Saturday, April 20, 2013

Media Dakwah dan Ekonomi Umat



Sejalan dengan berkembangnya media massa dewasa ini berkembang pula media dakwah. Media dakwah mempunyai pengertian yang luas, tetapi di sini hanya dibatasi pada media massa yang dapat digunakan untuk menyampaikan dakwah, yaitu media cetak, seperti surat kabar, majalah dan tabloid, serta media elektronik, seperti radio, televisi, dan internet (international networking atau lengkapnya international connection networking). Internet biasanya dianggap sebagai gabungan komputer, televisi dan telepon.
            Media massa mempunyai fungsi-fungsi yang berguna dalam menjalankan dakwah. Media massa adalah institusi yang berperan sebagai agent of change, yaitu sebagai institusi pelopor perubahan.[1] Ini adalah paradigma utama media massa. Dalam menjalankan paradigmanya media massa berperan sebagai institusi pencerahan masyarakat, yaitu perannya sebagai media edukasi. Media massa menjadi media yang setiap saat mendidik masyarakat supaya cerdas, terbuka pikirannya dan menjadi masyarakat yang maju.
            Fungsi edukasi juga terdapat dalam kegiatan dakwah yang biasa disebut amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kebaikan dan melarang keburukan). Misalnya dalam agama diperintahkan untuk belajar atau menuntut ilmu agar manusia mencapai kebudayaan dan peradaban yang tinggi untuk keperluan manusia sendiri.
            Sebaliknya agama melarang keburukan, seperti meminum minuman keras dan narkoba, karena akan merusak pikiran. Kalau pikiran sudah rusak orang gampang tergoda melakukan keburukan yang lain, seperti menipu, berbohong, mencuri, merampok, memperkosa dan membunuh orang lain.
            Selain itu media massa juga menjadi media informasi, yaitu media yang setiap saat menyampaikan informasi kepada masyarakat. Dengan informasi yang terbuka dan jujur serta benar disampaikan media massa kepada masyarakat, maka masyarakat akan menjadi masyarakat yang kaya dengan informasi, masyarakat yang terbuka dengan informasi. Sebaliknya pula masyarakat akan menjadi masyarakat informatif, masyarakat yang dapat menyampaikan informasi dengan jujur kepada media massa. Selain itu informasi yang banyak dimiliki masyarakat menjadikan masyarakat sebagai masyarakat dunia yang dapat berpartisipasi dengan berbagai kemampuannya.
            Dalam agama juga sebagaimana yang disampaikan dalam dakwah terdapat banyak informasi, seperti kehidupan nabi-nabi terdahulu dan umat mereka, agar kita dapat mengambil pelajaran dari mereka, sehingga tidak mengulangi kesalahan umat terdahulu yang mereka lakukan yang membuat mereka hancur dan hanya dikenang dalam sejarah. Dalam agama juga ada informasi tentang masa depan, seperti kiamat dan kehidupan sesudah mati agar kita dalam kehidupan sekarang tetap dalam kebaikan dan menjauhi perbuatan yang buruk karena semua itu ada balasannya nanti di akhirat.
           Media massa juga sebagai media hiburan. Sebagai agent of change media massa juga menjadi institusi budaya, yaitu institusi yang setiap saat menjadi corong kebudayaan, katalisator perkembangan budaya. Sebagai agent of change  yang dimaksud adalah juga mendorong agar perkembangan budaya itu bermanfaat bagi manusia bermoral dan masyarakat sakinah, sehingga media massa juga berperan untuk mencegah berkembangnya budaya-budaya yang justru merusak peradaban manusia dan masyarakatnya.
            Dalam dakwah juga ada acara-acara hiburan, seperti sinetron dan musik religi. Sinetron seperti Tukang Bubur Naik Haji di RCTI dan Ustad Fotokopi di SCTV sudah menjadi acara-acara unggulan di kedua stasiun TV itu. Kalau dulu sinetron religi hanya tayang pada bulan Ramadhan, kalau sekarang kedua sinetron tadi tayang setiap hari dengan iklan yang juga melimpah.
            Secara lebih spesifik peran media massa saat ini lebih menyentuh persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat secara aktual, seperti harus lebih spesifik dan proporsional dalam melihat sebuah persoalan,  sehingga mampu menjadi media edukasi dan media informasi sebagaimana diharapkan oleh masyarakat.
            Dalam memotret realitas media massa harus fokus pada realitas masyarakat, bukan pada potret kekuasaan yang ada dalam masyarakat itu, sehingga informasi tidak menjadi propaganda kekuasaan dan potret figur kekuasaan.
            Sebagai lembaga edukasi media massa harus dapat memilah kepentingan pencerahan dengan kepentingan media massa sebagai lembaga produksi, sehingga kasus-kasus pengaburan berita dan iklan tidak harus terjadi dan merugikan masyarakat.
