalam Tap MPRS ini disebutkan:
“(1). Kebebasan pers berhubungan erat dengan keharusan adanja pertanggungan djawab kepada:
            (a). Tuhan Jang Maha Esa.
            (b). Kepentingan rakjat dan keselamatan negara.
            (c).Kelangsungan dan penjelesaian revolusi hingga terwudjudnja tiga segi kerangka tudjuan revolusi.
            (d). Moral dan tata susila.
            (e).Kepribadian bangsa.
(2).Kebebasan pers Indonesia adalah kebebasan untuk menjatakan serta menegakkan kebenaran dan keadilan bukanlah kebebasan dalam pengertian liberalisme”.
            Kemudian dalam UU No: 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers disebutkan bahwa kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga negara dan didasarkan pada tanggung jawab nasional.[6]
            Selanjutnya pers yang bebas dan bertanggung jawab ditetapkan dalam GBHN (Tap MPR No: IV/ 1973 dan Tap MPR No: III/ 1983. Dalam Tap-tap MPR ini pers bebas dan bertanggung jawab mendapat penegasan sebagai pers yang sehat, yaitu pers yang menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang obyektif, menyalurkan aspirasi rakyat dan meluaskan komunikasi dan partisipasi masyarakat.
            Dengan demikian, kebebasan pers Indonesia dapat diartikan sebagai kebebasan fungsional. Hal ini merupakan pendekatan baru yang bertitik tolak dari asumsi bahwa pers adalah lembaga kemasyarakatan yang otonom, dan karena itu bertugas melaksanakan fungsinya sendiri.    Kebebasan diperlukan bukan untuk kebebasan itu sendiri, tetapi untuk melaksanakan fungsinya sebagai subsistem dalam keseluruhan sistem kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan. Karenanya, kebebasan pers Indonesia merupakan suatu kemustian, sebab melekat dalam fungsi pers itu sendiri.
            Dalam hal ini kebebasan dan tanggung jawab diletakkan dalam keseimbangan yang selaras dan serasi, karena kebebasan akan kehilangan arti dan manfaatnya apabila tidak dilandasi oleh tanggung jawab yang mendalam terhadap tata krama dan nilai-nilai kehidupan bangsa.           Sebaiknya tanggung jawab tak dapat dilaksanakan dengan baik tanpa ada kebebasan. Keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab merupakan ciri khas masyarakat Indonesia yang hidup dan dipelihara dari masa ke masa, kemudian dirumuskan dalam Pancasila sebagai pandangan hidup.
            Kebebasan dan tanggung jawab yang diletakkan dalam keseimbangan yang selaras dan serasi itu dirumuskan baik dalam bentuk yang positif maupun negatif. Dalam rumusan positif dijelaskan bahwa  pers bebas dimaksudkan untuk menjalankan kontrol, kritik dan koreksi yang konstruktif. Sedang dalam bentuk negatif dirumuskan bahwa terhadap pers Indonesia tidak dikenakan sensor dan pembreidelan.[7]
            Sebagai imbangan terhadap kebebasan itu pers Indonesia dibebani tanggung jawab nasional dalam melaksanakan fungsi, kewajiban dan hak yang selalu disebut satu nafas dengan kebebasan itu. Tetapi hubungan antara kebebasan dengan tanggung jawab dalam pers Indonesia berubah dari waktu ke waktu. Misalnya pada awal Orde Baru, khususnya antara tahun 1966 – 1974 kebebasan lebih besar dibanding dengan tanggung jawabnya.
            Hal itu terlihat pada terbitnya kembali sejumlah surat kabar di awal Orde Baru yang pernah dibreidel di masa Demokrasi Terpimpin, yaitu Merdeka ( Juni 1966), Berita Indonesia (Mei 1966), Indonesian Observer (September 1966), Nusantara (Maret 1967), Indonesia Raya (Oktober 1968), Pedoman (November 1968), dan Abadi (Desember 1968).[8] 
            Selain itu terbit surat kabar baru, seperti Harian KAMI (Juni 1966), Angkatan Baru (Juni 1966), Angkatan 66 (Juni 1966), Mahasiswa Indonesia edisi Jakarta (Maret 1966), Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat (Juni 1966), Trisakti (Februari 1966), Harian Operasi (Mei 1966), Mingguan Abad Muslimin (Oktober 1966).[9]
            Kemudian berita dan tajuk rencana media cetak relatif bebas mengeritik kebijakan pemerintah dan kondisi kehidupan bangsa yang memprihatinkan, seperti melambungnya harga kebutuhan pokok rakyat dan merajalelanya korupsi di kalangan pejabat dan sebagainya. Kritik pers ini berkembang sejalan dengan meningkatnya keprihatinan masyarakat, termasuk mahasiswa, terhadap kondisi perkembangan bangsa saat itu.
            Perkembangan pers yang bebas itu disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, pemerintah Orde Baru merasa masih memerlukan legitimasi etis dan politis dari masyarakat untuk  mengidentifikasikan dirinya sebagai pemerintah yang demokratis sesuai dengan amanat yang diembannya, yaitu ingin melaksanakan dasar negara pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, sehingga akan membedakan dirinya dengan pemerintah atau rezim sebelumnya. Karena itu, lembaga-lembaga demokratis dan aktivitas-aktivitas popular-partisipatoris yang sudah ada, seperti pers yang bebas, protes-protes mahasiswa, kebebasan mimbar dan akademik di kampus, pemogokan buruh dan lain-lain yang sejenis, masih diperlukan walaupun tetap berada dalam kontrol rezim.
            Kedua, sikap menahan diri ini juga karena kekuatan-kekuatan negara, terutama militer, lebih khusus lagi Angkatan Darat, merasa di dalam tubuhnya sendiri konsolidasi kekuatan masih dalam proses penyelesaian yang cukup rumit. Realitas politik yang demikian membuat kekuatan-kekuatan politik negara belum terlalu siap untuk berhadap-hadapan secara frontal dalam konfliknya dengan kekuatan-kekuatan masyarakat yang sedang dilanda demam demokratisasi. Akibatnya, rezim berusaha menghindari diri dari tindakan-tindakan yang tidak populer dan anti demokrasi dan partisipasi, seperti pembreidelan pers.
            Ketiga, menurut persepsi rezim saat itu kritik pers selain masih dapat ditolerir juga bermanfaat untuk bercermin  dan memperbaiki diri sesuai dengan harapan publik masyarakat.[10]
            Namun kebebasan pers itu ada yang menyebutnya sebagai bulan madu pers dengan pemerintah hanya berlangsung sampai tahun 1974. Sebelum tahun itu pemerintah mulai bereaksi  dan memperingatkan pers supaya menahan diri dan tidak terus menerus melancarkan kritik terhadap kebijakan pemerintah
            Peringatan pemerintah itu misalnya disampaikan oleh Wakil Panglima Kopkamtib Laksmana Sudomo. Pada bulan September 1973 Sudomo memperingatkan kepada pers dan masyarakat agar (1) jangan main intrik politik, (2) jangan main hakim sendiri, (3) jangan bertingkah laku menyinggung orang lain, dan (4) jangan hidup eksklusif. Khusus beberapa surat kabar yang tidak langsung disebut namanya Sudomo memperingatkan dengan keras dalam pemberitaannya agar pers menyesuaikan atau menahan diri sebagai pers bebas, tetapi bertanggung jawab. Lebih lanjut Sudomo menegaskan:
”Kalau memang tidak dapat diperbaiki lagi, koran-koran itu akan dicabut SIT (Surat Izin Terbit)nya sebagai tindakan terakhir”.[11]      
            Sebelumnya Presiden Soeharto pernah mengingatkan agar pers selain bebas juga harus bertanggung jawab. Dalam pidatonya pada acara pembukaan Sidang Umum MPR bulan Maret 1973 Soeharto berkata:
            “Sudah sewajarnya kita merasa berbangga dan lega melihat pertumbuhan pers yang bebas dan merdeka suatu pertanda bahwa kehidupan demokrasi terjamin pelaksanaannya dalam Orde Baru ini, tetapi sering-sering kita merasa prihatin dan kuatir terhadap hak kebebasan pers yang kurang wajar dan bertanggung jawab.
            Masih banyak harian atau majalah yang terdorong oleh tujuan komersial atau motif lainnya, menyajikan berita-berita sensasional tanpa mengindahkan norma-norma kesusilaan, sopan santun, kerahasiaan negara dan juga kurang memperhatikan akibat-akibat tulisannya yang dapat menggoncangkan masyarakat yang pada gilirannya akan dapat merusak stabilitas nasional, sehingga kadang-kadang terpaksa alat-alat negara mengambil tindakan untuk membimbing dan mendisiplinerkan pers agar lebih bertanggung jawab atas akibat-akibat  pemberitaannya.
            ... bahwa dewasa ini pers di Indonesia telah dapat menjalankan fungsinya sebagai pembawa bendera demokrasi, tetapi masih harus mengembangkan fungsinya sebagai penggerak dan pelancar pembangunan yang efektif”.[12]
            Pernyataan-pernyataan pemerintah itu tampaknya tidak begitu digubris oleh kalangan pers. Kritik mereka terhadap pemerintah terus berjalan, malah meningkat sejalan dengan meningkatnya aksi demontrasi mahasiswa yang mencapai puncaknya pada peristiwa Malari (malapetaka limabelas Januari)  tahun 1974.
            Menghadapi perkembangan pers itu sesuai dengan ancamannya pemerintah bertindak keras, yaitu membreidel 12 surat kabar (harian dan mingguan ), tetapi waktunya tidak bersamaan. Harian Pedoman dan Mingguan Ekspres dibreidel 14 Januari; Harian Nusantara dibreidel 16 Januari; Harian KAMI, Indonesia Raya, Abadi, The Jakarta Times, Mingguan Wenang, dan Pemuda Indonesia dibreidel 21 Januari. Kesembilan penerbitan ini terbit di Jakarta. Juga Mingguan Mahasiswa Indonesia yang terbit di Bandung   dibreidel 20 Januari; Suluh Berita yang terbit di Surabaya dibreidel 19 Januari dan Mingguan Indonesia Pos yang terbit di Ujung Pandang (kini Makassar) dibreidel 2 Februari 1974.[13]
            Pembreidelan itu dilakukan, karena pers tidak lagi dianggap sebagai kawan seiring bagi pemerintah, tetapi sudah menjadi musuh yang berbahaya. Hal ini terlihat pada alasan pembreidelan terhadap Harian Indonesia Raya. Dalam Keputusan Menteri Penerangan No: 20/ SK/ Dirjen PG/ K/ 1974 tentang pencabutan SIT Harian Indonesia Raya dikemukakan alasan antara lain bahwa harian ini memuat sejumlah tulisan yang:
  1. Pada hakikatnya menjurus ke arah usaha-usaha untuk melemahkan sendi-sendi kehidupan bernegara dan / atau ketahanan nasional dengan jalan mengobarkan isu-isu, seperti modal asing, korupsi, dwifungsi ABRI, kebobrokan-kebobrokan aparat pemerintah, pertarungan tingkat tinggi, masalah Aspri – Kopkamtib.
  2. Merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan nasional.
  3. Mendengungkan kepekaan-kepekaan tanpa memberikan pemecahan yang tepat dan positif yang dapat diartikan menghasut rakyat untuk bangkit bergerak untuk mengambil tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap ketertiban dan keamanan nasional.
  4. Menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus kepada perbuatan makar.[14]
Pembreidelan itu merupakan tindakan pengendalian pemerintah terhadap kehidupan pers yang dilakukan melalui berbagai lembaganya, terutama Departemen Penerangan. Tugas departemen ini diatur dalam Keputusan Presiden No: 45 Tahun 1974 yang menegaskan bahwa tugas pokok Departemen Penerangan adalah menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintah dan pembangunan di bidang penerangan. Tugas departemen ini kemudian dipertegas oleh SK Menteri Penerangan No: 55/ Kep/ Menpen/ 1975 yang menjelaskan fungsi-fungsi utama departemen ini, yaitu: (a).Memantapkan pembinaan kesatuan, persatuan dan jiwa bangsa dalam rangka membangun sikap kejiwaan berdasarkan Pancasila; (b) Menyukseskan pembangunan nasional melalui rencana-rencana Pelita; (c) Menggalang ketahanan nasional bagi terwujudnya stabilitas nasional; dan (d) Menjalankan tugas-tugas khusus seperti menyukseskan Pemilu dan lain-lain tugas yang mempunyai ruang lingkup nasional.[15]
Untuk menjalankan tugas itu pemerintah melalui Departemen Penerangan mengeluarkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), tetapi selalu mengingatkan, menegur, mengancam, dan bahkan membreidel pers yang beritanya dianggap tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah.
Selain itu Bakin (Badan Koordinasi Intelijen  Negara, sekarang BIN – Badan Intelijen Negara) dan Mabes ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, sekarang TNI/ Polri) serta jajarannya ke bawah dapat mengeluarkan instruksi kepada lembaga pers untuk memuat atau tidak memuat suatu berita melalui surat, pengarahan dan telepon. Instruksi lewat telepon ini kemudian di kalangan pers populer dengan istilah “budaya telepon”.
Lembaga lain yang ikut menentukan kehidupan pers adalah Dewan Pers. Dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, yaitu UU No: 21 Tahun 1982 sebagai perubahan atas UU No: 11 Tahun 1966, sebagaimana telah diubah dengan UU No: 4 Tahun 1967 disebutkan bahwa Dewan Pers mendampingi pemerintah dalam membina pertumbuhan dan perkembangan pers nasional. Dewan Pers beranggotakan wakil pemerintah dan tokoh masyarakat pers dan nonpers. Tetapi Dewan Pers didominasi oleh pemerintah, karena selalu diketuai oleh Menteri Penerangan, kemudian  Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika (PPG) Departemen Penerangan, Direktur Jenderal Sosial Politik Departemen Dalam Negeri  dan Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen masing-masing sebagai anggota. Dalam menjalankan tugasnya Dewan Pers memberi pertimbangan kepada pemerintah tentang kebijakan di bidang pers, seperti mengeluarkan SIUPP, tidak mengeluarkan SIUPP dan bahkan mencabutnya.
Lembaga yang juga mempengaruhi kehidupan pers adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai satu-satunya oragnisasi wartawan yang diakui oleh pemerintah berdasarkan SK Menpen RI/ No: 47/ Kep/ Menpen/ 1975 yang dikeluarkan pada 20 Mei 1975. Sebelumnya pemerintah mengeluarkan  Peraturan Menpen No: 02/ Per/ Menpen/ 1969 yang mewajibkan semua wartawan menjadi anggota PWI. PWI lahir pada 9 Februari 1946 di Solo. Sampai sekarang tanggal 9 Februari selalu diperingati oleh kalangan pers sebagai Hari Pers Nasional. Walaupun pemerintah hanya mengakui PWI, tetapi kemudian lahir sebuah organisasi wartawan yang menamakan diri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 7 Agustus 1994 sebagai reaksi terahadap pembreidelan Majalah Tempo, Editor dn DeTIK pada Juni 1994. Kehadiran AJI tidak diakui, malah ditekan oleh pemerintah, sehingga organisasi ini bergerak di bawah tanah.          
           
