Thursday, December 29, 2011

Syukur

           Istilah “syukur” berasal dari kata “syakara” yang berarti terima kasih, memuji, dan semoga Allah memberi pahala.
 Tetapi pada mulanya istilah “syukur” berarti menonjolnya bekas makanan  pada tubuh binatang dengan jelas, maksudnya binatang kelihatan lebih gemuk karena makanannya. Ada sebuah hadits yang menyebut istilah “syukur” dalam pengertian ini:
“Sesungguhnya binatang-binatang itu bersyukur dagingnya” (HR Tirmizi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Maksudnya binatang itu jadi gemuk dan dagingnya bertambah karena makanannya.
Menurut Nurcholish Madjid, sikap syukur diwujudkan dengan pujian kepada Allah dengan mengucapkan hamdalah, yaitu ucapan alhamdulillah (al-hamd-u li ‘l-Lah, artinya segala puji bagi Allah), dan mengucapkan atau membaca formula itu disebut tahmid. Tahmid sering disertai dengan ucapan tasbih, yaitu subhanallah (subhan-a ‘l-Lah, artinya Maha Suci Allah).

 
Tasbih mengandung makna pembebasan diri dari buruk sangka kepada Allah atau pembebasan Allah dari buruk sangka kita. Karena itu, sebenarnya tasbih memiliki semangat makna yang sama dengan istigfar. Dalam Kitab Suci buruk sangka kepada Allah disebut sebagai salah satu perangai orang yang ingkar kepada-Nya (kafir). Jadi, tasbih sesungguhnya merupakan permohonan ampun kepada Allah atas dosa buruk sangka kepada-Nya.
Buruk sangka kepada Allah dapat mengancam kita setiap saat. Sumber buruk sangka kepada-Nya itu antara lain ialah ketidakmampuan kita memahami Tuhan, karena sepintas lalu kita misalnya merasa telah berbuat baik dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Jika benar demikian, maka sesungguhnya kita telah terjerembab ke dalam bisikan setan yang paling berbahaya.
Pertama, kita merasa telah berbuat baik. Kedua, kita merasa berhak menagih Tuhan bahwa perbuatan baik kita itu semestinya mendapatkan balasan berupa kebaikan pula. Ketiga, karena itu kemudian kita protes atau tidak terima bahwa kita mengalami hal-hal yang tidak cocok dengan semestinya.
Itu semua dapat berujung pada kesombongan (istikbar, takabbur) dan tinggi hati yang merupakan dosa pertama dan paling berbahaya pada makhluk (dilambangkan dengan kesombongan dan ketinggi-hatian iblis ketika menolak perintah Tuhan untuk mengakui keunggulan Adam dan bersujud kepadanya, suatu penuturan dalam Kitab Suci yang amat terkenal). Ini semua merupakan dosa buruk sangka kepada Allah, yang harus dihapus dengan tasbih.
Karena itu, tasbih merupakan pendahuluan bagi tahmid. Sebab tahmid memuji Allah, yang sebenarnya tidak akan terwujud tanpa terlebih dahulu membebaskan diri dari buruk sangka kepada-Nya itu. Tasbih adalah proses yang kita perlukan untuk menghapus pesimisme dan pandangan negatif kepada Tuhan. Tasbih adalah proses meratakan jalan agar tidak ada halangan berupa sikap-sikap tidak berpengharapan kepada Allah. Hanya setelah jalan itu rata serta bebas dari halangan, maka kita dapat melanjutkan dengan tahmid, memuji Allah, menghayati kebaikan Allah melalui kasih dan sayang-Nya kepada kita.