            Media massa juga harus menjadi early warning system. Hal ini terkait dengan peran media massa sebagai media informasi, di mana lingkungan saat ini menjadi sumber ancaman. Media massa menjadi sebuah sistem dalam sistem besar peringatan terhadap ancaman lingkungan, bukan hanya menginformasikan informasi setelah terjadi bahaya dari lingkungan itu.
            Kemudian dalam hal menghadapi ancaman masyarakat yang lebih besar, seperti terorisme seharusnya media massa lebih banyak menyoroti aspek fundamental pada terorisme seperti mengapa terorisme terjadi bukan hanya pada aksi-aksi terorisme.
            Dengan demikian, media massa mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi khalayak (pembaca, pendengar dan penonton), karena jangakaunnya yang sangat luas dalam waktu yang singkat. Karena itu, media massa sangat berguna untuk menunjang kegiatan dakwah,  Untuk itu para dai, muballig atau juru dakwah harus memahami karakteristik pers, radio, film dan televisi dalam kapasitas atau kemampuannya sebagai media massa yang dapat dimanfaatkan sebagai media dakwah atau sebagai alat perjuangan bagi para dai dan muballig dalam menyeru amar ma’ruf nahi nunkar.[2]
            Setiap jenis media massa (pers, film, radio dan televisi) memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing dalam kapasitasnya sebagai komunikasi atau media dakwah. Perkembangan semua jenis media massa itu secara teknis didukung oleh perkembangan  ilmu dan teknologi yang sekarang ini telah mencapai teknologi  digital. Hal ini akan lebih memudahkan dan mempercepat penyebaran pesan dakwah kepada penerima (mad’u).
            Pers sebagai media cetak yang mencakup surat kabar dan majalah hanya dapat dilihat oleh mata saja (media visual). Sedangkan radio hanya dapat didengar  saja (media auditif). Film dan televisi merupakan media  yang dapat dilihat oleh mata dan didengar oleh telinga sekaligus, bahkan kelihatan hidup (media audio visual). Dewasa ini berkembang pula media interaktif atau media sosial melalui jaringan komputer (internet) atau yang disebut cyber media.
            Penggunaan salah satu di antara semua jenis media yang tersedia itu untuk kepentingan dakwah sangat tergantung kepada kemampuan para dai dan muballig memperhatikan kebutuhan atau kemampuan khalayak mencerna dan menerima pesan-pesan dakwah yang akan disampaikan. Jadi, pemilahan dan pemilihan atas jenis media massa oleh dai dan muballig didasarkan pada kemampuannya serta kebutuhan dan kepentingan serta lokasi publik atau penerima (mad’u) yang dijadikan sasaran dakwah. Apalagi setiap jenis media massa memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing.
            Pers sebagai media massa yang paling tua dan sekaligus sebagai media cetak yang bersifat visual hanya dapat  ditangkap oleh mata saja tentu memiliki keunggulan dan kelemahan sekaligus. Kelemahan yang melekat pada pers yang meliputi surat kabar dan majalah adalah karena hanya dapat dibaca dan tidak memiliki aspek bunyi suara manusia, sehingga kurang persuasif dan aspek hiburannya sangat kurang. Dengan demikian, dalam menggugah dan menyentuh emosi dan sentimen khalayak surat kabar dan majalah hanya bersifat sederhana dan tidak terlalu mengikat publik dalam penerapannya.
            Kata pers berasal dari kata Latin pressa atau bahasa Inggris press yang berarti mesin cetak. Kemudian pengertian itu berkembang menjadi alat-alat mencetak dari suatu ide untuk disebarkan kepada masyarakat. Kemudian pengertian itu berkembang menjadi media yang menyebarkan ide atau pesan kepada masyarakat, yang dicetak dengan alat-alat percetakan sebelumnya. Media yang dimaksud adalah buku, surat kabar, majalah, buletin, brosur atau pamflet yang isinya mengandung idea atau pemberitahuan kepada masyarakat.
            Pada hakikatnya pers adalah alat komunikasi manusia dalam  arti saluran dari pernyataan mnusia yang bersifat umum atau terbuka dan aktual serta teratur waktu terbitnya serta dalam bentuk tercetak. Pers kemudian dibagi dalam dua jenis, yaitu pers dalam arti  luas dan pers dalam arti sempit. Pers dalam arti luas meliputi semua barang  tercetak seperti surat kabar, majalah, buku, buletin dan pamflet. Sedang pers arti sempit adalah surat kabar. Kemudian pengertian pers berkembang menjadi semua alat-alat komunikasi massa sebagaimana dianut di Amerika.
            Dalam Undang-undang  No: 40 Tahun 1999 tentang Pers dirumuskan bahwa pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik  dalam bentuk tulisan, suara, gambar serta data dan grafik, maupun  dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik dan segala jenis saluran yang tersedia.
            Sedangkan dalam Undang-undang No: 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers dirumuskan bahwa pers adalah  lembaga kemasyarakatan alat perjuangan nasional yang mempunyai karya sebagai salah satu media komunkasi massa yang bersifat umum berupa penerbitan yang teratur waktu  terbitnya dilengkapi atau tidak dilengkapi dengan alat-alat milik sendiri berupa percetakan, alat-alat foto, klise, mesin-mesin stensil atau alat-alat teknik lainnya.
