Thursday, December 29, 2011

Sabar

           Sabar berarti menahan diri dari keluh kesah dan rasa benci, menahan lisan dari mengadu dan menahan anggota badan dari tindakan yang mengganggu dan mengacaukan. Sedang Ahmad Warson Munawwir menjelaskan bahwa istilah “sabar” berasal dari kata “shabara”  yang berarti bersabar, tabah hati, menahan, menahan dengan tidak memberi makan, memaksa, mewajibkan, mencegah, menanggung.
Tetapi yang dimaksud sabar dalam tasawuf ialah menahan diri dari keluh kesah ketika menjalankan ajaran Tuhan dan sewaktu menghadapi musibah. Jadi, sabar meliputi urusan duniawi dan ukhrawi. Sabar merupakan salah satu cara mendekatkan diri kepada Tuhan.

 
Sementara itu Nurcholish Madjid yang biasa dipanggil Cak Nur lebih menekankan pengertian sabar pada kesanggupan untuk memikul penderitaan, karena berharap kepada Allah untuk meraih kemenangan di masa depan. Allah berfirman:
“Jika kamu menderita sakit,
Mereka pun menderita sakit,
Sebagaimana kamu menderita sakit.
Tapi kamu mengharapkan dari Allah
Apa yang tiada mereka dapat harapkan” (An-Nisa’/ 4: 104).
            Semua orang dari segi penderitaan adalah sama, tetapi kelebihan orang yang beriman ialah bahwa dalam penderitaan dia tetap mempunyai harapan kepada Allah. Harapan itu ibarat pelampung yang mengambangkan kita dalam lautan dan gelombang kehidupan yang tidak menentu ini. Kita berani hidup karena ada harapan. Sesuatu yang kita inginkan ternyata tidak terjadi hari ini kita masih harapkan terjadi besok dan kita pun tahan hidup sampai besok, minggu depan, bulan depan, tahun depan, dan seterusnya.
            Dengan demikian, kesabaran berkorelasi dengan ajaran untuk tidak putus asa. Ini diungkapkan dalam Al-Qur’an melalui mulut Nabi Ya’qub ketika berpesan kepada anak-anaknya dalam usaha mencari Yusuf di Mesir.
            Istilah “asa” berasal dari bahasa Arab, asa, yang berarti harapan. Putus asa berarti putus harapan. Kaum beriman selalu mempunyai energi untuk menghadapi tantangan. Itu sebabnya mengapa kita dianjurkan melalui sebuah hadits agar setelah shalat membaca subhan-a ‘l-Lah, al-hamd-u li ‘l-Lah, Allah-u akbar. Subhan-a ‘l-Lah berarti Maha Suci Allah. Subhan-a ‘l-Lah sebagai tasbih atau memahasucikan Allah berarti membebaskan diri kita dari dugaan yang negatif kepada Allah.
            Dalam hidup ini banyak sekali pengalaman yang tidak semuanya menyenangkan. Suatu bahaya besar kalau kita mengalami kehidupan yang tidak menyenangkan, kemudian menuduh Tuhan tidak adil, tidak berpihak kepada kita dan meninggalkan. Itu adalah permulaan dari pesimisme kepada Tuhan, dan juga merupakan permulaan gejalan kehilangan harapan kepada-Nya.
            Kalau terus menerus terjerembab pada situasi seperti ini, maka kita akan mengalami kebangkrutan rohani, karena tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Pandangan negatif kepada Tuhan harus dihilangkan dengan mengucapkan subhan-a ‘l-Lah. Al-Qur’an menggambarkan orang kafir sebagai orang yang mempunyai dugaan-dugaan buruk kepada Allah. Hal ini ditegaskan dengan firman-Nya:
“Dan supaya Ia mengazab orang munafik laki-laki dan perempuan,
Dan orang musyrik, laki-laki dan perempuan,
Yang mempunyai sangkaan buruk terhadap Allah.
Bencana dan kebinasaan akan berbalik menimpa mereka,
Dan Allah murka atas mereka.
Ia laknati mereka dan menyediakan neraka jahanam bagi mereka,
Seburuk-buruk tempat kembali” (Al-Fath/ 48: 6).
