Tuesday, October 8, 2013

2 Penyidik Pajak Didakwa Terima Suap dari 3 Perusahaan


JAKARTA, KOMPAS.com — Dua penyidik PNS pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Timur, yaitu Mohammad Dian Irwan Nuqisra dan Eko Darmayanto, didakwa menerima suap sebesar 600.000 dollar Singapura (SGD). Suap diberikan untuk penyidikan kasus pajak PT The Master Steel Manufactory.

Surat dakwaan Dian dan Eko dibacakan secara bergantian oleh tim jaksa penuntut umum KPK Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (8/10/2013). Jaksa mengungkapkan, Dian bersama Eko menerima hadiah atau janji berupa uang secara bertahap sebesar 600.000 dollar Singapura dari Direktur Keuangan sekaligus pemilik PT The Master Steel Diah Soemedi melalui Effendi Komala dan Teddy Muliawan.

Uang itu disebut untuk penghentian penyidikan kasus pajak Master Steel dengan tersangka Diah Soemedi dan Istanto Burhan. Pada 25 April 2013, Dian dan Eko bertemu dengan Diah di ruang Private Room Restaurant Bruschetta, Hotel Borobudur, Jakarta. Sedangkan Istanto, Effendi, dan Ruben Hutabarat menunggu di luar ruangan.

"Pada kesempatan itu Diah menyampaikan kepada terdakwa I dan terdakwa II agar penyidikan PT The Master Steel dapat dihentikan, dan disepakati akan diberikan sejumlah uang," ujar jaksa Riyono. Dian dan Eko kemudian meminta pemberian awal sebesar Rp 10 miliar.

Kasus pajak Master Steel sendiri berawal dari pemeriksaan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Timur pada Januari 2011 terhadap pajak Master Steel tahun 2008. Dari pemeriksaan tersebut, ditemukan bukti permulaan kesalahan pajak berupa laporan pajak transaksi senilai Rp 1,003 triliun yang dicatatkan sebagai pinjaman dari Angel Sitoh, warga negara Singapura.

Penyerahan uang

Pada 6 Mei 2013, Diah menyerahkan uang 300 ribu dollar Singapura yang disimpan dalam amplop warna coklat kepada anak buahnya Effendi untuk diberikan kepada Eko. Setelah itu Effendi merencanakan teknis penyerahan uang dengan Eko.

Akhirnya pada 7 Mei 2013, Effendi menemui Eko. Saat itu Eko menyerahkan kunci mobil Honda City milik Dian. Mobil itu sudah sengaja diparkir di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. Sesuai petunjuk, Effendi kemudian meletakkan uang tersebut dalam mobil dan menemui Eko yang menunggu di parkiran Terminal 2 Bandara.

Eko dan Dian kemudian mengambil uang itu dan membaginya menjadi masing-masing 150 ribu dollar Singapura. Penyerahan berikutnya dilakukan pada 15 Mei 2013. Penyerahan dilakukan oleh Teddy atas petunjuk Effendy. Teddy meletakkan uang 300 ribu dollar Singapura di bawah karpet kursi mobil Avanza. Mobil itu juga telah terparkir di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta.

Setelah itu Teddy menyerahkan kunci mobil kepada Eko. Saat penyerahan kunci itu, KPK menangkap tangan Teddy, Eko, dan Dian. Sementara Effendy ditangkap dalam perjalanan di Kelapa Gading, Jakarta.

Dalam dakwaan kesatu primer, Eko dan Dian dijerat dengan Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHPidana.

Sementara dakwaan subsider, keduanya dijerat dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHPidana.

Dalam dakwaan kedua primer, jaksa menyatakan Eko dan Dian juga menerima hadiah atau janji senilai Rp 3,250 miliar dari Direktur dan pemegang saham PT Delta Internusa, Laurentinus Suryawidjaya Djuhadi. Uang diberikan melalui Adhi Setiawan dan Addi Winarko selaku pegawai PT Norojono Tobacco.

Kemudian keduanya didakwa menerima 150.000 dollar AS dari Kepala Bagian Keuangan PT Nusa Raya Cipta (PT NRC), Handoko Tejo Winoto. "Agar terdakwa tidak menindaklanjuti hasil pemeriksaan bukti permulaan wajib pajak PT Delta Internusa dan wajib pajak PT Nusa Raya Cipta," ujar Jaksa Medi Iskandar Zulkarnain.

Mulanya, pada 17 September 2012, keduanya diminta melanjutkan pemeriksaan Bukti Permulaan PT Delta Internusa berdasarkan laporan hasil pengembangan dan analisis Informasi Data Laporan Pengaduan (IDLP). Pemeriksaan itu menyatakan adanya selisih data bukti potong pajak antara PT Delta Internusa dibanding lawan transaksi.

Dian dan Eko menemukan data Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PT Delta Internusa yang mencantumkan peredaran usaha omzetnya Rp 6,1 triliun. Padahal nilai rokok yang masuk ke PT Delta Internusa mencapai sebesar Rp 8,17 triliun.

Dian dan Eko kemudian menawarkan bantuan agar temuan pemeriksaan Bukti Permulaan tidak dilanjutkan pemeriksaannya. Dian dan Eko meminta imbalan Rp 10 miliar. "Pada awalnya Laurentinus keberatan. Namun, setelah beberapa kali dibicarakan antara terdakwa I dan II dengan Addi Winarko disepakati imbalan Rp 3,250 miliar," terang Jaksa Andi Suharlis.

Untuk kasus pajak PT NRC, mulanya Direktur Teknik dan Pengembangan PT NRC Firman A Lubis dan Handoko meminta agar temuan pemeriksaan dapat diselesaikan sebatas pengguna faktur pajak dan tidak mendalami temuan lainnya.

Dian dan Eko menanggapi dan meminta imbalan Rp 25 miliar. Namun, Handoko hanya menyanggupi Rp 1,2 miliar. Dakwaan Eko dan Dian disusun dalam bentuk kumulatif.

Dakwaan kedua primer, keduanya dijerat dengan Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHPidana.

Dalam dakwaan kedua subsider, keduanya didakwa dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHPidana. Atas dakwaan ini Eko dan Dian tidak mengajukan nota keberatan (eksepsi).

No comments:

Post a Comment