Pengalaman ketuhanan berupa penghayatan akan Tuhan sebagai Yang Maha Terpuji, Maha Baik, Maha Pengasih dan Maha Penyayang adalah bentuk religiusitas yang amat berpengaruh kepada perolehan kebahagiaan seseorang. Di sini ada segi yang sangat halus dan mungkin sulit dipahami, yaitu bahwa menurut sebuah hadits qudsi (firman Allah lewat pengkalimatan oleh Nabi) yang mengatakan bahwa Allah mengikuti hamba-Nya kepada-Nya: Jika seorang hamba (manusia)  mempunyai prasangka baik kepada-Nya, maka Dia pun akan menganugerahkan kebaikan kepada hamba itu. Dan persangkaan kepada Allah yang paling baik ialah persangkaan bahwa Dia adalah kasih kepada kita. Sebab Allah sendiri dalam Kitab Suci menfirmankan bahwa sifat kasih atau rahmah adalah sifat yang “dipastikan” atau “diwajibkan” atas diri-Nya dan bahwa sifat kasih itu meliputi atau  mencakup segala sesuatu.
Selanjutnya pengalaman ketuhanan melalui syukur akan membuat kita senantiasa berpengharapan kepada Allah tanpa batas. Allah tampil kepada kita sebagai al-shamad, tempat harapan. Secara kejiwaan adanya harapan adalah pangkal kebahagiaan yang amat penting. Dan harapan itulah yang membuat manusia merasa lapang dalam hidup dan mampu bertahan terhadap tantangan dan pancaroba.
Seperti dikatakan dalam sebuah ungkapan bijak: “Alangkah sempitnya hidup ini jika tidak karena lapangnya harapan”, dan harapan yang akan melapangkan hidup ini ialah harapan kepada Allah, Yang Maha Tinggi, yang transendental. Harapan selain kepada Allah adalah dangkal dan bersifat jangka pendek atau malah bernilai semu semata, yang banyak mengecoh manusia zaman moderen ini. Martin Lings (Abu Bakr Siraj al-Din), seorang muslim Inggris, ahli tasawuf yang saleh menulis:
“Sebenarnya ungkapan bahwa ‘manusia tidak dapat hidup tanpa harapan’ terbukti sesungguhnya sangat benar. Hanya setelah sebagian besar manusia tidak lagi percaya kepada kemungkinan suatu kemajuan vertikal, yaitu kemajuan pribadi menuju Yang Abadi dan Yang Mutlak, maka manusia mulai mengarahkan harapannya kepada kemajuan horizontal yang samar-samar untuk seluruh kemanusiaan menuju ke negara sejahtera duniawi yang banyak alasan untuk meragukannya tidak saja dari segi kemungkinannya (untuk terwujud), tapi juga dari segi apakah hal itu memang diinginkan, dengan  asumsi bahwa hal itu akan merupakan  hasil dari kecenderungan yang sekarang berlaku, dan yang bagaimanapun juga tidak akan ada orang yang bakal pernah bebas untuk menikmatinya dalam jangka waktu lebih dari beberapa tahun, yaitu masa singkat hidup manusia”.
Sikap syukur tentu saja ditujukan kepada Allah, sebagaimana diisyaratkan dalam lafaz “hamdalah”. Tetapi karena begitu banyak kebaikan yang kita sendiri peroleh dari bersyukur kepada Allah itu yang justru akan memberi kita kebahagiaan, maka jika kita bersyukur kepada Allah sesungguhnya  kita bersyukur kepada diri sendiri.
Allah tidak perlu kepada sikap syukur kita, sebagaimana Dia juga tidak memerlukan pujian kita. Seperti halnya keseluruhan agama sendiri bukanlah untuk kepentingan Allah, melainkan untuk kepentingan manusia, maka demikian pula sikap bersyukur kepada-Nya.
                                                  
