Bisnis
Syariah Menghadapi Perdagangan Bebas
Oleh
Sudirman Tebba
Konferensi tingkat menteri WTO (World Trade Organisation –
Organisasi Perdagangan Dunia) yang berlangsung di Bali awal Desember 2013 mencapai
kesepakatan yang pada intinya melicinkan langkah organisasi ini menjalankan
perdagangan bebas di kalangan negara anggota, walaupun sebelumnya sempat
terjadi pertentangan di kalangan mereka.
Pertentangan itu terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara
negara-negara maju dengan negara-negara sedang berkembang dalam organisasi ini
dalam hal menjalankan perdagangan bebas. Bagi negara-negara maju perdagangan
bebas sangat menguntungkan, karena akan memperluas pasar produk-produknya, baik
barang maupun jasa. Sedangkan negara-negara sedang berkembang belum tentu siap
menjalankan perdagangan bebas, karena tidak mempunyai kemampuan dana, skill, dan
jaringan yang kuat seperti yang dimiliki negara-negara maju, sehingga dikhawatirkan
dunia usaha di negara-negara sedang berkembang akan kalah bersaing dan gulung
tikar.
Kekhawatiran terhadap masalah itu
yang menimbulkan perbedaan kepentingan antara negara-negara maju dengan
negara-negara sedang berkembang dalam organisasi perdagangan dunia ini. Tetapi
perdagangan bebas yang akan dijalankan organisasi ini tidak hanya membawa
kerugian bagi negara-negara sedang berkembang, karena para konsumen di negara-negara
sedang berkembang diuntungkan oleh perdagangan bebas, sebab mereka bisa
mendapatkan barang dan jasa yang lebih murah. Hal ini karena barang dan jasa
dapat keluar masuk di antara negara-negara anggota tanpa dikenakan biaya,
sehingga harga barang dan jasa sama dengan harga di negara asalnya.
Jadi, boleh dibilang ada pihak yang
diuntungkan dan ada pula pihak yang dirugikan oleh perdagangan bebas dalam kerangka
WTO. WTO sendiri resmi berdiri pada 1 Januari 1995 menggantikan sekretariat
GATT (General Agreement on Tariff and Trade). Pembentukannya berdasarkan
kesepakatan negara-negara peserta Putaran Uruguay. Putaran Uruguay mulai di kota Punta Del Este
di Uruguay pada bulan September 1986 dan sebenarnya dijadwalkan selesai pada
bulan Desember 1990. Namun pertentangan yang tajam terus berlangsung beberapa
konflik antara Amerika Serikat dan Uni Eropa, khususnya Prancis mengenai subsidi
pertanian membuat mundur hingga tiga tahun. Walaupun berjalan sangat alot,
namun pada tanggal 15 April 1994 negara-negara peserta Putaran Uruguay berhasil
membuat kesepakatan yang disebut Marakesh Protocol.
Tujuan utama diselenggarakannya
Putaran Uruguay adalah untuk menciptakan aturan-aturan dasar dalam rangka
mengendalikan kecenderungan meningkatnya proteksionisme baru dan berusaha
mengubah arahnya agar perdagangan internasional yang berlangsung menjadi kian
bebas.
Selain itu untuk pertama kalinya Putaran
Uruguay membicarakan perdagangan internasional di sektor jasa, pertanian, dan
investasi asing. Di situ juga mulai dinegosiasikan aturan-aturan internasional
bagi perlindungan hak cipta dan perbaikan mekanisme penyelesaian konflik
melalui perbaikan proses pembuatan keputusan dan penyelesaian pengaduan oleh
GATT.
GATT merupakan perjanjian
internasional yang dibentuk pada tahun 1947 dengan tujuan mempromosikan
hubungan perdagangan internasional yang lebih bebas melalui rangkaian negosiasi
atau perundingan perdagangan multilateral. Bermarkas di Genewa GATT berusaha
merangkul sebanyak mungkin negara untuk duduk bersama guna menurunkan tingkat
tarif secara serentak.
Pada awalnya GATT ini merupakan
bagian dari ITO (International Trade Organisation) yang piagam dasarnya
dinegosiasikan oleh sejumlah pendirinya di Havana Kuba pada tahun 1948. Tujuan
pembentukan organisasi perdagangan itu adalah untuk mengatur keseluruhan
hubungan dagang antarnegara. Tetapi senat Amerika Serikat dan parlemen dari
beberapa negara menolak untuk meratifikasi perjanjian pembentukan ITO, sehingga
lembaga itu tidak berfungsi. Untuk selanjutnya GATT tampil sebagai
penggantinya. Sosok dan cakupannya yang tidak begitu ambisius menjadikan GATT
lebih disukai dari pada ITO.