            Setelah berhasil menghilangkan pandangan negatif kepada Tuhan hendaknya diteruskan dengan al-hamd-u li ‘l-Lah. Pandangan  pesimistis-negatif diganti dengan pandangan optimistis-positif. Apapun yang terjadi pasti ada haikmahnya. Merupakan suatu kesombongan yang tidak masuk akal jika ingin mengetahui kehendak Tuhan. Tuhan Maha Kuasa dan Maha Besar, sedang kita adalah makhluk yang lemah, dla’if, tidak mungkin mengetahui segala sesutau  yang dikehendaki Allah. Karenanya, kita dituntut percaya kepada Allah, sebab di baliknya ada hikmah.
            Mengganti pandangan pesimistis-negatif dengan pandangan optimistis-positif, contohnya yang paling nyata dalam sejarah ialah ketika setelah  Rasulullah membebaskan  Mekkah beliau menyatakan kepada para sahabatnya: Setelah ini Allah menjanjikan bagi kamu pembebasan Persia dan Romawi, orang Yahudi yang mendengarnya berkata: Hai Muhammad sombong sekali kamu, kamu hanya bersama orang Mekkah, Medinah dan Hijaz mau menaklukkan super power Persia dan Romawi. Negara super power saat itu adalah Persia dan Romawi. Nabi tidak menjawab, kemudian turunlah firman Allah:
“Katakanlah, Ya Tuhan, Pemilik Kerajaan!
Kau beri kerajaan kepada siapa yang Kau berkenan,
Dan Kau renggutkan kerajaan dari siapa yang Kau kehendaki.
Kau beri kemuliaan kepada siapa yang Kau berkenan,
Dan Kau beri kehinaan kepada siapa yang Kau kehendaki.
Dalam tangan-Mu segala yang baik.
Sungguh, Kau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Ali ‘Imran/ 3: 26).
            Kenyataannya dalam sejarah Persia dan Romawi, khususnya Bizantium dan Konstantinopel jatuh ke tangan kaum muslimin, sebagaimana dijanjikan dalam Al-Qur’an. Yang harus dipahami dari kata bi yadika ‘l-khayr dalam ayat di atas ialah bahwa bangkit dan tumbangnya kekuasaan merupakan semacam agenda Tuhan untuk kebaikan kita. Kita harus mencari hikmah di balik itu dan tidak menuduh Tuhan melupakan, tidak melindungi atau meninggalkan hamba-Nya. Nabi sendiri pernah merasa seperti itu, kemudian turun ayat:
“Demi cahaya  pagi yang cemerlang ,
Demi malam bila gelap dan sunyi,
Tiada Tuhanmu  meninggalkan kau
Dan tiada Ia membenci kau.
Yang kemudian sungguh lebih baik bagimu dari yang permulaan.
Dan Tuhanmu pasti memberikan  padamu
(Apa) yang menyenangkan bagimu” (Ad-Duha/ 93: 1 – 5).
            Yang menarik  pada ayat itu dari segi bahasa Arab ialah disebutnya sawfa yang berarti “akan dalam jangka panjang”. Sawfa yu’thika berarti “Dia (Allah) akan memberimu”. Kalau pakai istilah “sa yu’thika” berarti “Dia akan memberimu dalam jangka pendek”, seperti seminggu, sebulan, setahun. Tetapi sawfa yu’thika berarti lebih panjang atau lebih lama dari pada itu.
Secara historis memang kemudian terwujud, karena setelah Surat Ad-Duha turun Nabi kemudian hijrah  dan terlibat peperangan, dan Nabi menang. Kemenangan demi kemenangan diraih Nabi, dan akhirnya berhasil membebaskan Mekkah. Setelah itu Nabi digugat:
“Bukankah Ia mendapati kau sebagai yatim,
 Dan memberimu perlindungan?” (Ad-Duha/ 93: 6).
            Dalam sejarah dijelaskan bahwa ketika berumur 25 tahun beliau menikah dengan Siti Khadijah, seorang pedagang kaya waktu itu yang selama 15 tahun, yaitu sampai umur 40 tahun memungkinkan bagi beliau, waktu itu belum menjadi Nabi, untuk melakukan renungan-renungan di Gua Hira. Istilahnya, dia tidak perlu bekerja, karena sudah terjamin sehingga seluruh energinya dicurahkan untuk memikirkan hal-hal yang lebih tinggi.