                                                                                  Pers Pembangunan
            Pembreidelan surat kabar – surat kabar pada peristiwa Malari itu menandai berakhirnya suatu fase perkembangan pers Indonesia, yaitu suatu fase yang diwarnai oleh kebebasan pers yang lebih besar, dan mulainya fase baru yang lebih menekankan tanggung jawab pers. Sejak masa ini kritik pers mulai melemah dan kalangan pers tampaknya merasa lebih aman dengan mengikuti kebijakan pemerintah.
            Tetapi pengebirian kebebasan pers dan penekanan kepada tanggung jawabnya tidak berarti telah menghancurkan kehidupan pers. Ini terlihat pada tumbuhnya surat kabar baru setelah pembreidelan surat kabar pada tahun 1974, yaitu lahir Harian Pelita yang membawa suara Islam untuk menggantikan Harian Abadi dan Harian The Indonesia Times untuk menggantikan The Jakarta Times.[16] Selain Harian Pelita pers yang membawa suara Islam juga ditandai dengan kehadiran Majalah Panji Masyarakat yang lahir kembali sejak 1966. Majalah ini pertama kali terbit pada 15 Juni 1959. 
            Meskipun begitu kalangan pers mengalami tekanan demi tekanan pemerintah, sehingga perkembangan pers mengalami jatuh bangun. Hal ini terlihat pada kasus-kasus pembreidelan yang terjadi kemudian. Misalnya antara Januari dan Februari 1978 pemerintah kembali membreidel sejumlah surat kabar, yaitu Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesia Times,  Sinar Pagi, dan Pos Sore. Harian Pos Sore kemudian berubah menjadi  Harian Terbit sejak September 1979. Waktu itu pemerintah juga membreidel sejumlah penerbitan mahasiswa, yaitu Salemba dan Tridharma di Jakarta; Kampus, Integritas dan Berita ITB di Bandung; Muhibah di Yogyakarta; dan Aspirasi di Palembang.[17]
            Penerbitan-penerbitan  itu dibreidel, karena dianggap terlalu banyak memuat aksi-aksi protes mahasiswa yang sangat gencar saat itu. Kemudian Harian Jurnal Ekuin yang terbit pada April 1981 dibreidel pada April 1983 karena beritanya soal  harga minyak yang mendahului pengumuman pemerintah, majalah berita Expo dicabut SITnya pada Januari 1983, karena laporannya tentang 100 milyuner  Indonesia, dan Majalah Fokus dibreidel pada  Mei 1984 karena alasan yang sama, yaitu laporannya tentang 200 orang Indonesia yang paling kaya.[18]
            Setelah itu kehidupan pers masih terus menunjukkan perkembangan yang jatuh bangun. Misalnya harian sore Sinar Harapan yang terbit tahun 1961 dibreidel pada 9 Oktober 1986, karena komentarnya tentang kebijakan ekonomi pemerintah, tetapi boleh terbit lagi dengan nama Suara Pembaruan pada 3 Februari 1987. Lalu Harian Prioritas yang belum lama terbit waktu itu dibreidel pada 29 Juni 1987, karena isinya dianggap tidak sesuai dengan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers)nya. Menurut SIUPPnya harian ini adalah harian ekonomi, tetapi kenyataannya beritanya lebih banyak berita umum.
            Kemudian memasuki tahun 1990-an pembreidelan pers masih terus berlanjut. Pembreidelan yang paling banyak dikecam secara luas adalah tindakan Menteri Penerangan Harmoko mencabut SIUPP tiga penerbitan sekaligus, yaitu Majalah Tempo dan Editor serta Tabloid  DeTIK pada 21 Juni 1994. Ketiga penerbitan ini dibreidel, karena akumulasi beritanya yang dianggap sangat kritis terhadap pemerintah, khususnya bisnis keluarga presiden, penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hak asasi manusia, pemborosan keuangan pemerintah, pertentangan dalam pemerintahan dan militer.[19]
            Tetapi tidak semua pembreidelan itu terjadi karena tindakan represif pemerintah terhadap kehidupan pers. Ada pula pembreidelan karena kasus penghinaan agama (godsblasphemy), seperti yang dialami oleh  Majalah Senang  Penerbitan ini dikembalikan SIUPP-nya oleh pengelolanya, Kelompok Kompas - Gramedia sejak 1 November 1990. Sebelumnya Tabloid Monitor yang juga berada di bawah manajemen Kelompok Kompas- Gramedia dibreidel pada 24 Oktober 1990. Tindakan Kelompok Kompas – Gramedia mengembalikan SIUPP, karena tampaknya khawatir bila protes keras umat Islam kepada penerbitan yang dikelolanya saat itu beralih ke Harian Kompas.
Monitor dibreidel, karena memuat hasil polling tentang orang paling populer di mata pembacanya, di mana Nabi Muhammad berada di urutan pada ke-11, sedang Pemrednya Arsweno Atmowiloto justru menempati urutan ke-10, yang berarti lebih populer dari pada Nabi Muhammad. Sedang Majalah Senang dibreidel setelah memuat karikatur yang mengesankan itu Nabi Muhammad.
Selain membreidel pemerintah juga mengeluarkan SIUPP baru, yaitu lahirnya Harian Republika pada Agustus 1993.  Tetapi lahirnya harian yang bernafaskan Islam ini lebih karena berubahnya politik pemerintah terhadap Islam dari sikap represif kepada akomodatif dan bahkan mendorong perkembangan agama ini.
Dengan demikian, di satu sisi pemerintah menunjukkan keterbukaannya, tetapi di sisi lain masih tampak otoriter. Tetapi pembreidelan pers terjadi tidak semata-mata karena pemerintah bersikap otoriter, tetapi juga karena kehidupan pers berada dalam posisi yang dilematis antara menyuarakan aspirasi rakyat dengan mengamankan kepentingan pemerintah. Pemerintah berkepentingan agar pers menjadi pers pembangunan, sebagaimana ditegaskan oleh Presiden Soeharto pada pembukaan Sidang Umum MPR 1973, yang telah dikutip di atas.
Pers pembangunan tidak salah, malah secara teoritis pers pembangunan merupakan salah satu teori dalam dunia pers, sebagaimana juga sudah dijelaskan di awal tulisan ini. Hanya saja masalahnya pembangunan nasional dijalankan dengan strategi yang  mengandung distorsi, sehingga merugikan rakyat banyak.
Itu karena pelaksanaan pembangunan nasional ditandai dengan tiga ciri yang mengandung kelemahan, yaitu mengejar stabilitas yang mantap, konsentrasi kekuasaan di tengan pemerintah, dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pemantapan stabilitas mematikan kritik yang biasanya datang dari kalangan intelektual dan mahasiswa, dan lalu diberitakan oleh pers.
Kemudian kekuasaan yang terkonsentrasi di tangan pemerintah menyuburkan praktek korupsi dalam pemerintahan, karena tidak ada kontrol dari rakyat, termasuk parlemen. Kontrol dari pers pun kurang dimungkinkan, karena hal itu biasanya dianggap sebagai gangguan terhadap pembangunan. Padahal pers harus menunjang proses pembangunan  dan bukan sebaliknya.
Lalu strategi pertumbuhan  ekonomi menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin parah dalam masyarakat, di mana segelintir orang menjadi kaya raya, sementara massa rakyat tetap miskin, malah sebagian bertambah miskin. Ini pun tidak bisa dikritik oleh pers, karena fungsinya sebagai pers pembangunan.
Untuk memperkuat pers Indonesia menjadi pers pembangunan, maka UU Pokok Pers No: 11 Tahun 1966 yang telah diubah dengan UU Pokok Pers  No: 4 Tahun 1967 diubah lagi dengan UU Pokok Pers No: 21 Tahun 1982. Dalam pasal 1 ayat (1) a UU No: 21 Tahun 1982 istilah-istilah dalam UU No: 11 Tahun 1966 diubah, yaitu:
-“alat revolusi” diubah menjadi “alat perjuangan nasional”.
-“penggerak massa” diubah menjadi “alat penggerak pembangunan bangsa”.
-“pengawal revolusi” diubah menjadi pengawal ideologi Pancasila”.
-“pers sosialis Pancasila” diubah menjadi “pers Pancasila”.
-“tiga kerangka revolusi” diubah menjadi “Tujuan Nasional”.
-“progresif” diubah menjadi “konstruktif-progresif”.
-“kontra revolusi’ diubah menjadi “menentang Pancasila”.
-“berkhianat terhadap revolusi” diubah menjadi “berkhianat terhadap Perjuangan Nasional”.
-“gotong royong kekeluargaan terpimpin” diubah menjadi “secara bersama berdasar atas asas kekeluargaan”.
-“revolusi” diubah menjadi “Perjuangan Nasional”.
-“revolusi Pancasila” diubah menjadi “ideologi Pancasila”.
            Ketentuan itu menegaskan bahwa pers Indonesia adalah pers Pancasila, yang diwujudkan dengan pers pembangunan. Boleh juga dikatakan bahwa pers pembangunan merupakan bagian dari pers Pancasila. Ketentuan itu dan juga kebijakan pemerintah umumnya di bidang pers telah menggiring kehidupan pers Indonesia ke arah pers pembangunan. Pers pembangunan biasa juga disebut sebagai pers Dunia Ketiga, karena Dunia Ketiga selalu ditandai dengan proses pembangunan.
            Sebagaimana telah diterangkan di muka bahwa seperti halnya pers pembangunan pers Dunia Ketiga juga merupakan salah satu teori yang ada dalam dunia pers, sehingga secara teoritis penerapan pers Dunia Ketiga bisa dipertanggung-jawabkan. Penerapan pers Dunia ketiga atau pers pembangunan didasarkan pada asumsi bahwa pers mempunyai peranan yang penting dalam proses pembangunan. Pers khususnya dan media massa umumnya berperan:
1.Memperluas cakrawala pemikiran, memperpendek jarak yang jauh, memperjelas hal-hal yang kabur, menjembatani peralihan dari masyarakat tradisional menuju masyarakat moderen.
2.Memperoleh perhatian masyarakat kepada masalah-masalah pembangunan dan menyebarluaskan gagasan-gagasan pembangunan kepada masyarakat, sehingga mereka memperoleh kesempatan  untuk mendiskusikannya.
3.Menumbuhkan aspirasi masyarakat untuk bekerja lebih baik, sehingga mereka dapat meningkatkan kualitas hidupnya.
4.Mengembangkan dialog tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah-masalah politik. Masyarakat memerlukan pengetahuan tentang politik nasional agar mereka mampu membentuk pendapatnya dan pada saat yang tepat bertindak sesuai dengan pendapat mereka.
5.Mengenalkan norma-norma sosial, khususnya yang berkaitan dengan pembentukan perilaku pembangunan, seperti tidak malas, boros dan korupsi.
6.Menumbuhkan selera pada seni, seperti lagu dan tari-tarian baru, dan juga menumbuhkan rasa kebangsaan melalui acara-acara kesenian nasional.
7.Mengubah sikap yang lemah menjadi sikap yang kuat, terutama dalam menghadapi perubahan dan proses pembangunan.
8.Mengembangkan pendidikan masyarakat. Di daerah di mana kurang guru dan sekolah media massa dapat memikul sebagian besar tugas pendidikan, terutama dalam pendidikan orang-orang dewasa serta pemberantasan buta huruf.[20] 
            Peranan media massa itu berlaku umum di manapun di negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Tetapi khusus di Indonesia peranan media massa umumnya dan pers khususnya ialah:
1. Memperkuat dan mengkreatifkan konsensus-konsensus dasar nasional. Ini penting karena bangsa ini memerlukan berbagai konsensus dasar bagi perekat integrasi nasional. Itulah infrastruktur kejiwaan bagi pembangunan bangsa.
2. Mengenali masalah-masalah sosial yang peka dalam masyarakatnya, bukan untuk didiamkan, tetapi juga bukan serta merta diberitakan begitu saja. Perlu diusahakan pemecahannya bersama pemerintah dan masyarakat secara bijaksana dengan tetap berorientasi maju.
3. Menggerakkan prakarsa masyarakat, memperkenalkan usaha-usahanya sendiri, dan menemukan potensi-potensinya yang kreatif dalam usaha memperbaiki perikehidupannya.
4. Menyebarluaskan dan memperkuat rasa mampu masyarakat untuk mengubah nasibnya sendiri.
5. Kekurangan, kegagalan dan korupsi dilaporkan bukan untuk merusak dan membangunkan rasa pesimistis, tetapi untuk koreksi dan membangkitkan kegairahan dan selalu melangkah maju. Karena itu harus bersedia mengoreksi diri dan dikoreksi.[21]
            Kalangan pers pun mengerti dan melaksanakan peranannya dalam pembangunan nasional, sehingga berkembanglah pers Indonesia sebagai pers pembangunan. Pers pembangunan ialah pers yang  menyiarkan berita-berita pembangunan. Berita pembangunan ialah berita, feature, tajuk rencana, surat kepada redaksi dan pidato / keterangan yang berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan primer, sekunder dan tertier dari suatu negara sedang berkembang.
            Kebutuhan primer ialah pangan, sandang dan perumahan. Kebutuhan sekunder berarti pembangunan pertanian, perindustrian dan semua kegiatan perekonomian yang menuju pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer itu. Sedang kebutuhan tertier ialah pembangunan media massa, transportasi, telekomunikasi, seni dan kegiatan-kegiatan budaya.[22]
            Orientasi pers kepada pembangunan tampak pada besarnya porsi berita pembangunan dibanding dengan berita non-pembangunan. Sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 1980 terhadap enam surat kabar, yaitu Berita Yudha, Suara Karya, Kompas, Sinar Harapan, Merdeka dan Pelita menunjukkan bahwa sebagian besar surat kabar menempatkan berita pembangunan lebih besar porsinya dari pada berita non-pembangunan dan luar negeri.
            Yang dimaksud berita pembangunan dalam penelitian itu meliputi berita bidang:
  1. Pemerintah dan reformasi administrasi.
  2. Produksi pertanian, pembangunan pertanian dan irigasi.
  3. Pembangunan industri, ilmu, teknologi, tenaga listrik, pertambangan dan produksi minyak mentah.
  4. Komunikasi, transportasi dan pariwisata
  5. Perdagangan dan gerakan koperasi
  6. Tenaga Kerja   dan transmigrasi
  7. Pembangunan daerah, desa, dan perumahan
  8. Pendidikan dan kebudayaan
  9. Kesehatan, kesejahteraan masyarakat dan keluarga berencana
  10. Penerangan dan media massa
  11. Hukum dan penegakan hukum
  12. Pertahanan dan keamanan nasional.[23]