            Berdasarkan kedua undang-undang per situ terlihat ada pergeseran pengertian pers dalam arti yang luas, sehingga pers tidak lagi hanya sebagai media cetak, tetapi juga dapat menjangkau media elektronik (radio dan televisi) dan segala jenis saluran yang tersedia termasuk juga internet. Pergeseran pengertain pers di Indonesia tentu berkaitan dengan perkembangan demokrasi dan kemajuan teknologi komunikasi. Meskipun demikian pers tetap dipandang sebagai wahana atau media komunikasi selain sebagai lembaga sosial. Demikian pula pers dalam arti sempit adalah surat kabar.
            Surat kabar yang tercetak yang  pertama kali di dunia ialah Relation yang terbit tahun 1609 di Jerman. Namun cikal bakal surat kabar dapat dilacak dari munculnya acta diurna (pengumuman pemerintah) dan acta senatus (pengumuman senat) pada masa pemerintahan Julius Caesar di Kerajaan Romawi tahun 59 sebelum masehi. Seiring dengan berkembangnya teknologi percetakan surat kabar berkembang pesat sebagai media massa hingga saat ini.
            Selain itu surat kabar dan majalah hanya dapat disimak oleh khalayak yang berpendidikan dan yang memiliki kebiasaan membaca yang tinggi dan sulit disimak oleh mereka yang tidak berpendidikan. Surat kabar dan majalah juga menghadapi hambatan yang bersifat geografis, karena dalam penyebarannya memerlukan waktu yang lama untuk jarak yang jauh. Jadi, berita yang disajikan oleh surat kabar dan majalah kepada khalayaknya tidak secepat oleh radio dan televisi. Surat kabar dan majalah tidak mampu menundukkan ruang dan waktu secara cepat.
            Meskipun demikian suratkabar dan majalah (pers dalam arti sempit), memiliki keunggulan lain sebagai alat komunikasi massa dan media dakwah yang mewakili media  yang berbentuk  the printed writing (yang berbentuk tulisan) atau media dari yang berupas media visual (yang hanya  dapat ditangkap mata), yaitu dapat dibaca kapan dan di mana saja. Surat kabar dan majalah juga relatif lebih mampu  membawakan materi yang panjang dan masalah yang kompleks.
            Kompleksitas dan panjangnya materi ditambah pula variasinya yang tak terbatas, sangat berpengaruh pada penerimaan khalayak terhadap materi yang disuguhkan kepadanya. Itulah sebabnya keunggulan surat kabar dan majalah tidak dijumpai pada media lainnya, seperti film, radio dan televisi. Khalayak surat kabar dan majalah memerlukan tingkat  kecerdasan tertentu dan kemampuan membaca untuk menangkap secara jernih kompleksitas dan variasitas materi-materi yang  dihidangkan.
            Media massa yang lahir sesudah media cetak adalah film yang lahir pada akhir abad ke-19 (1895) dan mencapai puncaknya antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Film dikenal juga dengan nama gambar hidup atau wayang gambar. Selain itu film juga sering disebut movie dan sinema. Selain berarti film sinema juga bermakna gedung tempat pertunjukan film (bioskop). Sedangkan orang yang ahli perfilman atau pembuatan film disebut sineas, dan teknik pembuatan film disebut sinematografi.
            Sejak abad yang lalu berkembang sinema elektronik yang kemudian dikenal dengan akronim sinetron yang dalam bahasa Inggris disebut soap opera dan dalam bahasa Spanyol disebur telenovela. Sinetron pada umumnya merupakan cerita tentang  kehidupan manusia secara dramatis dan disiarkan melalui televisi, sehingga sinetron bukanlah media, melainkan salah satu produk dalam penyiaran televisi. Kendatipun demikian, sinetron tetap dapat diberi muatan dakwah, terutama yang bersifat universal (memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran)  dan dakwah yang bersifat khusus yang menonjolkan pesan akidah, syariah dan akhlak Islam.
            Untuk memahami esensi film dan sekaligus untuk membedakan dengan sinetron, video atau cakram padat (CD – Compact Disc), maka perlu ditelaah pengertian film menurut undang-undang. Dalam Undang-undang No: 33 Tahun 2009 tentang Perfilman dirumuskan bahwa film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan. Dengan demikian, film dipandang selain sebagai karya seni budaya dan sebagai pranata sosial (social institution), film juga merupakan media komunikasi massa, karena dapat dipertunjukkan kepada banyak dengan membawa sejumlah pesan yang berisi gagasan vital kepada publik (khalayak) dengan daya pengaruh yang besar.