            Jadi, Allah menggugat Nabi Muhammad, siapa kamu yang suka mengeluh ini, kamu dulu yatim, sesat dan miskin. Cobalah introspeksi. Kalau diterapkan pada kita sekarang gugatan Allah juga begitu. Siapa kamu yang suka mengeluh sekarang ini, apakah kamu tidak melihat dirimu sendiri. Ada logikanya mengapa kamu mengalami nasib seperti ini, tetapi juga jangan sampai hilang harapan kepada Allah. Karena itu kemudian diteruskan:
“Karenanya, anak yatim janganlah kau aniaya!
Dan orang yang bertanya,
Janganlah kau bentak.
Dan nikmat Tuhanmu, janganlah sembunyikan olehmu (dan nafkahkanlah” (Ad-Duha/ 93: 9 – 11).
            Berkenaan dengan semua rahmat karunia Allah yang telah diberikan kepada kita hendaknya kita akui dan memperlihatkan. Jangan kita ingkari bahwa banyak hal positif dalam diri kita. Inilah al-hamd-u li ‘l-Lah. Setelah subhan-a ‘l-Lah mengikis hal-hal negatif terhadap Allah hendaknya diteruskan dengan al-hamd-u li ‘l-Lah. Membangun suatu pandangan hidup yang optimistis-positif sangat penting, sebab hanya dengan optimisme kita punya energi.
            Kalau ada orang A dan B, yang satu pesimistis dan yang satu lagi optimistis menghadapi suatu masalah, kemungkinan besar yang bisa mengatasinya ialah yang optimistis. Karena itu, kemudian diteruskan dengan Allah-u akbar (Allah Maha Besar). Semuanya kecil dan bisa diatasi.
            Dengan bercermin pada Surat Ad-Duha kita percaya firman Allah wa la sawfa yu’thika pada saatnya nanti Allah akan memberi kita kemenangan dan pada waktu itu kita bahagia. Tetapi semua itu janganlah diandalkan pada peristiwa-peristiwa metafisis. Usaha harus dilakukan dengan kesadaran tentang siapakah diri kita. Nabi sendiri disadarkan oleh Allah bahwa dia anak yatim, dulu tidak tahu apa yang benar dan salah serta miskin. Dengan penyadaran  diri dahulu, kemudian kita menuju ke depan dengan kesadaran baru.
            Karena itu, kaitannya dengan ayat tentang perlunya sabar ialah sikap menjaga jarak dengan keadaan, sehingga tidak kehilangan akal sehat. Karenanya, menurut fiqh orang seperti hakim yang sedang marah tidak boleh menetapkan keputusan hukum. Bahkan ada pendapat ulama fiqh bahwa wanita yang sedang datang bulan tidak boleh memberikan kesaksian. Karena ada efek emosional yang dikhawatirkan dapat menyebabkan dia tidak berlaku adil. Ini ada korelasinya dengan perintah dalam Al-Qur’an bahwa kita harus tetap menjalankan keadilan, meskipun sedang dibenci orang:
“Dan janganlah kebencian orang
Mendorong kamu berlaku tidak adil.
Berlakulah adil.
Itu lebih dekat kepada takwa” (Al-Ma’idah/ 5: 8).
            Kalau menurut emosi, seperti kebencian atau sebaliknya kecintaan yang tidak proporsional, maka bisa kehilangan obyektivitas. Ada pepatah Arab yang artinya “sorot pandang mata kecintaan menjadikan buta terhadap kekurangan, sebaliknya sorot pandang kebencian membuat lupa terhadap kebaikan”. Kalau  mencintai sesuatu atau seseorang, maka yang tampak hanyalah kebaikan. Keburukannya tidak terlihat.
            Sebaliknya kalau sudah benci kepada seseorang, maka seluruh yang tampak hanyalah keburukannya. Itulah sikap yang tidak adil. Itulah sebabnya kita diperintah untuk bersabar supaya kita bisa selalu berlaku adil kepada umat manusia.