                                                                  Cara Bersyukur   
Dalam tasawuf syukur dapat dilakukan dengan hati, lisan, dan badan. Syukur dengan hati ialah selalu ingat Allah (zikir), syukur dengan lisan ialah mengucapkan tahmid (pujian) kepada Allah, dan syukur dengan badan ialah mentaati ajaran Allah, yaitu menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Sejalan dengan itu Sa’id Hawwa berpendapat bahwa syukur terdiri atas tiga unsur, yaitu ilmu, hal (kondisi spiritual) dan amal perbuatan. Ilmu adalah dasar yang melahirkan kondisi spiritual, dan kondisi spiritual menimbulkan amal perbuatan.
Ilmu adalah mengetahui nikmat dari pemberi nikmat. Kondisi spiritual adalah kegembiraan yang terjadi karena pemberian nikmatnya. Sedang perbuatan adalah melaksanakan apa yang menjadi tujuan pemberi nikmat dan apa yang disukainya. Amal perbuatan ini berkaitan dengan hati, lisan dan anggota badan lainnya.
            Mengenai syukur Allah berfirman:
  1. “Dan bersyukurlah kepada Allah,
        Jika Ia hanya yang kamu sembah” (Al-Baqarah/ 2: 172).
  1. “Maka ingatlah akan Daku,
Aku ‘kan ingat kepadamu.
 Bersyukurlah kepada-Ku
  Dan  janganlah kamu ingkar kepada-Ku” (Al-Baqarah/ 2: 152).
  1. “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu,
Sedang kamu tiada tahu suatu apa,
Dan memberi pendengaran, penglihatan dan hati,
Supaya  kamu bersyukur kepada(-Nya) ” (An-Nahl/ 16: 78).
  1. “Sembahlah Ia dan  bersyukurlah pada-Nya.
Kepada-Nyalah kamu  dikembalikan” (Al-Ankabut/ 29: 17).
  1. “Allah  memberi pahala  kepada orang yang bersyukur” (Ali ‘Imran/ 3: 144).
  2. “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan: Jika kamu bersyukur,
        Pasti akan Kuberi kamu (karunia) lebih banyak lagi.
        Tapi jika kamu tiada bersyukur,
         Sungguh,  azab-Ku amatlah dahsyat” (Ibrahim/ 14: 7).
  1. “Sungguh, dalam  yang demikian itu,
Ada bukti-bukti bagi tiap orang yang selalu  sabar dan banyak bersyukur” (Luqman/ 31: 31).
Kemudian ada sejumlah hadits yang menjelaskan keutamaan syukur, di antaranya sebuah hadits qudsi di mana Allah berkata kepada Nabi Isa:
            “Hai Isa Aku akan bangkitkan setelahmu satu umat. Bila mereka peroleh yang mereka sukai mereka memuji Tuhan dan bersyukur. Bila mereka peroleh yang mereka tidak sukai mereka tetap merasa puas dan sabar” (HR Ahmad, Thabrani, al-Hakim, Baihaqi).
            Hadits-hadits lain ialah:
            1. Nabi Muhammad melakukan shalat malam hingga kedua kakinya bengkak lalu ditanya: Mengapa engkau lakukan ini, padahal Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang. Lalu Nabi bersabda:
“Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang banyak bersyukur” (HR Bukhari dan Muslim).
2.      Nabi Muhammad berkata kepada Mu’adz:
“Demi Allah hai Mu’adz, sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu. Maka janganlah engkau lupa setiap kali usai shalat untuk mengucapkan: Ya Allah tolonglah aku untuk mengingatmu, bersyukur dan beribadah kepadamu dengan baik” (HR Bukhari dan Muslim).
3.      Nabi Muhammad biasa berdoa:
“Ya Allah tolonglah aku untuk kebaikan dan jangan tolong untuk keburukan diriku, bantulah aku untuk kebaikan diriku dan jangan bantu untuk keburukan diriku, lakukanlah rekayasa untukku dan janganlah engkau rekayasa aku, berilah aku petunjuk dan mudahkanlah petunjuk itu bagiku, tolonglah aku menghadapi orang yang berbuat zalim kepadaku. Ya Tuhan jadikanlah aku orang yang banyak bersyukur kepadamu, banyak mengingatmu, sangat takut kepadamu, menurut kepadamu, tunduk patuh kepadamu, banyak beribadah kepadamu, dan senantiasa kembali kepadamu. Ya Tuhan terimalah tobatku, cucilah dosaku, kabulkanlah doaku, mantapkan hujjahku, beri hidayah hatiku, luruskan lidahku dan lepaskan kedengkian hatiku” (HR Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad dan Ibnu Hibban).
            Itulah ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan syukur kepada Allah. Manusia akan bersyukur bila merenungkan kelebihan-kelebihan yang dilimpahkan oleh Allah kepadanya, terutama kalau dibandingkan dengan makhluk yang lain.
            Misalnya manusia memiliki martabat yang lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk yang lain. Ketika dulu Nabi Adam diciptakan malaikat  Iblis diperintah untuk bersujud kepada Adam sebagai penghormatan terhadap martabat manusia yang tinggi itu.
            Lalu manusia memiliki bentuk tubuh yang lebih indah dibanding dengan makhluk yang lain, seperti binatang. Manusia juga memiliki kelengkapan tubuh yang lebih baik dibanding dengan binatang. Misalnya manusia memiliki tangan yang memungkinkan manusia bekerja dan mengerjakan hal-hal untuk memenuhi keperluannya.
            Kelebihan lain manusia ialah memiliki akal pikiran dan kecerdasan yang dengannya manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membangun peradaban bagi kesejahteraan mereka sendiri. Makhluk yang lain tidak memiliki kecerdasan yang setinggi kecerdasan manusia, sehingga tidak dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kesejahteraan mereka.
            Kemudian manusia memiliki hati nurani yang memungkinkan mereka memiliki solidaritas dan toleransi dalam membina masyarakat dan menopang peradaban yang dibangun. Binatang misalnya tidak memiliki solidaritas setinggi solidaritas manusia, sehingga binatang cenderung saling terkam dan menghancurkan.
            Dengan martabat yang tinggi, kecerdasan dan hati nurani manusia mendapat mandat dari Allah menjadi khalifah di muka bumi untuk mengelola dan memakmurkan kehidupan dunia ini. Karena hanya makhluk yang memiliki atribut-atribut seperti itulah yang dapat menjadi khalifah di muka bumi.
            Lebih dari itu manusia diberi nikmat iman dan Islam yang memungkinkan mereka mengetahui hidup sesudah mati, yakni bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, sedang kehidupan yang lebih kekal adalah akhirat kelak. Kemudian dengan iman dan Islam manusia dapat menjalani hidup ini dengan selamat dari dunia sampai akhirat.
            Dengan demikian, ada alasan-alasan yang sangat rasional bagi manusia untuk bersyukur kepada Tuhan, kecuali mereka yang mengingkari nikmatnya. Mereka yang mengingkari nikmat Tuhan dianggap sombong, karena tidak mengakui nikmat yang diperoleh dari Tuhan.