            Berdasarkan pengertian itu film memiliki tiga makna. Pertama, film sebagai karya seni budaya yang dibuat berdasarkan  kaidah sinematografi dan dapat dipertunjukkan dengan tanpa suara. Pengertian ini menunjuk kepada bentuk fisik dari film sebagai fenomena kultural yang dibuat oleh sineas yang melibatkan banyak orang. Kedua, film adalah pranata sosial selain karena dikembangkan sebagai karya kolektif dari banyak orang terorganisasi, juga film memiliki seperangkat nilai atau gagasan vital, visi dan misi yang diserap dari masyarakat. Pengertian ini menunjuk kepada karakteristik atau kepribadian film yang ditentukan oleh pemilik atau produser setiap pelaku kegiatan atau pelaku usaha perfilman yang dapat berbeda atau sama antara satu dengan lainnya. Ketiga, film adalah media massa menunjuk kepada kapasitas film menyalurkan gagasan atau pesan kepada penontonnya tanpa menggunakan media lain.
            Berdasarkan ketiga pengertian film itu dapat disimpulkan bahwa film dalam pengertian yang pertama film secara fisik selain dapat dipertunjukkan di bioskop atau tempat lain, tetapi juga dapat melalui media massa yang lain, yaitu televisi. Dalam hal ini film dapat mencakup juga sinetron. Sedangkan dalam pengertian kedua dan ketiga yang menunjuk bahwa film sebagai lembaga sosial dan media massa yang dipertunjukkan sendiri tanpa media lain (televisi), sehingga sinetron tidak termasuk di dalamnya.
            Sebagai media komunikasi massa  film dapat menjadi media dakwah yang efektif dengan pendekatan seni budaya, yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi. Pesan dakwah dapat diekspresikan dalam bentuk cerita dan disajikan dalam film kepada khalayak dengan daya pengaruh yang besar.
            Film sebagai media yang bersifat audio-visual memang lebih  banyak disajikan dalam bentuk hiburan dengan cerita yang menarik. Demikian pula film jarang sekali mengembangkan topik dari surat kabar, meskipun hal itu dapat juga dilakukan.
            Kelemahan film sebagai media komunikasi terutama karena besarnya hambatan geografis karena harus ditonton atau dilihat di sebuah tempat tertentu, sehingga khalayaknya harus menyediakan waktu tersendiri untuk pergi ke tempat yang sudah disediakan (bioskop atau lapangan terbuka). Itulah sebabnya khalayak yang dapat dijangkau oleh film jauh lebih terbatas dari pada radio, surat kabar, majalah, dan televisi.
            Selain kelemahan itu film memiliki keunggulan  terutama karena film dapat dinikmati oleh semua kalangan dari khalayak yang buta huruf sampai yang berpendidikan tinggi. Demikian juga film memiliki daya persuasif yang tinggi, terutama karena menyajikan gambar yang hidup (bergerak dan bersuara).
            Gambar hidup yang disajikan oleh film itu mempunyai kecenderungan umum yang unik dalam keunggulan daya efektifnya terhadap penonton. Kebanyakan persoalan atau hal yang bersifat abstrak dan samar-samar serta sulit dapat disuguhkan oleh film kepada khalayak secara lebih baik dan efisien. Demikian pula film menyuguhkan pesan dengan menghidupkan atau dapat mengurangi jumlah besar keraguan. Apa yang disuguhkan oleh film lebih mudah diingat.
            Dengan demikian, dapat dipahami bahwa film mempunyai kekuatan mempengaruhi yang sangat besar, dan sumber dari kekuatannya ialah pada emosi dari khalayak. Hal ini disebabkan oleh karena khalayak lebih mudah untuk menerima dan mengerti isi film dari pada membaca surat kabar dan majalah. Namun aktualitas film sangat rendah dalam menghidangkan atau menyajikan peristiwa yang terjadi dalam masyarakat. Peran ini diambil alih oleh televisi dan radio. Justru itu penyajian dakwah dalam film memang harus disajikan dalam bentuk cerita yang menarik. Film yang berisi pesan dakwah biasanya disebut film dakwah atau film religi. Sebutan itu kemudian dapat disebut sebagai citra media.
            Kini film telah berkembang dengan dukungan teknologi yang makin canggih, termasuk teknologi digital. Dalam masa permulaan pembuatan film terdapat sejumlah orang yang sangat berjasa, antara lain Niepe (1822) dan Deuguerre (1839) dari Prancis, Voigtlander (1844) dari Jerman, Eastman (1888), Edison dan Dickson (1895) dari Amerika Serikat.
Media massa berikutnya adalah radio. Radio adalah siaran atau pengiriman suara atau bunyi melalui udara. Radio juga dikenal dalam bahasa Inggris broadcasting yang dipahami sebagai penyiaran. Karena itu, segala sesuatu dapat disiarkan melalui radio, seperti berita, musik, pidato, puisi, drama dan dakwah yang dapat didengar oleh masyarakat luas. Dengan isi siaran yang bersifat terbuka itu dan menyeluruh khalayak yang luas (massa), maka radio kemudian disebut media komunikasi massa atau media massa. Selain itu, radio juga berarti pesawat penerima siaran radio.