                                                                                   Dasar Sikap Sabar         
            Sikap sabar dapat ditemui dasarnya dalam Al-Qur’an dan hadits. Banyak ayat Al-Qur’an dan hadits yang menjelaskan sikap sabar. Di antara ayat yang menjelaskan perintah Tuhan untuk bersabar ialah:
1.       “Hai orang yang beriman!
        Mintalah pertolongan dengan kesabaran dan dengan salat.
        Sungguh, Allah bersama orang yang sabar” (Al-Baqarah/ 2: 153).
2.       “Hai orang yang beriman!
        Bersabarlah dan tabahlah” (Ali ‘Imran/ 3: 200).
3.       “Bersabarlah. Kesabaranmu hanyalah karena Allah” (An-Nahl/ 16: 127).
Pada ayat lain Tuhan memuji orang-orang yang bersabar, yaitu:
  1. “Orang yang sabar, orang yang benar,
  Orang yang ta’at beribadah,
   Orang yang memberi nafkah,
   Dan orang yang berdoa memohon ampun sebelum fajar menyingsing.” (Ali  ‘Imran/ 3: 17).
  1. “Dan orang yang bersabar  dalam kemelaratan,
Dalam penderitaan dan semasa peperangan,
 Merekalah orang yang benar,
  Merekalah orang yang takwa” (Al-Baqarah/ 2: 177).
Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa Tuhan mencintai dan menyertai orang-orang yang sabar. Allah berfirman:
    1. “Dan Allah cinta orang yang sabar dan tabah” (Ali ‘Imran/ 3: 146).
2.      “Sungguh, Allah beserta orang yang sabar” (Al-Anfal/ 8: 46).
Pada ayat lain Tuhan menjelaskan bahwa sikap sabar adalah baik bagi pelakunya sendiri, yaitu:
1.“Tapi jika kamu bersabar,
      Itu sungguh lebih baik bagi orang yang sabar” (An-Nahl/ 16: 126).
2.“Tapi lebih baik bagimu jika bersabar” (An-Nisa’/ 4: 25).
Kemudian Tuhan memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu:
“Kami pasti ‘kan menguji kamu
  Dengan sesuatu berupa ketakutan dan kelaparan, 
  Berkurangnya  harta benda, jiwa dan buah-buahan.
  Tapi sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang sabar” (Al-  Baqarah/ 2: 155).
Lalu Tuhan berjanji untuk menolong orang-orang yang sabar, firman-Nya:
“Ya, jika kamu sabar dan bertakwa (kepada Allah),
   Sekalipun (musuh-musuhmu) segera menyerbumu kemari,
   Tuhanmu ‘kan memperkuat kamu dengan lima  ribu  malaikat pilihan” (Ali ‘Imran/ 3: 125).
Selain itu ada sejumlah hadits yang menjelaskan keutamaan sabar:
1.      “Kebersihan itu setengah dari iman dan ucapan alhamdulillah memenuhi timbangan, subhanallah dan alhamdulillah memenuhi apa yang di antara langit dan bumi, shalat sebagai pelita (cahaya), sedekah sebagai bukti iman, kesabaran itu penerangan dan Al Qur’an sebagai bukti yang membenarkan  atau yang menentang kamu” (HR Muslim).
2.      “Dan siapa yang berlatih sabar, maka Allah akan menyabarkannya. Dan tiada seorang yang mendapat kurnia (pemberian) Allah yang lebih baik atau lebih dari kesabaran” (HR Bukhari dan Muslim).
3.      “Sangat mengagumkan keadaan seorang mukmin, sebab segala keadaannya adalah baik dan tidak mungkin terjadi demikian, kecuali bagi seorang mukmin. Jika mendapat nikmat ia bersyukur, maka syukur itu lebih baik baginya, dan bila menderita kesulitan, maka ia bersabar dan kesabaran itu lebih baginya” (HR Muslim).
Ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits itu selain menjelaskan bahwa Tuhan memerintahkan  kita untuk selalu bersabar, juga sekaligus memberitahukan hikmahnya. Yakni bahwa sabar itu bermanfaat bagi diri orang yang bersabar.