Tabel: Perbandingan Berita Pembangunan, Non-pembangunan dan Luar Negeri  Enam Surat Kabar pada Tahun 1980
Surat Kabar

Berita Luar Negeri

Berita Pembangunan
Berita Non Pembangunan

Jumlah

Berita Yudha
13,3 %
66,5 %
20,2 %
100 %
Suara Karya
17,1 %
49,1 %
33,8 %
100 %

Kompas
18,6 %
43,7 %
37,7 %
100 %
Sinar Harapan
21,4 %
45,3 %
33,3 %
100 %

Merdeka

29,9 %
37,7 %
32,4 %
100 %
Pelita
15,4 %
41,6 %
43 %
100 %
Sumber: Ishadi Sutopo Ks, Analisa Peliputan Berita Pembangunan, dalam Don Michael Flournoy, ed., Analisa Isi Surat Kabar – Surat Kabar Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989), hal. 83
            Tabel itu menunjukkan bahwa dua surat kabar yang berhaluan pemerintah, yaitu Berita Yudha dan Suara Karya, menempatkan berita pembangunan lebih besar dibanding dengan surat kabar – surat kabar yang lain, masing-masing 66,5 persen dan 49,1 persen. Sedang berita non-pembangunan masing-masing 20,2 persen dan 33,8 persen. Dan berita luar negerinya masing-masing 13,3 persen dan 17,1 persen.
            Kemudian disusul dengan Sinar Harapan, Kompas, dan Merdeka menempatkan berita pembangunan masing-masing 45,3 persen, 43,7 persen, dan 37,7 persen. Sedang berita non-pembangunannya masing-masing 33,3 persen, 37,7 persen dan 32,4 persen.
            Satu-satunya surat kabar dalam penelitian yang menempatkan porsi berita pembangunan lebih kecil dibanding dengan berita non-pembangunan adalah Pelita. Berita pembangunan pada harian ini adalah 41,6 persen, sedang berita non-pembangunan 43 persen dan berita luar negerinya 15,4 persen. Sebenarnya berita pembangunan pada Harian Pelita sudah cukup besar, malah lebih besar dibanding dengan berita pembangunan pada Harian Merdeka. Hanya saja berita luar negeri Pelita lebih kecil, sehingga harian ini harus menyediakan berita dalam negeri yang lebih besar. Berita dalam negeri dibagi dua, yaitu berita pembangunan dan berita non-pembangunan. Dalam perbandingannya berita pembangunan Pelita lebih kecil dari pada berita non-pembangunannya.
            Kecilnya porsi berita pembangunan pada Pelita tampaknya berpengaruh terhadap perkembangannya kemudian yang tidak menguntungkan surat kabar ini. Misalnya dua tahun setelah penelitian itu dilakukan, tepatnya tahun 1982, Pelita dibreidel. Walaupun kemudian harian ini kembali, tetapi jalannya sudah terseok-seok, ibarat sinarnya sudah redup.[24]  
            Tetapi surat kabar yang terlalu banyak memuat berita pembangunan, seperti Suara Karya dan Berita Yudha, perkembangannya juga kurang menggembirakan. Mungkin karena surat kabar seperti ini dianggap corong pemerintah, sehingga masyarakat kurang tertarik membacanya.
            Kelihatannya yang ideal saat itu adalah berita Kompas, Sinar Harapan dan Merdeka. Berita pembangunan dan non-pembangunan relatif seimbang, sehingga di mata pemerintah mereka tidak dianggap melawan atau menyalahi kebijakan pemerintah, tetapi oleh masyarakat tidak dianggap sebagai corong pemerintah.
            Selain soal pers pembangunan kebijakan pemerintah di bidang pers yang paling banyak dikritik ialah Peraturan Menteri Penerangan Republik Indonesia No: 01/ Per/ Menpen/ 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), karena peraturan ini menetapkan bahwa SIUPP dapat dibatalkan.[25]
            Banyak alasan untuk membatalkan SIUPP suatu penerbitan, tetapi yang paling ditakuti ialah ketentuan bahwa “Penerbitan pers yang bersangkutan dalam penyelenggaraannya tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab”, karena batasnya tidak jelas.
            Ketidak-jelasan batas sehat dan tidaknya, bertanggung jawab dan tidaknya pers itu menyebabkan kalangan pers ketakutan, karena setiap saat SIUPPnya bisa dicabut dengan alasan “tidak lagi mencerminkan pers yang sehat, bebas dan bertanggung jawab”. Akibatnya pers makin hati-hati dalam pemberitaannya agar tidak ditimpa hukuman yang mematikan itu.
            Selain itu pembatalan SIUPP dianggap lebih keras dibanding dengan pembreidelan yang pernah terjadi sebelum keluarnya Peraturan Menpen ini. Sebelum keluarnya Peraturan Menpen ini penerbitan yang dibreidel boleh terbit  lagi  dengan nama dan susunan pengurus yang sama, seperti yang terjadi pembreidelan pers tahun 1978. Sedang penerbitan yang dicabut SIUPPnya berdasarkan Peraturan Menpen ini tidak boleh terbit lagi kecuali mengganti nama dan susunan pengurusnya, terutama pemimpin tertingginya,  seperti yang dialami Sinar Harapan tahun 1986.     Surat kabar ini kemudian boleh terbit lagi dengan nama baru, yaitu Suara Pembaruan, dan pimpinan tertinggi  Sinar Harapan tidak muncul lagi dalam susunan pimpinan tertinggi Suara pembaruan.
            Peraturan Menpen itu kemudian banyak dikritik, terutama karena dianggap bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi, yaitu Undang-undang Pokok Pers, UU No: 11 Tahun 1966. Menurut UU ini  pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembreidelan.[26]
            Hanya saja UU No: 11 Tahun 1966 itu sudah diubah dengan UU No: 4 Tahun 1967, kemudian diubah lagi dengan UU No: 21 Tahun 1982. Perubahan dua kali undang-undang ini bisa saja ditafsirkan bahwa UU No: 11 Tahun 1966 tidak lagi berlaku. Tetapi kalangan pers berpendapat bahwa dua kali perubahan undang-undang itu hanya mengubah pasal-pasal tertentu dalam UU No: 11 Tahun 1966, dan soal pembreidelan pers termasuk ketentuan yang tidak diubah. Karena itu, asumsinya ketentuan  tentang tidak adanya pembreidelan pers masih berlaku.
            Dengan demikian, berlaku tidaknya ketentuan itu tampaknya memerlukan penafsiran dan pemerintah membiarkan penafsiran itu berkembang sebagai wacana. Tampaknya wacana  ini dijadikan celah oleh pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Menpen dan tidak menggunakan istilah “pembreidelan”, tetapi pembatalan SIUPP supaya secara etimologis tidak bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi, walaupun prakteknya pembatalan SIUPP lebih keras dari pada pembreidelan.
            Di samping soal pembatalan SIUPP pemerintah menjadikan Peraturan Menpen itu untuk membatasi berkembangnya lembaga pers. Misalnya kalau ada pengusaha yang ingin terjun ke dunia pers biasanya diharuskan untuk membenahi penerbitan yang sudah ada, yang kondisinya kurang menggembirakan. Begitulah dulu ketika Kelompok Usaha Bakrie dan Kelompok Usaha Ika Muda berminat mengembangkan investasinya di bidang pers mereka diharuskan membenahi surat kabar yang telah ada. Akhirnya Kelompok Usaha Bakrie masuk Pelita dan Kelompok Usaha Ika Muda masuk Berita Buana.
            Tetapi pengambil-alihan usaha pers itu tidak semudah dengan usaha lain. Di bidang pers orang-orang lama harus diakomodir, sehingga ada orang-orang lama dan baru, padahal semangat kerja dan kepentingan masing-masing berbeda, yang akhirnya menjadi sumber konflik dan kadang tidak bisa diatasi. Inilah yang terjadi di Pelita dan Berita Buana, sehingga kedua kelompok usaha tadi mundur dari masing-masing surat kabar itu pada tahun 1992. Perkembangan kedua surat kabar itu kemudian kembali terpuruk, seperti kondisinya sebelum dibenahi.
            Keharusan mengambil alih SIUPP yang sudah ada juga dialami oleh Kompas, Jawa Pos dan Media Indonesia ketika mereka hendak mengembangkan surat kabar di berbagai daerah. Sebagian surat kabar itu berhasil, tetapi banyak pula yang gagal.
            Hanya saja Peraturan Menpen itu tidak sepenuhnya buruk, tetapi ada pula positifnya. Misalnya peraturan ini menetapkan bahwa perusahaan pers wajib memberikan saham kepada wartawan dan karyawan lainnya sekurang-kurangnya 20 persen dari modal perusahaan.[27]