Sebagai media penyiaran radio serumpun dengan televisi dalam Undang-undang  No: 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Dalam undang-undang itu dirumuskan  bahwa  penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/ atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui radio,kabel, dan/ atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran. Dirumuskan juga bahwa penyiaran radio adalah media komunikasi massa dengar, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara secara terbuka, berupa program yang teratur dan berkesinambungan.
Radio sebagai penyiaran merupakan jenis media massa yang ketiga yang lahir di dunia setelah pers dan film. Secara teknis radio pada awal perkembangannya dimulai ketika Heinrich Hertz (ahli fisika Jerman) berhasil mengirim dan menerima gelombang radio pada tahun 1887. Hasil temuan Heinrich itu kemudian diteruskan oleh Guglielmo Marconi dari Italia yang mendemonstrasikan penggunaan gelombang elektromagnetik kepada The New Time pada tahun 1901, dan berhasil mengirimkan sinyal yang melampaui Samudra Atlantik. Sebelum itu Marconi menciptakan wireless telegraph (1896) yang menggunakan gelombang radio untuk membawa pesan dalam bentuk kode morse dari sebuah pemancar kepada suatu alat penerima. Radio sendiri digunakan secara baik sekitar tahun 1920.
Sebagai media komunikasi radio dapat digunakan juga sebagai media dakwah dalam arti menyalurkan pesan-pesan dakwah dalam arti yang luas. Penggunaan radio sebagai media dakwah sudah banyak dilakukan di Indonesia yang dikenal sebagai radio dakwah yang umumnya didirikan oleh lembaga pendidikan Islam sebagai lembaga penyiaran komunitas.
Radio memiliki keunggulan terutama karena radio tidak mengenal rintangan geografis, seperti pada surat kabar atau film. Itulah sebabnya berita atau informasi melalui radio dapat diterima di mana saja, sehingga khalayaknya jauh lebih besar dari pada surat kabar dan film. Hal ini juga disebabkan karena pesawat penerima radio lebih murah, sehingga banyak orang dapat memilikinya.
Selain itu siaran radio dapat diterima atau didengar bukan hanya oleh orang yang berpendidikan, tetapi juga orang yang tidak berpendidikan. Radio mendapat banyak khalayak, terutama karena radio lebih banyak menghidangkan hiburan dan informasi yang aktual. Radio mampu melaporkan kepada khalayak mengenai peristiwa yang sedang berlangsung yang disebut sebagai laporan pandangan mata. Bahkan banyak orang dalam fase pertama mendengar atau memperoleh berita melalui radio. Para dai dan muballig dapat menyiarkan secara lengkap ceramah agama, khutbah salat Jumat atau khutbah hari raya Idul Fitri dan Idul Adha secara langsung ketika peristiwa berlangsung. Dakwah secara dialogis dengan pendengar dapat juga dilakukan dengan bantuan telepon.
Sebaliknya radio sebagai media yang hanya dapat ditangkap oleh telinga saja memiliki kekurangan yang mendasar, karena radio tidak dilengkapi dengan gambar, sehingga untuk membayangkan kejadian yang sesungguhnya khalayak hanya menggunakan imajinasinya sendiri. Pesan yang dibawakan oleh radio hanya sekilas saja dan tidak bisa ditarik lagi setelah mengudara, sehingga sangat terikat oleh waktu, terutama karena memiliki waktu siaran tertentu. Demikian juga siaran radio bersifat einmalig atau sekali jalan, karena isi siaran hanya dapat didengar sekali saja dan sesudah itu hilang dan tidak dapat didengar lagi.
Meskipun begitu siaran radio memiliki keunggulan, terutama karena radio memiliki aspek bunyi suara manusia sebagai ciri utamanya. Justru itu media ini mempunyai sifat persuasif yang tinggi dan mampu menciptakan keakraban dengan khalayak atau publiknya. Karena itu khalayak  dapat berpartisipasi dalam kesempatan yang bersifat seremonial. Para pendengar dapat memperoleh sesuatu perasaan partisipasi persona dari radio yang dapat menimbulkan suatu kedekatan untuk melakukan kontak secara langsung.
Demikian pula radio mempunyai suatu keuntungan dengan sifatnya yang unik dibanding dengan media cetak, yakni dari kecepatannya, terutama mengenai penyebaran atau penyiaran berita-berita. Selain itu pendengar radio dapat membentuk dirinya sebagai suatu kelompok, karena simultan para pendengar itu menggabungkan diri dalam mendengarkan materi yang sama. Kemudian kelompok itu dapat mengembangkan dan memperkuat sugestibilitas dari pada khalayak itu.
Selain itu radio memiliki kelebihan lain, yaitu khalayak yang dapat dijangkau jauh lebih luas dibandingkan dengan surat kabar dan meliputi seluruh lapisan masyarakat. Jadi, bukan saja golongan yang terdidik atau golongan intelektual saja yang dapat mengikuti siaran radio, tetapi juga golongan yang berpendidikan rendah dan bahkan yang buta huruf pundapat menikmatinya. Khalayak radio lebih suka siaran yang ringan-ringan saja dan cenderung memiliki kesetiaan kepada penyiar dari pada lembaganya atau stasiun radionya.