Dalam melaksanakan fungsinya GATT
bertumpu pada tiga prinsip dasar, yaitu:
1.
Prinsip
nondiskriminasi. Prinsip ini mengacu kepada kewajiban setiap negara untuk
menerima prinsip-prinsip utama untuk semua negara tanpa kecuali dan tanpa
syarat. Satu-satunya pengecualian dari prinsip ini adalah masih dibenarkan
perbedaan tarif dalam kasus integrasi ekonomi, seperti persekutuan pabean, di
mana sesama anggota memberikan tarif yang lebih rendah dari pada untuk pihak
luar nonanggota dan dalam hubungan
perdagangan antara sebuah negara dengan negar lain yang pernah menjadi koloni
yang biasanya memperoleh akses istimewa. Dalam dua kondisi itulah
tindakan-tindakan yang berbau diskriminatif masih bisa ditolerir.
2.
Penghapusan
semua bentuk hambatan perdagangan non-tatif, seperti kuota, terkecuali untuk
produk-produk pertanian yang diakui rentan terhadap tekanan harga
internasional. Bagi negara-negara yang mengalami kesulitan dengan neraca
pembayarannya juga masih dibenarkan untuk memberlakukan hambatan non-tarif.
3.
Konsultasi,
artinya dalam mengatasi setiap masalah atau konflik semua negara anggota GATT
diimbau untuk menempuh jalan negosiasi secara damai. Perang tarif atau tindakan
balas membalas sejauh mungkin dihindari.
Sejalan dengan
itu telah dicapai berbagai kesepakatan di antara negara anggota, antara lain
mengenai tarif, kuota, tindakan anti dumping, dan subsidi. Mengenai tarif
negara-negara anggota sepakat untuk menurunkan tarif yang selama ini masih
diberlakukan untuk produk-produk industri dari rata-rata 4,7 persen menjadi 3
persen, sedangkan proporsi produk yang dibebaskan dari tarif akan ditingkatkan
dari 20 – 22 menjadi 40 – 45 persen. Tarif untuk beberapa sektor tertentu
dihapuskan sama sekali, misalnya untuk sektor farmasi, peralatan konstruksi,
perlengkapan medis, produk-produk kertas dan baja.
Soal
kuota negara-negara anggota sepakat untuk menggantikan kuota yang selama ini
masih diterapkan terhadap impor pertanian, tekstil dan pakaian jadi berdasarkan
perjanjian multifiber atau multifibre arrangement (MFA) dengan tarif restriktif
lebih rendah yang tingkatannya akan diturunkan secara bertahap dalam periode
sepuluh tahun. Sementara itu tingkat tarif untuk produk-produk pertanian juga
akan diturunkan hingga 24 persen bagi negara-negara berkembang dan hingga 36
persen di negara-negara industri. Sedangkan tarif untuk tekstil akan dikurangi
hingga 25 persen.
Mengenai
soal tindakan anti dumping Putaran Uruguay memutuskan ketentuan-ketentuan yang
lebih tegas dan cepat untuk mengatasi setiap perselisihan yang bersumber dari
penggunaan undang-undang anti dumping d banyak negara, meskipun GATT tidak
dapat melarang sepenuhnya penggunaan ketentuan seperti itu.
Mengenai
subsidi volume ekspor pertanian yang disubsidi akan dikurangi hingga 21 persen
dalam periode selama enam tahun. Sedangkan subsidi pemerintah untuk
kegiatan-kegiatan riset industri yang bersifat penelitian dasar dibatasi hingga
50 persen dari total biaya untuk riset terapan.
Bisnis Syariah
Semua
kesepakatan itu mengarah kepada perdagangan bebas, di mana lalu lintas barang
dan jasa di antara negara anggota tidak dikenakan biaya. Kondisi ini sangat
menguntungkan negara-negara maju untuk memperluas pasar produknya, karena
mereka memiliki dana, skill dan jaringan yang sangat memadai. Sebaliknya di
negara-negara sedang berkembang, seperti Indonesia, timbul kekhawatiran bahwa
kondisi itu akan menggilas dunia usaha yang ada, karena tidak siap dana, skill
dan jaringan yang memadai. Jangankan usaha yang baru akan tumbuh usaha yang
sudah jalanpun akan bangkrut karena kalah bersaing dengan usaha yang datang
dari negara-negara maju.
Salah
satu sebab kekhawatiran itu adalah sistem perbankan yang menyediakan dana bagi
dunia usaha, yaitu sistem bunga, di mana pengusaha yang menggunakan dana itu
kalau usahanya rugi tetap harus mengembalikan dana itu berikut bunganya. Tentu
saja kondisi ini sangat memberatkan. Apalagi orang yang baru mulai mengadakan usaha
tidak langsung berhasil, tetapi kadang bangkrut dulu atau jatuh bangun.