                                                                            Pers Sebagai Industri
            Keluarnya Peraturan Menteri Penerangan RI No: 01/ Per/ Menpen/ 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)  menunjukkan perkembangan baru dalam kehidupan pers, yaitu makin disadarinya pers telah tumbuh sebagai industri. Ini terlihat misalnya pada ketentuan Peraturan Menpen ini tentang permodalan usaha pers.
            Pasal 19 ayat (1) Peraturan Menpen ini menetapkan bahwa “Jumlah modal kerja yang disediakan oleh perusahaan penerbit pers harus cukup untuk keperluan pembiayaan penerbitan pers secara teratur sekurang-kurangnya untuk selama satu tahun”. Ketentuan itu berbeda sekali dengan kehidupan pers di awal Orde Baru yang terbit dengan modal seadanya, seperti yang dialami Harian Kompas, sebuah surat kabar yang kemudian berkembang menjadi surat kabar terbesar di Indonesia sampai saat ini.
            Suasana prihatin pada masa awal berdirinya surat kabar itu pernah diceritakan oleh Jakob Oetama, salah seorang pendirinya:
            “Surat kabar itu mulai terbit 28 Juni 1965. Dalam semua bidang ditemui kesulitan: personalia dalam redaksi, personalia dalam distribusi. Tetapi kesulitan terbesar pada waktu itu adalah percetakan, sebab tidak ada percetakan bagus yang masih dapat menerima order. Akibatnya dalam waktu tiga bulan pertama, terpaksa berpindah sampai dua percetakan, percetakan Abadi dan percetakan Merdeka, keduanya milik orang lain dan dikelola oleh manajemen lain di luar surat kabar itu.
            Kantor redaksi numpang sebagian di rumah saya yang kecil, sebagian di percetakan, baru kemudian menumpang di kantor PT Kinta, tempat almarhum Saudara Ojong bekerja sebelumnya. Distribusi mula-mula dilakukan oleh PT Kinta, dan baru dijalankan sendiri setelah terjadi perubahan politik besar dalam tahun 1965. Percetakan sendiri baru dimiliki tahun 1972 berkat tersedianya kredit dari bank pemerintah yang menyediakan dana ¾ dari yang diperlukan, asalkan sanggup menyediakan ¼ sisanya”.[28] 
            Kondisi seperti itu dialami oleh umumnya penerbitan pers saat itu. Penerbitan terutama didorong oleh idealisme untuk menyebarkan informasi yang diperlukan masyarakat. Ini juga disebabkan oleh masih terbatasnya jumlah pembaca. Tetapi setelah pembaca itu meningkat sejalan dengan meningkatnya pendidikan, maka permintaan akan bahan bacaan, seperti surat kabar dan majalah, baik jumlah maupun variasinya, bertambah pula. Hal ini mendorong pertumbuhan dan perkembangan pers yang menyebabkan oplah mereka meningkat.
            Setelah oplah bertambah besar dan harus menjangkau daerah yang luas, misalnya surat kabar yang terbit di Jakarta lalu diedarkan di daerah, maka harus memikirkan sirkulasi yang dapat memenuhi permintaan pasar. Akibatnya bagian sirkulasi harus dikembangkan menjadi bagian sendiri yang tak kalah pentingnya dengan bagian redaksi.
            Selain karena faktor pendidikan pers juga tumbuh karena didorong oleh perkembangan ekonomi dan bisnis. Dunia bisnis selalu didorong keperluan untuk mempromosikan produk-produk mereka dalam usaha pers. Hal ini mendorong usaha pers untuk mendirikan bagian periklanan untuk memenuhi permintaan dunia usaha itu. Apalagi kemudian periklanan menjadi sumber pendapatan besar bagi usaha pers, bahkan lebih besar dari penjualan media atau sirkulasinya. Akibatnya bagian periklanan menjadi bagian yang tak kalah pentingnya dibanding dengan  bagian redaksi dan sirkulasi.
            Sirkulasi dan periklanan menghasilkan uang yang harus dikelola dengan baik, yang juga tak kalah pentingnya dibanding dengan redaksi, sirkulasi, dan periklanan. Dengan perkembangan ini, maka pers tumbuh menjadi industri yang memiliki bagian redaksi, sirkulasi, periklanan, dan keuangan.[29]
Berkembangnya pers sebagai industri ditunjang oleh beberapa organisasi, yaitu Serikat Penerbit Surat kabar (SPS), Serikat Grafika Pers (SGP) dan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI). SPS didirikan pada 8 Juni 1946 di Yogyakarta oleh wakil-wakil surat kabar yang disponsori oleh Panitia Usaha PWI. SPS merupakan satu-satunya organisasi penerbit surat kabar berdasarkan SK Menpen RI No: 47/ Kep/ Menpen/ 1975. Kemudian dalam Peraturan Menpen RI No: 01/ Per/ Menpen/ 1984 tentang SIUPP ditegaskan bahwa perusahaan/ penerbit pers wajib menjadi anggota perusahaan pers yang dikukuhkan oleh pemerintah. SPS terutama bertugas menjalankan kebijakan pemerintah di bidang bisnis pers, seperti pembatasan jumlah halaman surat kabar, termasuk halaman untuk iklan, pembagian saham kepada karyawan, dan sebagainya. 
Sedang SGP didirikan pada 13 April 1974 di Jakarta oleh para pengusaha grafika pers karena dorongan hasrat dan tanggung jawab untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Pengertian grafika pers adalah usaha percetakan yang perlengkapan utamanya diadakan terutama untuk mencetak penerbitan pers. SPS dikukuhkan sebagai satu-satunya organisasi percetakan pers di Indonesia berdasarkan SK Menpen RI No: 184/ Kep/ Menpen/ 1978 yang dikeluarkan tanggal 19 September  1978.
Kemudian PPPI lahir pada 20 Desember 1972 di Jakarta dalam Kongres Persatuan Biro Reklame Indonesia (PBRI). PBRI sendiri lahir pada 1 September 1949. PPPI bertujuan untuk ikut serta menyelesaikan tugas-tugas pembangunan nasional dan menyempurnakan dunia usaha periklanan dengan: 1. mengembangkan pengetahuan dan keterampilan para anggota agar tercipta usahawan-usahawan yang ahli, jujur, dinamis, serta mengabdi kepada pembangunan nasional;  2. turut serta menyelesaikan dan memperjuangkan kepentingan dunia periklanan umumnya dan anggota khususnya; 3. turut menciptakan dan menyempurnakan kondisi-kondisi yang menguntungkan bagi dunia usaha umumnya dan usaha periklanan khususnya.
Dengan berkembangnya aspek bisnis dalam kehidupan pers, maka bagian redaksi  yang merupakan inti kehidupan  pers  hanya merupakan bagian kecil dari usaha pers itu sendiri. Sebagian besar bagian dunia pers justru meliputi urusan non-pers, yaitu produksi, sirkulasi, periklanan dan keuangan. Hal ini mengukuhkan perkembangan pers sebagai industri.
Industri pers pun telah berkembang cukup baik. Hal ini misalnya dapat dilihat pada oplah surat kabar yang terbit di Jakarta dan daerah. Menurut data Inventarisasi Pertumbuhan dan Perkembangan Pers Nasional dari Departemen Penerangan tahun 1982 di Jakarta ada enam surat kabar yang oplahnya di atas 100.000 eksamplar, yaitu Kompas, Pos Kota, Sinar Harapan, Sinar Pagi, Berita Buana dan Merdeka.
Kemudian perkembangan surat kabar di daerah juga cukup baik. Pada tahun 1982 itu misalnya ada sejumlah surat kabar yang oplahnya mencapai 50.000 eksamplar, yaitu Pikiran Rakyat di Bandung, Suara Merdeka di Semarang, Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta, Jawa Pos  dan Surabaya Post di Surabaya, Haluan di Padang, Pedoman Rakyat di Ujung Pandang (kini Makassar), Waspada, Sinar Indonesia Baru dan Analisa di Medan.[30]  
Angka-angka tentang oplah surat kabar itu menunjukkan adanya peredaran yang relatif merata di Jakarta dan daerah. Karena meski oplah  surat kabar di Jakarta rata-rata lebih besar dibanding dengan daerah surat kabar yang terbit di Jakarta selain dibaca di Jakarta sendiri juga sebagian diedarkan ke daerah. Sebaliknya surat kabar yang terbit di daerah sebagian besar oplahnya beredar di daerah yang bersangkutan, dan hanya sebagian kecil yang diedarkan ke daerah lain, seperti ke Jakarta.
Pertumbuhan dan perkembangan pers itu juga ditandai dengan meningkatnya jumlah halaman surat kabar. Di awal Orde Baru umumnya surat kabar hanya terbit empat halaman. Harian Kompas misalnya yang merupakan barometer pertumbuhan dan perkembangan surat kabar nasional waktu terbit tahun 1965 hanya terdiri 4  halaman, baru meningkat jadi 8 halaman pada 28 Juni 1969 dan menjadi 12 halaman sejak 26 Juni 1970. Walaupun turun kembali menjadi 8 halaman sejak 2 April 1973, tetapi kemudian kembali  jadi 12 halaman sejak 30 Mei 1980, lalu bertambah jadi 16 halaman sejak 1 April 1990, 20 halaman sejak 1 Maret 1993, 24 halaman sejak 1 Desember 1997, tetapi kemudian sempat turun lagi pada akhir Orde baru, yaitu kembali menjadi 20 halaman sejak 3 Februari 1998.
Selain itu perkembangan pers di masa Orde Baru telah melahirkan sejumlah kelompok usaha pers, seperti Kelompok Kompas – Gramedia, Sinar Kasih, Tempo – Grafiti / Jawa Pos, Media Indonesia/ Surya Persindo.[31] 
Harian Kompas lahir pada 28 Juni 1965. Pada masa itu kehidupan pers dibagi dalam beberapa kelompok ideologis dan Harian Kompas termasuk pers kelompok Kristen (Katolik) bersama Sinar Harapan (Kristen Protestan). Di samping itu ada kelompok pers Islam, yaitu Duta Masyarakat, Angkatan Baru, Suara Islam dan Mercu Suar. Ada pula pers kelompok intelektual, yaitu Harian KAMI, Nusantara, Indonesia Raya dan Pedoman. Pers kelompok independen ialah Harian Merdeka, The Jakarta Times dan Revolusioner; pers nasionalis ialah Suluh Marhaen dan el-Bahar; dan pers kelompok militer, yaitu Angkatan Bersenjata, Berita Yudha, Ampera, Api Pancasila, Pelopor Baru dan Warta Harian.[32]  
