Jakarta (ANTARA News) - Mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia, Rini Mariani Soemarno Soewandi, enggan memberi komentar ketika disinggung perihal pemeriksaan yang telah dijalaninya di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Tidak ada komentar, tanya ke KPK sendiri saja," ujar Rini usai pemeriksaan di Jakarta, Selasa sore.

Rini yang menjalani pemeriksaan selama tujuh jam sejak pukul 09.55 WIB, dimintai keterangan terkait penyelidikan KPK soal SKL (Surat Keterangan Lunas) dalam Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"Saya dimintai keterangan sebagai anggota KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan), sisanya tanya KPK saja," ujar dia.

Dalam kasus ini KPK sebelumnya sudah meminta keterangan Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 2001-2004 Laksamana Sukardi, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta, mantan Menteri Koordinator Perekonomian pada Kabinet Gotong Royong 2001-2004 Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, mantan Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000-2001 Rizal Ramli, mantan Menteri Keuangan 1998-1999 Bambang Subiyanto, Menko Perekonomian 1999-2000, dan mantan Kepala Bappenas 2001-2004 Kwik Kian Gie.

KPK pada 2008 telah membentuk empat tim khusus untuk menyelesaikan kasus BLBI yang sebelumnya ditangani oleh Kejaksaan Agung.

Salah satu tim bertugas untuk menangani perkara yang dihentikan kejaksaan karena telah menerima SKL, termasuk kasus Sjamsul Nursalim yaitu mantan pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang mempunyai utang sebesar Rp28,4 triliun.

Juru Bicara KPK Johan Budi menjelaskan pengusutan pemberian SKL pada kasus BLBI ini merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan kasus tersebut, di samping pengusutan tindak pidana kasus ini dan perihal pengembalian aset.

"Ini beberapa hal yang diselidiki oleh KPK adalah berkaitan dengan kewajiban si penerima SKL itu," ujar Johan di gedung KPK Jakarta, beberapa waktu lalu.

Johan menjelaskan bahwa menurut KPK ada beberapa perihal yang perlu diselidiki terutama perihal kewajiban penerima SKL sudah sesuai atau belum, sehingga perlu diselidiki karena dicurigai ada dugaan tindak pidana korupsi.

"Namun belum ada kesimpulan sampai ke situ," jelas Johan.

Berdasarkan hasil pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) oleh Badan Pemeriksa Keuangan, nilai penjualan dari aset Salim yang diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk penyelesaian BLBI ternyata hanya 36,7 persen atau sebesar Rp19,38 triliun dari Rp52,72 triliun yang harus dibayar.

Mekanisme penerbitan SKL yang dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Inpres No 8 Tahun 2002 saat kepemimpinan Presiden Megawati yang mendapat masukan dari mantan Menteri Keuangan Boediono, Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

Kwik dalam pemeriksaan di kejaksaan, mengaku dalam setiap rapat kabinet ia selalu memrotes rencana penerbitan SKL, tapi kalah dengan meteri lain.

Alasannya menolak penerbitan SKL adalah karena ada campur tangan International Monetary Fund (IMF) terkait penyelesaian BLBI, sehingga berdampak pada proses penjualan aset bekas pengutang BLBI yang tergesa-gesa, bahkan tanpa tender, misalnya, kejanggalan penjualan Bank BCA pada 2004.

Kwik mengatakan, penjualan BCA disebabkan Salim tidak mampu melunasi BLBI Rp53 triliun, sementara BCA termasuk salah satu dari 108 aset Salim yang diserahkan yang saat dijual hanya laku Rp20 triliun karena proses penjualan BCA lebih banyak ditekan IMF.

Proses penjualan dilaksanakan tanpa tender dan calon pembeli BCA sudah ditunjuk yaitu lembaga keuangan Farallon dan Standard Charter, padahal selang tiga tahun kemudian aset BCA meningkat berkali-kali lipat.

Dari Rp144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp138,4 triliun dinyatakan merugikan negara, namun baru 16 orang yang diproses ke pengadilan.

Dari 16 orang tersebut, tiga terdakwa dibebaskan pengadilan, 13 orang yang yang telah divonis hanya satu koruptor yang dijebloskan ke penjara, dua terdakwa lain tidak langsung masuk ke penjara, dan sembilan terdakwa melarikan diri ke luar negeri.