Dalam kondisi
demikian kelihatannya sistem keuangan yang tepat adalah sistem keuangan Islam
yang menganut sistem bagi hasil, di mana kalau usaha untung dibagi, tetapi
kalau rugi juga dibagi di antara kreditur dan debitur (profit and loss
sharing). Para pengusaha akan merasa lebih aman menggunakan dana seperti ini
dari pada dana yang menggunakan sistem bunga.
Sistem keuangan
Islam yang menggunakan sistem bagi hasil adalah mudharabah, musyarakah dan
murabahah. Istilah mudharabah berasal dari kata dharb fi al- ardh,
orang yang bepergian di atas bumi (yadhribuna fi al-ardh, mencari karunia Allah)
(Al-Muzzammil: 20).
Karena
pekerjaan dan perjalanannya mudharib berhak atas sebagian keuntungan usaha.
Dalam sunnah para fukaha bersandar pada praktek mudharabah antara Nabi SAW
dengan Khadijah sebelum pernikahannya ketika Nabi SAW mengadakan perjalanan
dagang ke Suriah untuk Khadijah. Jadi, dalil hukum yang dipergunakan untuk
mendukung model kontrak ini adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Ketika
mendefinisikan mudharabah para fukaha menitikberatkan pada adanya pembagian
dalam keuntungan. Untuk membedakan mudharabah dari jenis-jenis kemitraan yang
lain definisi di atas ditambah kata-kata dengan (modal) harta dari satu pihak
dan (modal) kerja dari pihak lain, sebagaimana definisi yang dikemukakan
al-Quduri bahwa mudharabah adalah sebentuk perjanjian untuk berpartisipasi
dalam keuntungan dengan (modal) harta dari satu mitra dan (modal) kerja dari
mitra lainnya. Menurut istilah yang
dipergunakan para fukaha Madinah mudharabah juga disebuh muqaradhah atau
qiradh.
Karena itu, mudharabah
dipahami sebagai kontrak antara paling sedikit dua pihak, yaitu pemilik modal
(shahib al-mal atau rabb al-mal) yang mempercayakan sejumlah dana kepada pihak
lain, dan pengusaha (mudharib) untuk menjalankan suatu aktivitas atau usaha.
Jenis kontrak ini berbeda dengan musyarakah, yang sama-sama menerapkan sistem
bagi hasil, tetapi semua pihak berhak turut serta dalam manajemen. Dalam
mudharabah pemilik modal tidak mendapat peran dalam manajemen. Jadi, mudharabah
adalah kontrak profit and loss sharing yang akan memberi pemodal suatu bagian
tertentu dari keuntungan/ kerugian proyek yang mereka biayai.
Mudharib
menjadi pengawas (amin) untuk modal yang dipercayakan kepadanya. Mudharib harus
menggunakan dana dengan cara yang telah disekapati dan kemudian mengembalikan
kepada rabb al-mal dan bagian keuntungan yang telah disepakati. Mudharib
menerima untuk dirnya sendiri dari sisa keuntungan itu.
Dalam kontrak
mudharabah pembagian keuntungan antara dua pihak harus ditetapkan secara proporsional.
Pemodal tidak secara otomatis mendapat keuntungan atau bagian yang telah
ditetapkan sebelumnya. Pemodal tidak bertanggung jawab atas kerugian di luar
modal yang telah diberikannya. Mudharib (mitra kerja) tidak turut menanggung
kerugian kecuali kerugian waktu dan tenaga.
Model kontrak
itu bisa sederhana dan bisa juga rumit, terbatas dan tidak terbatas. Mudharabah
sederhana bisa terdiri atas dua pihak yang menjalin kontrak, seorang investor
dan seorang usahawan atau pekerja, atau bisa juga terdiri atas satu orang pada
salah satu pihak, yaitu beberapa investor, atau kalau tidak, beberapa pekerja,
dan modelnya pun bisa beragam.
Mudharabah yang
rumit bisa mengambil beberapa bentuk, misalnya investor merupakan sebuah
kemitraan dan pekerjanya pun sebuah kemitraan. Jenis yang tidak terbatas atau
absolut adalah mudharabah dengan penyerahan modal tanpa penentuan jenis
pekerjaan, lokasi, waktu, kualitas kerja atau dengan siapa ia berdagang. Jenis
mudharabah yang terbatas adalah yang sebagian atau semua hal itu telah
ditentukan.