Ideologi pers itu kelihatannya mulai mencair sewaktu pers Indonesia berubah menjadi pers pembangunan, lebih-lebih lagi setelah tumbuh sebagai industri. Sebab pers harus mendahulukan kepentingan bisnisnya dari pada perjuangan ideologisnya, walaupun perjuangan ideologis pers tidak hilang sama sekali.
Setelah menjadi industri pers  mengembangkan usahanya semakin besar, malah membentuk kelompok usaha, seperti Kelompok Kompas – Gramedia. Harian Kompas didirikan oleh PK Ojong dan Jakob  Oetama. Perkembangan harian ini tidak saja menempatkan diri sebagai surat kabar terbesar di Indonesia (dengan oplah 525.000 eksamplar pada tahun 1991), tetapi juga berhasil membangun puluhan media cetak, memiliki percetakan, toko buku, perdagangan buku impor,  radio, usaha perfilman dan periklanan. Bahkan bisnisnya merambah ke bisnis di luar media massa, seperti hotel, perjalanan wisata, bank, asuransi, super market,  pabrik tisu, tambak udang, mebel rotan, warung telekomunikasi, lembaga pendidikan bahasa Inggeris, lembaga pendidikan dan banyak lagi.[33]
Selain tumbuh dan berkembang menjadi surat kabar yang terbesar Kompas bersama kelompok usahanya juga sejak 1989 mengembangkan surat kabar di daerah, seperti Serambi Indonesia (sebelumnya dikenal sebagai Mimbar Swadaya) di Banda Aceh, Sriwijaya Post di Palembang, Mandala di Bandung, Berita Nasional (belakangan dikenal dengan Bernas) di Yogyakarta dan Surya di Surabaya. Kelompok Kompas – Gramedia juga memiliki sejumlah penerbitan, yaitu Hai, Bobo, Kawanku, Citra Musik, Nova, Tiara, Sigma, Suara Alam, Foto Media, Info Komputer, Angkasa, Bola, Intisari, Jakarta  Jakarta, Monitor dan Senang. Tetapi dua yang terakhir dibreidel tahun 1990.
Kemudian Kelompok Sinar Kasih semula memiliki surat kabar sore Sinar Harapan yang lahir pada tahun 1961. Setelah dibreidel pada Oktober 1986 kelompok usaha pers ini menerbitkan Suara Pembaruan sejak 3 Februari 1987. Lalu pada tahun 1991 Suara Pembaruan menjadi surat kabar terbesar keempat dengan oplah 340.000 eksamplar setelah Kompas (525.000 eksamplar), Pos Kota (500.000 eksamplar), dan Jawa Pos (350.000 eksamplar).
Selain itu Kelompok Sinar Kasih memiliki sejumlah penerbitan, yaitu Mutiara, Tribun, Higina, Teknologi dan Strategi Militer (TSM). Kemudian sejak 1989 kelompok usaha ini menangani manajemen surat kabar pagi Jayakarta bersama Ponco Sutowo dan Kodam Jaya. Sebelum dibreidel Sinar Harapan bekerja sama dengan beberapa surat kabar daerah, seperti Obor Pancasila di Manado Sulawesi Utara, Suara Indonesia di Jawa Timur, dan Suara Timor Timur.
Tetapi kerja sama itu tidak berkembang. Obor Pancasila kemudian berubah nama Cahaya Siang dan bekerja sama dengan Jawa Pos, lalu Media Indonesia. Sedang Suara Indonesia kemudian bergabung dengan Jawa Pos dan Suara Timor Timur bergabung dengan Kompas.
Kelompok usaha pers berikutnya ialah Tempo – Grafiti/ Jawa Pos. Majalah Tempo lahir tahun 1971 didirikan oleh wartawan-wartawan yang sebelumnya bekerja di Harian KAMI dan Majalah Express, milik BM Diah, pendiri Harian Merdeka. Tempo sempat tumbuh dan berkembang menjadi majalah mingguan yang besar dan menguasai pendapatan iklan 24,2 persen dari total belanja iklan majalah. Majalah ini kemudian dibreidel pada Juni 1994 bersama Editor dan DeTIK.
Pada kelompok Tempo ini terdapat usaha percetakan dan penerbitan PT Grafiti Pers. Selain mencetak Tempo dan penerbitan dalam kelompoknya juga menerbitkan buku. Kelompok usaha ini juga pernah menerbitkan Zaman, Matra, Humor, dan Medika. Grafiti juga bekerja sama dengan penerbitan lain seperti SWAsembada dan Forum Keadilan.
Dalam perkembangannya Tempo pernah mengalami goncangan, yakni ketika sebagian wartawan dan karyawannya keluar dan mendirikan Majalah Editor pada tahun 1986. Editor juga kemudian dibreidel pada Juni 1994.
Selain mengembangkan penerbitan di Jakarta Grafiti juga mengambil alih surat kabar Jawa Pos di Surabaya tahun 1982. Jawa Pos sendiri lahir tahun 1949. Lalu Kepala Biro Tempo di Surabaya, Dahlan Iskan, diserahi tugas memimpin Jawa Pos.
Jawa Pos kemudian berkembang dan pada tahun 1992 menjadi surat kabar terbesar ketiga dengan oplah 350.000 eksamplar setelah Kompas dan Pos Kota. Jawa Pos juga mengembangkan surat kabar di daerah, seperti Manuntung di Balikpapan, Akcaya  di Pontianak, Cahaya Siang di Manado, Fajar di Ujung Pandang (kini Makassar), Mercusuar di Palu, Suara Maluku di Ambon, Palangkaraya Pos (kemudian jadi Kalteng Pos) di Palangkaraya Kalimantan Tengah, Suara Nusa di Mataram Nusa Tenggara Barat, Riau Pos di Pekanbaru, Cendrawasih Post di Jayapura, Independent di Jambi, dan Batam Post di Batam.
Di Surabaya sendiri Jawa Pos menangani Suara Indonesia, Liberty, Mentari Putera Harapan, Karya Darma, Dharma Nyata, Bhirawa, Komptisi, Memorandum, dan juga Jawa Anyar di Surakarta.
Kelompok usaha pers berikutnya ialah Kelompok Media Indonesia/ Surya Persindo. Surya Persindo merupakan induk perusahaan pers yang didirikan oleh Surya Paloh pada tahun 1985 dengan kerja sama dengan Kelompok Bimantara, kelompok usaha Bambang Trihatmojo, putera Presiden Soeharto. Surya Persindo pernah mendirikan Harian Prioritas, tetapi tidak lama kemudian dibreidel tahun 1987. Setelah itu kelompok usaha pers ini mengambil alih Majalah Vista tahun 1988, lalu Media Indonesia tahun 1989. Surat kabar ini didirkan oleh Teuku Yousli Syah tahun 1969.
Surya Persindo juga mengembangkan surat kabar di daerah pada tahun 1989 – 1990, seperti Peristiwa dan Aceh Post di Banda Aceh, Mimbar Umum di Medan, Semangat di Padang, Sumatera Express di Palembang, Lampung Post di Bandar Lampung, Gala di Bandung, Yogya Post di Yogyakarta (sebelumnya  bernama Masa Kini, harian berafiliasi dengan Muhammadiyah), Dinamika Berita di Pontianak, Cahaya Asing di Manado dan Nusatenggara di Bali.
Tetapi sebagian besar surat kabar itu mengalami kemunduran. Lalu Surya Paloh mengembangkan DeTIK tahun 1992. DeTIK sendiri lahir pada tahun 1977. Tabloid DeTIK sempat berkembang pesat dan oplahnya diperkirakan mencapai 450.000 eksamplar pada saat dibreidel pada 1994.
Kemudian ada lagi sejumlah kelompok usaha pers di beberapa kota, seperti Kelompok Pos Kota di Jakarta, Pikiran Rakyat di Bandung Jawa Barat, Suara Merdeka di Semarang Jawa Tengah dan sebagainya.
Selain itu muncul sejumlah pemain baru dalam bisnis pers yang berasal dari kalangan pengusaha non-pers, seperti Kelompok Usaha Ika Muda, Kelompok Usaha Bakrie, Bambang Trihatmojo  (Bimantara), Siti Hardiyanti Indra Rukmana yang lazim dipanggil Mbak Tutut (Cipta Lamtoro Gung Persada), Sudwikatmono, dan Bob Hasan.
Ika Muda dengan seorang pemiliknya, Sutrisno  Bachir, menangani sejumlah penerbitan pada awal 1990-an, yaitu Berita Buana, Mode Indonesia, Aneka Ria, Infobank, Prospek dan Anda Bos. Kemudian Aburizal Bakrie, bos Kelompok Usaha Bakrie, bersama Fadel Muhammad, bos Kelompok Usaha Bukaka, mengambil alih Harian Pelita tahun 1990. Sebelumnya Bakrie sudah memiliki Majalah Popular, dan Fadel Muhammad sudah memliki Majalah Warta Ekomomi dan Mobil Motor.
Di samping itu sejak pertengahan 1980-an Bambang N. Rachmadi dan Muhammad Suleiman Hidayat mendanai lahirnya Editor, Nirwan D. Bakrie dan Ponco Sutowo menyuntik dana ke Jayakarta, Liem Sioe Liong dan Sukamdani Sahid Gitosarjono menerbitkan Bisnis Indonesia, dan Probosutejo menyuntik dana ke Kartika di Semarang dan Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta.
Kemudian Sudwikatmono dan Ciputra menerbitkan tabloid Bintang Indonesia tahun 1991, dan Sudwikatmono juga menerbitkan Majalah Sinar tahun 1993. Sedang Mbak Tutut menerbitkan tabloid Wanita Indonesia tahun 1989. Lalu Bob Hasan menerbitkan Gatra setelah Tempo dibreidel tahun 1994. Format Gatra meniru Tempo dan sebagian wartawan dan karyawan Gatra berasal dari Tempo.
Perkembangan pers yang juga menarik ialah lahirnya Harian Republika pada Agustus 1993, karena pada prinsipnya saat itu tidak boleh lagi terbit surat kabar baru di Jakarta.  Republika lahir sebagai prakarsa Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), yang saat itu ketuanya adalah BJ Habibie, Menteri Negara Riset dan Teknologi.
Semula ICMI tidak ingin mengusahakan penerbitan surat kabar baru, tetapi ingin memberdayakan surat kabar Islam yang sudah ada, seperti Pelita. Tetapi setelah dipertimbangkan secara mendalam akhirnya Habibie meminta SIUPP baru untuk menerbitkan surat kabar, maka lahirlah Republika. Kebetulan saat itu politik pemerintah sedang berpihak kepada Islam, sehingga bertemulah dengan keinginan ICMI mendirikan surat kabar baru di Jakarta.

