Thursday, October 24, 2013

Prestasi KPK di Tengah Berbagai Keterbatasan



KOMPAS.com - LANTAI tiga gedung Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki beranda yang nyaman. Dengan ukuran sekitar 5 meter x 20 meter, beranda ini disulap menjadi taman kecil. Bila sore atau malam menjelang, gemerlap lampu kota dan gedung-gedung tinggi di sepanjang Jalan HR Rasuna Said berpadu dengan lembayung di langit menjadi pemandangan indah dari tempat itu.

Lantai tiga gedung KPK menjadi tempat komisioner KPK berkantor. Satu-satunya pejabat struktural yang berkantor di lantai yang sama dengan para pemimpin KPK adalah Juru Bicara KPK Johan Budi SP. Ruang kerja Johan terletak paling ujung, berhadapan dengan mushala kecil. Di antara mushala kecil dan ruangan kerja Johan inilah terletak pintu menuju beranda nyaman di lantai tiga ini.

Sore itu, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto masih bercengkerama dengan Direktur Penyelidikan KPK Arry Widiatmoko. Obrolan mereka terlihat serius. Direktorat Penyelidikan adalah bagian vital yang memimpin operasi tangkap tangan (OTT) di KPK. Kebanyakan yang bertugas di tempat ini adalah auditor yang dulu bekerja di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

Sejak penangkapan Ketua MK Akil Mochtar, pada awal Oktober lalu, beberapa kali muncul isu KPK tengah melakukan OTT lagi. Iseng-iseng sore itu, isu ini ditanyakan kepada Bambang, apalagi mantan Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ini tengah berbincang dengan Arry.

Setengah bercanda, Bambang berujar, ”Gila lu ya. Operasi tangkap tangan itu tak semudah kalian menulisnya Bos. Lu sih enak, habis tangkap tangan, tulis beritanya, terus tanya, kapan ada tangkap tangan lagi. Kami ini yang repot, satu tangkap tangan belum selesai, harus dituntut tangkap tangan lagi.”

Bambang memang suka memanggil wartawan dengan sebutan ”bos”. Selain rakyat yang telah memberi amanat, KPK seolah juga menempatkan pers sebagai bos. Pasalnya, wartawan ini paling sering menuntut kerja-kerja KPK. Jika ada tersangka yang belum ditahan, wartawan hampir setiap hari menanyakan kapan ditahan. Kalau ada orang yang seharusnya diperiksa, tak kunjung juga dipanggil, wartawan juga akan menanyakan.

Namun, pertanyaan wartawan itu sejatinya adalah kepercayaan ke KPK. Sejak Penangkapan Akil karena diduga menerima suap terkait penanganan perkara sengketa pemilihan kepala daerah Kabupaten Lebak dan Gunung Mas, serta perkara lainnya di MK, publik seperti yakin tak ada lagi lembaga negara yang dibentuk setelah era reformasi bersih dari korupsi.

Penangkapan Akil 2 Oktober lalu tak berselang lama dengan penangkapan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Rudi Rubiandini. Rudi ditangkap KPK, Selasa, 13 Agustus.

Sebelumnya, akhir Januari lalu, KPK juga menangkap Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq. Kini, Luthfi tengah menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Di luar hasil OTT, KPK juga menyeret orang-orang yang masuk kategori high ranking profile di Indonesia karena korupsi. Korupsi pengadaan simulator berkendara di Korps Lalu Lintas Polri untuk pertama kalinya membuat jenderal polisi aktif diadili. Mantan Kepala Korlantas Inspektur Jenderal Djoko Susilo divonis 10 tahun dan hartanya sekitar Rp 200 miliar disita negara. Kasus dugaan korupsi proyek pembangunan kompleks olahraga di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, membuat mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum jadi tersangka. Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng bahkan telah ditahan.

Ini belum termasuk sederet kasus besar lain yang tengah dituntaskan KPK. Kasus Century, korupsi PON Riau, hingga pencucian uang mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.

Keterbatasan

Di tengah sejumlah prestasi ini, sumber daya dan teknologi KPK sebenarnya kalah jauh dengan aparat penegak hukum lain. Pegawai KPK kurang dari 900 orang. Di bagian penyidikan malah hanya sekitar 150 orang, terbagi atas penyidik, penuntut, dan penyelidik. Teknologi penyadapan komunikasi yang dimiliki KPK kalah canggih dari milik kepolisian dan kejaksaan.

”Tapi, untungnya, yang bertugas di bagian teknologi informasi KPK adalah orang yang tepat di bidangnya sehingga kami mampu memanfaatkan peralatan yang tergolong old fashion itu,” kata Bambang.

Berbagai keterbatasan yang dimiliki KPK itu seharusnya membuat semua pemangku kepentingan di negeri ini malu akan prestasi mereka.

Maka, saat Bambang ditanya, kapan lagi ada OTT, dia tak malu berujar, ”Beri kami kesempatan bernapas dulu Bos!” (KHAERUDIN)

No comments:

Post a Comment