Ciri khas
kontrak mudharabah adalah peran ganda mudharib, yakni sebagai wakil (agen)
sekaligus mitra. Mudharib menjadi agen untuk rabb al-mal dalam setiap transaksi
yang dilakukannya pada modal, dan ia menjadi mitra rabb al-mal ketika mendapat
keuntungan. Hanya saja agen tidak berhak
mendapat keuntungan berdasarkan pekerjanaannya setelah keuntungan didapatkan,
tetapi bagian yang didapatkannya adalah sebagai mitra bagi rabb al-mal. Harta
mudharabah menjadi milik bersama antara mudharib dan rabb al-mal, dan bagian
mudharib kini didasarkan atas bagiannya yang tak dibagi dalam kepemilikan
bersama.
Semua pembagian
keuntungan harus dinyatakan sebagai rasio atau bagian dari total keuntungan.
Keuntungan tak dapat dinyatakan sebagai suatu persentase dari modal yang
diinvestasikan. Prinsip ini merupakan sine qua non (syarat penting) sebuah
perjanjian yang sah. Penyimpangan apapun dari prinsip itu atau dari kondisi
yang menggiring kepada ketidakpastian dalam persyaratan inmi akan membatalkan
perjanjian.
Meski
kelihatannya sama, ada perbedaan yang melampaui perbedaan semantik antara
sistem bagi hasil dan pinjaman berbunga. Tidak ada jaminan hasil atau
keuntungan dalam sistem bagi hasil, sedangkan dalam pinjaman berbunga seorang
debitur harus mengembalikan pokok pinjaman ditambah bunga yang sudah ditetapkan
sebelumnya kepada kreditur tanpa mempedulikan apakah ia untung atau rugi.
Dengan begitu,
pada pinjaman berbunga serbagian kerugian finansial langsung menjadi beban
debitur. Dalam mudharabah kerugian finansial sepenuhnya ditanggung pemodal,
karena mudharib hanya rugi waktu dan tenaga, dan tidak mendapat imbalan apapun
dari pekerjaannya (jika merugi). Jadi, dalam skema mudharabah modal tenaga dan
modal finansial punya kedudukan yang sama.
Pinjaman
berbunga dan mudharabah dapat dikatakan mewakili dua alternatif yang
berlawanan. Transaksi berdasarkan musyarakah menjadi jalan tengah antara
keduanya. Dalam kontrak musyarakah pihak pengusaha menyertakan modalnya di
samping modal dari investor. Dengan begitu, ia juga terbebani resiko kehilangan
modal. Di sinilah letak perbedaannya dengan mudharabah dan pinjaman berbunga.
Karena pihak pengusaha juga ikut menanamkan modalnya, maka ia dapat mengklaim
persentase laba yang lebih besar. Dalam
beberapa aspek lainnya musyarakah memiliki karakteristik yang sama dengan
mudharabah.
Secara istilah musyarakah
(dari kata Arab syirkah) berarti kemitraan dalam suatu usaha dan dapat
diartikan sebagai bentuk kemitraan antara dua orang atau lebih yang
menggabungkan modal atau kerja mereka untuk berbagi keuntungan serta menikmati
hak dan tanggung jawab yang sama.
Musyarakah bisa
berbentuk mufawadah atau kemitraan tidak terbatas, tidak tertutup dan sejajar,
setiap mitra sama-sama punya kewajiban menyumbang modal dan punya hak dalam
manajemen dan pengaturan usaha. Masing-masing mitra menjadi wakil dan penjamin
dari mitra lainnya. Kemitraan investasi yang lebih terbatas dikenal sebagai
‘inan (syirkah al-‘inan). Jenis kemitraan ini terjadi bila dua pihak atau lebih
turut memberikan modal, baik dengan uang, pikiran atau kerja (tenaga).
Musyarakah ‘inan terbatas pada usaha tertentu. Kedua mitra berbagi keuntungan
dengan cara yang disepakati dan menanggung kerugian sesuai dengan proporsi
kontribusi modal mereka.
Kemitraan yang
berdasarkan perjanjian seperti itu dianggap sah karena pihak-pihak yang
terlibat dengan sadar bersepakat untuk melakukan investasi bersama dan berbagi
keuntungan sekaligus (kerugian). Kesepakatan itu tentu saja tidak harus secara
formal dan tertulis, namun bisa juga secara informal dan lisan. Sebagaimana
dalam mudharabah, keuntungan dibagi sesuai dengan proporsi yang disepakati
bersama. Acuan untuk memberikan hak keuntungan dari kontrak musyarakah adalah
modal, partisipasi aktif dalam bisnis, dan pertanggungjawaban.