                                                                     Televisi Swasta
Beberapa pengusaha yang telah terjun ke bisnis pers itu kemudian mendapat izin untuk mendirikan stasiun televisi swasta, yaitu Bambang Trihatmojo dengan kelompok usahanya Bimantara yang mendapat izin Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) tahun 1988, Sudwikatmono mendapat izin Surya Citra Televisi (SCTV) tahun 1990, Mbak Tutut mendapat izin Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) tahun 1991,  Agung Laksono dengan kelompok usahanya Hasmuda mendapat izin Cakrawala Andalas Televisi (antv) tahun 1993 (Hasmuda kemudian bekerja sama dengan Kelompok Usaha Bakrie untuk mengembangkan staisiun televisi ini), dan Group Salim mendapat izin Indosiar Visual Mandiri (IVM) juga tahun 1993.[34]
Pemberian izin televisi swasta itu didorong oleh beberapa alasan, yaitu: 1.Ada permintaan yang sangat kuat dari khalayak penonton televisi untuk mencari program alternatif di luar saluran tunggal TVRI yang monopolistis. Pada kurun waktu 1987 – 1989 video rental amat marak dan tidak bisa dikontrol; 2.Open sky policy (kebijakan udara terbuka) yang awalnya dimaksudkan pemerintah untuk menggalakkan penyebaran parabola di daerah pelosok, sehingga penyebaran siaran TVRI ke seluruh Indonesia lebih cepat terlaksana ternyata malah menjadi ajang distribusi dan penyebaran siaran televisi negara-negara tetangga dan transnasional yang menyewa satelit Palapa; 3. Adanya keperluan dari kalangan pengusaha untuk memperoleh akses siaran iklan dari berbagai saluran televisi, khususnya televisi swasta yang orientasi siarannya lebih ditujukan kepada keinginan khalayak penonton. Hal ini seiring dengan program deregulasi ekonomi yang memungkinkan sektor-sektor swasta bergerak di wilayah yang sebelumnya dimonopoli oleh pemerintah, seperti sektor perbankan, real estate, transportasi dan komunikasi.
Itulah alasan-alasan formal yang biasa dianggap sebagai faktor penyebab keluarga izin televisi swasta. Tetapi ada pula alasan yang tidak formal, yaitu bahwa kehadiran televisi swasta tidak lepas dari suasana KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) saat itu. Ini terbukti pada tiga izin televisi swasta yang pertama diberikan kepada keluarga Presiden Soeharto, yaitu RCTI diberikan kepada Bambang Trihatmojo (putera Soeharto), SCTV diberikan kepada Sudwikatmono (sepupu Soeharto) dan TPI diberikan kepada Mbak Tutut (puteri Soeharto). Setelah itu baru keluar IVM yang diberikan kepada Liem Sioe Liong (kroni Soeharto) dan antv diberikan kepada Agung Laksono (tokoh Golkar, kekuatan politik yang memerintah di zaman Orde Baru).   
Izin mendirikan televisi swasta dimulai dengan keluarnya Keputusan Menteri Penerangan Harmoko No: 190 A 1987 pada 20 Oktober 1987 tentang televisi berlangganan untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya. Siarannya hanya bagi mereka yang memiliki dekoder pada pesawat televisinya.
Keputusan itu memberi wewenang kepada Televisi Republik Indonesia (TVRI) mengeluarkan izin kepada pihak ketiga untuk mengadakan siaran televisi dengan perhitungan harian, dengan lama waktu dan persyaratan yang diputuskan oleh kedua belah pihak.
Surat keputusan itu mencatat bahwa acara-acara televisi diizinkan menayangkan iklan yang memungkinkan mempromosikan kemajuan pembangunan. TVRI selanjutnya diberi otoritas menggunakan dana yang diperoleh dari saluran swasta untuk membiayai operasionalnya.
Kemudian pada 28 Oktober 1987 TVRI menunjuk RCTI sebagai pengelola siaran televisi swasta pertama di Indonesia. Pada 17 Januari 1990 TVRI membuat kesepakatan yang sama dengan SCTV untuk mengelola siaran televisi berlangganan di Surabaya. Kesepakatan ini melampaui SK Menpen No: 190 A 1987 yang hanya mengizinkan siaran televisi swasta untuk daerah Jakarta.
Pada Juli 1990 Departemen Penerangan memperluas ketentuan surat keputusan yang asli dengan mengadakan revisi besar terhadap struktur sistem siaran. SK Menteri Penerangan No: 111 Tahun 1990 mengesahkan dua kategori  yang berbeda mengenai siaran dan stasiun televisi swasta. Kategori pertama terdiri atas stasiun-stasiun yang menyiarkan materi program umum untuk khalayak lokal. Hanya satu pengelola siaran semacam itu yang diizinkan beroperasi di Ibukota Jakarta dan ibukota daerah atau propinsi. 
Kedua, kategori stasiun siaran khusus yang merupakan satu-satunya stasiun swasta siaran pendidikan, yang diberi otoritas bersiaran secara nasional. TVRI tetap berhak memperoleh bagi hasil dari stasiun swasta.
Tidak lama kemudian SK Menpen No: 111 Tahun 1990 itu direvisi. Pertama pada Mei 1992 dengan Keputusan Menteri Penerangan No: 84 A/ Kep/ Menpen/ 1992 dan sekali lagi pada Januari 1993 dengan Keputusan Menteri Penerangan No: 04 A/ Kep/ Menpen/ 1993. Pada tahun 1992 kriteria campuran dari jangkauan penyiaran (lokal, regional dan nasional) dan tekanan program (pendidikan dan umum) dihapus. Stasiun siaran swasta hanya digolongkan menurut kerangka penekanan acara-acaranya.
Berbeda dengan penggolongan “umum” dan “pendidikan” pada SK No: 111 Tahun 1990 dibuat kategori “siaran ekonomi”. Stasiun ini diberi hak untuk mengudara secara nasional serta menggunakan satelit dan stasiun relay untuk menyalurkan program-programnya.
Kemudian pada 18 Januari 1993 SK Menteri Penerangan No: 04 A menciptakan dasar yang sama sekali berbeda untuk mengatur siaran televisi swasta. Kriteria bagi kategori penyiaran sekali lagi bergeser dan kembali kepada pertimbangan kewilayahan. Surat keputusan ini menetapkan dua kategori pemancar, pertama berlokasi di ibukota daerah atau provinsi dengan jangkauan siaran lokal. Maksimum diperbolehkan lima stasiun komersial nasional dan dibatasi tidak lebih dari satu stasiun lokal pada masing-masing ibukota daerah atau provinsi.
Stasiun nasional diperbolehkan menggunakan satelit Palapa dan atau stasiun relay serta mendirikan jaringan stasiun atau cabang pendukung. Tetapi stasiun lokal dibatasi pada transmisi wilayah lokal dan tidak bisa menggunakan satelit.
Dengan ketentuan ini struktur desentralisasi yang dirancang dalam SK No: 111 dan sedikit banyak dipertahankan dalam SK No: 84 A diubah secara radikal dan terbentuklah sistem yang sangat tersentralisasi dengan lima stasiun siaran swasta nasional yang didirikan di Jakarta.
Lima stasiun televisi yang mendapat izin untuk siaran nasional pada bulan Maret 1993 ialah Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), Surya Citra Televisi (SCTV), Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), Cakrawala Andalas Televisi (antv), dan Indosiar Visual Mandiri (IVM).[35]
Lahirnya televisi swasta menimbulkan perkembangan baru dalam kehidupan pers khususnya dan media massa umumnya. Misalnya kelahiran televisi swasta itu telah mengakhiri monopoli siaran televisi oleh Televisi Republik Indonesia (TVRI). Televisi Republik Indonesia semula disebut Televisi Republik Indonesia Jajasan Bung Karno, karena dikelola oleh sebuah yayasan yang dipimpin oleh Bung Karno. TVRI memonopoli siaran televisi di Indonesia sejak kelahirannya pada 24 Agustus 1962. Kelahiran TVRI ini bersamaan dengan berlangsungnya Asian Games IV, 24 Agustus – 4 September 1962 di Jakarta.
Lahirnya televisi swasta juga memperkuat perkembangan pers sebagai industri, karena industri televisi padat modal dan teknologi, tetapi pendapatannya tergantung sepenuhnya pada iklan, (berbeda dengan media cetak yang sebagian pendapatannya dari sirkulasi), sehingga programnya, termasuk berita  harus dikemas sebaik mungkin agar layak jual dan dapat menyedot iklan yang sebanyak-banyaknya.
Di samping itu kelahiran televisi swasta  telah menambah jumlah dan jenis media massa yang menyiarkan berita. Walaupun masih banyak pembatasan materi siarannya, tetapi bertambahnya media massa menunjukkan adanya kemajuan dalam perkembangan kebebasan pers di Indonesia. Karena  kebebasan pers meliputi kebebasan mendirikan media massa dan kebebasan menyiarkan informasi berdasarkan fakta yang benar.
Hanya saja kebebasan itu masih sangat terbatas, karena izin televisi tadi sebagian besar diberikan kepada keluarga dan kroni Presiden Soeharto atau setidaknya berada dalam lingkaran kekuasaan Orde Baru. Misalnya RCTI diberikan kepada Bambang Trihatmojo (putera Soeharto), SCTV diberikan kepada Sudwikatmono (sepupu Soeharto), TPI diberikan kepada Mbak Tutut  (puteri Soeharto), IVM diberikan kepada Liem Sioe Liong (Sudono Salim) (kawan akrab dan mitra bisnis putera-puteri Soeharto) dan antv diberikan kepada Agung Laksono yang bekerja sama dengan Aburizal Bakrie adalah tokoh Golkar, golongan politik yang berkuasa di masa Orde Baru.
Pada mulanya televisi swasta tidak boleh menyiarkan program berita dan harus menayangkan (relay) program berita TVRI, khususnya Berita Nasional dan Dunia dalam Berita. TVRI sendiri menyiarkan berita empat kali sehari, yaitu Berita Nusantara, Berita Nasional,  Dunia dalam Berita, dan Berita Terakhir.
Televisi swasta kemudian boleh menyiarkan program berita dan pemerintah mendiamkannya.Tetapi nama programnya tidak menyebut berita secara eksplisit, seperti program berita TVRI. Berdasarkan hal ini, maka muncullah program berita televisi swasta, seperti Seputar Indonesia dan Nuansa Pagi (RCTI), Selamat Pagi Indonesia dan Lintas 5 (TPI), Cakrawala dan Halo Indonesia (antv) dan Fokus Pagi dan Fokus Petang (IVM).
Program berita SCTV pada mulanya bergabung pada mulanya bergabung dengan RCTI dan ketika kemudian membuat program berita sendiri terpisah dari RCTI televisi swasta sudah semakin terang-terangan menyiarkan program berita, maka program berita SCTV pun diberi nama yang jelas menyebut berita atau kata-kata yang semakna dengan berita, yaitu Liputan 6. (Program Liputan 6 sebenarnya sudah tayang sewaktu SCTV masih bergabung dengan program berita RCTI, tetapi waktu itu masih merupakan program mingguan, sehingga tidak menonjol. Program berita ini menonjol setelah menjadi  program harian dan SCTV tidak lagi bergabung dengan dengan program berita RCTI. Jadi, sebagai program mingguan sudah ada bersamaan dengan program berita televisi lain, tetapi sebagai program berita harian munculnya belakangan).
Televisi swasta kemudian memiliki dasar hukum untuk menyiarkan berita setelah keluar Undang-undang Penyiaran (UU No: 24 Tahun 1997). Undang-undang ini mengatur penyiaran radio dan televisi. Dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa lembaga penyiaran swasta dapat melaksanakan siaran berita.[36]
Penjelasan pasal itu mengatakan “Pada dasarnya kewenangan melaksanakan siaran berita berada pada lembaga penyiaran pemerintah. Meskipun demikian lembaga penyiaran swasta dapat juga melaksanakan siaran berita sesuai dengan persyaratan tertentu”.
Sebelumnya pada pasal 11 ayat (1) dikatakan bahwa “Lembaga penyiaran swasta adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum Indonesia, yang bidang usahanya khusus menyelenggarakan siaran radio atau siaran televisi”.
Undang-undang itu juga menjadi dasar hukum bagi radio swasta untuk menyiarkan  berita. Sebelumnya siaran berita radio dimonopoli oleh Radio Republik Indonesia (RRI) dan radio swasta harus merelay siaran berita RRI. RRI sendiri lahir pada 11 September 1945 sebagai konsorsium delapan stasiun lokal yang tadinya merupakan jaringan di bawah Jepang. Operasi mereka ditempatkan di bawah Departemen Penerangan mulai April 1946.[37]
Dengan keluarnya undang-undang penyiaran itu televisi swasta boleh menyiarkan berita sendiri dan tidak lagi harus merelay berita TVRI. Begitu pula radio swasta sudah boleh menyiarkan berita sendiri dan tidak harus merelay berita RRI.
Tetapi bolehnya televisi dan radio menyiarkan berita sendiri tidak berarti kehidupan pers sudah sepenuhnya bebas. Karena pemerintah masih mengontrol kehidupan pers dengan ketat. Misalnya pemimpin redaksi televisi sering dikumpulkan dengan pemimpin redaksi media cetak (surat kabar dan majalah) untuk menerima pengarahan, imbauan, teguran dan pernyataan dari menteri penerangan atau pejabat tinggi negara lainnya.
Biasanya para pemimpin redaksi itu diingatkan agar tetap konsisten pada pers Pancasila, yaitu pers yang bebas dan bertanggung jawab. Di antara wujudnya ialah pers pembangunan, yaitu pers yang memberitakan program pembangunan, khususnya kemajuan-kemajuan yang dicapai, bukan kelemahan, apalagi kegagalannya.
RCTI misalnya pernah ditegur karena laporannya tentang kehidupan suatu kelompok masyarakat di Nusa Tenggara Timur, di mana umumnya orang di sana hanya bisa mandi beberapa kali dalam setahun, karena tanahnya kering kerontang dan jarang air. Laporan seperti ini termasuk berita yang mengesankan pembangunan itu kurang berhasil.
Kemudian SCTV pernah memiliki acara Perspektif, sebuah acara dialog yang menonjol saat itu, kemudian dihentikan karena dianggap terlalu kritis dan mengangkat isu kontroversial. Lalu antv  pernah memiliki acara dialog, Debat Terbuka. Dalam sebuah tayangannya  tentang kebijaksanaan perfilman nasional diedit habis-habisan bersama seorang petugas dari Departemen Penerangan, karena banyak bagian dari dialog yang tak diinginkan oleh pemerintah.
Di bidang siaran radio misalnya Radio Trijaya FM di Jakarta pernah memiliki acara Jakarta Round Up, kemudian dihentikan sebab pimpinan radio itu merasa cemas terhadap acara itu setelah membahas pelarangan majalah Tempo, Editor dan DeTIK pada Juni 1994.
Kasus-kasus itu hanya merupakan sebagian kisah kehidupan pers, khususnya pers televisi dan radio. Kasus-kasus itu juga menggambarkan ketatnya pengawasan pemerintah Orde Baru terhadap kehidupan pers. Meskipun begitu televisi swasta telah membawa perkembangan baru dalam jurnalisme televisi, baik materi maupun teknik penyajiannya. Berita televisi swasta banyak memberitakan masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat, seperti kebakaran, tindak kriminal,  dan sebagainya. Sedang televisi pemerintah (TVRI) lebih banyak memberitakan kegiatan pemerintah dan masyarakat, seperti peresmian proyek, penyelenggaraan seminar dan semacamnya.
Kemudian teknik penyajiannya program berita televisi swasta sering  menampilkan sound up (wawancara dengan sumber berita mengenai peristiwa yang sedang diberitakan), sehingga beritanya lebih dinamis. Sedang TVRI jarang sekali menampilkan sound up, maka beritanya terkesan monoton dan kurang dinamis.     