                                                                                             Tingkatan Syukur

            Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah, sikap syukur terdiri atas tiga tingkatan. Pertama ialah mengakui nikmat dari Allah, memuji karena nikmatnya dan menggunakan nikmat itu untuk mencari ridlanya dengan berbuat baik kepada orang lain. Syukur seperti ini akan menjadikan terpeliharanya nikmat itu, dan malah akan terus bertambah sesuai dengan janji Allah bahwa Ia akan melipatgandakan nikmatnya kepada orang yang mensyukurinya.
            Kedua adalah syukur terhadap hal-hal yang tidak menyenangkan dengan menahan marah, menyembunyikan keluh kesah, memelihara sopan santun dan menempuh jalan ilmu. Sopan santun dan ilmu mendorong orang untuk bersyukur kepada Allah, dalam keadaan senang atau susah.
Syukur jenis yang kedua ini lebih sulit, karena mensyukuri kenikmatan lebih mudah dari pada kesulitan. Itu sebabnya syukur yang kedua ini lebih tinggi tingkatannya dari pada syukur yang pertama. Sikap syukur ini menuntut kesabaran dan sama dengan sikap ridla yang akan dibahas nanti. Orang yang sudah memiliki sikap ridla tidak membedakan antara kenikmatan dan kesulitan, karena keduanya datang dari Allah.
Ketiga adalah syukur yang membuat manusia hanya melihat pemberi nikmat, yaitu Tuhan, bukan kenikmatan atau kesulitan yang dialami. Orang yang mencapai tingkatan syukur yang ketiga ini melakukan kesaksian ubudiyah, kesaksian cinta dan kesaksian pengesaan.
Kesaksian ubudiyah ialah kesaksian hakikat ubudiyah dan kekuasaannya. Hubungan manusia dengan Tuhan di sini ibaratnya  seperti hubungan budak dengan tuannya. Sikap budak itu biasanya selalu dihinggapi rasa takut jika dia belum berbuat seperti yang diharapkan oleh tuannya. Jadi, tidak lagi peduli dirinya mengalami kenikmatan atau kesulitan.
Kesaksian cinta adalah kesaksian hamba yang merasakan manisnya apapun yang datang dari Allah, karena semua itu disikapi dengan rasa cinta. Penderitaan atau kesulitan yang sedang dialami dirasakan manis, karena orang yang jatuh cinta selalu merasa manisnya segala hal yang datang dari sang Kekasih.
Kalau dia belum merasakan manisnya minimal dia merasa ringan terhadap kesulitan yang dihadapi. Banyak kisah yang memperkuat dugaan ini. Misalnya pernah terjadi orang dipukul,  dia diam saja tidak merasakan apa-apa. Tetapi pada pukulan terakhir dia mengerang kesakitan. Lalu dia ditanya mengapa demikian? Dia menjawab bahwa “mata yang memandang diriku waktu dipukul tadi menghalangiku untuk merasakan sakitnya, tetapi ketika  pandangan itu hilang, maka merasakan sakitnya pukulan itu”.
Kisah itu menjelaskan bahwa keadaan spiritual seperti itu bersifat sementara. Karena adakalanya kekuasaan cinta begitu kuat, sehingga orang yang jatuh cinta merasakan manisnya apa yang dirasakan pahit oleh orang lain, merasa tenang terhadap sesuatu yang ditakuti oleh orang lain, merasakan halus apa yang dirasakan kasar oleh orang lain. Kekuatan dan kelemahan perasaan ini tergantung pada dominannya rasa cinta hati orang yang jatuh cinta. Sikap syukur seperti ini sama dengan mahabbah yang akan dibahas nanti.
Kemudian kesaksian pengesaan Tuhan ialah kesaksian yang tidak lagi merasakan kenikmatan atau penderitaan. Karena pengesaan Tuhan dapat melenyapkan simbol-simbol lahiriah dan membuat manusia  yang bersyukur mengalami fana’ (lenyap) dalam pengesaan Tuhan. Fana’ inilah yang menyebabkan manusia berada di luar konteks kenikmatan atau penderitaan.
Jelaslah bahwa sikap syukur berkaitan erat dengan sikap-sikap sufistik lainnya, seperti sabar, ridla dan mahabbah. Selain itu sikap syukur menimbulkan rasa puas di hati, dan rasa puas melahirkan rasa senang dan bahagia. Ini sebabnya syukur menjadi sebuah sikap yang mendatangkan rasa bahagia bagi yang bersangkutan.                           

No comments:

Post a Comment