Thursday, December 29, 2011

Tasawuf untuk Anak


            Ada kesan selama ini dalam masyarakat muslim bahwa tasawuf itu seolah-olah hanya menjadi keperluan orang-orang yang sudah tua, seperti orang yang menjelang dan sudah pensiun, karena mereka perlu mempersiapkan diri menghadapi kematian dan tasawuf mengajarkan hal-hal yang baik untuk dibawa mati kelak.
            Kesan seperti itu sebenarnya  kurang tepat, sebab kalau kita berpikir tentang kematian, maka kematian itu tidak mengenal umur. Banyak orang meninggal ketika masih muda atau malah remaja dan anak-anak. Kita pun kita tidak tahu kapan kita akan meninggal. Kalau kita berpikir untuk menyiapkan diri menghadapi kematian setelah berumur tua, tetapi nyatanya kita meninggal sewaktu masih muda, maka mungkin kita tidak siap menghadapi kematian, yang berarti kita akan celaka dan merugi.

 
Apalagi kalau kita ingat bahwa tasawuf itu merupakan sikap dan pandangan hidup yang seharusnya diajarkan kepada anak-anak sejak dini agar karakternya masih mudah dibentuk. Kalau orang sudah dewasa dan tua, maka tidak mudah membentuk karakternya yang baik.
Misalnya banyak orang yang dari muda hingga tua tetap berjiwa egoistis, congkak, dan selalu mau menang sendiri. Karakter seperti itu tidak mudah diubah menjadi rendah hati, ramah, dan peduli kepada sesama manusia dan makhluk Tuhan yang lain (tumbuh-tumbuhan dan binatang).
Kecuali kalau orang itu ditimpa musibah, seperti sakit berat yang berlangsung lama, atau kedudukannya jatuh, atau kehilangan pekerjaan, atau usahanya bangkrut. Kalau orang ditimpa musibah seperti itu biasanya agak mudah mengubah sikap hidupnya menjadi lebih baik.
Tetapi tidak semua orang dikasih musibah seperti itu, sehingga tidak perlu menunggu musibah untuk menanamkan tasawuf dalam diri kita masing-masing. Tasawuf sebaiknya tasawuf ditanamkan sejak dini. Misalnya tasawuf itu diajarkan di madrasah, yaitu madrasah Ibtidaiyah (setingkat  SD), Tsanawiyah (setingkat  SMP), dan Aliyah (setingkat SMA).
Di madrasah-madrasah itu sebaiknya diajarkan sikap-sikap sufistik, seperti shidiq (jujur), sabar, ikhlas, tawakal, raja’ (optimisme), istiqamah (konsisten), ridha (senang, maksudnya seperti senang kepada Allah), mahabbah (cinta, maksudnya cinta kepada Allah), khauf (takut, maksudnya takut kepada Allah), syukur (berterima kasih kepada Allah SWT), zuhud (sederhana), wara’ (menjauhi hal-hal yang haram, atau malah yang syubhat), tobat, dan sebagainya, yang disertai dengan praktek ibadah secara konsisten.
Orang yang taat beribadah seperti mengerjakan shalat, puasa, dan zakat atau sedekah, dan haji lebih mudah menerima sikap-sikap sufistik itu dari pada mereka yang sering meninggalkan ibadah. Syarat dan rukun ibadah-ibadah ini perlu diajarkan dengan baik kepada anak-anak.
Hanya saja perlu juga disadari bahwa pengajaran itu tidak cukup hanya dengan lisan, tetapi harus disertai dengan contoh yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Guru dan karwawan madrasah harus memberi contoh yang baik kepada anak-anak. Misalnya kalau  azan dikumandangkan di mesjid atau mushalla sebaiknya mereka bergegas ke sana, kecuali kalau ada kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan.