                                                                        Media Internet
Pengawasan pemerintah terhadap kehidupan pers tidak sampai mematikan arus informasi sejalan dengan berkembangnya teknologi informasi, khususnya media internet yang muncul sebagai media informasi dan komunikasi pada akhir pemerintahan Orde Baru.
Arus informasi dan komunikasi melalui internet tidak dapat dikontrol oleh pemerintah. Misalnya pada hari-hari terakhir menjelang pengunduran diri Soeharto dari jabatan presiden RI pada 21 Mei 1998 di antara para mahasiswa yang menduduki gedung DPR/ MPR RI saat itu ada yang membawa laptop untuk mengirim berita secara online, sementara aparat keamanan menjaga dengan ketat di sekeliling mereka.
Pengembangan media internet di Indonesia tak dapat dilepaskan dari peranan BJ Habibie (Menteri Negara Riset dan Teknologi saat itu). Pengembangan internet dimulai ketika Dewan Riset Nasional di bawah Habibie merekomendasikan pembangunan jasa informasi Iptek pada tahun 1986.[38]
Kampus-kampus universitas adalah yang pertama kali mencoba jaringan internet pada pertengahan tahun 1980-an. Universitas seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) di Surabaya bekerja sama sejak tahun 1986 dalam pembangunan jaringan antar universitas, Uninet, yang didanai oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (kini Departemen Pendidikan Nasional). Kemudian ide pengembangan jaringan internet mengkristal di bawah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menjadi sebuah rancangan jaringan informasi Iptek net pada tahun 1989. 
Lalu pada April 1993 Komisi Perencanaan Iptek net memulai percobaan sebuah proto tip Micro Iptek net, yang melibatkan enam perangkat pemerintah dan beberapa universitas serta lembaga riset. Banyak insinyur komputer merupakan ahli waris visi besar Habibie itu. Pada tahun 1980-an mereka menjadi staf di universitas-universitas dan pusat-pusat penelitian seperti BPPT dan LAPAN, keduanya diketuai oleh Habibie mencobakan dan mempromosikan internet.
Pada pertengahan 1990-an orang-orang yang sama membangun perusahaan-perusahaan internet komersial pertama, seperti Radnet. Ledakan permintaan akan akses internet mulai akhir 1995 dan mencapai puncaknya pada paruh pertama 1996. Pada saat yang sama kecepatan dan efisiensi teknologi semakin membaik.
Hingga akhir 1995 diperkirakan pengguna internet di Indonesia dilayani oleh lima Internet Service Provider (ISP- Penyedia Jasa Internet) ditambah dengan Ipktek net. Setelah enam bulan angkanya semakin menjamur. Hingga Mei 1996 ada 22 ISP yang terdaftar di Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi.
Sampai September dua provider lagi mendaftar izin operasional, tetapi dari semuanya hanya 15 yang benar-benar berjalan. Menjelang akhir 1996 diperkirakan ada 40.000 pelanggan, sekitar 25.000 di antaranya menggunakan provider komersial. Jumlah ISP dan pelanggan mereka terus meningkat, tetapi jauh lebih lambat dari pada proyeksi tahun 1996 yang optimistis.
Selain itu surat kabar, seperti Kompas, Media Indonesia dan Republika masuk internet, sehingga bisa dibaca pada layar komputer. Kemudian Majalah Tempo yang dibreidel Juni 1994 muncul di internet dengan nama Tempo Interaktif sejak Maret 1996.
Media internet makin memasyarakat sejalan dengan  tumbuh dan berkembangnya warung internet (Warnet) di berbagai daerah, sehingga dapat diakses oleh  mereka yang tidak memiliki komputer atau memiliki komputer, tetapi tidak berlangganan internet.
Berkembangnya media internet telah ikut memperkuat kehidupan pers sebagai industri, karena pendapatannya terutama mengandalkan iklan dan sebagian informasinya yang hanya didapat dengan cara berlangganan atau membayar program yang bersangkutan. Karena itu, boleh dikata  kelangsungan  hidup dan kemajuan industri ini sangat tergantung pada kemampuannya menjual informasi, termasuk berita, sebagai komoditas melalui layar komputer.
Kemudian karena berita internet sulit dikontrol oleh pemerintah, maka lebih bebas dibandingkan dengan media cetak, televisi dan radio. Ini sebabnya media internet disebut juga information superhighway (jalan tol informasi), karena informasinya mengalir tanpa hambatan. Karena itu, media internet telah mendorong kebebasan pers dan ikut mempercepat ambruknya rezim Orde Baru yang ditandai dengan mundurnya Soeharto dari kedudukannya sebagai presiden RI pada 21 Mei 1998.