Khalayak atau orang yang menjadi sasaran dan pendengar radio dilihat dari segi kultural tergolong rata-rata orang yang tingkat pendidikannya tidak terlalu tinggi. Hal ini dapat dipahami karena memang lebih banyak menghidangkan entertainment (hiburan) dibanding pesan dan informasi yang disajikan oleh surat kabar dan majalah.
Media massa selanjutnya adalah televisi. Televisi adalah media penyiaran yang serumpun dengan radio. Kalau radio hanya menyiarkan suara, maka televisi mampu menyalurkan suara dan gambar sekaligus, sehingga televisi dapat dipandang sebagai penggabungan film dengan radio. Itulah sebabnya televisi disebut sebagai media audio visual, karena siarannya dapat ditangkap oleh telinga dan mata.
Kata televisi berasal dari kata Inggris television, yang berarti tampak dari jauh (tele berarti jauh dan vision berarti tampak). Televisi merupakan sistem penyiaran gambar yang disertai dengan bunyi (suara) melalui kabel atau  angkasa yang menggunakan alat yang mengubah cahaya (gambar) dan bunyi (suara) yang dapat dilihat dan dapat didengar. Selain itu televisi dapat juga diartikan sebagai pesawat penerima siaran televisi. Kemudian televisi berkembang sebagai media massa, karena suara dan gambar yang disiarkan menyentuh khalayak yang banyak (massa) serta bersifat terbuka.
Dalam Undang-undang No: 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran disebutkan bahwa penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengan pandang yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup berupa program yang teratur dan berkesinambungan. Dalam hal ini televisi dipandang sebagai media massa bersama radio dalam kelompok penyiaran.
Televisi sebagai media massa merupakan jenis media massa yang keempat yang hadir setelah pers, film dan radio. Televisi  telah mengubah dunia dengan terciptanya dunia baru bagi masyarakat dengan seluruh keunggulan dan kelemahannya sebagai media massa. Televisi merupakan penggabungan radio dan film, sehingga kekurangan radio dan film bisa diatasi oleh televisi. Sebagai media yang bersifat audio visual televisi telah tampil sebagai media yang relatif sempurna. Meskipun demikian kelebihan yang terdapat dalam surat kabar atau barang cetakan lainnya tidak dijumpai dalam siaran televisi.
Berdasarkan hal itu, maka televisi sangat penting untuk menjadi media dakwah. Hal ini telah banyak dilakukan di Indonesia. Pada umumnya lembaga penyiaran televisi di Indonesia  menyediakan waktu untuk kegiatan dakwah, seperti azan untuk panggilan salat dan acara-acara khusus pada bulan Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Juga sinetron religi yang ditayangkan pada bulan Ramadhan dan bulan lainnya. Televisi juga bermanfaat sebagai media yang menyajikan dialog-dialog tentang berbagai masalah agama dan umat Islam.
Penyiaran televisi berkembang dengan pesat  sesudah Perang Dunia II (1945). Meskipun begitu, televisi sesungguhnya  telah mulai dikenal sejak tahun 1920, kemudian berkembang lagi dengan hadirnya televisi publik tahun 1930. Peletak dasar utama teknologi pertelevisian ialah Paul Nipkow dari Jerman yang dalam tahun 1884 menemukan sebuah alat yang disebut jantra Nipkow atau Nipkow sheibe. Temuan itu kemudian melahirkan electrische telescop atau televisi elektris. Perkembangan ini tentu tidak dapat dilepaskan dari penemuan-penemuan sebelumnya dalam bidang penyiaran radio dan penemuan tentang film yang berlangsung secara evolusi dan kumulatif.
Berkat dukungan teknologi yang makin canggih, terutama teknologi digital, televisi telah mengubah dunia dan telah tercipta suatu dunia baru. Sejak kelahirannya televisi telah berperan sebagai media massa yang menawarkan rangkaian citra dan bentuk-bentuk baru yang dipengaruhi dan mempengaruhi kehidupan manusia. Masa depan televisi akan bergantung kepada kemampuan manusia melakukan berbagai penilaian dan mengambil dan  keputusan terhadap tantangan masa depan.
Televisi telah mampu menampilkan keunggulan dari ciri khasnya. Keunggulan dan ciri khas yang  dilahirkan oleh televisi terutama dalam hal kedekatannya dengan kehidupan sehari-hari. Televisi merupakan produk kultural yang unik. Bentuk-bentuk pemberitaan, perbincangan, visualisasi dan dramatisasi yang dikembangkan oleh televisi melahirkan suatu kultur publik yang sam sekali berbeda dari yang penah ada sebelumnya. Tentu saja banyak dari bentuk yang dikembangkan dari film dan radio, seperti berita, drama, perbincangan dalam berbagai program, seperti pendidikan, kesehatan, pertanian, dan sebagainya.