Kesabaran itu ada beberapa macam. Pertama ialah bersabar untuk menjauhi larangan Allah, seperti berzina, mabuk, berjudi, mencuri dan korupsi. Dalam hidup ini kita menghadapi banyak godaan, termasuk godaan untuk melakukan larangan Allah. Tetapi kita harus bersabar atau menahan diri untuk tidak mengerjakan larangan itu.
Bentuk sabar yang   kedua ialah sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah, memeliharanya terus menerus, menjaganya dengan ikhlas dan memperbaikinya dengan pengetahuan.
Dalam Islam ada perintah menjalankan ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Juga ada perintah berlaku jujur, membantu sesama yang lemah dan sebagainya. Kita harus bersabar dalam menjalankan perintah itu dengan ikhlas, mempertahankannya dan meningkatkannya dengan menambah pengetahuan mengenai hal itu.
Bentuk sabar yang ketiga ialah sabar ketika mengalami musibah, seperti kematian, kecelakaan, usaha bangkrut, dipecat dari pekerjaan, difitnah, dan sebagainya. Orang harus bersabar dalam menghadapi musibah, karena musibah itu merupakan cobaan dari Tuhan, apakah ia dapat menjalaninya dengan sabar atau berkeluh kesah. Kemudian harus diingat bahwa nikmat yang diterima dari Tuhan masih jauh lebih besar dari pada musibah yang menimpanya.
Kebalikan sikap sabar ialah gadhab (pemarah). Sikap pemarah termasuk sifat tercela, berdasarkan firman Tuhan:
 “(Yaitu) orang yang menafkahkan hartanya dalam (waktu) senang   ataupun dalam kesukaran,
   (Orang) yang menahan kemarahan,
    Dan memberi maaf kepada orang.
    Allah cinta orang yang berbuat kebaikan” (Ali ‘Imran/ 3: 134).
Sifat pemarah itu tercela, sebab hal ini menyebabkan hati dan pikiran tidak stabil dan tenang. Padahal ketenangan hati dan pikiran diperlukan agar dapat dengan tenang mengambil keputusan-keputusan penting dalam hidup ini. Orang yang gampang marah sulit mengambil keputusan yang tepat dan berguna bagi dirinya dan orang lain. Sebaliknya orang yang sabar akan selalu dapat mengambil keputusan yang tepat dalam kehidupannya.
Karena itu, dapat dikatakan bahwa kesabaran menyelesaikan sebagian masalah, sebaliknya ketidaksabaran dapat menambah masalah dalam kehidupan pribadi dan kelompok.

                                                                              Wujud kesabaran
            Dengan demikian, kesabaran sangat penting dalam menjalani hidup ini. Hanya saja wujudnya berbeda-beda sesuai dengan keadaan yang dihadapi, dan masing-masing wujud kesabaran itu mempunyai makna sendiri dalam tasawuf. Misalnya kesabaran untuk  menahan dorongan nafsu seksual yang haram disebut iffah (suci). Sebaliknya, mengikuti dorongan nafsu seksual disebut bejat, pezina dan pelacuran.
            Kemudian kesabaran untuk menahan dorongan perut agar tidak mengkonsumsi makanan dan minuman yang haram atau tidak baik baginya disebut jiwa yang mulia, sedang ketidakmampun menahan dorongan perut disebut jiwa yang rakus, hina dan kerdil.
            Kesabaran untuk menahan diri dari pembicaraan yang tidak perlu atau tak bermanfaat  disebut menyimpan rahasia. Sebaliknya kebiasaan membicarakan hal-hal yang haram atau tidak perlu atau tidak bermanfaat dapat menjadi fitnah, cacian dan menyebarkan dusta.
            Kesabaran untuk hidup sederhana disebut zuhud, dan kesabaran untuk hidup cukup, walau sebenarnya kekurangan, disebut qana’ah. Sebaliknya ketidaksabaran untuk menjalani hidup seperti ini disebut rakus.
            Kesabaran untuk menahan rasa marah disebut murah hati atau hati lembut. Sebaliknya ketidakmampuan menahan rasa marah atau gampang marah disebut ghadlab  (pemarah).