Keuntungan
harus didistribusikan di antara para mitra bisnis berdasarkan proporsi yang
telah ditetapkan sebelumnya. Bagian keutungan tiap-tiap pihak harus dinyatakan
sebagai proporsi atau persentase, tetapi merekapun harus berbagi kerugian jika terjadi
sesuai dengan kontribusi modal masing-masing.
Meskipun pada
awalnya musyarakah merupakan kemitraan yang dibangun sebagai sarana untuk
berbagai macam aktivitas komersial konsep dasar musyarakah dipergunakan oleh
institusi keuangan Islam untuk memberikan dana kepada perusahaan komersial.
Misalnya beberapa segi musyarakah dapat digunakan untuk membangun fasilitas
modal sebuah perusahaan atau untuk mengadakan investasi bersama dalam pelbagai
aktivitas, seperti pembangunan real estate. Di Sudan musyarakah digunakan
secara luas dalam penyediaan dana pedesaan. Di negara-negara Barat musyarakah
digunakan dalam pembiayaan pembangunan pemukiman.
Para bankir Islam juga telah melaksanakan dan menyempurnakan konsep
mudharabah untuk membentuk mudharabah dua atau tiga deret (kadang-kadang
disebut remudharabah, mudharib yudharib). Dalam skema seperti ini kontrak
mudharabah diperluas hingga mencakup tiga pihak (deret), yaitu deposan sebagai
pemilik modal, bank sebagai perantara, dan pengusaha yang butuh modal. Bank
bertindak sebagai pengusaha (mudharib) ketika ia menerima dana dari deposan,
dan sebagai pemilik modal (rabb al-mal) ketika ia memberikan dana kepada
pegusaha.
Berikut ini beberapa syarat pokok yang terkait dengan kontrak
mudharabah:
1.
Bank
menerima dana dari masyarakat atas dasar mudharabah tak terbatas (terbuka).
Bank tidak dibatasi untuk menentukan jenis aktivitas, durasi dan lokasi
perusahaan yang akan dimodali. Intinya dana itu tidak digunakan untuk membiayai
aktivitas haram. Jika itu terjadi, maka kontrak dianggap batal.
2.
Bank
berhak mengumpulkan dan menyatukan keuntungan dari pelbagai investasi yang
berbeda, dan berbagi laba bersih (setelah dikurangi biaya administrasi,
depresiasi modal, dan zakat) dengan para deposan sesuai dengan rasio yang telah
ditetapkan. Bila terjadi kerugian para deposan kehilangan bagian proporsional
atau seluruh dananya. Pengembalian dana kepada pemodal harus ditegaskan sebagai
bagian keuntungan.
3.
Bank
menerapkan bentuk mudharabah terbatas (tertutup) ketika dana itu diberikan
kepada pengusaha. Bank berhak menentukan jenis aktivitas, durasi, dan lokasi
proyek serta memonitor penggunaan dana itu. Tetapi pembatasan itu tidak bisa
diformulasikan dengan cara yang dapat merusak kinerja pengusaha. Ketika sebuah
proyek dilaksanakan bank tidak boleh ikut campur dalam manajemen investasi dan
ambil bagian dalam operasi bisnis sehari-hari. Dengan demikian, kontrak
pinjaman dan batasan lainnya yang biasa diterapkan di bank konvensional tidak
dibolehkan dalam perbankan Islam.
4.
Dalam
mudharabah pemodal tidak dapat menuntut jaminan apapun dari mudharib untuk
mengembalikan modal apalagi tambahan atas modal, karena hubungan antara
investor dan mudharib adalah hubungan fidusier (kepercayaan) dan mudharib
merupakan pihak yang patut dipercaya. Karena itu, bank tidak bisa mendapatkan
garansi apapun, seperti dalam bentuk sekuritas (surat berharga) atau agunan
dari pengusaha sebagai jaminan sendainya pengusaha merugi. Penetapan agunan
atau garansi akan membatalkan kontrak mudharabah. Kendati demikian, jaminan bisa saja diperoleh
dari pihak ketiga yang independen.
5.
Kontrak
mudharabah harus menetapkan tingkat keuntungan untuk tiap-tiap pihak. Tingkat
keuntungan ini harus berupa rasio, bukan nominal yang telah pasti. Penetapan
nominal keuntungan akan membatalkan kontrak mudharabah, karena mungkin saja
keuntungan yang didapat tidak sesuai dengan nominal yang telah ditetapkan.
Sebelum menyepakati rasio keuntungan usaha mudharabah harus dikonversi dalam
bentuk uang, dan modal harus disisihkan. Mudharib berhak mengurangi semua biaya
yang berkaitan dengan bisnis dari modal mudharabah.
6.