Keunggulan televisi sebagai media audio visual (dengar pandang) terletak pada daya persuasinya yang sangat tinggi, karena khalayak dapat melihat gambar hidup dan suara sekaligus. Bahkan suara dan gambar hidup itu dapat diterima oleh khalayak pada saat sebuah peristiwa tablig atau khutbah yang sedang terjadi melalui liputan secara langsung. Dengan demikian, televisi memiliki kecepatan dan aktualitas yang tinggi dengan daya persuasi yang tinggi pula. Televisi juga dapat mengembangkan topik yang disajikan oleh media cetak (surat kabar dan majalah). Saat ini siaran televisi dapat dilihat dalam mobil yang sedang melaju dan bahkan dapat dilihat melalui telepon genggam, sehingga hambatan-hambatan yang bersifat teknis dan geografis dapat diatasi.
Sebagai alat media komunikasi atau media dakwah jelas sekali bahwa dalam usaha mempengaruhi khalayak dengan jalan menggugah dan menyentuh emosi dan pikirannya, televisi mempunyai banyak keunggulan yang menonjol dibandingkan dengan surat kabar, radio dan film. Karena itu, penyiaran televisi sebagai media dakwah yang bertujuan untuk mempengaruhi khalayak sebanyak mungkin dengan daya persuasif yang tinggi. Hal ini sangat diperlukan, baik untuk khalayak dakwah yang berpendidikan tinggi maupun yang buta huruf.
Jadi, dari segi fungsi media massa, cetak dan elektronik, yang ada sangat bermanfaat untuk pengembangan kegiatan dakwah. Tetapi dari segi ekonomi dan bisnis media massa telah menjadi perusahaan yang memerlukan modal yang besar. Misalnya stasiun televisi yang tayang secara nasional modalnya bisa sampai Rp 1 trilyun. Sedangkan umat Islam pada umumnya kehidupan ekonomi mereka dalam keadaan lemah, sebab ekonomi Indonesia dikuasai oleh kelompok nonmuslim.
Itu sebabnya dulu TV Global yang semula diperuntukkan bagi ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia), tetapi tidak ada pengusaha muslim yang sanggup mendanai stasiun televisi itu, maka akhirnya jatuh kepada MNC Group yang pemiliknya adalah nonmuslim. Begitu pula Harian Republika telah jatuh ke tangan nonmuslim.
Tetapi kalangan nonmuslim menyadari perlunya acara atau program atau berita yang bernuansa Islam yang kita sebut media dakwah karena mayoritas khalayak adalah muslim.  Hanya saja mereka kadang selipkan iklan yang tidak sesuai dengan semangat dakwah, seperti iklan rokok, iklan bank yang menjalankan sistem bunga atau bintang iklannya memakai pakaian yang sangat minim. Itu karena mereka membuat media dakwah bukan untuk mengembangkan dakwah, sebab mereka nonmuslim, tetapi semata-mata bertujuan bisnis.
Karena itu, pengembangan media dakwah sebaiknya disertai dengan pengembangan ekonomi umat. Bahkan pengembangan ekonomi umat dapat menjadi cara berdakwah yang paling efektif, karena secara nyata mendorong umat untuk memperbaiki kehidupan ekonomi mereka.         
                                                                        Pengembangan Ekonomi Umat              
            Pemberdayaan  ekonomi umat mengandung tiga misi[3]. Pertama ialah misi pembangunan ekonomi dan bisnis yang berpedoman pada ukuran-ukuran ekonomi dan bisnis yang lazim dan bersifat universal, misalnya besaran-besaran produksi, lapangan kerja, laba, tabungan, investasi, ekspor-impor dan kelangsungan usaha. Kedua ialah pelaksanaan etika dan ketentuan hukum syariah yang harus menjadi ciri kegiatan ekonomi umat Islam, dan ketiga ialah  membangun kekuatan ekonomi umat Islam, sehingga menjadi sumber dana pendukung dakwah Islam yang dapat  ditarik melalui zakat, infak, sedekah, wakaf dan menjadi bagian dari pilar perekonomian Indonesia.
            Dalam mencapai misi pertama sebuah proyek bisnis umat Islam harus mampu menjawab pertanyaan who, what, how dan for whom?  Tampaknya mudah untuk menjawab pertanyaan who, karena jawabnya tentu saja adalah umat Islam sebagai pelaku ekonomi dan bisnis. Persoalan akan timbul ketika harus menjawab siapa yang dimaksudkan sebagai umat Islam di sini, apakah umat Islam pada umumnya ataukah lebih spesifik lagi, yaitu orang-orang yang disebut sebagai golongan santri. Kedua pengertian ini bisa dipakai untuk keperluan yang berbeda.