Kalau azan dikumandangkan di mesjid sedang guru dan karyawan masih mengobrol di luarnya, apalagi tidak ikut shalat berjamaah dalam mesjid itu bukan contoh baik. Begitu pula kalau ingin menanamkan sikap shidiq (sikap jujur), maka kejujuran harus ditegakkan di madrasah itu. Kalau di madrasah itu ada praktik yang tidak jujur, seperti korupsi, manipulasi, dan semacamnya, maka tidak mudah menumbuhkan sikap jujur di kalangan siswa-siswinya.
Hal yang sama berlaku di rumah, terutama kalau anak-anak belajarnya tidak madrasah, tetapi di sekolah sekular, seperti SD, SMP, dan SMA. Di sini keteladanan orang tua bagi anak-anak mutlak diperlukan. Kalau tidak ada keteladanan, maka sulit sekali menanamkan sikap sufistik itu.
Misalnya kalau orang tua memerintahkan anak-anaknya untuk mengerjakan shalat, tetapi mereka sendiri tidak mengerjakannya, maka mungkin sekali anak-anak itu juga tidak mengerjakan shalat, bahkan mungkin mereka mencibirkan orang tuanya. Anak menjadi durhaka kepada orang tua, karena kesalahan orang tua sendiri.
Perlunya memberi contoh yang baik itu karena tasawuf bukan hanya pengetahuan, tetapi lebih dari itu ia merupakan sikap dan padangan hidup. Itu sebabnya dalam sejarah tasawuf orang yang mau belajar tasawuf tidak langsung diajari pengetahuan tasawuf, tetapi disuruh melakukan hal-hal yang diharapkan bisa membentuk karakter yang baik.
Misalnya kisah yang terkenal mengenai masalah ini adalah Syibli sewaktu menyatakan niatnya ingin belajar kepada sufi besar, yakni Abul Qasim bin Muhammad al-Junaid, yang biasa dipanggil Junaid al-Bagdadi (w. 298 H/ 910 M) di Irak.
Saat itu Syibli adalah seorang pejabat tinggi dalan pemerintahan Abbasiyah saat itu yang tiba-tiba tertarik kepada tasawuf. Mungkin dia muak dengan kehidupan praktik pemerintahan yang bergelimang dengan kemewahan dunia dan sering diwarnai dengan praktik yang tidak jujur.
Syibli menyatakan keinginannya belajar tasawuf kepada Junaid. Junaid berkata: “Boleh”.
“Bagaimana caranya?”, tanya Syibli.
“Anda harus jadi pengemis!”, jawab Junaid.
Syibli tidak bertanya lagi dan langsung melepas pakaian kebesarannya sebagai pejabat tinggi, kemudian memakai pakaian compang-camping dan mengemis di pasar-pasar di Bagdad. Dia menjadi pengemis selama empat tahun. Hasilnya disumbangkan semua kepada orang miskin, karena dia sendiri sudah kaya.
Dengan cara seperti itu sikap egoistis, congkak, dan mau menang sendiri akan hilang, dan kemudian digantikan dengan sikap sufistik, yaitu rendah hati (tawadhu’), ramah dan peduli kepada sesama manusia dan makhluk Tuhan yang lain, sehingga dapat melaksanakan sikap-sikap sufistik yang disebut  tadi dengan baik.
Akhirnya, Syibli menjadi sufi besar yang dikenal sampai saat ini. Kalau kita ingin mengajarkan tasawuf dalam diri dan keluarga, termasuk anak-anak, dan memang seharusnya demikian  ada baiknya kita mencontoh kepada Syibli, tidak harus mengemis, tetapi cukup membuang kebiasaan yang buruk dan menggantinya dengan kebiasaan yang baik di rumah dan sekolah.            
           

1 comment:

  1. pak, kalu kalau buku yang membahas tentang penanaman nilai atau ajaran tasawuf sejak dini (untuk anak) apakh ada? minta rekomendasinya untuk referensi...
    terima kasih

    ReplyDelete