Tanggung
jawab pemilik modal dibatasi hanya pada modal diberikan. Di pihak lain tanggung
jawab pengusaha juga dibatasi, yakni hanya pada tenaga dan usaha. Tetapi kalau
terbukti pengusaha melakukan kesalahan manajemen atau lalai mengelola modal,
maka ia bisa dituntut atas kerugian finansial dan diwajibkan membayar ganti
rugi kepada pemilik modal sesuai dengan kerugian itu.
7.
Pengusaha
berbagi keuntungan dengan bank sesuai dengan pola pembagian yang disepakati
sebelumnya. Sebelum investasi menghasilkan untung, bank dapat membayar gaji
kepada pengusaha yang besarnya ditentukan sesuai gaji pasaran yang berlaku.
Mudharabah dan
musyarakah merupakan setidaknya secara teoritis meski tidak selalu secara
praktis pilar kembar perbankan Islam. Dua teknik pembiayaan ini sepenuhnya
sesuai dengan prinsip Islam, karena melalui dua teknik itu para pemberi
pinjaman berbagi keuntungan dan kerugian dari perusahaan yang dibiayai. Prinsip
musyarakah dimasukkan ke dalam struktur modal bank Islam sama dengan konsep
kemitraan dan konsep pemilikan saham gabungan. Bank Islam bertindak sebagai
mudharib yang mengelola dana para deposan untuk menghasilkan keuntungan
mengikuti aturan mudharabah.
Bank juga bisa
mempergunakan dana para deposan dengan model pembiayaan lainnya yang sah,
seperti penjualan mark up atau penjualan yang ditangguhkan, leasing dan
pinjaman hibah. Dengan kata lain, bank mengoperasikan sistem mudharabah dua
deret, yaitu bertindak sebagai mudharib pada sisi tabungan dan sebagai rabb
al-mal (pemilik modal) pada sisi fortofolio investasi.
Kontrak
mudharabah merupakan sarana yang secara langsung menghubungkan imbalan atas
penggunaan modal dengan hasil proyek. Sebaliknya kontrak riba menciptakan
hubungan yang jelas antara input dan imbalan atas penggunaan modal. Ini baru
perbedaan dari sisi formal teori. Pada tataran praktis banyak perbedaan antara
keduanya hingga menyentuh persoalan insentif ekonomi dan kinerja manajerial.
Dalam kontrak riba (transaksi berbunga) manajer diberi kebebasan untuk
melakukan upaya optimal sesuai dengan tingkat investasi yang telah ditentukan.
Di pihak lain
mudharabah menetapkan hubungan antara investasi modal dan hasil proyek. Dengan
menurunkan keuntungan tertentu dari proyek yang kondisinya buruk dan karena itu
menurunkan tingkat upaya gabungan sampai di bawah keuntungan yang mungkin
diharapkan pada tingkat investasi tertentu, mendorong manajer yang kondisi
usahanya baik untuk melaporkan proyek investasi secara jujur.
Konsep keungan
Islam lainnya yang sering berlaku pada bank Islam dewasa ini adalah murabahah.
Murabahah berarti pembelian barang dengan pembayaran yang ditangguhkan, seperti
sebulan, tiga bulan, setahun. Pembiayaan murabahah merupakan pembelian yang
diberikan kepada nasabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan produk (inventory).
Pembiayaan murabahah mirip dengan kredit modal kerja yang biasa diberikan oleh
bank-bank konvensional dan karenanya pembiayaan murabahah berjangka waktu di
bawah 1 tahun (short run financing).
Bank Islam
umumnya mengadopsi murabahah untuk memberikan pembiayaan jangka pendek kepada
para nasabah untuk membeli barang meskipun si nasabah tidak memiliki uang untuk
membayar. Pada prinsipnya murabahah yang digunakan dalam bank Islam didasarkan
pada dua elemen pokok, yaitu harga beli dan biaya yang terkait, dan serta
kesepakatan atas mark up (laba).
Ciri dasar
kontrak murabahah adalah:
1.
Si
pembeli harus memiliki pengetahuan tentang biaya-biaya yang terkait dan tentang
harga asli barang dan batas laba (mark up) harus ditetapkan dalam bentuk
persentase dari total harga plus biaya-biayanya
2.
Apa yang dijual adalah barang atau komoditas
dan dibayar dengan uang
3.
Apa
yang diperjual-belikan harus ada dan dimiliki oleh si penjual dan si penjual
harus menyerahkan barang itu kepada pembeli
4.
Pembayarannya
ditangguhkan.
Bank-bank Islam
pada umumnya telah menggunakan murabahah sebagai metode pembiayaan mereka yang
utama, meliputi kira-kira 75 persen dari total kekayaan mereka. Angka
persentase ini kira-kira sesuai dengan banyak bank Islam, dan begitu pula
sistem perbankan di Pakistan dan Iran.
Sejak awal 1984 di Pakistan pembiayaan jenis murabahah mencapai sekitar
87 persen dari total pembiayaan dalam investasi deposito bagi hasil. Dalam
kasus Dubai Islamic Bank, bank Islam paling awal di sektor swasta pembiayaan
murabahah mencapai 82 persen dari total pembiayaan selama tahun 1989. Bahkan
bagi Islamic Development Bank (IDB) selama lebih 10 tahun pembiayaannya 73 persen
dari seluruh pembiayaannya adalah murabahah, yaitu dalam perdagangan dagang
luar negeri.
Sejumlah alasan
diajukan untuk menjelaskan popularitas murabahah dalam operasi investasi
perbankan Islam, yaitu:
1.
Murabahah
merupakan suatu mekanisme investasi jangka pendek dan dibandingkan denga sistem
profit and loss sharing (PLS) cukup memudahkan
2.
Mark
up dalam murabahah dapat ditetapkan sedemikian rupa sehingga memastikan bahwa
bank dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan bank-bank
berbasis bunga yang menjadi saingan bank Islam
3.
Murabahah
menjauhkan ketidak-pastian yang ada pada
pendapatan dari bisnis dengan sistem bagi hasil
4.
Murabahah
tidak memungkinkan bank-bank Islam untuk mencampuri manajemen bisnis, karena
bank bukanlah mitra si nasabah, sebab hubungan mereka dalam murabahah adalah
hubungan antara kreditur dan debitur.
Dengan sistem keuangan Islam berupa bagi hasil, seperti mudharabah,
musyarakah dan murabahah Dunia Islam siap menghadapi perdagangan bebas. Para
pengusaha muslim atau pengusaha yang menggunakan dana bagi hasil bank Islam itu
tidak khawatir kalah bersaing dan merugi dalam menghadapi usaha dari
negara-negara maju, karena mereka tidak sendirian, tetapi didukung oleh bank-bank
Islam. Kalau mereka merugi, maka bank Islam juga ikut merugi. Berbeda halnya
dengan bank konvensional tidak mau ikut menanggung kerugian yang dialami oleh
debiturnya, sehingga kalau debitur merugi, maka debitur sendiri yang menanggung akibatnya. Masalah ini
sangat membebani dunia usaha yang belum mapan dalam bersaing dengan usaha dari
negara maju yang sudah mapan modal, skill, dan jaringannya.
Bantuan IDB
Selain sistem keuangan syariah yang dijalankan oleh bank-bank Islam
atau syariah Islamic Development Bank (IDB) juga telah mengambil langkah
membantu negara-negara anggota OKI
(Organisasi Konferensi Islam) untuk menghadapi perdagangan bebas dalam kerangka
WTO, yaitu:
1.
Workshop
tentang dampak perjanjian GATT dan persyaratan ISO pada kemampuan ekspor negara
anggota di Jakarta, Juni 1995.
2.
Seminar
akibat dampak perjanjian GATT dan jasa perdagangan pada negara OKI di
Casablanca Maroko, November 1995.
3.
Workshop
tentang dampak dari peraturan teknis yang diperkenalkan oleh WTO dan Uni Eropa
pada negara anggota OKI di Ankara Turki, 1996.
4.
Seminar
regional pada perjanjian perdagangan internasional yang berkaitan dengan
hambatan teknis di antara negara Arab Maghrib di Tunis Tunisia, November 1996.
5.
Seminar
tentang WTO bagi negara muslim di Asia Tengah dan sejumlah negara Timur Tengah
di Ashgabat Turkmenistan, Desember 1996.
6.
Seminar
tentang WTO untuk negara anggota IDB di Barat dan Tengah Afrika di Dakar
Sinegal, Januari 1997.
7.
Seminar
tentang kebijakan dan metode mempromosikan ekspor tekstil dan produk garmen jadi
untuk menembus pasar Eropa bagi negara anggota IDB di Amman Jordania, Agustus
1997.
8.
Seminar
tentang masa depan negara-negara Islam dalam perdagangan masa depan produksi
makanan di pasar Eropa dengan memperhatikan perkembangan saat ini dalam perdagangan
dunia di Tunis Tunisia, 1997.
9.
Seminar
tentang promosi ekspor dan pelengkapnya pada tekstil di antara negara anggota
IDB dengan melihat perkembangan pada perdagangan dunia di Beirut Lebanon, Juli
1998.
10.
Seminar
tentang kebijakan dan metode promosi ekspor nontradisional negara anggota IDB
di Damaskus Suriah.
11.
Seminar
tentang hambatan perdagangan dan implikasinya untuk ekspor di antara negara
anggota IDB di Kairo Mesir, September 1998.
12.
Workshop
akibat dan dampak perjanjian perdagangan jasa di negara nggota IDB di Amman
Yordania, 24 -26 Januari 1999.
13.
Simposium
regional tentang perdagangan dan lingkungan di Kairo Mesir, 6 – 8 September
1999.
14.
Workshop
regional tentang prosedur dan praktek menyelesaikan perselisihan, 13 – 16
September 1999.
15.
Workshop
internasional tentang WTO dan liberalisasi jasa perdagangan internasional di
Kuala Lumpur Malaysia, 28 – 29 September 1999.
16.
Studi
regional dan workshop tentang dampak liberalisasi pada lingkungan pada wilayah
Arab di Jeddah Arab Saudi, Juni 1997.
17.
Seminar
tentang hambatan teknis terhadap perdagangan dan pengukuran sanitasi di Conakri, 31 Juli – 28 Agustus 1999.
18.
Workshop
regional tentang prosedur dan implementasi penyelesaian perselisihan.
19.
Workshop
internasional tentang WTO dan liberalisasi pada perdagangan jasa dunia di Kuala
Lumpur Malaysia, 28 – 29 September1999.
20.
Workshop
untuk mendiskusikan studi pertanian, investasi dan jasa di Jenewa, 26 -28 Juli
1999.
21.
Pertemuan
konsultatif dengan anggota OKI untuk mempersiapkan pertemuan ketiga konferensi
menteri WTO.
22.
Simposium
regional tentang perdagangan dan lingkungan di Kairo Mesir, 6 – 8 September
1999.
23.
Pertemuan
konsultatif pada pertemuan ketiga menteri-menteri WTO di Seattle Amerika
Serikat, 30 November – 3 Desember 1999.
24.
Seminar
tentang TBT dan SPM untuk negara berbahasa Inggris di Dhaka Bangladesh, 27
– 30 Maret 2000.
25.
Simposium
tentang peraturan WTO dan pengenalannya kepada publik di Riyadh Arab Saudi, 16
April 2000.
26.
Seminar
tentang penyelesian dan perjanjian antidumping di Arab di Jeddah Arab Saudi, 3
- 6 September 2000.
27.
Kursus
kebijaksanaan perdagangan untuk negara-negara berbahasa Arab di Doha Qatar, 7 –
25 Oktober 2000.
28.
Bantuan
teknis untuk pusat lingkungan dan pengembangan kawasan Arab dan Eropa di Kairo
Mesir.
29.
Simposium
tentang pembentukan ikatan dan zona bebas perdagangan dan hubungan dagang
dengan WTO di Riyadh Arab Saudi, 7 - 8 Mei 2000.
30.
Briefing
tentang kesepakatan utama WTO dan menyiapkan tindak lanjutnya, 29 Mei 2000.
31.
Studi
keuangan dan jasa-jasa lain atas permintaan pemerintah Sudan.
32.
Bantuan
biaya dalam melaksanakan dampak keasepakatan Putaran Uruguay terhadap
perekonomian Nigeria.
33.
Seminar
tentang mekanisme penyelesaian perselisihan dan perjanjian antidumping di
Jeddah Arab Saudi, 3 – 6 September 2000.
Itulah sejumlah
langkah yang dilakukan IDB dalam membantu negara-negara anggota OKI menghadapi
perdagangan bebas dalam kerangka WTO. Hal ini melengkapi kesiapan bisnis
syariah dalam menghadapi perdagangan bebas. Walaupun masih banyak kelemahan
bisnis syariah, tetapi setidaknya mempunyai potensi yang bisa dikembangkan
untuk mengurangi dampak negatif perdagangan bebas yang mungkin timbul karena
harus bersaing dengan negara-negara maju yang lebih mapan dalam hal dana, skill
dan jaringan itu.
Daftar
Bacaan:
1.
Ali
Yafie, et al., Fiqih Perdagangan Bebas (Jakarta: Teraju, 2003).
2.
Mervyn
K. Lewis & Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah: Prinsip, Praktik dan
Prospek (Jakarta: Serambi, 2007).
3.
Abdullah
Saeed, Menyoal Bank Syariah: Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis
(Jakarta: Paramadina, 2006).
4.
Karnaen
Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam
(Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1999).
5.
Henricus
W. Ismanthono, Kamus Istilah Ekonomi Populer (Jakarta: Kompas, 2003).
Sudirman
Tebba adalah dosen Fakultas Ilmu dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Lulus S1 Fakultas Syariah IAIN
(sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, S2
IPWI dan S2 Tasawuf ICAS Jakarta/ Unversitas Paramadina. Telah menulis
buku-buku spiritual.
No comments:
Post a Comment