            Pertanyaan what, yakni apa yang harus dihasilkan oleh umat Islam tergantung pada permintaan pasar. Namun nilai-nilai budaya kaum muslim bisa mempengaruhi jenis komoditi , baik barang dan jasa yang dianggap memenuhi kriteria halalan thayyiban, yaitu barang dan jasa yang halal menurut syariat Islam yang memenuhi kualitas tertentu secara minimal maupun maksimal. Ada pula komoditas khas, seperti pakaian dan alat-alat beribadah, yang kini justru lebih banyak diproduksi oleh nonmuslim di negara-negara yang mungkin anti-Islam, seperti sajadah yang dibuat di Rumania dan RRC atau permadani yang dibuat di rumah penjara di India.
            Sedang bagaimana (how) barang-barang itu diproduksi, diperdagangkan dan dikonsumsikan tergantung pada dua faktor utama, yaitu mutu SDM dan tingkat perkembangan teknologi dan manajemen. Lebih jauh faktor ini tergantung pada tingkat perkembangan pendidikan dan Iptek umat Islam yang tak bisa dilepaskan dari kondisi Indonesia secara keseluruhan.
            Pertanyaan for whom menyangkut paling tidak dua aspek. Pertama ialah bagaimana kerangka prioritas barang dan jasa harus diproduksi. Kedua ialah siapa yang harus menerima manfaat pembangunan. Aspek pertama menyangkut distribusi kekayaan dan pendapatan pada berbagai golongan masyarakat.
            Aspek kedua ekonomi umat ialah etika dan syariah yang merupakan ciri khas persoalan ekonomi dan bisnis dalam pandangan Islam. Kaum muslim harus berbisnis berdasarkan etika bisnis, misalnya tidak boleh menimbun (hoarding) ketika masyarakat kelangkaan barang untuk mencari keuntungan, menyuap pejabat untuk mendapatkan order atau menipu konsumen dengan kualitas produk yang tidak sesuai dengan yang diiklankan. Jika dewasa ini tampak belum berkembang etika bisnis, maka sudah menjadi kewajiban bagi para ahlinya untuk merumuskan sebuah etika bisnis modern.
            Dalam bidang etika ini umat Islam bisa memberi  sumbangan dengan mengeluarkan  saran-saran yang berdasarkan hukum fiqih, tentu saja dengan pengertian bahwa tidak semua aturan-aturan Islam dapat diterima oleh pemeluk agama lain, misalnya larangan makanan yang berasal dari babi atau disembelih tidak cara Islam. Tetapi di Thailand yang umat Islamnya minoritas, terhadap peraturan bahwa semua hewan disembelih secara Islam,karena itu dapat diterima oleh semua pemeluk agama, tetapi sebaliknya cara agama lain belum tentu bisa diterima oleh kaum muslim.
            Perlu diingat pula bahwa banyak larangan Islam itu dapat diterima oleh umum atau bersifat universal, misalnya larangan terhadap minuman keras dan obat bius atau perjudian yang merusak akhlak masyarakat. Bahkan larangan riba umpamanya bisa diterima oleh sebagian umat lain, setidaknya mereka bisa mengikuti tanpa keberatan yang prinsipil. Misalnya Bank Islam Al-Barakah dari Kuwait memiliki beberapa promotor orang Kristen yang bisa diterima oleh yang bersangkutan berdasarkan kepercayaan Kristen yang dalam kitab sucinya terdapat larangan riba.
            Ada pula kalangan nonmuslim yang memanfaatkan kepercayaan Islam sebagai potensi bisnis. Di Singapura misalnya ada bisnis yang bernilai milyaran dolar untuk memproduksi halal food yang tidak saja dapat dijual kepada kaum muslim, tetapi juga kepada umum.
            Sedang misi ketiga pemberdayaan ekonomi umat adalah menjadikan umat Islam sebagai kekuatan ekonomi dalam arti positif. Dewasa ini kekuatan umat Islam baru dalam arti politis, sedangkan kekuatan ekonomi masih berada di tangan golongan nonmuslim. Kaum muslim masih lebih berkedudukan sebagai konsumen  dari pada produsen. Sudah tentu sebagai konsumen adalah sebuah kekuatan tersendiri, tetapi kekuatan itu lebih banyak dimanfaatkan oleh kalangan nonmuslim.
            Dengan pemberdayaan atau pengembangan ekonomi umat, maka diharapkan kehidupan ekonomi umat menjadi lebih baik, sehingga mampu membuat media dakwah dan media massa pada umumnya yang besar. Kalau umat Islam membuat media dakwah, maka tentulah tujuannya adalah pengembangan dakwah selain bisnis. Ini bedanya media dakwah yang dibikin oleh golongan nonmuslim yang semata-mata hanya bertujuan bisnis.
            Sama halnya bank syariah yang dibikin oleh golongan muslim semata-mata bertujuan bisnis, bukan untuk menerapkan Islam dalam ekonomi. Sedangkan umat Islam yang membikin bank syariah selain bertujuan bisnis juga untuk menerapkan Islam dalam kehidupan ekonomi umat.   


[1] M. Burhan Mungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 85
[2] Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer Sebuah Studi Komunikasi (Yogyakarta: Graha Ilmu,  2011), hal. 99
[3] M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999), hal. 389

No comments:

Post a Comment