            Kesabaran untuk menahan diri dari sikap yang biasa terburu-buru atau tergopoh-gopoh disebut tenang atau tegar. Sebaliknya bila suka terburu-buru disebut gegabah atau sembrono.
            Kesabaran dalam menghadapi tantangan di segala bidang kehidupan disebut syaja’ah (berani). Sebaliknya, ketidakberanian menghadapi tantangan disebut jubun (pengecut atau penakut).  
Kesabaran untuk menahan diri agar tidak melakukan balas dendam terhadap orang yang pernah menyakiti, padahal ada peluang untuk berbuat itu disebut pemaaf. Sebaliknya ketidakmampuan menahan diri dari membalas dendam disebut pendendam atau penyiksa.                                                                       
Kesabaran untuk menahan dorongan mempertahankan kekayaan agar tidak dibagi kepada orang lain yang membutuhkannya disebut dermawan. Sebaliknya sikap menahan kekayaan untuk dinikmati sendiri disebut pelit.
Kesabaran untuk menahan diri dari memakan, meminum dan berhubungan seks pada saat tertentu, seperti siang hari, disebut puasa. Sebaliknya ketidakmampuan menahan diri dari makanan, minuman dan hubungan seksual disebut tidak berpuasa.
Kesabaran untuk menahan dorongan jiwa yang bersikap malas disebut sigap. Sebaliknya membiarkan diri dalam dorongan sikap malas disebut pemalas atau tidak kreatif.
Kesabaran untuk menahan diri dari dorongan jiwa yang ingin memberi beban atau tanggung jawab kepada orang lain, terutama di kala sulit, disebut jantan. Sebaliknya melempar tanggung jawab kepada orang lain agar terhindar kesulitan disebut pengecut.
Dengan demikian, kesabaran dapat muncul dalam berbagai bentuk sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Masing-masing wujud itu mempunyai makna sendiri dalam tasawuf, sehingga jelas keterkaitan yang erat antara sikap sabar dengan sikap-sikap sufistik yang lain.   
Masalahnya sekarang, bagaimana menumbuhkan sikap sabar pada diri kita. Dalam hal ini  harus diperhatikan bahwa kesabaran sangat ditentukan oleh dua hal, yaitu dorongan hati dan peluang. Misalnya orang bersabar untuk tidak berjudi  ditentukan oleh dorongan hatinya dan peluang yang ada.
Kalau dorongan hatinya dan peluang berjudi tidak ada, maka orang itu mudah bersabar untuk itu. Sebaliknya kalau ada dorongan hati dan peluang untuk berjudi itu ada, maka sulit bagi orang itu bersabar menahan diri dari perbuatan judi.
Begitu pula bersabar untuk tidak melakukan korupsi juga ditentukan oleh dorongan hati dan peluang untuk itu. Kalau dorongan hati dan peluang untuk itu tidak ada, maka mudah  bersabar. Sebaliknya kalau dorongan hati dan peluang ada, maka sulit bersabar. Tetapi kalau orang bisa bersabar ketika ada peluang, maka pahalanya lebih besar dibanding dengan kesabaran yang disebabkan oleh tidak adanya peluang.
Karena itu, untuk bersabar orang harus mengendalikan dorongan hatinya dengan zikir dan ibadah lainnya. Sedang peluang harus dihindari dengan menutup peluang ke arah perbuatan yang mengganggu kesabaran. Misalnya untuk bersabar dari korupsi, maka harus menghindari pekerjaan yang membiasakan korupsi. Begitu pula kasus-kasus yang lain.
Untuk menutup peluang atau mencari peluang yang merusak kesabaran sangat tergantung pada dorongan hati. Karena itu pada akhirnya, kesabaran ditentukan oleh dorongan hati. Hatilah kemudian yang harus dilatih dengan hal-hal yang positif agar selalu terdorong kepada perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk.
Perbuatan baik selalu menyenangkan hati, dan perbuatan buruk biasanya mengganggu perasaan. Karena itu, jika dapat bersabar dalam berbuat baik, maka terb
ukalah satu peluang untuk hidup bahagia.     

1 comment: