Bandarlampung (ANTARA News) - Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi, Handoyo Sudradjat, mengingatkan biaya politik yang tinggi dalam pencalonan kepala daerah, akan mendorong pejabat melakukan korupsi.

"Ini artinya, biaya politik yang tinggi bisa memiliki potensi besar mendorong setiap calon kepala daerah yang terpilih, kemudian dipenjarakan setelah menduduki jabatannya karena melakukan korupsi untuk mengembalikan biaya politik itu," ujar Handoyo, di Bandarlampung, Kamis.

Karena itu, dia menyatakan, seharusnya para politikus dapat berpikir ulang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, jika tidak memiliki integritas yang baik.

"Sepatutnya berpikir ulang untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, karena biaya pencalonan yang normal saja akan cukup mahal, dan tidak mungkin modal politik itu dapat kembali dalam hitungan lima tahun ke depan," ujar dia lagi.

Handoyo mengemukakan, bila hanya mengandalkan gaji sebagai kepala daerah yang hanya berkisar antara Rp20 juta sampai Rp60 juta, tidak mungkin bisa mengembalikan modal politik pencalonan sebelumnya.

Dia mencontohkan, pencalonan kepala daerah di Yogyakarta, untuk biaya politik secara normal bisa mencapai Rp6 miliar.

Padahal, pendapatan per bulan sekelas kepala daerah hanya berkisar Rp20 juta sampai Rp60 juta.

Artinya, kata dia, pendapatan yang diperoleh itu belum bisa menutupi biaya modal pencalonan.

"Perlu dipikir ulang sebelum mencalonkan diri, sudah dibebankan dengan biaya besar, bagaimana bisa mendedikasikan diri secara optimal jika begitu menjabat langsung dibebankan pengembalian modal politik yang mahal sebelumnya," kata dia.

Padahal Indonesia ini, menurut dia, membutuhkan pemimpin yang memiliki integritas tinggi.

Pemimpin yang mengedepankan kejujuran dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraan yang diperlukan bangsa Indonesia saat ini, ujar dia lagi.

"Sampai ada sebuah wacana yang terlontar saat saya mengikuti Lemhanas beberapa waktu lalu, bangsa ini tidak akan berubah menjadi lebih baik, jika sistem perpolitikan yang demikian itu tidak segera diubah," kata Handoyo.

Di Provinsi Lampung, sudah ada dua kepala daerah yang terjerat kasus tindak pidana korupsi, dengan negara mengalami kerugian mencapai miliaran rupiah.

Kepala daerah yang terlibat kasus tersebut, di antaranya Bupati Lampung Timur nonaktif, Satono, dan mantan Bupati Lampung Tengah, Andy Achmad Sampurnajaya.

Selain Satono dan Andy Achmad, Wakil Bupati Mesuji, Ismail Ishak, juga terlibat dalam kasus menerima suap saat dirinya menjadi anggota DPRD di Kabupaten Tulangbawang.

Pasangan Khamamik dan Ismail Ishak terpaksa dilantik di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Menggala, Tulangbawang, tempat Ismail menjalani hukuman penjaranya itu, mengingat saat pelantikan, wakil bupati Mesuji itu telah menjadi terpidana.

"Ini artinya, biaya politik yang tinggi itu, bisa memiliki potensi besar setiap calon kepala daerah yang terpilih kemudian dipenjarakan karena praktik korupsi setelah menduduki jabatannya," ujar Handoyo pula.

Marak kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah tersebut, ujar dia, KPK menilai perlu sebuah sistem pengendali internal pemerintah (SPIP) untuk mengontrol perilaku atasan maupun sebaliknya, untuk meminimalkan praktik korupsi di tingkat penyelenggara pemerintahan yang berdampak pada kerugian besar bagi negara. (ANT316/B014) (Antara News, 25 Mei 2012)