Thursday, August 29, 2013

KPK: Sektor Minerba, Negara Rugi Rp 6,7 Triliun


JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan kerugian negara sekitar Rp 6,7 triliun dalam sektor mineral dan batubara (minerba). Kerugian negara ini muncul karena royalti dan iuran tetap yang tidak dibayarkan para pengusaha sepanjang 2003-2011.

"Ada kerugian keuangan negara berdasarkan temuan tim optimalisasi penerimaan negara (OPN) BPKP yaitu PNBP dari hasil royalti dan iuran tetap dari sektor mineral dan batubara pada 2003-2011 sebesar Rp 6,77 triliun yang dihitung berdasarkan nilai tukar dollar AS Rp 9.000 saat itu," kata Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (29/8/2013).

Hadir dalam jumpa pers tersebut, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo, dan Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany.

Mereka sebelumnya mengikuti rapat dengan KPK yang membahas hasil kajian KPK terkait penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dalam sektor minerba tersebut. Selain kerugian negara, KPK menemukan potensi kerugian negara dari royalti yang belum dibayarkan sepanjang 2010-2012.

Nilai potensi kerugian negara tersebut mencapai Rp 1,22 miliar dollar AS atau sekitar Rp 12 triliun. "Dan dari lima lima produksi mineral terbesar yaitu nikel, bijih besi, timbal, bauksit dan mangan sebesar 24,6 juta dolar AS dan belum ada pemberian sanksi administratis seperti pencabutan izin perusahaan apalagi sanksi pidana," ungkap Busyro.

Selain itu, Busyro menilai ironis pengelolaan sumber daya alam berupa batubara di Indonesia. Dia mengungkapkan, Indonesia hanya memiliki cadangan barubara sekitar 20 miliar ton atau 2,63 miliar persen cadangan dunia sementara per tahunnya mengekspor 309 juta ton barubara.

Dengan demikian, dikhawatirkan cadangan batubara Indonesia akan ludes dalam 20 tahun ke depan. "Ada upaya sistematis yang terindikasi adanya ekploitasi, sehingga dikhawatirkan 20 tahun ke depan batubara di Indonesia akan ludes. Selain itu ada keengganan pelaku usaha tambang untuk melakukan renegosiasi di kontrak sebagaimana amanat UU No 4/2009 tentang Minerba," tutur Busyro.

Bukan hanya itu, tidak optimalnya pemasukan negara dari sektor PNBP minerba ini pun disebabkan banyaknya pelabuhan tikus yang tidak terkontrol. Hal tersebut, menurut Busyro, muncul karena tidak sinergisnya pemerintah daerah (pemda) dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan dirjen Mineral dan Batubara.

"Di pemda, kepala daerah tingkat 2 punya kewenangan mengeluarkan 10.700 izin usaha pertambangan, Pak Wamen (ESDM) tadi mengungkapkan ada kekurangan sumber daya manusia (SDM). Tapi Wamen ESDM akan merekrut 1.000 inspektur tambang di daerah untuk mengawasi IUP di daerah," tuturnya.

Menanggapi hasil kajian KPK ini, Wamen ESDM Susilo berjanji bahwa kementeriannya akan menjalankan rekomendasi KPK. Dalam satu bulan, Kementerian ESDM diminta membuat rencana aksi dan melaporkan pelaksanaan rencana tersebut setiap tiga bulan sekali kepada KPK.

"Dan apabila ada kendala intersektoral akan dilaporkan ke KPK," kata Susilo.

Sedangkan Dirjen Pajak Fuad Rahmany mengeluhkan data mengenai izin usaha pertambangan (IUP) pertambangan yang tidak akurat.

"Bagi DJP yang paling penting adalah data produksi, ekspor, penjualan karena kami tidak dalam kapasitas menghitung produksi mengingat sistem bersifat `self assestment` sehingga kami bergantung pada instansi teknis di pusat dan daerah padahal sebagian besar data dalam IUP (Izin Usaha Pertambangan) tidak akurat, saat kami datangi pemiliknya tidak ada, lokasinya juga berbeda," ungkap Fuad.

No comments:

Post a Comment