                                                                                  Penutup 
Pers Indonesia di masa Orde baru disebut pers Pancasila, yaitu pers yang bebas dan bertanggung jawab. Kebebasan dan tanggung jawab harus berjalan secara seimbang. Tetapi dalam prakteknya hubungan antara kebebasan dan tanggung jawab  itu berubah dari waktu ke waktu. Pada awal Orde Baru, khususnya antara 1966 – 1974 kehidupan pers lebih besar kebebasan dari pada tanggung jawabnya. Sesudah itu kehidupan pers lebih ditekankan tanggung jawabnya dari pada kebebasannya. Tanggung jawab pers terutama diarahkan untuk menunjang proses pembangunan. Pers Indonesia pun menjadi pers pembangunan yang diasumsikan sebagai pengamalan pers Pancasila.
Pers pembangunan kemudian berkembang sejalan dengan tumbuhnya pers sebagai industri, yaitu kegiatan yang berorientasi kepada keuntungan. Hal ini tidak bisa dihindari, karena pers mempekerjakan karyawan, seperti wartawan dan karyawan lainnya, yang juga ingin hidup layak seperti kelompok masyarakat yang lain.
Hanya saja masalahnya proses pembangunan yang berjalan menimbulkan banyak distorsi, karena strateginya lebih menekankan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik.  Strategi ini melahirkan berbagai macam kesenjangan, seperti kaya dan miskin, pusat dan daerah, kota dan desa, kawasan timur dan kawasan barat, Jawa dan luar Jawa, dan sebagainya.
Kesenjangan itu menempatkan pers dalam suasana dilematis antara mengutamakan orientasi pembangunan dengan memperjuangkan aspirasi rakyat yang menghendaki penyelesaian berbagai kesenjangan itu. Kalau terlalu mengikuti orientasi pembangunan pers bisa dianggap corong pemerintah, tetapi terlalu banyak mengangkat aspirasi rakyat bisa dianggap melawan pemerintah.
Hal itu berlangsung sampai akhir 1980-an, yaitu sampai lahirnya televisi swasta. Dengan lahirnya televisi swasta berarti ada sedikit peluang yang memberi ruang gerak kepada kehidupan pers. Perkembangan ini mengarah kepada timbulnya kembali kebebasan pers yang lebih besar, seperti yang terjadi di awal Orde Baru.
Perkembangan ke arah kebebasan pers itu juga ditunjang oleh kemajuan teknologi informasi, yaitu lahirnya media internet, karena arus berita internet tidak bisa dikontrol oleh pemerintah. Walaupun media internet itu baru dikenal luas pada pertengahan 1990-an, tetapi sudah dirintis jauh sebelumnya yaitu sejak pertengahan 1980-an oleh BJ Habibie selaku Menristek kala itu.
Karenanya, jika rezim Orde Baru belum runtuh kebebasan pers tidak bisa dibendung lagi, atau boleh dikata media internet ikut mempercepat keruntuhan rezim Orde Baru. Ini karena kebebasan pers merupakan fitrah manusia atau sunnatullah yang harus dihormati dalam membangun kehidupan bangsa yang adil, makmur,  demokratis dan mandiri.


[1] Anwar Arifin, Komunikasi Politik dan Pers Pancasila: Suatu Kajian Pers Pancasila (Jakarta: Media Sejahtera, 1992), hal. 26 – 29; F. Rachmadi, Perbandingan Sistem Pers: Analisis Deskriptif Sistem Pers di Berbagai Negara (Jakarta: Gramedia, 1990), hal. 29 – 41; Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm, Empat Teori Pers (Jakarta: Intermasa, 1986); William L. Rivers dan Wilbur Schramm, Responsibility in Mass Communication (New York - Evanston – London: Harper & Row Publishers, 1969), hal. 29 – 52.
[2] Denis McQuail, Mass Communication Theory: An Introduction (London-Newbury Park-Beverly Hills-New Delhi: Sage Publications, 1991), hal. 119 – 123. 
[3]Ibid,  hal. 123
[4] Anwar Arifin, Komunikasi Politik dan Pers Pancasila, hal. 58
[5] Ibid, hal. 42 – 49. Juga Edward C. Smith, Pembreidelan Pers di Indonesia (Jakarta: Grafitipers, 1986), hal. 156.
[6] Pasal 5 ayat 1 dan 2 UU No: 11 Tahun 1966
[7] Pasal 3 dan 4 UU No: 11 Tahun 1966.
[8] Ahmad Zaini Abar, Kisah Pers Indonesia 1966 – 1974 (Yogyakarta: LKiS, 1995), hal. 56
[9] Ibid, hal. 45 – 46
[10] Ibid, hal. 70
[11] Ibid, hal. 72
[12] Ibid, hal. 71 - 72
[13] Ibid, hal. 153
[14] Ibid, hal. 74
[15] Kurniawan Junaedhie, Ensiklopedi Pers Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), hal. 48.
[16] David T. Hill, The Press in New Order Indonesia (Jakarta: University of Western Australia Press bekerja sama dengan Asia Research Centre on Social, Political and Economic Change dan Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 37
[17] Abdurrachman Surjomihardjo, ed., Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia (Jakarta: Kompas, 2002), hal. 243
[18] David T. Hill, The Press in New Order Indonesia, hal. 39
[19] Ibid, hal. 40 - 41
[20] Wilbur Schramm, Peranan dan Bantuan Media Massa dalam Pembangunan Nasional, dalam Eduard Depari dan Colin MacAndrews, ed., Peranan Komunikasi Massa dalam Pembangunan (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1978), hal. 47 - 52 
[21] Jakob Oetama, Perspektif Pers Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), hal. 158 - 159
[22] Ishadi Sutopo Ks, Analisa Peliputan Berita Pembangunan, dalam Don Michael Flournoy, ed., Analisa Isi Surat Kabar – Surat Kabar Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Perss, 1989), hal. 71
[23] Ibid, hal. 72 - 75
[24] Perkembangan surat kabar ini selanjutnya tidak menguntungkan lagi ketika diambil alih oleh Golkar pada tahun 1985. Sejak itu Golkar mempunyai dua surat kabar, yaitu Pelita yang berhaluan Islam dan Suara Karya yang dekat dengan kalangan Kristen. Kemudian pada tahun 1990 Kelompok Usaha Bakrie bekerja sama dengan Fadel Muhammad berusaha membenahi harian ini, di mana penulis merupakan salah seorang anggota timnya, tetapi tidak bertahan lama, karena manajemen Bakrie mundur tahun 1992 setelah pertentangan internal antara orang-orang manajemen lama dengan manajemen baru tidak dapat diatasi. 
[25] Pasal 33 Peraturan Menpen No: 01/ Per/ Menpen/ 1984
[26] Pasal 4 UU No: 11 Tahun 1966
[27] Pasal 20 Peraturan Menpen No: 01/ Per/ Menpen/ 1984 tentang SIUPP
[28] Jakob Oetama, Perspektif Pers Indonesia, hal. 26
[29] HG Rorimpandey, Penerbitan Pers Sebagai Perusahaan, dalam Christianto Wibisono, ed., Pengetahuan Dasar Jurnalistik (Jakarta: Media Sejahtera, 1991), hal. 33
[30] Jakob Oetama, Pers Indonesia: Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus (Jakarta: Kompas, 2001), hal.317 - 318
[31] David T. Hill, The Press in New Order Indonesia, hal. 83 - 97
[32] Akhmad Zaini Abar, Kisah Pers Indonesia, hal. 57 - 58
[33] Krishna Sen dan David T. Hill, Media, Budaya dan Politik di Indonesia (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi bekerja sama dengan PT Media Lintas Inti  Nusantara, 2001), hal.69

[34] Ishadi SK, Prospek Bisnis Informasi di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 91 - 92
[35] Philip Kitley, Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, Lembaga Studi Pers & Pembangunan dan Media Lintas Inti Nusantara, 2001), hal. 239 - 241
[36] Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No: 24 Tahun 1997
[37] Krishna Sen dan David T. Hill, Media, Budaya dan Politik di Indonesia, hal. 95
[38] Ibid, hal. 227 - 231

No comments:

Post a Comment